Mangkunegara I: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 2: | Baris 2: | ||
'''Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I''' alias '''Pangeran Sambernyowo''' alias '''Raden Mas Said''' (Kraton [[Kartasura]], [[7 April]] [[1725]] - [[Surakarta]], [[28 Desember]] [[1795]]) adalah pendiri [[Praja Mangkunagaran]], sebuah keadipatian tinggi di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan [[Pahlawan Nasional Indonesia]]. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunagara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan. |
'''Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I''' alias '''Pangeran Sambernyowo''' alias '''Raden Mas Said''' (Kraton [[Kartasura]], [[7 April]] [[1725]] - [[Surakarta]], [[28 Desember]] [[1795]]) adalah pendiri [[Praja Mangkunagaran]], sebuah keadipatian tinggi di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan [[Pahlawan Nasional Indonesia]]. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunagara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan. |
||
LATAR BELAKANG |
|||
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada [[30 Juni]] [[1742]] yang dipimpin oleh [[Raden Mas Garendi]] atau disebut Sunan Kuning, ketika itu RM Said berumur 16 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda ([[VOC]]) dan Rajanya sendiri [[Pakubuwono II]]. |
|||
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada [[30 Juni]] [[1742]] yang dipimpin oleh [[Raden Mas Garendi]] atau disebut Sunan Kuning,mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda ([[VOC]]) dan Rajanya sendiri [[Pakubuwono II]].Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap kompeni di batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan Kompeni. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. Kompeni menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada Kompeni. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari Kompeni. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton. |
|||
BERGABUNGNYA PANGERAN MANGKUBUMI |
|||
Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegoro, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, Mangkunegoro dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegoro diambil dari nama ayahnya, Pangeran Aryo Mangkunegoro Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih berusia dua tahun, Aryo Mangkunegoro ditangkap karena melawan kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi Kompeni dan akibat fitnah keji dari Patih danureja. Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegoro harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegoro berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayahanda Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan Kompeni, Mangkubumi dan Mangkunegoro berselisih paham, pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir 1749. |
|||
MANGKUNEGORO I BERJUANG SENDIRIAN MELAWAN 3 KEKUASAAN |
|||
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan [[Mataram]] dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan [[Pangeran Mangkubumi]] selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. [[Perjanjian Giyanti]] pada [[13 Februari]] [[1755]], sebagai hasil rekayasa [[Belanda]] berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, [[Surakarta]] dan [[Yogyakarta]], merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram. |
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan [[Mataram]] dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan [[Pangeran Mangkubumi]] selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. [[Perjanjian Giyanti]] pada [[13 Februari]] [[1755]], sebagai hasil rekayasa [[Belanda]] berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, [[Surakarta]] dan [[Yogyakarta]], merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram. |
||
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan [[Pakubuwono III]] & [[Hamengkubuwono I]] (yaitu P. Mangkubumi, yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni ([[VOC]]), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali. |
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan [[Pakubuwono III]] & [[Hamengkubuwono I]] (yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni ([[VOC]]), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali. |
||
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto ''tiji tibèh'', yang merupakan kependekan dari ''mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh'' (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga. |
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto ''tiji tibèh'', yang merupakan kependekan dari ''mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh'' (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga. |
||
PERTEMPURAN DAHSYAT YANG TERJADI |
|||
⚫ | |||
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman. |
|||
⚫ | Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan [[Mangkubumi]] (Sultan Hamengkubuwono I) di desa [[Kasatriyan]], barat daya kota [[Ponorogo]], [[Jawa Timur]]. Perang itu terjadi pada hari [[Jumat]] [[Kliwon]], tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah [[Madiun]], [[Magetan]], dan [[Ponorogo]]. Di desa ini terdapat peninggalannya yaitu [[Ndalem Pramudhaningratan]] yang ditinggali oleh anak keturunan Raden Said yaitu keluarga [[Pramudhaningrat]]. |
||
Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri [[Rembang]], tepatnya di [[hutan Sitakepyak]] |
|||
⚫ | Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam [[Perjanjian Salatiga]], [[17 Maret]] [[1757]]. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat sebagai ''Adipati Miji'' alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunagara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan. |
||
Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah ([[Senin]] [[Pahing]], 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan. |
|||
Yang ketiga, penyerbuan [[benteng Vredeburg]] Belanda dan [[keraton Yogya]]-Mataram ([[Kamis]] 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara Kompeni yang mengejar Mangkunegoro sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan Kompeni dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegoro membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng Kompeni Belanda, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara Kompeni tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegoro. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. Kompeni, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro. |
|||
PERJANJIAN SALATIGA |
|||
⚫ | ATak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegoro. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, penguasa Kompeni di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegoro ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegoro menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan Kompeni. Singkatnya, Mangkunegoro menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegoro.Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam [[Perjanjian Salatiga]], [[17 Maret]] [[1757]]. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegoro di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat sebagai ''Adipati Miji'' alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunagara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan. |
||
Ia memerintah di wilayah [[Kedaung]], [[Matesih]], [[Honggobayan]], [[Sembuyan]], [[Gunung Kidul]], [[Pajang]] sebelah utara dan [[Kedu]]. Akhirnya, Mangkunagara mendirikan istana di pinggir [[Kali Pepe]] pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai [[Istana Mangkunagaran]]. Mangkunagara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip [[Tridarma]]. |
