Lompat ke isi

Kertajaya: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rakehino (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Dvanjanoe (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 26: Baris 26:
== Pemberontakan Ken Arok ==
== Pemberontakan Ken Arok ==
{{Main|Pemberontakan Ken Arok}}
{{Main|Pemberontakan Ken Arok}}
Dalam [[Kitab Pararaton]] Maharaja Kertajaya disebut juga dengan nama '''Prabu Dandhang Gendis''', dikisahkan di akhir masa pemerintahannya kondisi sosial [[kerajaan Panjalu]] mulai menurun. Kondisi ini disebabkan kese-wenang-wenangan sang raja Kertajaya terhadap golongan
Dalam [[Kitab Pararaton]] Maharaja Kertajaya disebut juga dengan nama '''Prabu Dandhang Gendis''', dikisahkan di akhir masa pemerintahannya kondisi sosial [[kerajaan Kadiri]] mulai menurun. Kondisi ini disebabkan kese-wenang-wenangan dari sang raja Kertajaya terhadap golongan
[[pendeta]], kese-wenang-wenangan Raja Kertajaya yang berlaku [[otoriter]] terhadap para pendeta tersebut dikisahkan dalam [[Tantu Panggelaran|kitab Tantu Panggelaran]], di dalam Tantu Panggelaran raja Kṛtajaya disebut juga Śrī Mahārāja Taki.
[[pendeta]], kese-wenang-wenangan Kertajaya yang berlaku [[otoriter]] terhadap para pendeta tersebut dikisahkan dalam ''[[Tantu Panggelaran|Kitab Tantu Panggelaran]]'', di dalam Tantu Panggelaran raja Kṛtajaya disebut dengan Śrī Mahārāja Taki.
{{cquote|"Ana ta sira ratu siniwing Daha, anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...}} (Pigeaud, 1924:112)
{{cquote|"Ana ta sira ratu siniwing Daha,
anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Adalah raja dihormati di Daha, anak tertua raja Bhathati, Śrī Mahārāja Taki namanya. Dia dihormati di Daha"...)
Terjemahan: (Adalah raja dihormati di Daha, anak tertua raja Bhathati, Śrī Mahārāja Taki namanya. Dia dihormati di Daha"...)


Dalam bagian ke VII dalam kitab [[Tantu Panggelaran]] dikisahkan Śrī Mahārāja Taki hendak berkeinginan untuk membunuh pendeta sakti yang bernama Pu Bharang.
Dalam bagian ke VII dalam kitab [[Tantu Panggelaran]] dikisahkan Śrī Mahārāja Taki hendak berkeinginan untuk membunuh pendeta sakti yang bernama Pu Bharang.
{{cquote|"ya ta matus ri sang sogata kalih sanak, mangaran sirā Pu
{{cquote|"Ya ta matus ri sang sogata kalih sanak,
Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu
mangaran sirā Pu Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu
hamkahana sirā Pu Bharang"...}} (Pigeaud, 1924:112)
hamkahana sirā Pu Bharang"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Maka diutuslah dua orang pendeta Buddha bersaudara
Terjemahan: (Maka diutuslah dua orang pendeta Buddha bersaudara
Baris 39: Baris 40:
sang Prabhu supaya membunuh Pu Bharang"...)
sang Prabhu supaya membunuh Pu Bharang"...)


