Lompat ke isi

Aksi 5 Agustus 1989: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 159: Baris 159:


Suasana tampak tegang saat unit kegiatan Satria Nusantara yang biasanya berlatih di lapangan basket membubarkan diri pada pukul 21.00. Sekitar lokasi Student Center makin lengang, pada saat bersamaan kehadiran Indra Djati dan orang-orang itu tampak mencolok.
Suasana tampak tegang saat unit kegiatan Satria Nusantara yang biasanya berlatih di lapangan basket membubarkan diri pada pukul 21.00. Sekitar lokasi Student Center makin lengang, pada saat bersamaan kehadiran Indra Djati dan orang-orang itu tampak mencolok.

Tidak lama kemudian, Diyan Subromo, mahasiswa Geofisika dan Meteorologi 1983 dan sebagai wartawan majalah ''Editor'', mendatangi lokasi Student Center. Ia menyampaikan berita bahwa ada beberapa teman yang menjadi target operasi, selain Jumhur dan Arnold yang telah ditangkap. Dia terkejut saat melihat teman-teman target operasi, di antaranya Ammar dan Dwito, ada di ''Student Center''.

Berdasarkan dua penangkapan sebelumnya, mereka yang masih bertahan di ''Student Center'' menganggap situasi tidak kondusif, akan ada operasi penangkapan di dalam kampus, sesuatu yang tidak pernah terjadi setelah tahun [[1978]]. Kampus tidak dapat diharapkan menjadi benteng pertahanan terakhir untuk menghindari aparat.

Mereka segera memutuskan untuk mengevakuasi teman-teman aktivis yang diduga menjadi target operasi penangkapan. Ammar meminta Dwito dan mahasiswa lain untuk memusnahkan (dengan membakar) sebisa mungkin dokumen di ''Student Center''.

Kemudian, Ammar mengatur strategi untuk keluar dari kampus. Ia menyerahkan jaketnya untuk dikenakan oleh Lianda. Ia juga memerintahkan Ipung dan Lianda untuk segera keluar dari kampus dengan menumpang mobil Ipung. Ammar dan Dwito keluar dari kampus dengan membonceng sepeda motor.


== Pengadilan dan Kriminalisasi Mahasiswa ==
== Pengadilan dan Kriminalisasi Mahasiswa ==

Revisi per 13 Agustus 2023 13.05

Aksi 5 Agustus 1989 terjadi pada 5 Agustus 1989 ketika sekelompok mahasiswa Institut Teknologi Bandung melakukan unjuk rasa di Gedung Serba Guna ITB Bandung, Jawa Barat untuk memboikot kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini karena terlibat dalam konflik tanah dan penggusuran permukiman rakyat di berbagai daerah, antara lain di Pulau Panggung, Lampung Selatan.

Latar belakang

Tanggal 5 Agustus 1989, pihak rektorat mengundang para ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan di ITB untuk menghadiri acara Penerimaan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Penataran P4 Angkatan 1989. Menurut rencana, acara itu dihadiri Menteri Dalam Negeri Jenderal TNI (Purn.) Rudini yang akan membuka penataran P4.

Ketua Himpunan Mahasiswa Biologi "Nymphaea", Affan Hidayat membawa surat undangan itu dalam pertemuan di Jalan Kanayakan Bawah, Bukit Dago pada 3 Agustus 1989.

Rumah di Jalan Kanayakan Bawah disewa Ondos setelah Andar Manik, penyewa sebelumnya pindah ke Bukit Dago Utara. Saat itu istri Andar, Marintan Sirait, sedang menantikan kelahiran putra pertama mereka. Ondos menyewa rumah itu agar dapat konsentrasi penuh untuk menyelesaikan tugas akhir.

