Dyah Wawa: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Naval Scene (bicara | kontrib) |
||
Baris 48: | Baris 48: | ||
{{kotak selesai}} |
{{kotak selesai}} |
||
[[Kategori:Raja Mataram Kuno]] |
[[Kategori:Raja Mataram Kuno|Wawa]] |
||
[[Kategori:Tokoh Jawa]] |
[[Kategori:Tokoh Jawa]] |
Revisi per 26 Juli 2024 09.36
Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga adalah raja terakhir yang memerintah Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang berkuasa sekitar tahun 927–929.
Dyah Wawa | |
---|---|
Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga | |
Raja Medang Ke-16 | |
Berkuasa | ( 14 Februari 928 - 24 Maret 929 M ) |
Pendahulu | Dyah Tulodhong |
Penerus | Mpu Sindok |
Wangsa | Sanjaya |
Agama | Hindu |
Asal-Usul
Dyah Wawa naik takhta menggantikan Sri Maharaja Pu Wagiswara. Nama Rakai Sumba tercatat dalam Prasasti Sukabumi tanggal 7 Maret 927, menjabat menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja.
Dalam Prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan). Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan, yaitu ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan dalam peristiwa Wuatan Tija.
Saudara perempuan Rakryan Landhayan yang menjadi istri Rakai Kayuwangi bernama Rakryan Manak, yang melahirkan Dyah Bhumijaya. Ibu dan anak itu suatu hari diculik Rakryan Landhayan, namun keduanya berhasil meloloskan diri di desa Tangar. Anehnya, Rakryan Manak memilih bunuh diri di desa Taas, sedangkan Dyah Bhumijaya ditemukan para pemuka desa Wuatan Tija dan diantarkan pulang ke hadapan Rakai Kayuwangi.
Riwayat pemerintahan
Catatan kepemimpinan Dyah Wawa diketahui antara lain adalah Prasasti Wulakan Februari (928 M) berisi informasi anugerah sima di Wulakan, Prasasti Kinawe (928 M) mengenai anugerah sima di Kinawe, dan Prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 tentang penetapan Sangguran sebagai sima swatantra (daerah otonom) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci Kajurugusalyan.
Pemindahan pusat pemerintahan Medang
Raja sesudah Dyah Wawa adalah Mpu Sindok yang membangun istana Kerajaan Medang baru di daerah Tamwlang, dan kemudian dipindahkan ke Watugaluh. Kedua tempat tersebut diperkirakan saat ini masuk wilayah Jombang Jawa Timur karena masih ada desa dengan nama yang bermiripan (Tembelang dan Watugaluh). Mpu Sindok mengaku bahwa Kerajaan Medang di Watugaluh adalah kelanjutan dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram.
Perpindahan istana Medang dari Mataram menuju Tamwlang menurut teori van Bammelen terjadi karena letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh di Kabupaten Magelang.
Letusan Gunung Merapi tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu. Konon, istana Kerajaan Medang di Mataram (dekat Yogyakarta sekarang) sampai mengalami kehancuran akibat bencana alam tersebut.
Sejarawan Boechari berpendapat bahwa bencana alam Gunung Merapi tersebut terjadi sebagai hukuman Tuhan atas perebutan takhta yang sering terjadi di antara keluarga Kerajaan Medang sejak zaman pemerintahan Rakai Pikatan.[butuh rujukan]
Prasasti tertua atas nama Mpu Sindok yang sudah ditemukan ditulis tahun 929, sedangkan prasasti Dyah Wawa ditulis tahun 928. Perpindahan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur dipastikan terjadi pada salah satu tahun tersebut.
Kepustakaan
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Didahului oleh: Dyah Tulodhong |
Raja Kerajaan Medang 928?–929? |
Diteruskan oleh: Mpu Sindok |