Diceritakan dalam teks ''[[Pararaton]]'' bahwa Sang raja bermaksud untuk mengurangi hak-hak kaum [[Brahmana]]. Sang prabu menyatakan keinginannya untuk disembah selayaknya dewa. Permintaan Prabu Dandhang Gendis ini tentunya membuat pertentangan dan juga perlawanan dari para pendeta maupun kaum Brahmana [[Hindu]] dan [[Buddha]]. Meskipun Prabu Dandhang Gendis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya lantas terpaksa harus disiksa dengan kejam. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
Diceritakan dalam teks naskah ''[[Pararaton]]'' bahwa Sang raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum [[Brahmana]]. Sang prabu menyatakan keinginannya untuk disembah selayaknya [[dewa]]. Permintaan Prabu Dandhang Gendis ini tentunya menimbulkan pertentangan juga perlawanan dari para pendeta maupun kaum Brahmana [[Hindu]] dan [[Buddha]]. Meskipun Prabu Dandhang Gendis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya lantas terpaksa harus disiksa dengan kejam. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
{{cquote|[15]... Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Ḍangḍang gěṇḍis angan dika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: E, ki para bhujangga çewa-sogata, paran sangkanira nora aněmbah ring ingsun, apan ingsun sakṣat bhaṭâra Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking naga-reng Kaḍiri: Pukulun tan wontěn ing kinakina bhujangga aněm-
{{cquote|[15]... Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Ḍangḍang gěṇḍis angan dika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: E, ki para bhujangga çewa-sogata, paran sangkanira nora aněmbah ring ingsun, apan ingsun sakṣat bhaṭâra Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking naga-reng Kaḍiri: Pukulun tan wontěn ing kinakina bhujangga aněm-


Baris 71: Baris 72:
(Hardjowardojo, 1965:29-30; Komandoko, 2008b:33; Kriswanto, 2009:51-53).
(Hardjowardojo, 1965:29-30; Komandoko, 2008b:33; Kriswanto, 2009:51-53).


Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota [[Kadiri]], [[Daha]]napura. Dan oleh karena kelaliman serta perilakunya membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. Para kaum Brahmana memilih meninggalkan ibu kota kerajaan sambil terus menceritakan tentang kesesatan maharaja Kertajaya kepada seluruh rakyat kerajaan yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel ([[Malang]]) yang saat itu dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada [[Ken Angrok]], bawahan Dandhang Gendis yang menjadi ''akuwu'' (saat ini jabatan setingkat ''camat'') di wilayah Tumapel. Atas dukungan para [[Brahmana]], [[Ken Arok]] lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah [[Tumapel]] sebagai kerajaan merdeka, lepas dari [[Panjalu]].
Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota [[Daha]]napura. Dan karena kelaliman serta perilakunya itu membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. Para kaum Brahmana memilih meninggalkan ibu kota kerajaan sambil terus menceritakan tentang kesesatan maharaja Kertajaya kepada seluruh rakyat kerajaan Kediri yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel ([[Malang]]) yang saat itu dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada [[Ken Angrok]], bawahan Dandhang Gendis yang menjadi ''akuwu'' (saat ini jabatan setingkat ''camat'') di wilayah Tumapel. Atas dukungan para [[Brahmana]], [[Ken Arok]] lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah [[Tumapel]] sebagai kerajaan merdeka, lepas dari [[Panjalu]].


Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh [[Siwa]]. Mendengar hal itu, [[Ken Arok]] pun memakai gelar [[Batara Guru|Bhatara Guru]] (nama lain dewa Siwa) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang Panjalu.
Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh [[Siwa]]. Mendengar hal itu, [[Ken Arok]] pun memakai gelar [[Batara Guru|Bhatara Guru]] (nama lain dewa Siwa) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang Panjalu.


=== Pertempuran Ganter ===
== Pertempuran Ganter ==
{{Main|Pertempuran Genter}}
{{Main|Pertempuran Genter}}
Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke [[Kerajaan Panjalu]]. Kedua pasukan itu kemudian bertemu di dekat desa Ganter, wilayah timur Kadiri.
Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke [[Kerajaan Panjalu]]. Kedua pasukan itu kemudian bertemu di dekat desa Ganter, wilayah timur Kadiri.

