Lompat ke isi

Cella Ulu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membuat halaman berisi ' {{Infobox person | name = Kiai Abdul Kahar (Cella Ulu) | image = Kiai Abdul Kahar (Cella Ulu).jpg | image_size = <!-- Masukan ukuran gambar. 250px yang terbesar. 75px terlalu kecil --> | alt = <!-- Teks deskriptif untuk digunakan oleh perangkat lunak sintesis ucapan (text-to-speech) --> | caption = | birth_name = <!-- Hanya digunakan jika berbeda dari nama --> | birth_date = {{Birth date|1892|12|31}} | birth_place = [...'
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis tanpa kategori [ * ] VisualEditor-alih
 
Ainuddin (bicara | kontrib)
perbaikan salah ketik dan penambahan pranala dalam
Baris 23: Baris 23:
'''Cella Ulu (Kiai Abdul Kahar)'''
'''Cella Ulu (Kiai Abdul Kahar)'''


'''Cella Ulu''' adalah sebutan dari Tokoh Ulama Kiai Abdul Kahar. Sebutan atau gelar Cella Ulu lebih familier dikalangan keluarga besar Kiai Abd. Kahar dan bahkan diluar lingkungan keluarga sebutan atau panggilan Cella Ulu sangat familier. Sebutan atau gelar Cella Ulu bukan tanpa alasan, sebab kesehariannya lebih sering menggunakan kopiah berwarna merah atau dalam bahasa bugisnya “Songko Cella”
'''Cella Ulu''' adalah sebutan dari tokoh ulama, Kiai Abdul Kahar, yang lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan, 31 Desember 1892. Sebutan atau gelar Cella Ulu lebih familiar di kalangan keluarga besar Kiai Abdul Kahar dan bahkan di luar lingkungan keluarga. Sebutan atau gelar Cella Ulu bukan tanpa alasan, sebab kesehariannya lebih sering menggunakan kopiah berwarna merah atau dalam bahasa bugisnya ''“Songko' Cella”''


Kiai Abdul Kahar sering dipanggil juga dengan sebutan ''[[Anregurutta]]'', gelar kultural yang menjadi tradisi kebudayaan Sulawesi Selatan kepada figur yang dianggap berilmu dan berpengaruh di tengah masyarakat.
Kiai Abd. Kahar lahir di Sinjai padatahun 1892 dari pasangan suami isteri H. Syuaib dan Cece. Kiai Abd. Kahar tidak sendirian tapi mempunyai saudara sebanyak 5 orang, yakni Kiai H. Daud, Kiai Abd. Razak, Becce, H. Hasan dan Alwatiah.