Ia memerintah di wilayah [[Kedaung]], [[Matesih]], [[Honggobayan]], [[Sembuyan]], [[Gunung Kidul]], [[Pajang]] sebelah utara dan [[Kedu]]. Akhirnya, Mangkunagara mendirikan istana di pinggir [[Kali Pepe]] pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai [[Istana Mangkunagaran]]. Mangkunagara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip [[Tridarma]]. |
||
PASUKAN WANITA LASKAR MANGKUNEGORO |
|||
Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan Kompeni. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegoro mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan. |
|||
TARIAN CIPTAAN MANGKUNEGORO |
|||
Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu : |
Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu : |
||
1. Bedhaya Mataram-Senapaten [[Anglirmendung]] (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo. |
1. Bedhaya Mataram-Senapaten [[Anglirmendung]] (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo. |
||
2. Bedhaya Mataram-Senapaten [[Diradameta]] (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak. |
2. Bedhaya Mataram-Senapaten [[Diradameta]] (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak. |
||
3. Bedhaya Mataram-Senapaten [[Sukapratama]] (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta. |
3. Bedhaya Mataram-Senapaten [[Sukapratama]] (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta. |
||
GELAR PAHLAWAN NASIONAL |
|||
Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegoro I sebagai pahlawan nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang Mahaputra. |
|||
Mangkunegoro I memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795 |
|||
== Lihat pula == |
== Lihat pula == |
||
Baris 30: | Baris 52: | ||
* ''Babad Memengsahanipun Kanjeng KGPAA Mangkoenagoro I, Kaliyan Kanjeng Sultan Ngayogya (HB I)'', Naskah koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, cat, MS/J; no. 308:237 halaman. |
* ''Babad Memengsahanipun Kanjeng KGPAA Mangkoenagoro I, Kaliyan Kanjeng Sultan Ngayogya (HB I)'', Naskah koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, cat, MS/J; no. 308:237 halaman. |
||
* ''Babad Tutur'', naskah transliterasi Th.G.Th. Pigeaud, tercatat dalam Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunagaran dengan judul ''Babad Nitik'', no. cat.B29 MS/L x 590 halaman. |
* ''Babad Tutur'', naskah transliterasi Th.G.Th. Pigeaud, tercatat dalam Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunagaran dengan judul ''Babad Nitik'', no. cat.B29 MS/L x 590 halaman. |
||
* Disunting oleh Andre Adriano |
|||
[[Kategori:Kelahiran 1725]] |
[[Kategori:Kelahiran 1725]] |
Revisi per 19 Desember 2009 18.17
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I alias Pangeran Sambernyowo alias Raden Mas Said (Kraton Kartasura, 7 April 1725 - Surakarta, 28 Desember 1795) adalah pendiri Praja Mangkunagaran, sebuah keadipatian tinggi di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunagara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.
LATAR BELAKANG Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau disebut Sunan Kuning,mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap kompeni di batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan Kompeni. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. Kompeni menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada Kompeni. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari Kompeni. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.
BERGABUNGNYA PANGERAN MANGKUBUMI Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegoro, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, Mangkunegoro dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegoro diambil dari nama ayahnya, Pangeran Aryo Mangkunegoro Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih berusia dua tahun, Aryo Mangkunegoro ditangkap karena melawan kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi Kompeni dan akibat fitnah keji dari Patih danureja. Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegoro harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegoro berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayahanda Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan Kompeni, Mangkubumi dan Mangkunegoro berselisih paham, pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir 1749.
MANGKUNEGORO I BERJUANG SENDIRIAN MELAWAN 3 KEKUASAAN RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.
PERTEMPURAN DAHSYAT YANG TERJADI Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.
Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo. Di desa ini terdapat peninggalannya yaitu Ndalem Pramudhaningratan yang ditinggali oleh anak keturunan Raden Said yaitu keluarga Pramudhaningrat.
Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.
Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara Kompeni yang mengejar Mangkunegoro sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan Kompeni dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegoro membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng Kompeni Belanda, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara Kompeni tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegoro. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. Kompeni, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.
PERJANJIAN SALATIGA ATak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegoro. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, penguasa Kompeni di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegoro ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegoro menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan Kompeni. Singkatnya, Mangkunegoro menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegoro.Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegoro di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunagara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.
Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunagara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunagaran. Mangkunagara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma.
PASUKAN WANITA LASKAR MANGKUNEGORO Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan Kompeni. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegoro mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.
TARIAN CIPTAAN MANGKUNEGORO Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu : 1. Bedhaya Mataram-Senapaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo. 2. Bedhaya Mataram-Senapaten Diradameta (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak. 3. Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta.
GELAR PAHLAWAN NASIONAL Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegoro I sebagai pahlawan nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang Mahaputra. Mangkunegoro I memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795
Lihat pula
Referensi
- Fananie, Zainuddin, Restrukturisasi Budaya Jawa (Perspektif KGPAA Mangkoenagoro I), Muhammadiyah University Press, 1994. Catatan: Merupakan kajian ilmiah yang telah dilakukannya dan dibiayai oleh Tokyo Foundation.
- Babad Lelampahan, Reksa Pustaka Mangkoenegaran no 222 MS/J. Naskah Asli tersimpan di British Library Manuscript dengan judul Babad Mangkoenegoro. No. Add. 12283.
- Babad Memengsahanipun Kanjeng KGPAA Mangkoenagoro I, Kaliyan Kanjeng Sultan Ngayogya (HB I), Naskah koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, cat, MS/J; no. 308:237 halaman.
- Babad Tutur, naskah transliterasi Th.G.Th. Pigeaud, tercatat dalam Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunagaran dengan judul Babad Nitik, no. cat.B29 MS/L x 590 halaman.
- Disunting oleh Andre Adriano