Lompat ke isi

Arsitektur Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kscentro (bicara | kontrib)
→‎Arsitektur Zaman Sekarang: Perbaikan kesalahan ketik
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Kscentro (bicara | kontrib)
menambah isi
Baris 2: Baris 2:
[[Berkas:DSCN0338.JPG|jmpl|290px|ka|Masjid Agung Yogyakarta memperlihatkan arsitektur Jawa dan mengambil warisan Hindu yaitu atap [[Meru]].]]
[[Berkas:DSCN0338.JPG|jmpl|290px|ka|Masjid Agung Yogyakarta memperlihatkan arsitektur Jawa dan mengambil warisan Hindu yaitu atap [[Meru]].]]


'''Arsitektur Indonesia''' dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya, [[sejarah]] dan [[geografi]] di [[Indonesia]]. Para penyerang, penjajah, dan pedagang membawa perubahan kebudayaan yang sangat memperuhi gaya dan teknik konstruksi bangunan. Pengaruh asing yang paling kental pada zaman arsitektur klasik adalah [[India]], meskipun pengaruh [[Cina]] dan [[Budaya Arab|Arab]] juga termasuk penting. Kemudian pengaruh [[Eropa]] pada seni arsitektur mulai masuk sejak abad ke-18 dan ke-19.
'''Arsitektur Indonesia''' dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya, [[sejarah]] dan [[geografi]] di [[Indonesia]]. Para penyerang, penjajah, dan pedagang membawa perubahan kebudayaan yang sangat mempengaruhi gaya dan teknik konstruksi bangunan.


Banyak [[Rumah tradisional|rumah adat]] telah muncul di seluruh kepulauan Indonesia. Rumah-rumah tradisional dan komunitas dari beragam suku bangsa di Indonesia menunjukkan berbagai macam karakteristik, masing-masing dengan latar belakang sejarah yang unik. Rumah-rumah ini memiliki arti sosial yang penting dalam masyarakat dan menunjukkan cara-cara cerdik masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungan mereka dan mengatur ruang hidup mereka.<ref name="Indonesian Houses">{{Cite book|year=2004|url=https://books.google.com/books?id=Oup15S3lTDAC|title=Indonesian Houses: Tradition and Transformation in Vernacular Architecture|publisher=NUS Press|isbn=9789971692926|editor-last=Reimar Schefold|editor-last2=P. Nas|editor-last3=Gaudenz Domenig}}</ref>{{Refpage|5}}
== Arsitektur keagamaan ==


Secara historis, pengaruh [[India]] memiliki dampak terbesar pada arsitektur Indonesia. Namun demikian, pengaruh [[Tiongkok|Cina]], [[Budaya Arab|Arab]], dan [[Eropa]] juga memainkan peran penting dalam membentuk lanskap arsitektur negara ini. Arsitektur religius mencakup berbagai gaya, mulai dari desain asli hingga masjid, kuil, dan gereja. Istana-istana dibangun oleh para sultan dan penguasa lainnya. Kota-kota di Indonesia memiliki warisan [[Arsitektur kolonial di Indonesia|arsitektur kolonial]] yang terkenal. Pada era pasca kemerdekaan, paradigma baru untuk arsitektur postmodern dan kontemporer telah muncul, menandai perkembangan Indonesia yang merdeka.
Walaupun arsitektur keagamaan tersebar luas di seluruh pelosok Indonesia, seni arsitektur ini berkembang pesat di [[Pulau Jawa]]. Pengaruh sinkretisasi agama di Jawa meluas sampai ke dalam arsitektur, sehingga menghasilkan gaya-gaya arsitektur yang berkhas Jawa untuk bangunan-bangunan ibadah agama [[Hindu]], [[Buddha]], [[Islam]], dan [[Kristen]].


== Arsitektur adat ==
Sejumlah bangunan agama seperti [[candi]], yang sering kali berukuran besar dan didisain secara kompleks, banyak dibangun di Pulau Jawa pada zaman kejayaan kerajaan Hindu-Buda Indonesia antara abad ke-8 sampai ke-14. Candi-candi Hindu tertua yang masih berdiri di Jawa terletak di Pegunungan [[Dieng]]. Diperkirakan dahulu terdapat sekitar empat ratus candi di Dieng yang sekarang hanya tersisa delapan candi. Pada awalnya, struktur bangungan-bangunan di Dieng berukuran kecil dan relatif sederhana. Akan tetapi tingkat kemahiran arsitektur di Jawa semakin meningkat. Dalam kurun waktu seratus tahun saja kerajaan kedua Mataram telah dapat membangun kompleks candi [[Prambanan]] di dekat [[Yogyakarta]] yang dianggap sebagai contoh arsitektur Hindu terbesar dan terbagus di Jawa.
Di Indonesia, setiap [[Kelompok etnik di Indonesia|kelompok etnis]] biasanya diidentifikasikan dengan gaya rumah tradisionalnya yang unik, yang dikenal sebagai "rumah adat."<ref name="d102">Dawson (1994), p. 10</ref> Rumah-rumah ini berfungsi sebagai pusat jejaring adat istiadat, hubungan sosial, hukum adat, pantangan, mitos, dan praktik keagamaan yang menyatukan penduduk desa. Rumah adat memiliki arti penting karena menjadi titik fokus utama bagi keluarga dan masyarakat luas, serta menjadi titik awal dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para penghuninya.<ref name="d8">Dawson (1994), p. 8</ref> Penduduk desa membangun rumah mereka sendiri, atau dalam beberapa kasus, masyarakat berkolaborasi dan menyatukan sumber daya mereka untuk membangun sebuah bangunan di bawah bimbingan seorang ahli bangunan dan/atau tukang kayu yang terampil.<ref name="d102" />


