Masjid Mutaqaddimin: Perbedaan antara revisi
OrophinBot (bicara | kontrib) |
OrophinBot (bicara | kontrib) |
||
Baris 66: | Baris 66: | ||
{{Masjid di Indonesia}} |
{{Masjid di Indonesia}} |
||
[[Kategori:Masjid di |
[[Kategori:Masjid di Sumatera Barat|Mutaqaddimin]] |
||
[[Kategori:Kabupaten Lima Puluh Kota]] |
[[Kategori:Kabupaten Lima Puluh Kota]] |
||
[[Kategori:Pendirian tahun 1930]] |
[[Kategori:Pendirian tahun 1930]] |
Revisi per 29 September 2023 22.21
0°14′05″S 100°41′15″E / 0.234671°S 100.687477°E
Masjid Mutaqaddimin | |
---|---|
Agama | |
Afiliasi | Islam |
Lokasi | |
Lokasi | Jorong Kapalo Tangah, Nagari Andaleh, Kecamatan Luhak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Indonesia |
Arsitektur | |
Tipe | Masjid |
Peletakan batu pertama | 1930 |
Spesifikasi | |
Panjang | 24 meter |
Lebar | 18 meter |
Kubah | 2 |
Masjid Mutaqaddimin adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Jorong Kapalo Tangah, Nagari Andaleh, Kecamatan Luhak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.[1] Masjid yang mulai dibangun pada tahun 1930 ini tercatat sebagai masjid tertua di Nagari Andaleh.
Bangunan masjid ini terdiri dari bangunan utama dan bangunan pendamping, yang masing-masing dimahkotai satu kubah.[2] Masjid ini sempat beberapa kali meraih peringkat pertama dalam Penilaian Masjid Teladan untuk tingkat kabupaten yang dilakukan oleh Kementerian Agama, seperti pada tahun 2009 dan 2010, bahkan pada tahun 2009 juga meraih peringkat ketiga untuk tingkat provinsi.[1]
Saat ini selain digunakan untuk aktivitas ibadah umat Islam, masjid berukuran 24 × 18 meter ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat sekitar.
Sejarah
Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh sejumlah ulama yang tergabung dalam Kesatuan Ulama Nagari Andaleh pada tahun 1930.[2] Pada awalnya masjid ini bernama Masjid Tuo, yang dibangun dengan konstruksi berupa bambu. Masyarakat setempat sebelumnya merencanakan menggunakan batu sebagai bahan bangunan tetapi terpaksa menggunakan bambu karena pada saat itu Indonesia masih berada di tangan penjajah Belanda.[2]
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pembangunan masjid ini kembali diusahakan oleh masyarakat setempat untuk dilanjutkan dengan mencari bantuan dana dari pemerintah, namun sia-sia karena letaknya yang masih terisolir. Oleh sebab itu masjid ini kian lapuk, hingga terpaksa dirobohkan. Tidak lama setelah dirobohkan, salah seorang raja dari suku Bodi bergelar Datuk Pangulu Basah, memprakarsai kembali pembangunan masjid ini dengan mewakafkan sebidang tanah miliknya.[2] Mengetahui hal tersebut, masyarakat setempat kemudian membentuk suatu ikatan bernama Ikatan Pemuda Muslimin Andaleh, yang bertujuan untuk mewujudkan kembali berdirinya masjid ini. Sekitar 15 tahun kemudian masjid ini telah dapat digunakan, meskipun sampai saat ini pembangunannya masih terus berlanjut karena ketiadaan bantuan dari pemerintah, melainkan hanya mengandalkan bantuan dari masyarakat sekitar maupun yang berada di perantauan.[2]
Lingkungan
Di halaman masjid ini, terdapat gerbang yang terbuat dari beton berlapis keramik berwarna merah hati dan merah bata. Di antara tiang gerbang, terdapat terali besi setinggi satu meter yang berfungsi sebagai pagar. Di bagian belakang gerbang, tertutup sebuah kanopi berwarna hijau yang terhubung langsung dengan pintu utama. Kanopi tersebut juga berfungsi sebagai pelindung lantai keramik dari terpaaan cahaya matahari dan hujan.[2]
Rujukan
- Catatan kaki
- ^ a b Kementerian Agama 2010.
- ^ a b c d e f Padang Ekspres 2012.
- Daftar pustaka
- "Dibangun Sejak 1930, Jarang Disentuh Pemerintah". Padang Ekspres. 2012-07-30. Diakses tanggal 2012-08-10.
- "Masjid pun Dinilai". Kementerian Agama. 2010-06-09. Diakses tanggal 2012-08-10.