Semasa hidupnya Kiai Abd. Kahar menikah sebanyak 3 (tiga) kali dengan perempuan yang berbeda, meskipun demikian beliau tidak pernah berpoligami (mappammarue dalam istilah bahasa bugis) sebab beliau menikah kedua kalinya setelah isteri pertama meninggal dan menikah ketiga kalinya setelah isteri kedua meninggal. Ketiga perempuan yang pernah dinikahi dan menjadi isteri beliau adalah sebagai berikut :
Kiai Abdul Kahar lahir dari pasangan suami isteri H. Syuaib dan Cece. Kiai Abdul Kahar tidak sendirian tapi mempunyai saudara sebanyak 5 orang, yakni Kiai H. Daud, Kiai Abdul Razak, Becce, H. Hasan dan Alwatiah.
Semasa hidupnya Kiai Abdul Kahar menikah sebanyak 3 (tiga) kali dengan perempuan yang berbeda. Meskipun demikian beliau tidak pernah berpoligami (''mappammarue'' dalam istilah bahasa bugis) sebab beliau menikah kedua kalinya setelah isteri pertama meninggal dan menikah ketiga kalinya setelah isteri kedua meninggal. Ketiga perempuan yang pernah dinikahi dan menjadi isteri beliau adalah sebagai berikut :
I. Nafisah (isteri pertama) mempunyai 1 (satu) orang anak yakni :
I. Nafisah (isteri pertama) mempunyai 1 (satu) orang anak yakni :
1. Muh. Jamil Kahar biasa dipanggil P. Milu atau Abbana Safiah.
1. Muh. Jamil Kahar biasa dipanggil Puang Milu atau Abbana Safiah.
II. Bunyan (isteri kedua) mempunyai 6 (enam) orang anak yakni :
II. Bunyan (isteri kedua) mempunyai 6 (enam) orang anak yakni :
1. Muh. Zubair Kahar (biasa dipanggil Puang Bere atau Abbana Eni)
1. Muh. Zubair Kahar (biasa dipanggil Puang Bere atau Abbana Eni)
2. Muh. Juhaefa (biasa dipanggil Puang Efa atau Abbana Hiddin)
2. Muh. Juhaefa (biasa dipanggil Puang Efa atau Abbana Hiddin)
3. Hamdana Kahar (biasa dipanggil Puang Enda atau Endana Waris)
3. Hamdana Kahar (biasa dipanggil Puang Enda atau Endana Waris)
4. Radiyah Kahar (biasa dipanggil Puang Radi atau Adi’naRuga)
4. Radiyah Kahar (biasa dipanggil Puang Radi atau Adi’na Ruga)
5. Maryam Kahar (biasa dipanggil Puang Maria atau Emma’naLati)
5. Maryam Kahar (biasa dipanggil Puang Maria atau Emma’na Lati)
6. Sitti Sulaeha (biasa dipanggil Puang Itti atau umminna Haris)
6. Sitti Sulaeha (biasa dipanggil Puang Itti atau umminna Haris)
III.St. Aisyah (isteri ketiga) mempunyai 4 (empat) orang anak yakni :
III.St. Aisyah (isteri ketiga) mempunyai 4 (empat) orang anak yakni :
Baris 41: Baris 43:
2. Lukmanul Hakim Kahar (biasa dipanggil Puang Luke atau Abbana Mudir)
2. Lukmanul Hakim Kahar (biasa dipanggil Puang Luke atau Abbana Mudir)
3. Abdullah Said (biasa dipanggil Puang Esseng atau Abbana Saida)
3. Abdullah Said (biasa dipanggil Puang Esseng atau Abbana Saida)
4. Muh. AsadKahar (biasa dipanggil Puang Sade atau Abbana Tanwir)
4. Muh. Asad Kahar (biasa dipanggil Puang Sade atau Abbana Tanwir)


Dari ketiga perempuan yang pernah dinikahinya dan menjadi isteri lahir sebanyak 11 (sebelas) orang anak, 7 (tujuh) laki-laki dan 4 (empat) perempuan.
Dari ketiga perempuan yang pernah dinikahinya dan menjadi isteri lahir sebanyak 11 (sebelas) orang anak, 7 (tujuh) laki-laki dan 4 (empat) perempuan.
Kiai Abd. Kahar semasa hidupnya mempunyai hobbi, aktivitas sehar-hari, sukaduka, ciri khas serta cerita tentang gelar atau panggilan CellaUlu sebagai berikut :
Kiai Abdul Kahar semasa hidupnya mempunyai hobbi, aktivitas sehar-hari, sukaduka, ciri khas serta cerita tentang gelar atau panggilan CellaUlu sebagai berikut :


''' Hobbi '''
''' Hobbi '''


Berdasarkan beberapa informasi yang dihimpun dan dapat dipercaya, Kiai Abd. Kahar mempunyai hobbi atau kesenangan dalam menuntut ilmu agama. Karena hobbinya itulah beliau sempat menuntut ilmu agama diberbagai tempat dan beberapa guru atau Kiai antara lain :
Berdasarkan beberapa informasi yang dihimpun dan dapat dipercaya, Kiai Abdul Kahar mempunyai hobi atau kesenangan dalam menuntut ilmu agama. Karena hobbinya itulah beliau sempat menuntut ilmu agama diberbagai tempat dan beberapa guru atau Kiai antara lain :


1. Pernah ke Sengkang Kab. Wajo dengan mengendarai sepeda hingga harus bermalam di perjalanan karena pada saat itu di Sengkang Kab. Wajo banyak ulama atau Kiai.
1. Pernah ke Sengkang Kab. Wajo dengan mengendarai sepeda hingga harus bermalam di perjalanan karena pada saat itu di Sengkang Kab. Wajo banyak ulama atau Kiai.
Baris 57: Baris 59:
'''Aktivitas Sehari-Hari'''
'''Aktivitas Sehari-Hari'''


