Lompat ke isi

Etnoastronomi Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Aleirezkiette (bicara | kontrib)
Aleirezkiette (bicara | kontrib)
Baris 212: Baris 212:


Sistem penanggalan sasak disebut kalender Rowot, yang menggunakan acuan kemunculan rasi bintang Rowot atau dikenal sebagai gugus bintang Pleiades di ufuk timur pada waktu Subuh. Asal mula penamaan bintang Rowot karena susunan bintangnya terlihat mirip seperti Rowot yang menurut Suku Sasak artinya daun asam yang masih muda. Nama Rowot juga berarti Padi Rowot yaitu padi lokal berumur panjang dari Suku Sasak yang hanya akan berbunga tepat dengan kemunculan rasi bintang Rowot. Perhitungan Kalender Rowot Sasak selain menggunakan rasi bintang Rowot juga dibantu dengan acuan Bulan (Lunar) yang dikenal sebagai Tahun Hijriyah dan Matahari (Solar) yang dikenal sebagai Tahun Gregorian dengan pola 5-15-25 secara repetitif.
Sistem penanggalan sasak disebut kalender Rowot, yang menggunakan acuan kemunculan rasi bintang Rowot atau dikenal sebagai gugus bintang Pleiades di ufuk timur pada waktu Subuh. Asal mula penamaan bintang Rowot karena susunan bintangnya terlihat mirip seperti Rowot yang menurut Suku Sasak artinya daun asam yang masih muda. Nama Rowot juga berarti Padi Rowot yaitu padi lokal berumur panjang dari Suku Sasak yang hanya akan berbunga tepat dengan kemunculan rasi bintang Rowot. Perhitungan Kalender Rowot Sasak selain menggunakan rasi bintang Rowot juga dibantu dengan acuan Bulan (Lunar) yang dikenal sebagai Tahun Hijriyah dan Matahari (Solar) yang dikenal sebagai Tahun Gregorian dengan pola 5-15-25 secara repetitif.

== Pulau Sulawesi ==
=== Sulawesi Tenggara ===
{{main|Astronomi masyarakat Tolaki}}
Menurut masyarakat setempat, mereka mempercayai bahwa matahari naik dari timur berjalan melintasi langit dan turun di sebelah barat. Dalam hal ini, matahari mengelilingi bumi, bukan bumi yang me- ngelilingi matahari. Sementara itu, "dhunia" (bumi) merupakan tempat tinggal manusia dan sebagai pusat segalanya.

Sebagian masyarakat menganggap bahwa matahari adalah sesuatu yang sangat ditakuti, sedangkan bulan digambarkan sebagai suatu yang sangat menarik, indah, cantik, anggun, dan berbagai istilah pujian lainnya. Sebagian masyarakat lainnya melambangkan matahari itu sebagai bapak (lelaki) dan bulan sebagai ibu (wanita).

Matahari memiliki sifat angkuh karena merasa memiliki kelebihan. Suatu saat bulan me- nyembunyikan anak-anaknya (bintang-bintang) di dalam suatu wadah. Bulan kemudian menantang matahari untuk melakukan hal yang sama. Mendengar hal itu, matahari benar-benar menelan anak- anaknya (bintang-bintang). Melihat hal itu, dengan sikap mengejek bulan lalu mengeluarkan "anak-anaknya" dari persembunyiannya. Menurut masyarakat setempat, itulah sebabnya kalau siang tidak ada bintang dan hanya malam hari banyak bintang di langit.


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==

Revisi per 3 Mei 2024 06.03

Etnoastronomi adalah kajian yang membahas budaya yang memanfaatkan fenomena langit disebut sebagai etnoastronomi. Ini merupakan bagian dari kajian astronomi budaya yang merupakan perpanduan antara etnografi dan astronomi. Sebagai negara agraris dan maritim, leluhur Indonesia telah banyak mengenali tentang astronomi atau perbintangan, baik itu digunakan sebagai patokan pertanian atau pelayaran.