Revisi per 2 September 2023 11.14

Kertajaya
Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa
Raja Panjalu terakhir
Berkuasa1194 - 1222
PendahuluKameswara
KelahiranDaha
Jawa Timur
Kematian1222
Pertempuran Ganter, Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur
KeturunanJayasabha
WangsaIsyana
AgamaHindu

Sri Maharaja Srengga atau Kertajaya disebut juga dengan Dandhang Gendhis meninggal tahun 1222, adalah raja terakhir dari Panjalu yang memerintah sekitar tahun (1194-1222). Pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah sebagai dewa. Kertajaya atau prabu Srengga dikalahkan oleh Ken Arok (Ranggah Rajasa) dari Tumapel atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa kerajaan Panjalu.

Sejarah

Gambar lanchana krtajaya pada prasasti Sapu Angin dikeluarkan saat masih menjadi putra mahkota

Dalam bahasa Sanskerta, Kṛtajaya berarti कृत krta (kemakmuran) dan जय jaya (kemenangan). Nama Kertajaya terdapat di prasasti dan disebut dalam Kitab Nagarakretagama karya pujangga masa Majapahit bernama Mpu Prapanca, yang dibuat ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti kesejarahan keberadaan raja Kertajaya antara lain ditemukan dalam prasasti Sapu Angin (1190), prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Biri (1202 M), prasasti Sumberingin Kidul (1204), prasasti Lawadan (1205) dan prasasti Merjosari (1216). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya yang digunakan ialah Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.

Pemberontakan Ken Arok

Dalam Kitab Pararaton Maharaja Kertajaya disebut juga dengan nama Prabu Dandhang Gendis, dikisahkan di akhir masa pemerintahannya kondisi sosial kerajaan Kadiri mulai menurun. Kondisi ini disebabkan kese-wenang-wenangan dari sang raja Kertajaya terhadap golongan pendeta, kese-wenang-wenangan Kertajaya yang berlaku otoriter terhadap para pendeta tersebut dikisahkan dalam Kitab Tantu Panggelaran, di dalam Tantu Panggelaran raja Kṛtajaya disebut dengan Śrī Mahārāja Taki.

"Ana ta sira ratu siniwing Daha, anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...

(Pigeaud, 1924:112)

Terjemahan: (Adalah raja dihormati di Daha, anak tertua raja Bhathati, Śrī Mahārāja Taki namanya. Dia dihormati di Daha"...)

Dalam bagian ke VII dalam kitab Tantu Panggelaran dikisahkan Śrī Mahārāja Taki hendak berkeinginan untuk membunuh pendeta sakti yang bernama Pu Bharang.

"Ya ta matus ri sang sogata kalih sanak,

mangaran sirā Pu Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu

hamkahana sirā Pu Bharang"...

(Pigeaud, 1924:112)

Terjemahan: (Maka diutuslah dua orang pendeta Buddha bersaudara bernama Pu Tapa-Wangkeng dan Pu Tapa-Palet. Keduanya disuruh oleh sang Prabhu supaya membunuh Pu Bharang"...)

Diceritakan dalam teks naskah Pararaton bahwa Sang raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Sang prabu menyatakan keinginannya untuk disembah selayaknya dewa. Permintaan Prabu Dandhang Gendis ini tentunya menimbulkan pertentangan juga perlawanan dari para pendeta maupun kaum Brahmana Hindu dan Buddha. Meskipun Prabu Dandhang Gendis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya lantas terpaksa harus disiksa dengan kejam. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.

[15]... Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Ḍangḍang gěṇḍis angan dika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: E, ki para bhujangga çewa-sogata, paran sangkanira nora aněmbah ring ingsun, apan ingsun sakṣat bhaṭâra Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking naga-reng Kaḍiri: Pukulun tan wontěn ing kinakina bhujangga aněm-

[20]... bahi ratu.”Mangkana lingira bhujangga kabeh. Lingiraji Ḍangḍang gěṇḍis: Lah manawa kang ring kuna nora aněmbah, kang mangko sunwehi pangawyakti.” Mangke ta siraji Ḍangḍang gěṇḍis angaděgakěn tumbak, laṇḍeyanipun tinañcěbakěn ring lěmah, sira ta alinggih, ring pucuking tumbak, tur angandika: ,, Lah pa-

[10]... rabhujangga dělěngěn kaçaktiningsun.”Sira ta katon acaturbhuja, atrinayana, sakṣat bhaṭâra Guru rupanira, winidhi aněmbaha parabhujangga sakapasuking Daha, sama tan harěp aněmbaha tur

měrsah paḍa angungsi maring Tumapěl asewaka ring ken Angrok...