Semasa hidupnya Kiai Abd. Kahar mempunyai aktivita ssehar-hari sebagai berikut :
Semasa hidupnya Kiai Abdul Kahar mempunyai aktivita sehar-hari sebagai berikut :
1. Pernah menjadi Kadiatau Imam Lamatti dan beliau sangat toleran pada Arung atau Raja pada saat itu yang cukup kental dengan adat istiadat budaya dan tradisi. Beliau juga sangat supel dan mudah beradaptasi dengan semua lapisan masyarakat
1. Pernah menjadi ''Kadiatau'' Imam Lamatti dan beliau sangat toleran pada ''Arung'' atau Raja pada saat itu yang cukup kental dengan adat istiadat budaya dan tradisi. Beliau juga sangat supel dan mudah beradaptasi dengan semua lapisan masyarakat
2. Pernah menjadi Imam Rawatib di Masjid Lailatul Qadri yang terletak di Jalan Pongtiku Makassar, bahkan menurut informasi beliau termasuk perintis pembangunan Masjid tersebut.
2. Pernah menjadi Imam Rawatib di Masjid Lailatul Qadri yang terletak di Jalan Pongtiku Makassar, bahkan menurut informasi beliau termasuk perintis pembangunan Masjid tersebut.
3. Selain Imam masjid beliau juga aktif dalam kegiatan keagamaan,sosial dan kemasyarakatan anatara lain : menjadi Imam pada sholat mayit, membaca bersanji di acara aqiqah dan pernikahan.
3. Selain Imam masjid beliau juga aktif dalam kegiatan keagamaan,sosial dan kemasyarakatan anatara lain : menjadi Imam pada sholat mayit, membaca bersanji di acara aqiqah dan pernikahan.
Baris 65: Baris 67:
'''Suka Duka'''
'''Suka Duka'''


Pada awalnya Kiai Abd. Kahar menetap atau bertempat tinggal di Panreng, sekarang Kelurahan Lamatti Rilau kemudian berpindah atau hijrah ke kampung Lita yang sekarang menjadi bagian dari Kelurahan Bongki. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada saat tinggal atau menetap di Lita beliau serumah dengan anaknya yang bernama Maryam Kahar yang biasa dipanggil Puang Maria atau Emma’naLati.
Pada awalnya Kiai Abdul Kahar menetap atau bertempat tinggal di Panreng, sekarang Kelurahan Lamatti Rilau kemudian berpindah atau hijrah ke kampung Lita yang sekarang menjadi bagian dari Kelurahan Bongki. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada saat tinggal atau menetap di Lita beliau serumah dengan anaknya yang bernama Maryam Kahar yang biasa dipanggil Puang Maria atau Emma’na Lati.
Sekitar tahun 1955, Kiai Abd. Kahar meninggalkan Sinjai dan hijrah ke Makassar dengan mengendarai perahu layar Pinisi dan di Makassar menetap atau tinggal di Jalan Cumi-Cumi bersama isteri ketiga St. Aisyah atau biasa dipanggil Puang Isya serta beberapa orang anak, cucu dan keluarga lainnya.
Sekitar tahun 1955, Kiai Abdul Kahar meninggalkan Sinjai dan hijrah ke Makassar dengan mengendarai perahu layar Pinisi dan di Makassar menetap atau tinggal di Jalan Cumi-Cumi bersama isteri ketiga St. Aisyah atau biasa dipanggil Puang Isya serta beberapa orang anak, cucu, dan keluarga lainnya.


'''Ciri Khas'''
'''Ciri Khas'''