Pulau Sumatra

Aceh

Ilmu astronomi di Aceh tidak banyak tercatat dan terdokumentasi, namun yang paling terkenal adalah Keunong. Keunong adalah sebuah sistem kalender atau penanggalan oleh masyarakat Suku Kluet di provinsi Aceh, berdasarkan arah angin, peredaran matahari, dan musim, dalam melakukan bercocok tanam. Sistem ini berkaitan dengan waktu bercocok tanam, melaut, prakiraan cuaca, dan penentuan waktu acara adat Keuneunong telah diawali pada Keuneunng dua ploh lhee (diartikan dengan tanggal 23 Jumadil Akhir, merujuk pada tahun Hijriah). Pada Keuneunong ini, biasanya padi-padi di sawah mulai menguning, banyak yang mulai rebah dan menjadi puso karena angin timur yang sangat kencang. Artinya bahwa, situasi di sawah juga dijadikan sebagai acuan untuk melihat waktu yang tepat untuk melaut. Jadi, dengan menanam padi sesuai Keuneunong, maka bisa digunakan juga untuk melihat tanda-tanda yang baik pergi berburu ikan di laut.

Nias

Masyarakat tradisional Nias memoliki pembagian dan penamaan waktu mereka mengacu pada aktivitas sehari-hari seperti beternak, bertani, kerja domestik dan fenomena alam lainnya. Penamaan waktu ini mereka sebut sebagai penanggalan harian yaitu Fanötöi ginötö. Selain kalender Masehi dan kalender Fanötöi ginötö masyarakat Nias mempunyai kalender periode senggang tahunan digunakan untuk kegiatan pertanian dan kegiatan adat istiadat suku Nias yang mengacu pada peredaran Bintang Orion atau Bintang Sara Wangahalo.

Masyarakat Nias ini hidup dalam lingkaran adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Penanggalan tradisional Nias ini mengacu pada daur Bulan atau fase Bulan. Terdiri dari 15 hari pertama dinamakan Bulan terang dan 15 terakhir Bulan mati. Sistem penanggalan ini tergolong sebagai penanggalan Luni-Solar dengan perhitungan Astronomik. Metode perhitungan Astronomik ini didasarkan pada pengamatan yang berkelanjutan serta didasarkan pada perhitungan Astronomi dan jelas lebih sulit.

Sistem penanggalan suku Nias (Sara Wangahalö) disebut juga sebagai kalender musim pertanian masyarakat tradisional Nias. Masyarakat tradisional Nias biasanya menyebut tanggal/hari dengan istilah bulan, berpatokan pada fase-fase Bulan selama 29/30 hari. Selama 29/30 bulan (hari) terdiri dari 15 pertama Bulan terang dan 15 terakhir Bulan mati. Selama 1 tahun pertanian terdiri dari 12 (biasa) 13 (interkelasi) siklus bulan sehingga jumlah harinya bisa terdiri dari 354/355/383/384/385. Awal bulannya mengacu pada kemunculan hilal atau mayarakat tradisional Nias menyebutnya dengan istilah Bulan Sabit Kecil.

Penggunaan penanggalan ini oleh masyarakat Nias yaitu diantaranya, pertama adalah untuk melacak lahirnya kota Gunungsitoli. Kedua, penentuan hari baik dan hari buruk. Ketiga, Kegiatan Pertanian sebagai tanda musim pertanian.

Dari dulu sampai sekarang masyarakat Nias masih berpedoman pada peredaran Bulan (bawa mbawa). Misalnya saat menanam bibit tanaman biasanya mempertimbangkan hitungan Bulan. Untuk jenis tanaman muda seperti cabai, umbi- umbian biasanya ditanaman pada Bulan (tanggal) muda dan ganjil yaitu bulan ke-3 (tõlu desa'a), ke-5 (melima desa'a), dan ke-7 (mewitu desa'a). Sedangkan untuk tanaman tua seperti durian, cengkeh dan lain-lain ditanaman pada tanggal (Bulan) yang lebih tua yaitu ke-8 (mewalu desa 'a) hingga ke-13 (feledőlu desa'a). Prakiraan musim telah digunakan oleh petani sejak zaman dulu kala. Hal ini terbukti dengan berkembangnya berbagai kearifan lokal dalam bentuk kalender tanam tradisional di kalangan masyarakat.