(Brandes, 1920:18; Padmapuspita, 1966:21-21; dan Kasdi, 2008:54).

Terjemahan: (Kebetulan dengan kehendak Dewata sang prabu Dhandhang Gendhis, raja di Daha bertanya kepada para pendeta yang menghadap di Daha: “Hai, para pendeta Śiwa-Buddha, mengapa kalian tidak menyembah kepadaku, karena aku adalah (bagai) Bhaṭāra Guru”. Menjawablah semua pendeta-pendeta semua (seluruh) pendeta yang berdiam di Kaḍiri: “Tuanku, dari (zaman) dulu tak ada pendeta menyembah (kepada) raja”. Demikianlah kata para pendeta semua. Berkatalah Dhandhang Gendhis: “Kalau zaman dahulu tak ada yang menyembah, sekarang kalian harus menyembah kepadaku, kalau kalian tidak tahu akan kesaktianku, maka sekarang aku berikan buktinya”. Maka raja Dhandhang Gendhis memasang sebuah tombak dengan tangkainya (hulu) ditancapkan kedalam tanah, dia duduk diatas ujung tombak dan berkata: “Hai, para pendeta, lihat kesaktianku!”. Maka dia tampak bertangan 4, bermata 3, rupanya seperti Bhaṭāra Guru. Para pendeta di seluruh Daha dipaksa menyembahnya, mereka tidak mau menyembah mereka mengungsi ke Tumapěl dan menghadap (menghamba) kepada Ken Angrok"...) (Hardjowardojo, 1965:29-30; Komandoko, 2008b:33; Kriswanto, 2009:51-53).

Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota Dahanapura. Dan karena kelaliman serta perilakunya itu membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. Para kaum Brahmana memilih meninggalkan ibu kota kerajaan sambil terus menceritakan tentang kesesatan maharaja Kertajaya kepada seluruh rakyat kerajaan Kediri yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel (Malang) yang saat itu dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada Ken Angrok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu (saat ini jabatan setingkat camat) di wilayah Tumapel. Atas dukungan para Brahmana, Ken Arok lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah Tumapel sebagai kerajaan merdeka, lepas dari Panjalu.

Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain dewa Siwa) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang Panjalu.

Pertempuran Ganter

Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Panjalu. Kedua pasukan itu kemudian bertemu di dekat desa Ganter, wilayah timur Kadiri.

Perang antara Tumapel dan Panjalu terjadi begitu sengit di dekat wilayah desa Ganter. Para panglima perang Panjalu yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik menuju kahyangan.

Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (alam tempat dewa).

Kedua naskah tersebut memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kemungkinan yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau Kertajaya tewas dan pergi ke alam dewa.

Kadiri menjadi bawahan Tumapel

Sejak kekalahan Kertajaya di pertempuran Ganter, pada tahun 1222 Panjalu menjadi daerah bawahan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai wakil bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang yang menjadi bupati Gelanggelang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.

Menurut keterangan yang didapat di dalam Prasasti Mula Malurung (1255), menyebutkan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Sementara Jayakatwang menurut Prasasti Penanggungan adalah bupati Gelang-Gelang, yang kemudian menjadi raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel tahun 1292.

Daftar pustaka

  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Didahului oleh:
Sri Kameswara
Raja Kadiri
1185—1222
Diteruskan oleh:
Jayakatwang