Alawiyyin: Perbedaan antara revisi
k memperjelas bahwa nama ubaidllah ditemukan di kitab nasab abad 10 ke atas |
memasukkan kejadian polemik nasab ba alwi |
||
Baris 21: | Baris 21: | ||
Di kalangan Saadah Alawiyyin ada yang telah berhijrah pada abad-abad ke-16 dan 17 Masehi atau bahkan lebih awal lagi ke India dan Indonesia. |
Di kalangan Saadah Alawiyyin ada yang telah berhijrah pada abad-abad ke-16 dan 17 Masehi atau bahkan lebih awal lagi ke India dan Indonesia. |
||
== Polemik Nasab [[Alawiyyin|Ba Alwi]] == |
|||
Pada November 2022 , seorang ulama asal Banten yang bernama KH. Imadudin Utsman Al Bantanie yang menjabat Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten sekaligus penasihat Generasi Muda Nahdlatul Ulama (GMNU) Provinsi Banten dan Rijalul Anshor Kabupaten Tangerang , mengeluarkan sebuah buku yang berjudul "Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia". Pokok pikiran pertama dari buku tersebut adalah mempermasalahkan tidak tercatatnya Ubaidillah bin Ahmad bin Isa dalam kitab nasab muktabar dari abad 4-9 [[Kalender Hijriah|Hijriyah]]. Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sebagai tokoh historis abad 3 [[Kalender Hijriah|Hijriyah]] baru tercatat dalam kitab nasab muktabar di abad 10 [[Kalender Hijriah|Hijriyah]] dan keatasnya. Dalam buku selanjutnya dari Beliau , KH. Imadudin Utsman Al Bantanie akhirnya memutuskan bahwa nasab [[Alawiyyin|Ba Alwi]] terputus dari Rasulullah [[Muhammad]] SAW . Pemikiran tersebut mendapatkan reaksi yang luar biasa dari para nadhiyyin [[Nahdlatul Ulama|NU]] dan menimbulkan polemik nasab yang berkepanjangan dan tidak kunjung usai. [[Rabithah Alawiyah|Rabithah Alawiyyah]] (RA) sebagai lembaga yang mencatat semua keturunan Ba Alwi di [[Indonesia]] tidak pernah menjawab secara resmi 12 pertanyaan yang sudah dikirimkan KH. Imadudin Utsman Al Bantanie kepada RA. Polemik nasab tersebut mengakibatkan para nadhiyyin sebagai jamaah dari [[Nahdlatul Ulama|NU]] menjadi terbelah. |
|||
== Pranala luar == |
== Pranala luar == |
Revisi per 21 Juli 2024 10.01
Bani 'Alawi | |
---|---|
Region saat ini | Hampir seluruh dunia |
Ejaan sebelumnya | al-Uraidhi |
Etimologi | Keluarga Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir |
Anggota | Basyeiban, Azmatkhan, al-Aydrus, al-Muhdar, al-Attas, Assegaf, Albar (Albaar), Maula Aidid, Shahab, al-Haddad, Fad'aq, al-Habsyi, Al-Hamid, al-Munaffar, Al Khered, al-Kaff, Bin Syechbubakar, Bafagih, Bilfaqih, dan sangat banyak lainnya |
Keluarga terkait | Al Ahdal, Al Qudaimi, Al Jadid (Punah), Al Basri (Punah), Al Uraidhi |
Tradisi | Tarekat Alawiyyah |
Ketika masih di Basra, leluhur mereka Imam Ahmad al-Muhajir merupakan kepala keluarga atau Naqib dari keluarga al-Uraidhi. Sehingga nama keluarga mereka sebelumnya adalah al-Uraidhi. Namun ketika mereka hijrah ke Hadramaut, mereka kemudian membentuk keluarga sendiri berdasarkan nama tiga putra Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Yakni: Basri (Bernama asli Ismail), Jadid dan Alawi. Nama terakhir inilah yang menurunkan Bani Alawi. |
Alawiyyin (bahasa Arab: العلويّن) adalah sebutan bagi keturunan Nabi Muhammad melalui Sayyidina Ali bin Abi Thalib[1], khalifah keempat umat Islam. Keturunan Ali bin Abi Thalib melalui Fatimah az-Zahra binti Muhammad dikenal dengan sebutan Sayyid atau Syarif.
Berdasarkan kitab nasab abad 10 Hijriyah dan ke atas , Ba'Alwi / Ba'Alawi merupakan keturunan jalur laki-laki dari Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al uraydhi bin Ja'far Asshodiq[2][3]. Walaupun demikian nama Ubaidillah tidak ditemukan dalam kitab nasab muktabar pada abad 4-9 Hijriyah sehingga keberadaannya masih diragukan banyak pihak .
Asal Mula
Kata Sadah atau Sadat (Arab: ادة) merupakan bentuk jamak dari kata Arab: (Sayyid), sedangkan kata Ba 'Alawi atau Bani 'Alawi berarti keturunan Alwi (Bā adalah bentuk dialek Hadhramaut dari Bani). Singkatnya, Ba'alawi adalah orang-orang Sayyid yang memiliki darah keturunan Nabi Muhammad melalui Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir. Sedangkan Alawiyyin (Arab: العلويّن; al-`alawiyyin) Istilah Sayyid digunakan untuk menyebut keturunan Ali bin Abi Thalib dari Husain bin Ali (Sayyid) dan Hasan bin Ali (Syarif). Semua orang Ba 'Alawi adalah Sayyid Alawiyyin melalui Husain ibn Ali, tetapi tidak semua orang dari keluarga Alawiyyin adalah dari Ba 'Alawi.