Batak

Parhalaan adalah ilmu perbintangan yang dianut oleh masyarakat batak tradisional yang berbentuk sistem penanggalan. Parhalaan terdiri dari dua belas bulan yang masing-masing berjumlah tiga puluh hari. Penggunaan kalender Batak tidak dalam rangka penanggalan, melainkan dipakai untuk meramalkan hari-hari ke depan (panjujuron ari). Inilah sebabnya Orang Batak kuno tidak pernah mengetahui angka tahun karena memang mereka tidak pernah menghitungnya, tidak seperti kalender Masehi, Kalender Hijriyah atau Kalender Cina yang kita kenal dan kita gunakan saat ini. Pada intinya Porhalaan merupakan manifestasi kesadaran orang Batak terhadap fenomena-fenomena alam, perbintangan, gerak matahari, perjalanan bulan yang berputar mengelilingi bumi. Penanggalan tradisional Batak ini kuat dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budhha, hal ini dicirikan oleh penggunaan akar kata bahasa Sansekerta dalam penggunaan nama hari dan astrologi.

Parhalaan berasal dari kata dasar "hala" yang berakar dari kata Sansekerta "kala" yang berarti serangga menyengat atau kalajengking. Tahun Batak dimulai ditandai dengan posisi utara Orion di langit Barat sampai tahun baru Lalu bulan purnama berikutnya yang diamati dari Timur, yang kemudian berada di area Scorpio (Hala) di langit sebelah Timur. Mereka melihat hubungan antara Bulan, Bintang, Bumi, dan Matahari dengan manusia yang menghuni bumi.

Zodiak Parmesanan
Nama Simbol Nama Simbol
Aries Domba Gorda Kambing
Taurus Kambing-duyung Marsoba Kupu-kupu
Gemini Anak kembar Nituna Cacing tanah
Kanser Kepiting Makara Kepiting
Leo Singa Babiat Singa
Virgo Gadis Hania Elang
Libra Timbangan Tola Pohon
Skorpio Kalajengking Martiha Batu karang
Sagitarius Panah Dano Sungai
Kaprikornus Kambing-duyung Harahata Katak sawah
Akurius Kendi air Marumba Kendi air
Pises Ikan Mena Ikan

Parhalaan terdiri dari 12 bulan, yaitu: Sada (Januari), Sipaha Dua (Februari), Sipaha Tolu (Maret) , Sipaha Opat (April), Sipaha Lima (Mei), Sipaha Onom (Juni), Sipaha Pitu (Juli), Sipaha Ualu (Agustus), Sipaha Sia (September), dan Sipaha Sampulu (Oktober). Sedangkan bulan ke-11 (November) disebut dengan Bulan Li, bulan ke-12 (Desember) disebut dengan Hurung.

Kelompok Batak yang sampai sekarang masih menggunakan Kalender Parhalaan adalah Parmalim. Parmalim merupakan penganut aliran kepercayaan yang ajarannya berdasarkan pada leluhur nenek moyang orang Batak.

Minangkabau dan Riau

Dokumentasi dan pengetahuan tentang ilmu astronomi di Melayu, khususnya Minangkabau dan Riau sangatlah sedikit dan tidak terlalu diketahui. Astronomi Melayu ditampilkan dan diwariskan melalui manuskrip kuno yang sarat ilmu matematika yang rumit yang ditulis dalam tulisan Jawi. Kitab Ilmu Perbintangan Melayu ini setelah Islam masuk ke tanah Melayu, dimodifikasi dengan memasukkan nama nama malaikat dan jin yang dikenal dalam dunia Islam, sebagai penjaga semesta. Ilmu perbintangan yang dianut masyarakat Melayu dipengaruhi oleh Budaya Timur, dan dikenal sebagai ilmu falak, hal ini digunakan terutama untuk menentukan hilal. Hal ini didukung dengan nama-nama planet dan penanggalan hijriah yang digenggam erat oleh masyarakat melayu, khususnya di Malaysia.