Selepas aksi advokasi mahasiswa untuk kasus Badega dan Kacapiring, Ondos dan Didi sibuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Namanya juga aktivis, mereka yang saat itu sedang ada di Bandung merasa perlu memberikan penyambutan kepada Menteri Dalam Negeri Rudini, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

Ammarsjah, Presiden Komite Pembelaan Mahasiswa, yang memimpin diskusi bertanya kepada peserta tentang surat undangan dari Rektorat ITB. "Masak ada pejabat negara masuk ITB dibiarkan begitu aja, sih?" tanya Didi. Pada dekade 1970-an sampai akhir 1980-an sangat jarang pejabat negara dapat berkunjung ke ITB tanpa disambut demonstrasi.

Peserta diskusi, kebanyakan para aktivis senior, sepakat Menteri Dalam Negeri Rudini tidak sepantasnya hadir dalam pembukaan Penataran P4 di kampus ITB. Alasannya, banyak sorotan terhadap Rudini terkait konflik tanah dan penggusuran permukiman rakyat di berbagai daerah, antara lain di Pulau Panggung, Lampung Selatan.

Salah satu hasil diskusi, Affan bertugas menghubungi Wijaya (Ketua Forum Komunikasi Himpunan Jurusan) agar FKHJ juga menolak kehadiran Rudini dan meminta Wijaya menyelenggarakan rapat bersama FKHJ-KPM.

Tanggal 4 Agustus sore, Ammarsjah membawa hasil diskusi di Jalan Kanayakan Bawah itu ke rapat FKHJ yang berlangsung di kantin Gedung Student Center Barat.

Rapat FKHJ sore itu sebenarnya digelar untuk mendiskusikan, mempertanyakan, dan mengambil sikap terhadap kebijakan zero drop-out yang dilansir Wiranto Arismunandar, Rektor ITB yang pada saat itu baru 8 bulan menjabat.

Rapat yang dipimpin Bambang Sugianto L.N. (Ketua Badan Eksekutif FKHJ) mengajak FKHJ untuk memboikot kedatangan Rudini. FKHJ yang dipimpin Wijaya Santoso menyetujui usulan tersebut. Kesepakatan, KPM akan menggelar demonstrasi sebelum Menteri Dalam Negeri Rudini memasuki Aula Gedung Serba Guna ITB. Setelah Menteri Dalam Negeri masuk, FKHJ membacakan pernyataan sikap dan melanjutkannya dengan walk-out. Pembagian tugas untuk aksi tersebut adalah sebagai berikut.[a]

No. Nama Peran/Tugas
1 Wijaya Santoso Koordinator Aksi Walk-Out
2 Bambang Sugianto L.N. Koordinator Aksi Lapangan
3 Abdul Sobur Penanggung jawab poster dan spanduk
4 Nur Adi Bijantara Penanggung jawab aksi bakar ban dan happening art
5 Mohammad Jumhur Hidayat Komandan Lapangan

Ribuan mahasiswa baru memenuhi Gedung Serba Guna ITB pada Sabtu pagi, 5 Agustus 1989. Langkah Menteri Dalam Negeri Rudini dan Gubernur Jawa Barat Letjen TNI (Purn.) Yogie Suardi Memet yang akan memasuki Gedung Serba Guna ITB terhenti. Rombongan pejabat itu dihadang sekelompok mahasiswa yang melakukan unjuk rasa.

Arnold Purba yang mengenakan topi petani meminta Menteri Dalam Negeri Rudini membaca isi spanduk. Yogie Suardi Memet hanya tersenyum. Salah satu spanduk berbunyi: "Ganyang Rudini si Antek Rezim Penindas." Ada yang berkomentar, tulisan pada spanduk itu kenceng banget! Ada pula poster bertuliskan: "Kampus ITB buka Tempat Cari Dukungan!"

Aksi itu diwarnai dengan membakar ban bekas hingga api menyala dan mengepulkan asap yang membubung. Aksi lapangan itu dipimpin koordinator lapangan Jumhur dan Presiden KPM Ammarsjah. Demonstrasi itu juga ditandai dengan orasi oleh Jumhur dan Fadjroel Rachman untuk memberikan semangat bagi peserta aksi.