Sebagian besar populasi di Indonesia memiliki akar dari warisan Austronesia yang sama, dan sebagai hasilnya, rumah-rumah tradisional di Indonesia menunjukkan kesamaan tertentu dengan rumah-rumah yang ditemukan di wilayah Austronesia lainnya. Struktur arsitektur Austronesia yang paling awal adalah [[rumah panjang]] komunal yang terbuat dari kayu, ditinggikan di atas panggung, dan dicirikan oleh atap miring yang curam dan atap pelana yang menonjol. Contohnya dapat dilihat pada rumah adat [[Suku Batak|Batak]] dan [[Tongkonan]] Toraja. Variasi konsep rumah panjang komunal juga dapat ditemukan di antara masyarakat [[Suku Dayak|Dayak]] di Kalimantan dan masyarakat [[Suku Mentawai|Mentawai]].<ref name="oca">The Oxford Companion to Architecture, Volume 1, p. 462.</ref>
Candi [[Borobudur]], sebagai monumen umat Buddha yang tercantum di dalam daftar [[Situs Warisan Dunia UNESCO]], dibangun oleh wangsa [[Syailendra]] antara tahun 750 sampai dengan 850 Masehi, tetapi kemudian ditinggalkan sesaat seketika Borobudur telah siap dibangun, merujuk pada saat mundurnya agama Buddha dan perpindahan kekuasaan ke sebelah timur Jawa. Borobodur memiliki sejumlah besar pahatan-pahatan menarik yang menampilkan cerita yang apabila dicermati mulai dari tingkat bawah sampai ke tingkat atas merupakan metafor peraihan pencerahan. Dengan mundurnya [[Kerajaan Mataram]], sebelah timur Jawa menjadi pusat arsitektur keagamaan dengan gaya yang sangat menarik yang mencerminkan Siwaisme, Buddha dan pengaruh khas Jawa; sebuah fusi yang mencerminkan karakteristik agama di seluruh pulau Jawa.


Biasanya, rumah-rumah tradisional Indonesia mengikuti sistem struktur berdasarkan tiang, balok, dan ambang pintu, yang memindahkan beban langsung ke tanah. Dindingnya, biasanya terbuat dari kayu atau [[bambu]], tidak menanggung beban struktural apa pun. Alih-alih menggunakan paku, metode konstruksi tradisional mengandalkan sambungan tanggam dan duri serta pasak kayu. Bahan-bahan yang biasa digunakan di rumah adat, termasuk kayu, bambu, ilalang, dan ijuk.<ref>Dawson (1994), p. 12</ref> Sebagai contoh, [[Omo Sebua|rumah-rumah adat]] di [[Suku Nias|Nias]] menggunakan konstruksi tiang, balok, dan ambang pintu dengan sambungan yang fleksibel dan tidak memerlukan paku. Demikian pula, dinding yang tidak menahan beban adalah karakteristik umum dari rumah adat di seluruh Indonesia.
Pada abad ke-15, Islam sudah jadi agama berkuasa di Jawa dan Sumatra, yaitu pulau-pulau yang paling banyak penduduknya. Seperti agama Hindu dan Buddha sebelumnya, pengaruh asing yang ikut agama baru ini menampung dan menafsirkan sedemikian rupa menghasilkan gaya-gaya arsitektur masjid yang berkhas Jawa.