Pulau Jawa

Sunda

Ilmu astronomi dalam bahasa Sunda disebut juga palintangan. Orang Sunda sejak zaman duhulu telah mengetahui dunia perbintangan (palintangan), seperti adanya pranata mangsa (aturan musim) untuk menentukan perhitungan waktu sebagai pedoman bercocok tanam. Keterkaitan palintangan dengan tradisi agraris Sunda juga melahirkan penentuan musim dalam satu tahunnya.

Sistem Palintangan bertumpu pada pola perhitungan hari, pasaran, bulan, tahun, dan nilai-nilai lai yang disebut naktu. Hasil dari Palintangan tersebut akan menghasilkan poe alus (hari baik) atau poe naas (hari sial). Acuan perhitungan hari (Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Juma’at, Sabtu) dan perhitungan pasaran (Kaliwon, Manis, Pahing, Pon, Wage) memiliki nilai pada masing-masing penentuan hari dan pasarannya. Selain itu, palintangan juga dapat dijadikan rujukan menentukan pergerakan matahari. Pada siang hari, pergerakan matahari menuju ke arah timur dan barat, dan pergerakan bulan pada malam hari jadi pedoman bagi manusia untuk menentukan hari dalam perhitungan bulan. Selanjutnya bintang pari (Crux), bintang Biduk, dan tetangkalan kalapa (Scorpius) dapat dijadikan rujukan untuk menunjuk arah selatan, arah tenggara, dan arah utara. Rasi Orion (luku, waluku,wuluku) dipakai dalam menentukan musim atau perhitungan kalender untuk kegiatan bertani atau bercocok tanam. Berdasarkan pada benda angkasa yang telah disebutkan, rasi orion benda yang sangat penting dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian.

Kalender Baduy adalah sistem kalender yang digunakan oleh Suku Sunda Baduy di daerah Banten. Kalender Baduy termasuk dalam kalender matahari dimana satu tahun rata-rata sama dengan satu tahun tropis (365 hari matahari 5 jam 48 menit 45.19 detik). Rasi bintang yang sangat penting bagi masyarakat Baduy yaitu rasi bintang Orion (atau Bintang Kidang atau Bintang Waluku atau Bintang Bajak atau Guru Desa) dan rasi bintang Pleiades (atau Bintang Kartika atau Bintang Gumarang). Bintang Kartika biasanya muncul dua pekan sebelum munculnya Bintang Kidang ketika matahari berada di belahan bumi utara. Menurut masyarakat Baduy, pada saat itulah tanah sedang dingin. Sebaliknya, ketika Bintang Kidang mulai terbenam di cakrawala barat dan tidak dapat terlihat adalah saat yang tidak tepat untuk menanam padi karena tanah sedang panas dan banyak serangga hama.

Tata surya Nama hari
Bahasa Indonesia Bahasa Sunda Bahasa Jawa Bahasa Indonesia Bahasa Sunda Bahasa Jawa
Matahari Radite Redite Minggu Radite Redite
Merkurius Buda Buda ; brama Senin Soma Soma
Venus Sukra Sukra ; Panjer rina / Panjer sore Selasa Anggara Anggara
Mars Anggara ; lintang merah Jaka belek Rabu Buda Buda
Jupiter Respati Wraspati Kamis Respati Wraspati
Saturnus Tumpek Tumpak ; Sani ; Johar Jumat Sukra Sukra
Uranus - Gunawan ; Arun Sabtu Tumpek Tumpak
Neptunus - Paramarta - - -
Pluto - Wiratama - - -

Jawa

Palintangan jawa mengenali sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya serta daerah yang mendapat pengaruhnya. Penanggalan ini memadukan sistem penanggalan Islam, sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.

Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, tetapi dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara, astawara dan sangawara. Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, tetapi di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih dipakai.