Setelah Menteri Dalam Negeri memasuki Gedung Serba Guna ITB, para mahasiswa melakukan aksi lanjutan. Ketua FKHJ Wijaya Santoso dan Ketua Badan Eksekutif FKHJ Bambang Sugianto L.N. memimpin pembacaan petisi. Sesudah membaca petisi, 17 ketua himpunan/jurusan walk-out dari Gedung Serba Guna sebagai bentuk protes atas kehadiran Menteri Dalam Negeri.

Rektor ITB[b] berang menyaksikan demonstrasi 5 Agustus. Dia segera menerapkan penindasan terhadap pelaku gerakan protes dengan melibatkan aparat Bakorstanasda. Dengan dukungan itu, dia memperketat keamanan kampus. Sikap itu menyemburkan aroma fasis. Baginya, Aksi 5 Agustus dilakukan oleh pelaku "kekacauan", "orang pandai yang jahat", dan merupakan "aksi yang dibayar", atau "melakukan sabotase".

Penangkapan, Penyiksaan, dan Pemecatan

Senin siang, 7 Agustus 1989, Arnold Purba berjalan sendiri di tepi Jalan Ganesha, tak jauh dari pintu gerbang Kampus ITB. Dia hendak mengikuti rapat Forum Komunikasi Himpunan Jurusan ITB di kantin Gedung Student Center Barat.

Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti. Beberapa orang bertubuh tegap keluar dari mobil dan menyergap Arnold. Dia mencoba bertahan dengan memukul dan menendang-nendang sekuatnya. Orang-orang bertubuh tegap itu memukul dan menendang Arnold. Perlawanan Arnold terhenti saat seseorang menodongkan pistol. Arnold yang babak belur segera dimasukkan ke mobil.

Kabar penangkapan Arnold menyebar ke dalam kampus, terdengar juga oleh peserta rapat FKHJ yang akan dihadiri Arnold. Agenda rapat saat itu adalah evaluasi pelaksanaan Aksi 5 Agustus 1989. Wijaya Santoso sebagai Sekjen FKHJ sekaligus koordinator aksi walk-out dan Bambang S.L.N. sebagai koordinator aksi lapangan, memimpin rapat itu. Hadir juga beberapa ketua himpunan mahasiswa jurusan, khususnya yang terlibat dalam aksi tersebut.

Rapat yang awalnya berjalan santai di ruangan terbuka mendadak tegang. Mereka tidak menyangka aparat keamanan menyergap Arnold di depan kampus. Mereka bertanya-tanya, instansi apa yang melakukan penculikan itu.

Rapat yang tidak dihadiri Arnold dan Jumhur Hidayat akhirnya pindah ke ruang studio lantai atas Jurusan Seni Rupa dan berlangsung hingga sore hari. Tidak ada keputusan penting dan strategis yang dihasilkan dari pertemuan itu. Semua peserta rapat sepakat untuk terus berkoordinasi, berkomunikasi, dan saling memberi tahu posisi masing-masing. Mereka mempunyai firasat, penculikan Arnold akan menjadi awal dari rangkaian peristiwa berikutnya.

Malam harinya terdengar kabar, Jumhur Hidayat ditangkap di rumahnya bersamaan waktunya dengan penyergapan Arnold, sekitar pukul 14.00. Pada malam harinya, para penculik itu datang kembali ke rumah Jumhur untuk mengambil sejumlah berkas dan dokumen.

Ternyata, para penculik berasal dari aparat Bakorstanasda. Lembaga ini merupakan bentukan Presiden Soeharto untuk meredam dan mengendalikan kepatuhan masyarakat terhadap rezim Orde Baru. Arnold dan Jumhur dimasukkan ke sel dan diinterogasi Bakorstanasda di Jalan Sumatera Nomor 37, Bandung. Proses penyekapan itu juga melibatkan Polwiltabes Bandung.