Rumah adat di Indonesia telah berevolusi sebagai respons terhadap iklim muson yang panas dan lembab. Mengikuti praktik umum di [[Asia Tenggara]] dan Pasifik Barat Daya, sebagian besar rumah adat dibangun di atas [[Rumah panggung|panggung]], kecuali di Jawa dan Bali.<ref name="d102" /> Meninggikan rumah dari tanah memiliki beberapa tujuan: memungkinkan ventilasi alami untuk mendinginkan suhu tropis, melindungi dari limpasan air hujan dan lumpur, memungkinkan pembangunan di dekat sungai dan lahan basah, melindungi penghuni, barang, dan makanan dari basah dan kelembapan, mengangkat ruang hidup dari nyamuk pembawa penyakit [[malaria]], dan mengurangi risiko pembusukan dan serangan [[rayap]].<ref>Dawson (1994), pp. 10–11</ref>
== Arsitektur adat ==


Atap yang miring secara efektif menumpahkan hujan tropis yang deras, sementara atap yang menjorok ke dalam mencegah air masuk ke dalam rumah dan memberikan keteduhan dari panas.<ref>Dawson (1994), p. 11</ref> Di daerah pesisir dataran rendah yang ditandai dengan kondisi panas dan lembab, rumah-rumah sering kali memiliki banyak jendela untuk memfasilitasi ventilasi silang. Sementara itu, di daerah pegunungan yang lebih sejuk, rumah-rumah biasanya memiliki atap yang luas dan lebih sedikit jendela untuk beradaptasi dengan iklim pegunungan.<ref name="d8" />
'''Arsitektur adat''' adalah tempat aktivitas manusia yang berhubungan dengan bangunan atau wadah aktivitas dan lingkungan yang diwarnai oleh budaya dan adat istiadat setempat. Setiap [[suku bangsa di Indonesia]] mempunyai jenis arsitektur tradisional yang berbeda.<ref name=d10>Dawson (1994), p. 10</ref>


=== Contoh-contoh ===
Rumah tradisional Indonesia tidak didesain oleh arsiktek. Orang desa membuat rumahnya sendiri, atau desanya menyatukan sumber untuk membangun struktur di bawah bimbingan pemimpin tukang kayu.<ref name=d10 />
Berbagai rumah adat di Indonesia memiliki arti penting dan menampilkan fitur-fitur yang unik:

* [[Rumah adat Aceh|Rumoh Ace]]<nowiki/>h merupakan rumah adat termegah di Aceh.
* [[Arsitektur Batak]] di [[Sumatra Utara]] menampilkan rumah ''jabu'' berbentuk perahu dari orang Batak Toba, yang ditandai dengan ukiran atap pelana yang rumit, atap yang besar, dan [[Kebudayaan Dongson|desain yang kuno]].
* [[Orang Minangkabau]] di [[Sumatra Barat]] membangun [[Rumah Gadang]], yang terkenal dengan atap pelana yang banyak dengan ujung bubungan yang mencolok.
* Rumah [[Suku Nias|Nias]] termasuk ''[[Omo Sebua|omo sebua]]'', rumah kepala suku yang dibangun di atas pilar kayu ulin yang kokoh dengan atap yang menjulang tinggi, memberikan pertahanan terhadap perang suku dan ketahanan terhadap gempa yang telah terbukti melalui konstruksi tanpa paku yang fleksibel.
* [[Rumah Melayu]], yang ditemukan di Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya, dibangun di atas panggung.
* Wilayah [[Riau]] memiliki desa-desa yang dibangun di atas rumah panggung di atas saluran air.
* Rumah tradisional Jawa, tidak seperti kebanyakan rumah adat Asia Tenggara, tidak ditinggikan di atas tiang dan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat dari elemen arsitektur Eropa.
* [[Bubungan Tinggi]], dengan atapnya yang miring dan curam, mewakili rumah-rumah besar milik bangsawan [[Suku Banjar|Banjar]] di [[Kalimantan Selatan]].
* Rumah adat Bali terdiri dari bangunan terbuka di dalam kompleks taman yang berdinding, termasuk area terpisah untuk dapur, tempat tidur, kamar mandi, dan tempat pemujaan.
* Orang [[Suku Sasak|Sasak]] di [[Pulau Lombok|Lombok]] membangun ''lumbung'', lumbung padi beratap tajuk yang dibangun di atas tiang-tiang, yang sering kali lebih rumit daripada rumah mereka.
* Orang [[Suku Dayak|Dayak]] secara tradisional tinggal di [[rumah panjang]] komunal yang dibangun di atas tiang pancang, terkadang panjangnya melebihi 300 meter dan membentuk satu desa.
* Orang [[Suku Toraja|Toraja]] di dataran tinggi [[Sulawesi]] terkenal dengan rumah [[Tongkonan|''tongkonan'']] mereka, ditinggikan di atas tiang dan dibedakan dengan atap pelana besar dengan luas yang dilebihkan.
* Rumah adat di [[Pulau Sumba|Sumba]] memiliki atap jerami yang berbeda yang menyerupai topi tinggi dan dihiasi dengan beranda yang terlindung.
* [[Suku Dani]] [[Papua]] tinggal di kompleks keluarga kecil yang terdiri dari beberapa gubuk melingkar yang dikenal sebagai [[Rumah honai|honai]], dengan atap kubah jerami.