Orang Nusantara tidak mengenali dan memahami konsep planet, semua benda bercahaya di langit disebut sebagai bintang. Venus dan Mars adalah dua planet yang lekat dengan kehidupan Jawa. Venus disebut panjer rina (ketika muncul di pagi hari) atau panjer sore (ketika muncul di sore hari) dan Mars disebut jaka belek, dimana kedua planet ini digunakan untuk menentukan musim, waktu penanggalan, pertanian dan melaut. Kata "jaka belek" dapat diartikan sebagai "anak laki-laki yang mengalami konjungtivitis", konjungtivitis sendiri adalah kondisi dimana mata mengalami infeksi dan memerah, hal ini memcerminkan cahaya sinar Mars yang kemerahan.

Berikut istilah astronomi dalam kebudayaan Jawa lainnya :

  • Lintang kemukus (Komet) : Lintang kemukus ini dikatakan sebagai pembawa pesan, entah sebuah ontran-ontran atau gegeran, hingga awal atau berakhirnya sebuah peristiwa besar. Lintang kemukus berasal dari kata kukus yang diberi sisipan -em yang berarti asap atau uap.
  • Lintang tiban (Meteor) : Berasal dari kata tiban yang berarti jatuh atau menghantam bumi. bintang yang berpindah posisi. Lintang tiban atau benda langit lainnya yang terbakar di atmosfer bumi yang secara tampak mata telanjang seperti bintang yang bergerak cepat untuk berpindah posisi disebut lintang alihan.
  • Lintang wuluh , lintang kerti atau lintang kartika (Pleiades) : Gugus bintang terbuka di rasi bintang Taurus, merupakan gugus bintang paling jelas dilihat dengan mata telanjang, dan salah satu yang terdekat dengan Bumi, lintang wuluh ini tersirat dalam ukiran Candi Borobudur yang menggambar tujuh buah bintang.
  • Gubuk penceng (Crux) : Rasi bintang ini memiliki makna penting dalam menunjukkan arah selatan saat melaut. Dikisahkan ada seorang perempuan yang sedang membawa makanan pada pada pemuda yang membangun gubuk di tengah sawah. Kecantikan gadis itu membuat pemuda-pemuda itu teralihkan konsentrasinya dan membuat konstruksi gubuk menjadi miring.
  • Wulanjar ngirim (α dan β Centauri) : Wulanjar (perempuan janda) ngirim merepresentasikan perempuan yang bertugas untuk mengirim makanan pada pemuda yang membangun gubuk di sawah, dalam hal ini adalah gubuk penceng.
  • Waluku (Orion) : Masyarakat Jawa mempercayai bahwa rasi ini membentuk rupa seperti bajak sawah atau waluku, yang artinya waktu yang tepat untuk bertani dan menanam tanaman panen. Apabila mata Waluku berada di bawah menghadap ke bumi, kegiatan menggembur tanah perlu dimulai, tetapi jika Waluku berada dalam kedudukan terbalik seperti dalam posisi terbalik atau telah disimpan, maka kegiatan membajak selesai dan padi sudah bisa ditanam.
  • Banyak angrem (Nebula coalsack) : Banyak angrem ("angsa yang mengeram") adalah nebula yang terletak di antara Southern Cross dan α dan β Centauri, dimana hal ini dapat dilihat sepanjang malam pada bulan ke-11 dalam pranatamangsa. Namun dalam beberapa dilek, banyak angrem merujuk pada rasi bintang Scorpius.
  • Klapa doyong (Scorpio) : Penamaan ini diketahui diambil dari formasi bintang scorpio yang berbentuk seperti batang pohon kelapa yang miring. Digunakan untuk menunjukkan arah timur dan tenggara.
  • Bimasekti (Miky Way) : Bima Sekti merupakan kumpulan bintang yang menyerupai senjata Raden Bima, salah satu tokoh Pandhawa dalam kisah Mahabarata, yang merupakan galaksi dimana bumi berada. Galaksi dalam bahasa Jawa kuno adalah Wintang Wuwur.
  • Sapi gumarang (Taurus) : Lintang Sapi Gumarang terletak di sebelah utara lintang waluku, yang digunakan debagai patokan pertanian, peternakan dan upacara adat.
  • Pedati Suwung (Ursa major) : Pedati suwung terlihat sebagai tujuh bintang terang di belahan langit utara yang berguna bagi kapal dan perahu sebagai patokan saat berlayar pada malam hari.