Kiai Abd. Kahar semasa hidupnya mempunyai cirri khas sebagai berikut :
Kiai Abdul Kahar semasa hidupnya mempunyai ciri khas sebagai berikut :
1. Kendaraan yang digunakan jika bepergian adalah sepeda yang pada saat itu sepeda masih merupakan kendaraan elit dan langkah, hanya orang-orang tertentu yang mempunyai kendaraan sepeda. Beliau sangat mahir mengendarai sepeda dan saking mahirnya beliau kadang tidak memegang kemudi saat mengendarai sepeda (lepastangan). Abd. Latif salah seorang cucunya pernah bercerita, bahwa pernah suatu hari dibonceng oleh beliau CellaUlu (Kiai Abd. Kahar) lewat Buhung Pitue (Sumur 7) dengan kondisi jalan penurunan tajam dan bebatuan karena pada saat itu jalanan belum beraspal. Beliau CellaUlu (Kiai Abd. Kahar) mengendarai sepeda tanpa memegang kemudi (lepas tangan) dan cucu yang dibonceng pada saat itu Abd Latif berteriak-teriak tapi beliau tak menghiraukan.
1. Kendaraan yang digunakan jika bepergian adalah sepeda yang pada saat itu sepeda masih merupakan kendaraan elit dan langkah, hanya orang-orang tertentu yang mempunyai kendaraan sepeda.
Beliau sangat mahir mengendarai sepeda dan saking mahirnya beliau kadang tidak memegang kemudi saat mengendarai sepeda (lepas tangan). Abd. Latif salah seorang cucunya pernah bercerita, bahwa pernah suatu hari dibonceng oleh beliau CellaUlu (Kiai Abdul Kahar) lewat Buhung Pitue (Sumur 7) dengan kondisi jalan penurunan tajam dan bebatuan karena pada saat itu jalanan belum beraspal. Beliau Cella Ulu (Kiai Abdul Kahar) mengendarai sepeda tanpa memegang kemudi (lepas tangan) dan cucu yang dibonceng pada saat itu Abd Latif berteriak-teriak tapi beliau tak menghiraukan.

2. Setiap selesai sholat ia bersiwak sambil berdoadan berdzikir.
2. Setiap selesai sholat ia bersiwak sambil berdoadan berdzikir.
3. Tidak suka dengan makanan yang masih panas, jadi beliau menunggu hidangannya hingga dingin.
3. Tidak suka dengan makanan yang masih panas, jadi beliau menunggu hidangannya hingga dingin.
4. Beliau pantang kalau ada yang mendahuluinya makan.
4. Beliau pantang kalau ada yang mendahuluinya makan.
Baris 81: Baris 86:
'''Sekilas Tentang Songkok Merah'''
'''Sekilas Tentang Songkok Merah'''


Ada beberapa informasi mengenai songkok Merah tersebut, tetapi saya hanya memilih salah satunya saja. Nenek Cella Ulu suka memakai songkok ala Turki karena beliau sangat mengidolakan Sultan Hamid ke-2 yang pada saat itu memrintah atau sebagai Raja Negara Turki.Beliau mengidolakan Sultan Hamid ke-2 karena konsisten, tegas dan berani sebagai pemimpin negara Islam. Pda saat perang dunia ke-2, Turki berperang dengan jepang pada saat yang sama Jepang menjajah Indonesia. Beliau pernah 2 kali di tangkap oleh pihak Jepang sebab di sangka orang Turki karena orangnya tinggi besar, namun Songkok Merah tetap saja dia pakai kemana-mana.
Ada beberapa informasi mengenai songkok Merah tersebut, tetapi peneliti hanya memilih salah satunya saja. Cella Ulu suka memakai songkok ala Turki karena beliau sangat mengidolakan Sultan Hamid ke-2 yang pada saat itu memerintah atau sebagai Raja Negara Turki.
Beliau mengidolakan Sultan Hamid ke-2 karena konsisten, tegas, dan berani sebagai pemimpin negara Islam. Pada saat perang dunia ke-2, Turki berperang dengan Jepang pada saat yang sama Jepang menjajah Indonesia. Beliau pernah 2 kali di tangkap oleh pihak Jepang sebab disangka orang Turki karena orangnya tinggi besar, namun Songkok Merah tetap saja dia pakai kemana-mana.

Begitulah riwayat singkat tentang Songkok Merah, sehingga Kiai Abd. Kahar diberi julukan atau gelar Cella Ulu dikalangan keluarga termasuk masyarakat di sekitarnya.
Begitulah riwayat singkat tentang Songkok Merah, sehingga Kiai Abdul Kahar diberi julukan atau gelar Cella Ulu di kalangan keluarga termasuk masyarakat di sekitarnya.
Padatahun 1968 KiaiAbd.Kahar (Cella Ulu) pindah ke Jalan Arif Rahman Hakim III No. 8 Ujung Pandang Plan atau WalaWalayya. Ditempat inilah Kiai Abd.Kahar (Cella Ulu) menghembuskan nafas terakhir (meninggal dunia) setelah menderita penyakit Angin Hantu yang istilah kedokteran modern dikenal sebagai penyakit Strok. Kiai Abd.Kahar (Cella Ulu) meninggal dunia pada hari Jumat tanggal 18 Maret 1972 pukul09.00 pagi. Pada saat menjelang menghembuskan nafas terakhir beliau didampingi isteri ketiga St. Aisyah atau Puang Isya bersama 10 (sepuluh) orang anaknya kecuali K. H. Abdullah Said yang pada saat itu berada di Balikpapan merintis pendirian Pesantren Hidayatullah.
Padatahun 1968 Kiai Abdul Kahar pindah ke Jalan Arif Rahman Hakim III No. 8 Ujung Pandang Plan atau Wala Walayya.
Jenazah Kiai Abd. Kahar (Cella Ulu) dimakamkan di pekuburan Arab Bontoala dan ditempat itu pula terdapat Makam Arung atau Raja Lamatti ke-37 yang bernama A. Pakki dg Masiga saudara dari mertua Kiai Abd. Kahar (Cella Ulu). Prosesi pemakaman dihadiri oleh K.H.Marsuki Hasan sekaligus memimpin doa setelah jenazah dimakamkan.

