Lompat ke isi

Perdagangan dengan Nanban: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib)
Naval Scene (bicara | kontrib)
Baris 19: Baris 19:
== Catatan Eropa tentang Jepang ==
== Catatan Eropa tentang Jepang ==
[[Berkas:NanbanGroup.JPG|thumb|left|Sekelompok '''Nanban''' Portugis, lukisan abad ke-17, [[Jepang]].]]
[[Berkas:NanbanGroup.JPG|thumb|left|Sekelompok '''Nanban''' Portugis, lukisan abad ke-17, [[Jepang]].]]
Eropa di masa [[Renaisans]] cukup mengagumi Jepang. Negeri ini dianggap sangat kaya akan logam mulia, hal ini terutama karena catatan Marco Polo mengenai kuil-kuil dan istana-istana berlapis emas, namun juga karena relatif berlimpahnya bijih logam di permukaan tanah, sebagaimana yang terdapat di negara vulkanik. Selama periode tersebut, pertambangan berskala besar seperti pada masa industrialisasi belum memungkinkan, namun Jepang kemudian merupakan eksportir utama untuk tembaga dan perak.
Eropa di masa [[Renaisans]] cukup mengagumi Jepang. Negeri ini dianggap sangat kaya akan logam mulia, terutama karena catatan Marco Polo mengenai kuil-kuil dan istana-istana berlapis emas, namun juga karena relatif berlimpahnya bijih logam di permukaan tanah, sebagaimana yang terdapat di negara vulkanik. Selama periode tersebut, pertambangan berskala besar seperti pada masa industrialisasi belum memungkinkan, namun Jepang kemudian merupakan eksportir utama untuk tembaga dan perak.


Jepang juga dianggap sebagai masyarakat feodal yang elegan, dengan budaya yang tinggi serta teknologi pra-industri yang kuat. Ia memiliki penduduk dan tingkat urbanisasi yang lebih besar daripada negara-negara Barat manapu (Jepang berpenduduk 26 juta dalam abad ke-16, sedangkan Perancis 16 juta dan Inggris 4,5).<ref name=Perrin>Noel Perrin, "Giving Up the Gun"</ref> Ia memiliki beberapa "universitas" [[Agama Buddha|Buddha]] yang lebih besar daripada institusi pendidikan manapun di Barat, seperti [[Universitas Salamanca|Salamanca]] atau [[Universitas Coimbra|Coimbra]]. Beberapa pengamat Eropa waktu bahkan menulis bahwa Jepang ''"tidak hanya unggul atas semua bangsa-bangsa Timur lain, mereka melampaui bangsa-bangsa Eropa juga"'' ([[Alessandro Valignano]], 1584, "Historia del principio y Progreso de la Compañía de Jesús en las Indias Orientales) .
Jepang juga dianggap sebagai masyarakat feodal yang elegan, dengan budaya yang tinggi serta teknologi pra-industri yang kuat. Ia memiliki penduduk dan tingkat urbanisasi yang lebih besar daripada negara-negara Barat manapu (Jepang berpenduduk 26 juta dalam abad ke-16, sedangkan Perancis 16 juta dan Inggris 4,5).<ref name=Perrin>Noel Perrin, "Giving Up the Gun"</ref> Ia memiliki beberapa "universitas" [[Agama Buddha|Buddha]] yang lebih besar daripada institusi pendidikan manapun di Barat, seperti [[Universitas Salamanca|Salamanca]] atau [[Universitas Coimbra|Coimbra]]. Beberapa pengamat Eropa waktu bahkan menulis bahwa Jepang ''"tidak hanya unggul atas semua bangsa-bangsa Timur lain, mereka melampaui bangsa-bangsa Eropa juga"'' ([[Alessandro Valignano]], 1584, "Historia del principio y Progreso de la Compañía de Jesús en las Indias Orientales) .

Revisi per 26 Oktober 2009 04.22

Samurai Hasekura Tsunenaga
di Roma tahun 1615, Coll. Borghese, Roma.

Perdagangan dengan Nanban (南蛮貿易, Nanban bōeki, "perdagangan dengan orang barbar selatan") atau periode perdagangan Nanban (南蛮貿易時代, Nanban bōeki jidai, "periode perdangangan dengan orang barbar selatan") dalam sejarah Jepang mencakup masa sejak kedatangan orang Eropa pertama ke Jepang pada tahun 1543, sampai dengan pembatasan kehadiran mereka yang nyaris secara total di kepulauan ini pada 1641; yaitu dengan dikeluarkannya Dekrit Pengasingan "Sakoku" [1].

Etimologi

Nanban (南蛮, arti harfiahnya "Biadab Selatan") adalah kata Sino-Jepang yang awalnya ditujukan bagi orang-orang dari Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ini mengikuti penggunaan di Cina, yang menyebut istilah "barbar (biadab)" bagi bangsa-bangsa di empat penjuru mataangin dari kedudukan mereka sendiri. Barbar selatan disebut dengan istilah Nanman. Di Jepang, kata ini menjadi bermakna baru ketika diterapkan untuk merunjuk orang-orang Eropa; yang pertama adalah untuk orang Portugis (yang tiba pada tahun 1543), kemudian juga mencakup orang Spanyol, orang Belanda (meskipun mereka lebih umum dikenal sebagai "Komo",红毛, artinya "Rambut Merah"), dan orang Inggris. Kata Nanban secara alami dianggap sesuai untuk para pengunjung baru tersebut, karena mereka datang dengan kapal dari arah Selatan, dan tingkah laku mereka yang dianggap kurang beradab oleh orang Jepang.