Pada 10 Agustus 1989, Abdul Sobur (Ketua Keluarga Mahasiswa Seni Rupa - angkatan 1986) disergap di tempat parkir sepeda motor kampus ITB. Enam pria berbadan tegap menyeretnya ke luar kampus, menutup matanya, dan memasukkannya ke mobil CJ-7. Setelah tiga bulan, dia baru tahu tempat penahanannya, di gedung Detasemen Intel Bakorstanasda, Jalan Sumatera Nomor 37, Bandung.

Serangkaian penculikan dan penyanderaan mengiringi Jumhur, Arnold, dan Sobur, sampai akhirnya pada 4 September 1989, tercatat 11 mahasiswa berada di sel tahanan Bakorstanasda.

No. Nama Jurusan Tahun Masuk
1 Abdul Sobur Mahasiswa Seni Murni 1986
2 Ammarsjah Mahasiswa Teknik Elektro 1984
3 Arnold Purba (Alm.) Mahasiswa Geofisika 1986
4 Bambang Sugianto L.N. Mahasiswa Teknik Sipil 1985
5 Dwito Hermanadi Mahasiswa Teknik Fisika 1985
6 Enin Supriyanto Mahasiswa Desain 1984
7 Lendo Novo Mahasiswa Teknik Perminyakan 1983
8 M. Fadjroel Rachman Mahasiswa Kimia 1982
9 M. Jumhur Hidayat Mahasiswa Teknik Fisika 1986
10 Nur Adi Bijantara Mahasiswa Desain 1986
11 Wijaya Santoso Mahasiswa Teknik Fisika 1985

Kabar penculikan dan penangkapan Arnold dan Jumhur dengan cepat beredar sampai ke luar kota. Muncul pernyataan sikap dari mahasiswa-mahasiswa di Jakarta. Dengan mengatasnamakan Presidium Ikatan Mahasiswa Jakarta, mereka menyatakan dukungan dan simpati terhadap peristiwa yang menimpa rekan-rekan mereka di ITB.

Pernyataan sikap itu menyerukan agar perguruan tinggi di Indonesia tidak mengundang pejabat negara ke kampus-kampus. Mereka menuntut para rektor untuk bersikap tegas menolak kedatangan para pejabat. Kecaman keras juga disampaikan kepada Bakorstanasda yang menangkap mahasiswa dengan sewenang-wenang tanpa surat izin penangkapan. Pernyataan sikap itu diakhiri dengan pengumuman kepada seluruh mahasiswa di Jakarta untuk menghadiri "Apel Akbar Mahasiswa Jakarta" pada 19 Agustus 1989, di Taman Sastra, IKIP Jakarta.

Muhammad Yamin, utusan dari Yogyakarta, berada di Bandung sejak 5 Agustus 1989, ikut menyebarkan berita penangkapan ini. Yamin berkunjung ke Bandung untuk membahas penangkapan mahasiswa: Beathor Suryadi di Jakarta; Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono di Yogyakarta.

Beathor ditahan karena aksinya yang menggugat kenaikan tarif listrik. Sementara itu, ketiga aktivis Yogyakarta ditahan dengan tuduhan menyimpan dan mengedarkan buku terlarang. Rencananya, Yamin akan kembali ke Yogyakarta bersama teman-teman Bandung untuk membahas lebih lanjut tentang advokasi penangkapan para aktivis di Jakarta dan Yogyakarta. Namun, rencana itu gagal karena penangkapan beruntun para aktivis mahasiswa di Bandung.

Selain diculik dan disandera aparat militer, para pelaku demonstrasi dan walk-out juga dijatuhi sanksi akademis. Rezim Wiranto memecat mereka dari status mahasiswa ITB. Mereka yang dicabut statusnya ialah Ammarsjah, Arnold Purba, Bambang Sugianto L.N., Enin Supriyanto, Lendo Novo, M. Fadjroel Rachman, M. Jumhur Hidayat, dan Wijaya Santoso sehingga mereka tidak dapat melanjutkan kuliah, sedangkan tiga lainnya bebas dari pemecatan. Selain pemecatan, Rektor ITB juga mengeluarkan sanksi skors dan peringatan keras terhadap lebih dari 30 mahasiswa dari berbagai jurusan.