Cucu Imam al-Muhajir, Alawi, adalah Sayyid pertama yang lahir di Hadhramaut, dan satu-satunya keturunan Imam al-Muhajir yang menghasilkan garis lanjutan; garis keturunan cucu Imam al-Muhajir lainnya, Bashri dan Jadid, terputus setelah beberapa generasi. Oleh karena itu, keturunan Imam Al-Muhajir di Hadramaut menyandang nama Bā 'Alawi ("keturunan Alawi").
Ba 'Alawi Sadah sejak itu tinggal di Hadhramaut di Yaman Selatan, mempertahankan Syahadat Sunni di sekolah fiqh Syafii. Pada mulanya seorang keturunan Imam Ahmad Muhajir yang menjadi ulama dalam studi Islam disebut Imam, kemudian Syekh, tetapi kemudian disebut Habib.
Baru sejak 1700 M mereka mulai bermigrasi [4] dalam jumlah besar keluar dari Hadhramaut di seluruh dunia untuk berdakwah.[5] Perjalanan mereka juga telah membawa mereka ke Asia Tenggara. Para imigran hadhrami ini berbaur dengan masyarakat lokal mereka yang tidak biasa dalam sejarah diaspora. Misalnya, Keluarga Jamalullail dari Perlis adalah keturunan dari Ba 'Alawi. Habib Salih dari Lamu, Kenya juga merupakan keturunan Ba 'Alawi. Di Indonesia, tidak sedikit dari para pendatang ini menikah dengan perempuan lokal (atau laki-laki, meski lebih sedikit), terkadang bangsawan atau bahkan keluarga kerajaan, dan keturunan mereka kemudian menjadi sultan atau raja, seperti di Kesultanan Kubu, Kesultanan Palembang Darussalam[6][7], atau di Kesultanan Siak Indrapura[8].
Pencatatan riwayat migrasi 1700 M di Nusantara dalam hamisy kitab Syamsudzahirah yang tertua adalah dari manuskrip Palembang tahun 1748 Masehi yang mencatat silsilah kesultanan Palembang.
Penyebaran
Ba 'Alawi yang bermula di Hadhramaut ini telah memiliki banyak keturunan dan pada saat ini banyak di antara mereka menetap di segenap pelosok Nusantara, India, dan Afrika.
Di kalangan Saadah Alawiyyin ada yang telah berhijrah pada abad-abad ke-16 dan 17 Masehi atau bahkan lebih awal lagi ke India dan Indonesia.
Polemik Nasab Ba Alwi
Pada November 2022 , seorang ulama asal Banten yang bernama KH. Imadudin Utsman Al Bantanie yang menjabat Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten sekaligus penasihat Generasi Muda Nahdlatul Ulama (GMNU) Provinsi Banten dan Rijalul Anshor Kabupaten Tangerang , mengeluarkan sebuah buku yang berjudul "Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia". Pokok pikiran pertama dari buku tersebut adalah mempermasalahkan tidak tercatatnya Ubaidillah bin Ahmad bin Isa dalam kitab nasab muktabar dari abad 4-9 Hijriyah. Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sebagai tokoh historis abad 3 Hijriyah baru tercatat dalam kitab nasab muktabar di abad 10 Hijriyah dan keatasnya. Dalam buku selanjutnya dari Beliau , KH. Imadudin Utsman Al Bantanie akhirnya memutuskan bahwa nasab Ba Alwi terputus dari Rasulullah Muhammad SAW . Pemikiran tersebut mendapatkan reaksi yang luar biasa dari para nadhiyyin NU dan menimbulkan polemik nasab yang berkepanjangan dan tidak kunjung usai. Rabithah Alawiyyah (RA) sebagai lembaga yang mencatat semua keturunan Ba Alwi di Indonesia tidak pernah menjawab secara resmi 12 pertanyaan yang sudah dikirimkan KH. Imadudin Utsman Al Bantanie kepada RA. Polemik nasab tersebut mengakibatkan para nadhiyyin sebagai jamaah dari NU menjadi terbelah.
Pranala luar
- http://www.princehamzah.jo/English/The_Hashemite_Lineage.html
- https://en.wiki-indonesia.club/wiki/Ba_%27Alawi_sada
- https://en.wiki-indonesia.club/wiki/Sayyid#:~:text=The%20title%20seyyid%2Fsayyid%20existed,respected%20and%20of%20high%20status.
Referensi
- ^ Patrick Hanks 2022.
- ^ Tabaqat al-Khawass Ahl al-Shidq wal Ikhlash oleh Ahmad bin Ahmad Az-Zabidi
- ^ Thabaqat Al Asyraf At-Thalibiyin oleh Sulaim bin Abdullathif As-Sabsabi Ar-Rifa'i
- ^ Dostal, Walter; Wolfgang Kraus, eds. (2005). Shattering Tradition: Custom, Law and the Individual in the Muslim Mediterranean (print). New York: I.B. Tauris. pp. 233–253.
- ^ Ibrahim, Ahmad; Sharon Siddique; Yasmin Hussain, eds. (December 31, 1985). Readings on Islam in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. p. 407. ISBN 978-9971-988-08-1.
- ^ bin Thahir Al-Haddad, Al-Habib Alwi (1997). Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Jakarta: Lentera Basritama. hlm. 67. ISBN 9789798880087.
- ^ Noegraha, Nindya (2001). Asal-usul Raja-raja Palembang dan Hikayat Nakhoda Asyiq dalam Naskah Kuno: Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. ISBN 9789799316455.
- ^ Ulrike Freitag; William G. Clarence-Smith, eds. (1997). Hadhrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s to 1960s. Vol. 57 (illustrated ed.). BRILL. p. 9. ISBN 978-90-04-10771-7.
- Patrick Hanks, Simon Lenarčič, and Peter McClure (2022). Dictionary of American Family Names 2nd edition, 2022. Oxford University Press. ISBN 9780190245115.