Catatan Jepang tentang bangsa Eropa

Karakter Nanban, arti harfiahnya "Biadab dari Selatan".

Orang Jepang pada awalnya sedikit meremehkan perilaku orang-orang asing yang baru tiba, yaitu sejak kedatangan Portugis pertama kali pada tahun 1543 di Pulau Tanegashima. Sebuah catatan kontemporer Jepang menceritakan:

"Mereka makan dengan jari-jari mereka, bukan dengan sumpit seperti yang kita pergunakan. Mereka menunjukkan perasaan mereka tanpa pengendalian diri. Mereka tidak dapat memahami arti dari karakter tertulis" (dari Boxer, "Christian Century").
Tempura udang

Namun, orang Jepang kemudian cukup cepat mengadopsi beberapa teknologi dan praktek-praktek budaya dari para pendatang, baik dalam bidang militer (arquebus, baju zirah gaya Eropa, kapal Eropa), agama (Kristen), seni dekoratif, bahasa (masuknya kosakata Barat ke dalam bahasa Jepang), dan kuliner: Portugis memperkenalkan tempura dan yang terlebih berharga lagi yaitu gula halus, sehingga terciptalah nanban-gashi (南蛮果子?), atau "Wagashi dengan angin baru", serta berbagai panganan seperti castella, kompeito, aruheitō, karumera, keiran sōmen, bōro, dan bisukauto.

Banyak orang-orang asing yang dijadikan sahabat oleh penguasa-penguasa Jepang, dan kemampuan mereka terkadang diakui bahkan sampai pada tingkatan untuk mengangkat salah satu di antara mereka menjadi Samurai (William Adams), dan memberinya sebuah wilayah perdikan di Semenanjung Miura, sebelah selatan Edo.

Catatan Eropa tentang Jepang

Sekelompok Nanban Portugis, lukisan abad ke-17, Jepang.

Eropa di masa Renaisans cukup mengagumi Jepang. Negeri ini dianggap sangat kaya akan logam mulia, terutama karena catatan Marco Polo mengenai kuil-kuil dan istana-istana berlapis emas, namun juga karena relatif berlimpahnya bijih logam di permukaan tanah, sebagaimana yang terdapat di negara vulkanik. Selama periode tersebut, pertambangan berskala besar seperti pada masa industrialisasi belum memungkinkan, namun Jepang kemudian merupakan eksportir utama untuk tembaga dan perak.

Jepang juga dianggap sebagai masyarakat feodal yang elegan, dengan budaya yang tinggi serta teknologi pra-industri yang kuat. Ia memiliki penduduk dan tingkat urbanisasi yang lebih besar daripada negara-negara Barat manapu (Jepang berpenduduk 26 juta dalam abad ke-16, sedangkan Perancis 16 juta dan Inggris 4,5).[2] Ia memiliki beberapa "universitas" Buddha yang lebih besar daripada institusi pendidikan manapun di Barat, seperti Salamanca atau Coimbra. Beberapa pengamat Eropa waktu bahkan menulis bahwa Jepang "tidak hanya unggul atas semua bangsa-bangsa Timur lain, mereka melampaui bangsa-bangsa Eropa juga" (Alessandro Valignano, 1584, "Historia del principio y Progreso de la Compañía de Jesús en las Indias Orientales) .

Pendatang awal Eropa merasa terkesan pada kualitas pertukangan dan pengolahan logam Jepang. Hal ini disebabkan adanya fakta bahwa Jepang lebih miskin atas sumber daya alam yang umumnya ditemukan di Eropa, terutama besi. Karenanya, orang Jepang terkenal hemat dengan konsumsi sumber daya mereka; apa yang sedikit mereka miliki, mereka gunakan dengan keahlian yang tinggi.

Keberanian militer Jepang juga tercatat dengan baik: "Sebuah dekrit kerajaan Spanyol tahun 1609 secara spesifik memerintahkan para komandan Spanyol di Pasifik agar 'tidak meresikokan reputasi pasukan dan negara kita melawan para tentara Jepang'".[2] Pasukan samurai Jepang di kemudian hari sempat dipekerjakan oleh Belanda di "Kepulauan Rempah-Rempah" (Maluku) untuk melawan Inggris.

Catatan

  1. ^ Saat ini lebih sering disebut oleh para ilmuwan sebagai kaikin atau "pembatasan maritim", yang lebih tepat mencerminkan terus berkembang pesatnya perdagangan dalam periode ini dan kenyataan bahwa Jepang masih jauh dari keadaan "tertutup" atau "terpencil".
  2. ^ a b Noel Perrin, "Giving Up the Gun"

Referensi

  • Giving Up the Gun, Noel Perrin, David R. Godine Publisher, Boston. ISBN 0-87923-773-2
  • Samurai, Mitsuo Kure, Tuttle publishing, Tokyo. ISBN 0-8048-3287-0
  • The Origins of Japanese Trade Supremacy. Development and Technology in Asia from 1540 to the Pacific War, Christopher Howe, The University of Chicago Press. ISBN 0-226-35485-7

Pranala luar