Ditempat inilah Kiai AbdulKahar (Cella Ulu) menghembuskan nafas terakhir (meninggal dunia) setelah menderita penyakit ''Angin Hantu'' yang istilah kedokteran modern dikenal sebagai penyakit stroke. Kiai Abdul Kahar (Cella Ulu) meninggal dunia pada hari Jumat tanggal 18 Maret 1972 pukul 09.00 pagi.

Pada saat menjelang menghembuskan nafas terakhir beliau didampingi isteri ketiga St. Aisyah atau Puang Isya bersama 10 (sepuluh) orang anaknya kecuali K.H. Abdullah Said yang pada saat itu berada di Balikpapan merintis pendirian Pesantren Hidayatullah.

Jenazah Kiai Abdul Kahar dimakamkan di pekuburan Arab Bontoala dan di tempat itu pula terdapat Makam Arung atau Raja Lamatti ke-37 yang bernama A. Pakki dg Masiga saudara dari mertua Kiai Abdul Kahar (Cella Ulu). Prosesi pemakaman dihadiri oleh K.H. Marsuki Hasan sekaligus memimpin doa setelah jenazah dimakamkan.


'''Penulis : Muh.Ahsan Nur'''
'''Penulis/ Peneliti : Muh.Ahsan Nur'''


'''Admin: Muhammad Abduh Burhanuddin'''
'''Admin: Muhammad Abduh Burhanuddin'''

Revisi per 3 Agustus 2023 03.43

Kiai Abdul Kahar (Cella Ulu)
Lahir(1892-12-31)31 Desember 1892
Sinjai, Sulawesi Selatan, Indonesia
Meninggal18 Maret 1972(1972-03-18) (umur 79)
Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Nama lainCella Ulu
PekerjaanUlama

Cella Ulu (Kiai Abdul Kahar)

Cella Ulu adalah sebutan dari tokoh ulama, Kiai Abdul Kahar, yang lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan, 31 Desember 1892. Sebutan atau gelar Cella Ulu lebih familiar di kalangan keluarga besar Kiai Abdul Kahar dan bahkan di luar lingkungan keluarga. Sebutan atau gelar Cella Ulu bukan tanpa alasan, sebab kesehariannya lebih sering menggunakan kopiah berwarna merah atau dalam bahasa bugisnya “Songko' Cella”

Kiai Abdul Kahar sering dipanggil juga dengan sebutan Anregurutta, gelar kultural yang menjadi tradisi kebudayaan Sulawesi Selatan kepada figur yang dianggap berilmu dan berpengaruh di tengah masyarakat.

Kiai Abdul Kahar lahir dari pasangan suami isteri H. Syuaib dan Cece. Kiai Abdul Kahar tidak sendirian tapi mempunyai saudara sebanyak 5 orang, yakni Kiai H. Daud, Kiai Abdul Razak, Becce, H. Hasan dan Alwatiah.