=== Jumlahnya yang menurun ===
Prevalensi rumah adat telah menurun di seluruh Indonesia. Kecenderungan ini dapat ditelusuri kembali ke era kolonial ketika pemerintah Belanda memiliki pandangan negatif terhadap arsitektur tradisional. Mereka menganggapnya tidak higienis dan mengaitkannya dengan praktik-praktik keagamaan tradisional yang mereka anggap meragukan.<ref name="n348">Nas, p. 348</ref> Akibatnya, pemerintah kolonial memulai program pembongkaran, menggantikan rumah-rumah tradisional dengan bangunan yang dibangun menggunakan teknik bangunan Barat.<ref name="n347">Nas, p. 347</ref> Rumah-rumah baru ini menggunakan material seperti batu bata dan atap besi bergelombang, serta fasilitas sanitasi dan ventilasi yang lebih baik. Para pengrajin tradisional juga dilatih dalam metode konstruksi Barat. Bahkan setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia terus mempromosikan konsep "rumah sehat sederhana" sebagai alternatif yang lebih disukai daripada rumah adat.<ref name="dump">[http://203.77.194.71:83/isvs-4-1/paper-dump/full-papers/28.pdf Transformation of Building Form: Development of Traditional Dwelling of the Ngada, Central Flores Island – Toga H Pandjaitan] {{Webarchive}}</ref>

Dampak dari ekonomi pasar telah membuat pembangunan rumah adat yang bersifat padat karya, seperti rumah Batak, menjadi semakin mahal. Di masa lalu, masyarakat akan berkolaborasi untuk membangun rumah baru, tetapi dengan perubahan yang disebabkan oleh ekonomi pasar, praktik ini menjadi sangat mahal.<ref name="n347" /> Ketersediaan kayu keras, yang dulunya dapat diperoleh dengan mudah dari hutan-hutan di sekitar rumah, juga menjadi langka dan mahal. Akibatnya, mayoritas orang Indonesia sekarang tinggal di bangunan modern yang umum daripada rumah adat.

== Arsitektur Hindu-Budha ==

Arsitektur religius telah berkembang di seluruh Indonesia, tetapi perkembangannya yang paling menonjol terjadi di [[Jawa]]. Sejarah sinkretisme agama yang kaya di pulau ini memengaruhi gaya arsitekturnya, sehingga memunculkan interpretasi khas Jawa terhadap arsitektur [[Agama Hindu|Hindu]], [[Agama Buddha|Buddha]], [[Islam]], dan pada tingkat yang lebih rendah, arsitektur [[Kekristenan|Kristen]].

Selama masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia antara abad ke-8 dan ke-14, Jawa menjadi saksi pembangunan berbagai bangunan keagamaan yang rumit yang dikenal dengan sebutan "[[candi]]". Candi-candi kuno di Jawa menunjukkan kehebatan arsitektur dari era ini. [[Dataran Tinggi Dieng]] merupakan rumah bagi candi-candi Hindu paling awal yang masih ada di Jawa, meskipun hanya 8 dari 400 bangunan yang diduga asli yang masih ada saat ini. Candi-candi Dieng awal ini relatif sederhana dalam ukuran dan desain. Namun, kemajuan arsitektur terus berlanjut, dan dalam satu abad, [[Medang|Kerajaan Mataram]] membangun kompleks [[Candi Prambanan|Prambanan]] yang mengesankan di dekat [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]], yang dianggap sebagai contoh arsitektur Hindu terbesar dan termegah di Jawa.

[[Borobudur]] yang terkenal, sebuah monumen Buddha yang terdaftar sebagai [[situs Warisan Dunia]], dibangun oleh [[Wangsa Sailendra|Dinasti Sailendra]] antara 750 dan 850 Masehi. Terlepas dari kemegahannya, monumen ini ditinggalkan tak lama setelah selesai dibangun karena kemunduran agama Buddha dan pergeseran kekuasaan ke arah timur Jawa. Monumen ini memiliki banyak ukiran rumit yang menceritakan sebuah kisah ketika seseorang naik ke tingkat yang lebih tinggi, yang melambangkan perjalanan menuju [[Empat tingkat pencerahan|pencerahan]].

Setelah runtuhnya Kerajaan Mataram sebelum 929 Masehi, Jawa bagian timur menjadi titik fokus arsitektur religius, yang menampilkan gaya dinamis yang dipengaruhi oleh ajaran [[Saiwa]], Buddha, dan elemen budaya Jawa. Perpaduan pengaruh ini menjadi ciri khas bangunan keagamaan di seluruh Jawa. Para arkeolog biasanya membedakan antara gaya Jawa Tengah yang lebih monumental dan candi-candi Jawa Timur yang lebih kecil dan tersebar. Namun, [[Candi Badut]] di [[Kabupaten Malang|Malang]], merupakan contoh candi bergaya Jawa Tengah yang dibangun di luar kawasannya.