Kemudian, Rezim Wiranto mengeluarkan keputusan untuk melarang keberadaan KPM sehingga lembaga warisan Dewan Mahasiswa itu tidak boleh melakukan kegiatan di ITB. Sekretariat KPM yang terletak di Student Center Timur juga disegel. Rektor menurunkan aparat Bakorstanasda untuk mengambil dokumen-dokumen KPM yang tidak pernah dikembalikan. Rektor ITB menuduh para pelaku Aksi 5 Agustus sebagai "biadab", "dibayar", "memalukan", dan "merusak citra ITB yang friendly". Dia bahkan menuduh mahasiswa melakukan sabotase dan bertindak subversif.

Proses pengambilan dokumen itu berlangsung pada Kamis malam, 10 Agustus 1989. Beberapa mahasiswa yang berjaga di Student Center melihat sejumlah orang berbadan tegap dengan rambut cepak dan berpakaian sipil berada di dalam kampus. Mereka berjalan berpasang-pasangan mengitari lokasi sekitar Student Center, diperkirakan sebanyak 20 orang. Tidak hanya itu, Indra Djati Sidi tampak bersama orang-orang yang tidak jelas identitasnya itu.

Suasana tampak tegang saat unit kegiatan Satria Nusantara yang biasanya berlatih di lapangan basket membubarkan diri pada pukul 21.00. Sekitar lokasi Student Center makin lengang, pada saat bersamaan kehadiran Indra Djati dan orang-orang itu tampak mencolok.

Tidak lama kemudian, Diyan Subromo, mahasiswa Geofisika dan Meteorologi 1983 dan sebagai wartawan majalah Editor, mendatangi lokasi Student Center. Ia menyampaikan berita bahwa ada beberapa teman yang menjadi target operasi, selain Jumhur dan Arnold yang telah ditangkap. Dia terkejut saat melihat teman-teman target operasi, di antaranya Ammar dan Dwito, ada di Student Center.

Berdasarkan dua penangkapan sebelumnya, mereka yang masih bertahan di Student Center menganggap situasi tidak kondusif, akan ada operasi penangkapan di dalam kampus, sesuatu yang tidak pernah terjadi setelah tahun 1978. Kampus tidak dapat diharapkan menjadi benteng pertahanan terakhir untuk menghindari aparat.

Mereka segera memutuskan untuk mengevakuasi teman-teman aktivis yang diduga menjadi target operasi penangkapan. Ammar meminta Dwito dan mahasiswa lain untuk memusnahkan (dengan membakar) sebisa mungkin dokumen di Student Center.

Kemudian, Ammar mengatur strategi untuk keluar dari kampus. Ia menyerahkan jaketnya untuk dikenakan oleh Lianda. Ia juga memerintahkan Ipung dan Lianda untuk segera keluar dari kampus dengan menumpang mobil Ipung. Ammar dan Dwito keluar dari kampus dengan membonceng sepeda motor.

Pengadilan dan Kriminalisasi Mahasiswa

Korban Pelanggaran yang Diadili

Catatan Kaki

  1. ^ Pembagian peran dan tugas itu merupakan hasil kesepakatan dalam pertemuan yang berlangsung pada 4 Agustus 1989 di ITB yang dihadiri Wijaya Santoso, Bambang Sugianto L.N., Jumhur Hidayat, Arnold Purba, Enin Supriyanto, Ammarsjah, Abdul Sobur, Nur Adi Bijantara, Dody, Dian, Pulih, dll. Sehari sebelumnya, usulan aksi penyambutan itu dibahas di rumah kontrakan Ondos di Jalan Kanayakan Bawah.
  2. ^ Saudara kandung Wiranto Arismunandar menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, yaitu Wismoyo Arismunandar. Hubungan keluarga itu dianggap ikut memengaruhi keputusan-keputusan kerasnya terhadap pelaku Aksi 5 Agustus dan pengetatan keamanan di kampus ITB.

Referensi