Semasa hidupnya Kiai Abdul Kahar menikah sebanyak 3 (tiga) kali dengan perempuan yang berbeda. Meskipun demikian beliau tidak pernah berpoligami (mappammarue dalam istilah bahasa bugis) sebab beliau menikah kedua kalinya setelah isteri pertama meninggal dan menikah ketiga kalinya setelah isteri kedua meninggal. Ketiga perempuan yang pernah dinikahi dan menjadi isteri beliau adalah sebagai berikut : I. Nafisah (isteri pertama) mempunyai 1 (satu) orang anak yakni :

   1.	Muh. Jamil Kahar biasa dipanggil Puang Milu atau Abbana Safiah.

II. Bunyan (isteri kedua) mempunyai 6 (enam) orang anak yakni :

   1.	Muh. Zubair Kahar (biasa dipanggil Puang Bere atau Abbana Eni)
   2.	Muh. Juhaefa (biasa dipanggil Puang Efa atau Abbana Hiddin)
   3.	Hamdana Kahar (biasa dipanggil Puang Enda atau Endana Waris)
   4.	Radiyah Kahar (biasa dipanggil Puang Radi atau Adi’na Ruga)
   5.	Maryam Kahar (biasa dipanggil Puang Maria atau Emma’na Lati)
   6.	Sitti Sulaeha (biasa dipanggil Puang Itti atau umminna Haris)

III.St. Aisyah (isteri ketiga) mempunyai 4 (empat) orang anak yakni :

   1.	Muh. Junaid Kahar (biasa dipanggil Puang Juna atau Abbana Syamsu)
   2.	Lukmanul Hakim Kahar (biasa dipanggil Puang Luke atau Abbana Mudir)
   3.	Abdullah Said (biasa dipanggil Puang Esseng atau Abbana Saida)
   4.	Muh. Asad Kahar (biasa dipanggil Puang Sade atau Abbana Tanwir)

Dari ketiga perempuan yang pernah dinikahinya dan menjadi isteri lahir sebanyak 11 (sebelas) orang anak, 7 (tujuh) laki-laki dan 4 (empat) perempuan. Kiai Abdul Kahar semasa hidupnya mempunyai hobbi, aktivitas sehar-hari, sukaduka, ciri khas serta cerita tentang gelar atau panggilan CellaUlu sebagai berikut :

Hobbi

Berdasarkan beberapa informasi yang dihimpun dan dapat dipercaya, Kiai Abdul Kahar mempunyai hobi atau kesenangan dalam menuntut ilmu agama. Karena hobbinya itulah beliau sempat menuntut ilmu agama diberbagai tempat dan beberapa guru atau Kiai antara lain :

1. Pernah ke Sengkang Kab. Wajo dengan mengendarai sepeda hingga harus bermalam di perjalanan karena pada saat itu di Sengkang Kab. Wajo banyak ulama atau Kiai. 2. Pernah belajar pada ulama besar yang bernama H. Belalo Tomalabba di Gusung Paotere tepatnya Jl Barukang Makassar. 3. Pernah belajar pada salah seorang ulama di Sinjai, yakni K. H. A. Muh. Tahir yang biasa dipanggil Puang Kali Taherong di Masjid Raya Balangnipa yang saat ini bernama Masjid Nur Balangnipa. 4. Dan banyak lagi tempat-tempat pengajian beliau termasuk di Masjid Raya Makassar.

Aktivitas Sehari-Hari

Semasa hidupnya Kiai Abdul Kahar mempunyai aktivita sehar-hari sebagai berikut : 1. Pernah menjadi Kadiatau Imam Lamatti dan beliau sangat toleran pada Arung atau Raja pada saat itu yang cukup kental dengan adat istiadat budaya dan tradisi. Beliau juga sangat supel dan mudah beradaptasi dengan semua lapisan masyarakat 2. Pernah menjadi Imam Rawatib di Masjid Lailatul Qadri yang terletak di Jalan Pongtiku Makassar, bahkan menurut informasi beliau termasuk perintis pembangunan Masjid tersebut. 3. Selain Imam masjid beliau juga aktif dalam kegiatan keagamaan,sosial dan kemasyarakatan anatara lain : menjadi Imam pada sholat mayit, membaca bersanji di acara aqiqah dan pernikahan. 4. Beliau termasuk salah seorang ulama di Wilayah Kecamatan Bontoala Makassar pada saat itu.

Suka Duka

Pada awalnya Kiai Abdul Kahar menetap atau bertempat tinggal di Panreng, sekarang Kelurahan Lamatti Rilau kemudian berpindah atau hijrah ke kampung Lita yang sekarang menjadi bagian dari Kelurahan Bongki. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada saat tinggal atau menetap di Lita beliau serumah dengan anaknya yang bernama Maryam Kahar yang biasa dipanggil Puang Maria atau Emma’na Lati. Sekitar tahun 1955, Kiai Abdul Kahar meninggalkan Sinjai dan hijrah ke Makassar dengan mengendarai perahu layar Pinisi dan di Makassar menetap atau tinggal di Jalan Cumi-Cumi bersama isteri ketiga St. Aisyah atau biasa dipanggil Puang Isya serta beberapa orang anak, cucu, dan keluarga lainnya.