Selama era klasik Indonesia, [[batu bata]] telah digunakan sampai batas tertentu dalam konstruksi. Namun, para pembangun kerajaan Majapahit-lah yang benar-benar menguasai seni pembuatan batu bata, dengan menggunakan campuran adukan semen ([[lepa]]) yang terbuat dari getah pohon anggur dan [[gula aren]]. Candi-candi yang dibangun pada masa Majapahit memiliki kualitas geometris yang berbeda, ditandai dengan vertikalitas yang kuat yang dicapai melalui penggunaan garis-garis horizontal secara strategis. Candi-candi ini sering menunjukkan estetika yang ramping dan proporsional, mengingatkan kita pada gaya art-deco. Pengaruh arsitektur Majapahit masih dapat diamati hingga saat ini di banyak [[Pura|pura Hindu]] yang tersebar di seluruh [[Bali]]. Di setiap desa, beberapa pura penting dapat ditemukan, bersama dengan tempat suci dan bahkan pura kecil di dalam rumah keluarga. Meskipun pura-pura ini memiliki beberapa elemen yang sama dengan gaya Hindu yang ditemukan di seluruh dunia, namun mereka memiliki gaya Bali yang unik yang berutang banyak pada era Majapahit.

[[Arsitektur Bali]] menggabungkan banyak elemen yang berasal dari tradisi arsitektur Hindu-Buddha kuno, banyak di antaranya dapat ditelusuri kembali ke pengaruh era Majapahit. Fitur-fitur arsitektur ini termasuk paviliun ''bale'', menara Meru, [[paduraksa]], dan gerbang [[Candi bentar|candi Bentar]]. Gaya arsitektur Hindu-Buddha sebagian besar muncul antara abad ke-8 dan ke-15, dan warisannya terus membentuk arsitektur Bali saat ini.

Namun, perlu dicatat bahwa arsitektur Hindu-Buddha kuno di Jawa juga menjadi sumber inspirasi dan telah diimajinasikan kembali dalam desain arsitektur kontemporer. Contohnya dapat dilihat pada [[Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran|Gereja Ganjuran]] yang terletak di [[Kabupaten Bantul|Bantul]], Yogyakarta. Gereja ini menggabungkan kuil seperti candi, yang mengingatkan kita pada arsitektur bergaya Hindu, yang didedikasikan untuk [[Yesus]]. Perpaduan pengaruh ini menyoroti sifat dinamis dari tradisi arsitektur dan adaptasinya terhadap konteks budaya dan agama yang berbeda.

== Arsitektur Islam ==
Pada abad ke-15, Islam sudah jadi agama berkuasa di Jawa dan Sumatra, yaitu pulau-pulau yang paling banyak penduduknya. Seperti agama Hindu dan Buddha sebelumnya, pengaruh asing yang ikut agama baru ini menampung dan menafsirkan sedemikian rupa menghasilkan gaya-gaya arsitektur masjid yang berkhas Jawa.


== Arsitektur zaman sekarang ==
== Arsitektur zaman sekarang ==

Revisi per 11 Mei 2023 13.04

Masjid Agung Yogyakarta memperlihatkan arsitektur Jawa dan mengambil warisan Hindu yaitu atap Meru.

Arsitektur Indonesia dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya, sejarah dan geografi di Indonesia. Para penyerang, penjajah, dan pedagang membawa perubahan kebudayaan yang sangat mempengaruhi gaya dan teknik konstruksi bangunan.

Banyak rumah adat telah muncul di seluruh kepulauan Indonesia. Rumah-rumah tradisional dan komunitas dari beragam suku bangsa di Indonesia menunjukkan berbagai macam karakteristik, masing-masing dengan latar belakang sejarah yang unik. Rumah-rumah ini memiliki arti sosial yang penting dalam masyarakat dan menunjukkan cara-cara cerdik masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungan mereka dan mengatur ruang hidup mereka.[1]:5

Secara historis, pengaruh India memiliki dampak terbesar pada arsitektur Indonesia. Namun demikian, pengaruh Cina, Arab, dan Eropa juga memainkan peran penting dalam membentuk lanskap arsitektur negara ini. Arsitektur religius mencakup berbagai gaya, mulai dari desain asli hingga masjid, kuil, dan gereja. Istana-istana dibangun oleh para sultan dan penguasa lainnya. Kota-kota di Indonesia memiliki warisan arsitektur kolonial yang terkenal. Pada era pasca kemerdekaan, paradigma baru untuk arsitektur postmodern dan kontemporer telah muncul, menandai perkembangan Indonesia yang merdeka.