Bali

Palelintangan Bali merupakan salah satu budaya yang dimiliki oleh masyarakat hindu di Bali. Kata palelintangan berasal dari kata lintang atau bintang, yang memiliki arti perbintangan atau zodiak khas Bali.Palelintangan ditetapkan berdasarkan pertemuan pancawara dan saptawara sehingga memiliki jumlah 35 lintang.

Lombok

$?Di antara benda- benda langit di angkasa, matahari dan bulan lebih banyak mendapat perhatian masyarakat sasak karena pergantian siang dan malam silih berganti, mempengaruhi iklim di bumi, pasang surut air laut, dan segala aktivitas kesehariannya. Karena dapat menentukan kehidupan manusia. Baik masyarakat moderen maupun tradisional masih sangat percaya terhadap gejala alam terutama peredaran matahari, bulan, dan bintang. Almanak yang digunakan sebagai alat sinkronisasi penanggalan tradisional masyarakat Sasak disebut wariga yang terdiri dari empat jenis wariga.

Bintang-bintang yang di penanda dalam hitungan wariga, antara lain: bintang timuq (bintang kejora), bintang rowot (Pleiades), bintang tenggala (bintang weluku), bintang perek menah, bintang teriq (meteor), munculnya kalialah (pelangi di langit), Tegedoq Bute (Crux-Scorpio), terjadinya guntur dan lain-lain.

Sistem penanggalan sasak disebut kalender Rowot, yang menggunakan acuan kemunculan rasi bintang Rowot atau dikenal sebagai gugus bintang Pleiades di ufuk timur pada waktu Subuh. Asal mula penamaan bintang Rowot karena susunan bintangnya terlihat mirip seperti Rowot yang menurut Suku Sasak artinya daun asam yang masih muda. Nama Rowot juga berarti Padi Rowot yaitu padi lokal berumur panjang dari Suku Sasak yang hanya akan berbunga tepat dengan kemunculan rasi bintang Rowot. Perhitungan Kalender Rowot Sasak selain menggunakan rasi bintang Rowot juga dibantu dengan acuan Bulan (Lunar) yang dikenal sebagai Tahun Hijriyah dan Matahari (Solar) yang dikenal sebagai Tahun Gregorian dengan pola 5-15-25 secara repetitif.

Pulau Sulawesi

Sulawesi Tenggara

Menurut masyarakat setempat, mereka mempercayai bahwa matahari naik dari timur berjalan melintasi langit dan turun di sebelah barat. Dalam hal ini, matahari mengelilingi bumi, bukan bumi yang me- ngelilingi matahari. Sementara itu, "dhunia" (bumi) merupakan tempat tinggal manusia dan sebagai pusat segalanya.

Sebagian masyarakat menganggap bahwa matahari adalah sesuatu yang sangat ditakuti, sedangkan bulan digambarkan sebagai suatu yang sangat menarik, indah, cantik, anggun, dan berbagai istilah pujian lainnya. Sebagian masyarakat lainnya melambangkan matahari itu sebagai bapak (lelaki) dan bulan sebagai ibu (wanita).

Matahari memiliki sifat angkuh karena merasa memiliki kelebihan. Suatu saat bulan me- nyembunyikan anak-anaknya (bintang-bintang) di dalam suatu wadah. Bulan kemudian menantang matahari untuk melakukan hal yang sama. Mendengar hal itu, matahari benar-benar menelan anak- anaknya (bintang-bintang). Melihat hal itu, dengan sikap mengejek bulan lalu mengeluarkan "anak-anaknya" dari persembunyiannya. Menurut masyarakat setempat, itulah sebabnya kalau siang tidak ada bintang dan hanya malam hari banyak bintang di langit.

Pranala luar