Ciri Khas

Kiai Abdul Kahar semasa hidupnya mempunyai ciri khas sebagai berikut : 1. Kendaraan yang digunakan jika bepergian adalah sepeda yang pada saat itu sepeda masih merupakan kendaraan elit dan langkah, hanya orang-orang tertentu yang mempunyai kendaraan sepeda.

Beliau sangat mahir mengendarai sepeda dan saking mahirnya beliau kadang tidak memegang kemudi saat mengendarai sepeda (lepas tangan). Abd. Latif salah seorang cucunya pernah bercerita, bahwa pernah suatu hari dibonceng oleh beliau CellaUlu (Kiai Abdul Kahar) lewat Buhung Pitue (Sumur 7) dengan kondisi jalan penurunan tajam dan bebatuan karena pada saat itu jalanan belum beraspal. Beliau Cella Ulu (Kiai Abdul Kahar) mengendarai sepeda tanpa memegang kemudi (lepas tangan) dan cucu yang dibonceng pada saat itu Abd Latif berteriak-teriak tapi beliau tak menghiraukan.

2. Setiap selesai sholat ia bersiwak sambil berdoadan berdzikir. 3. Tidak suka dengan makanan yang masih panas, jadi beliau menunggu hidangannya hingga dingin. 4. Beliau pantang kalau ada yang mendahuluinya makan. 5. Beliau juga marah kalau melihat cucu atau anak-anaknya makan namun ada nasi yang berjatuhan di lantai. 6. Humoris dan suka bercanda. 7. Pantang poligami

Sekilas Tentang Songkok Merah

Ada beberapa informasi mengenai songkok Merah tersebut, tetapi peneliti hanya memilih salah satunya saja. Cella Ulu suka memakai songkok ala Turki karena beliau sangat mengidolakan Sultan Hamid ke-2 yang pada saat itu memerintah atau sebagai Raja Negara Turki.

Beliau mengidolakan Sultan Hamid ke-2 karena konsisten, tegas, dan berani sebagai pemimpin negara Islam. Pada saat perang dunia ke-2, Turki berperang dengan Jepang pada saat yang sama Jepang menjajah Indonesia. Beliau pernah 2 kali di tangkap oleh pihak Jepang sebab disangka orang Turki karena orangnya tinggi besar, namun Songkok Merah tetap saja dia pakai kemana-mana.

Begitulah riwayat singkat tentang Songkok Merah, sehingga Kiai Abdul Kahar diberi julukan atau gelar Cella Ulu di kalangan keluarga termasuk masyarakat di sekitarnya. Padatahun 1968 Kiai Abdul Kahar pindah ke Jalan Arif Rahman Hakim III No. 8 Ujung Pandang Plan atau Wala Walayya.

Ditempat inilah Kiai AbdulKahar (Cella Ulu) menghembuskan nafas terakhir (meninggal dunia) setelah menderita penyakit Angin Hantu yang istilah kedokteran modern dikenal sebagai penyakit stroke. Kiai Abdul Kahar (Cella Ulu) meninggal dunia pada hari Jumat tanggal 18 Maret 1972 pukul 09.00 pagi.

Pada saat menjelang menghembuskan nafas terakhir beliau didampingi isteri ketiga St. Aisyah atau Puang Isya bersama 10 (sepuluh) orang anaknya kecuali K.H. Abdullah Said yang pada saat itu berada di Balikpapan merintis pendirian Pesantren Hidayatullah.

Jenazah Kiai Abdul Kahar dimakamkan di pekuburan Arab Bontoala dan di tempat itu pula terdapat Makam Arung atau Raja Lamatti ke-37 yang bernama A. Pakki dg Masiga saudara dari mertua Kiai Abdul Kahar (Cella Ulu). Prosesi pemakaman dihadiri oleh K.H. Marsuki Hasan sekaligus memimpin doa setelah jenazah dimakamkan.

Penulis/ Peneliti : Muh.Ahsan Nur

Admin: Muhammad Abduh Burhanuddin

References

"PUANG_KALI_TAHERONG_PANRITA_KITTAK_DAN_KISAH-KISAH_AJAIB_ITU".