Arsitektur adat

Di Indonesia, setiap kelompok etnis biasanya diidentifikasikan dengan gaya rumah tradisionalnya yang unik, yang dikenal sebagai "rumah adat."[2] Rumah-rumah ini berfungsi sebagai pusat jejaring adat istiadat, hubungan sosial, hukum adat, pantangan, mitos, dan praktik keagamaan yang menyatukan penduduk desa. Rumah adat memiliki arti penting karena menjadi titik fokus utama bagi keluarga dan masyarakat luas, serta menjadi titik awal dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para penghuninya.[3] Penduduk desa membangun rumah mereka sendiri, atau dalam beberapa kasus, masyarakat berkolaborasi dan menyatukan sumber daya mereka untuk membangun sebuah bangunan di bawah bimbingan seorang ahli bangunan dan/atau tukang kayu yang terampil.[2]

Sebagian besar populasi di Indonesia memiliki akar dari warisan Austronesia yang sama, dan sebagai hasilnya, rumah-rumah tradisional di Indonesia menunjukkan kesamaan tertentu dengan rumah-rumah yang ditemukan di wilayah Austronesia lainnya. Struktur arsitektur Austronesia yang paling awal adalah rumah panjang komunal yang terbuat dari kayu, ditinggikan di atas panggung, dan dicirikan oleh atap miring yang curam dan atap pelana yang menonjol. Contohnya dapat dilihat pada rumah adat Batak dan Tongkonan Toraja. Variasi konsep rumah panjang komunal juga dapat ditemukan di antara masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Mentawai.[4]

Biasanya, rumah-rumah tradisional Indonesia mengikuti sistem struktur berdasarkan tiang, balok, dan ambang pintu, yang memindahkan beban langsung ke tanah. Dindingnya, biasanya terbuat dari kayu atau bambu, tidak menanggung beban struktural apa pun. Alih-alih menggunakan paku, metode konstruksi tradisional mengandalkan sambungan tanggam dan duri serta pasak kayu. Bahan-bahan yang biasa digunakan di rumah adat, termasuk kayu, bambu, ilalang, dan ijuk.[5] Sebagai contoh, rumah-rumah adat di Nias menggunakan konstruksi tiang, balok, dan ambang pintu dengan sambungan yang fleksibel dan tidak memerlukan paku. Demikian pula, dinding yang tidak menahan beban adalah karakteristik umum dari rumah adat di seluruh Indonesia.

Rumah adat di Indonesia telah berevolusi sebagai respons terhadap iklim muson yang panas dan lembab. Mengikuti praktik umum di Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sebagian besar rumah adat dibangun di atas panggung, kecuali di Jawa dan Bali.[2] Meninggikan rumah dari tanah memiliki beberapa tujuan: memungkinkan ventilasi alami untuk mendinginkan suhu tropis, melindungi dari limpasan air hujan dan lumpur, memungkinkan pembangunan di dekat sungai dan lahan basah, melindungi penghuni, barang, dan makanan dari basah dan kelembapan, mengangkat ruang hidup dari nyamuk pembawa penyakit malaria, dan mengurangi risiko pembusukan dan serangan rayap.[6]

Atap yang miring secara efektif menumpahkan hujan tropis yang deras, sementara atap yang menjorok ke dalam mencegah air masuk ke dalam rumah dan memberikan keteduhan dari panas.[7] Di daerah pesisir dataran rendah yang ditandai dengan kondisi panas dan lembab, rumah-rumah sering kali memiliki banyak jendela untuk memfasilitasi ventilasi silang. Sementara itu, di daerah pegunungan yang lebih sejuk, rumah-rumah biasanya memiliki atap yang luas dan lebih sedikit jendela untuk beradaptasi dengan iklim pegunungan.[3]

Contoh-contoh

Berbagai rumah adat di Indonesia memiliki arti penting dan menampilkan fitur-fitur yang unik:

  • Rumoh Aceh merupakan rumah adat termegah di Aceh.
  • Arsitektur Batak di Sumatra Utara menampilkan rumah jabu berbentuk perahu dari orang Batak Toba, yang ditandai dengan ukiran atap pelana yang rumit, atap yang besar, dan desain yang kuno.
  • Orang Minangkabau di Sumatra Barat membangun Rumah Gadang, yang terkenal dengan atap pelana yang banyak dengan ujung bubungan yang mencolok.
  • Rumah Nias termasuk omo sebua, rumah kepala suku yang dibangun di atas pilar kayu ulin yang kokoh dengan atap yang menjulang tinggi, memberikan pertahanan terhadap perang suku dan ketahanan terhadap gempa yang telah terbukti melalui konstruksi tanpa paku yang fleksibel.
  • Rumah Melayu, yang ditemukan di Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya, dibangun di atas panggung.
  • Wilayah Riau memiliki desa-desa yang dibangun di atas rumah panggung di atas saluran air.
  • Rumah tradisional Jawa, tidak seperti kebanyakan rumah adat Asia Tenggara, tidak ditinggikan di atas tiang dan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat dari elemen arsitektur Eropa.
  • Bubungan Tinggi, dengan atapnya yang miring dan curam, mewakili rumah-rumah besar milik bangsawan Banjar di Kalimantan Selatan.
  • Rumah adat Bali terdiri dari bangunan terbuka di dalam kompleks taman yang berdinding, termasuk area terpisah untuk dapur, tempat tidur, kamar mandi, dan tempat pemujaan.
  • Orang Sasak di Lombok membangun lumbung, lumbung padi beratap tajuk yang dibangun di atas tiang-tiang, yang sering kali lebih rumit daripada rumah mereka.
  • Orang Dayak secara tradisional tinggal di rumah panjang komunal yang dibangun di atas tiang pancang, terkadang panjangnya melebihi 300 meter dan membentuk satu desa.
  • Orang Toraja di dataran tinggi Sulawesi terkenal dengan rumah tongkonan mereka, ditinggikan di atas tiang dan dibedakan dengan atap pelana besar dengan luas yang dilebihkan.
  • Rumah adat di Sumba memiliki atap jerami yang berbeda yang menyerupai topi tinggi dan dihiasi dengan beranda yang terlindung.
  • Suku Dani Papua tinggal di kompleks keluarga kecil yang terdiri dari beberapa gubuk melingkar yang dikenal sebagai honai, dengan atap kubah jerami.

Jumlahnya yang menurun

Prevalensi rumah adat telah menurun di seluruh Indonesia. Kecenderungan ini dapat ditelusuri kembali ke era kolonial ketika pemerintah Belanda memiliki pandangan negatif terhadap arsitektur tradisional. Mereka menganggapnya tidak higienis dan mengaitkannya dengan praktik-praktik keagamaan tradisional yang mereka anggap meragukan.[8] Akibatnya, pemerintah kolonial memulai program pembongkaran, menggantikan rumah-rumah tradisional dengan bangunan yang dibangun menggunakan teknik bangunan Barat.[9] Rumah-rumah baru ini menggunakan material seperti batu bata dan atap besi bergelombang, serta fasilitas sanitasi dan ventilasi yang lebih baik. Para pengrajin tradisional juga dilatih dalam metode konstruksi Barat. Bahkan setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia terus mempromosikan konsep "rumah sehat sederhana" sebagai alternatif yang lebih disukai daripada rumah adat.[10]

Dampak dari ekonomi pasar telah membuat pembangunan rumah adat yang bersifat padat karya, seperti rumah Batak, menjadi semakin mahal. Di masa lalu, masyarakat akan berkolaborasi untuk membangun rumah baru, tetapi dengan perubahan yang disebabkan oleh ekonomi pasar, praktik ini menjadi sangat mahal.[9] Ketersediaan kayu keras, yang dulunya dapat diperoleh dengan mudah dari hutan-hutan di sekitar rumah, juga menjadi langka dan mahal. Akibatnya, mayoritas orang Indonesia sekarang tinggal di bangunan modern yang umum daripada rumah adat.

Arsitektur Hindu-Budha

Arsitektur religius telah berkembang di seluruh Indonesia, tetapi perkembangannya yang paling menonjol terjadi di Jawa. Sejarah sinkretisme agama yang kaya di pulau ini memengaruhi gaya arsitekturnya, sehingga memunculkan interpretasi khas Jawa terhadap arsitektur Hindu, Buddha, Islam, dan pada tingkat yang lebih rendah, arsitektur Kristen.

Selama masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia antara abad ke-8 dan ke-14, Jawa menjadi saksi pembangunan berbagai bangunan keagamaan yang rumit yang dikenal dengan sebutan "candi". Candi-candi kuno di Jawa menunjukkan kehebatan arsitektur dari era ini. Dataran Tinggi Dieng merupakan rumah bagi candi-candi Hindu paling awal yang masih ada di Jawa, meskipun hanya 8 dari 400 bangunan yang diduga asli yang masih ada saat ini. Candi-candi Dieng awal ini relatif sederhana dalam ukuran dan desain. Namun, kemajuan arsitektur terus berlanjut, dan dalam satu abad, Kerajaan Mataram membangun kompleks Prambanan yang mengesankan di dekat Yogyakarta, yang dianggap sebagai contoh arsitektur Hindu terbesar dan termegah di Jawa.

Borobudur yang terkenal, sebuah monumen Buddha yang terdaftar sebagai situs Warisan Dunia, dibangun oleh Dinasti Sailendra antara 750 dan 850 Masehi. Terlepas dari kemegahannya, monumen ini ditinggalkan tak lama setelah selesai dibangun karena kemunduran agama Buddha dan pergeseran kekuasaan ke arah timur Jawa. Monumen ini memiliki banyak ukiran rumit yang menceritakan sebuah kisah ketika seseorang naik ke tingkat yang lebih tinggi, yang melambangkan perjalanan menuju pencerahan.

Setelah runtuhnya Kerajaan Mataram sebelum 929 Masehi, Jawa bagian timur menjadi titik fokus arsitektur religius, yang menampilkan gaya dinamis yang dipengaruhi oleh ajaran Saiwa, Buddha, dan elemen budaya Jawa. Perpaduan pengaruh ini menjadi ciri khas bangunan keagamaan di seluruh Jawa. Para arkeolog biasanya membedakan antara gaya Jawa Tengah yang lebih monumental dan candi-candi Jawa Timur yang lebih kecil dan tersebar. Namun, Candi Badut di Malang, merupakan contoh candi bergaya Jawa Tengah yang dibangun di luar kawasannya.

Selama era klasik Indonesia, batu bata telah digunakan sampai batas tertentu dalam konstruksi. Namun, para pembangun kerajaan Majapahit-lah yang benar-benar menguasai seni pembuatan batu bata, dengan menggunakan campuran adukan semen (lepa) yang terbuat dari getah pohon anggur dan gula aren. Candi-candi yang dibangun pada masa Majapahit memiliki kualitas geometris yang berbeda, ditandai dengan vertikalitas yang kuat yang dicapai melalui penggunaan garis-garis horizontal secara strategis. Candi-candi ini sering menunjukkan estetika yang ramping dan proporsional, mengingatkan kita pada gaya art-deco. Pengaruh arsitektur Majapahit masih dapat diamati hingga saat ini di banyak pura Hindu yang tersebar di seluruh Bali. Di setiap desa, beberapa pura penting dapat ditemukan, bersama dengan tempat suci dan bahkan pura kecil di dalam rumah keluarga. Meskipun pura-pura ini memiliki beberapa elemen yang sama dengan gaya Hindu yang ditemukan di seluruh dunia, namun mereka memiliki gaya Bali yang unik yang berutang banyak pada era Majapahit.

Arsitektur Bali menggabungkan banyak elemen yang berasal dari tradisi arsitektur Hindu-Buddha kuno, banyak di antaranya dapat ditelusuri kembali ke pengaruh era Majapahit. Fitur-fitur arsitektur ini termasuk paviliun bale, menara Meru, paduraksa, dan gerbang candi Bentar. Gaya arsitektur Hindu-Buddha sebagian besar muncul antara abad ke-8 dan ke-15, dan warisannya terus membentuk arsitektur Bali saat ini.

Namun, perlu dicatat bahwa arsitektur Hindu-Buddha kuno di Jawa juga menjadi sumber inspirasi dan telah diimajinasikan kembali dalam desain arsitektur kontemporer. Contohnya dapat dilihat pada Gereja Ganjuran yang terletak di Bantul, Yogyakarta. Gereja ini menggabungkan kuil seperti candi, yang mengingatkan kita pada arsitektur bergaya Hindu, yang didedikasikan untuk Yesus. Perpaduan pengaruh ini menyoroti sifat dinamis dari tradisi arsitektur dan adaptasinya terhadap konteks budaya dan agama yang berbeda.

Arsitektur Islam

Pada abad ke-15, Islam sudah jadi agama berkuasa di Jawa dan Sumatra, yaitu pulau-pulau yang paling banyak penduduknya. Seperti agama Hindu dan Buddha sebelumnya, pengaruh asing yang ikut agama baru ini menampung dan menafsirkan sedemikian rupa menghasilkan gaya-gaya arsitektur masjid yang berkhas Jawa.

Arsitektur zaman sekarang

Arsitektur pada zaman sekarang banyak dipengaruhi oleh arsitektur global. Saat ini, banyak arsitektur Indonesia mulai mengadaptasi gaya kontemporer yang minimalis. Namun, banyak arsitek mulai mendorong gerakan hijau dan keberlanjutan untuk menjaga lingkungan dan juga budaya Indonesia. Maka dari itu, arsitektur Indonesia didominasi oleh gaya Barat dan gaya lokal.

Lihat pula

Sumber

  • Schoppert, P., Damais, S., Java Style, 1997, Didier Millet, Paris, 207 pages, ISBN 962-593-232-1
  1. ^ Reimar Schefold; P. Nas; Gaudenz Domenig, ed. (2004). Indonesian Houses: Tradition and Transformation in Vernacular Architecture. NUS Press. ISBN 9789971692926. 
  2. ^ a b c Dawson (1994), p. 10
  3. ^ a b Dawson (1994), p. 8
  4. ^ The Oxford Companion to Architecture, Volume 1, p. 462.
  5. ^ Dawson (1994), p. 12
  6. ^ Dawson (1994), pp. 10–11
  7. ^ Dawson (1994), p. 11
  8. ^ Nas, p. 348
  9. ^ a b Nas, p. 347
  10. ^ Transformation of Building Form: Development of Traditional Dwelling of the Ngada, Central Flores Island – Toga H Pandjaitan Error in webarchive template: Check |url= value. Empty.