Lompat ke isi

Kerajaan Malayu Dharmasraya: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
VoteITP (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 53: Baris 53:


=== Daerah Kekuasaan Dharmasraya ===
=== Daerah Kekuasaan Dharmasraya ===
Dalam naskah berjudul ''Chu-fan-chi'' karya [[Chau Ju-kua]] tahun [[1225]]<ref>Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, ''Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.</ref> disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu ''Che-lan'' ([[Kamboja]]), ''Kia-lo-hi'' (Grahi, Ch'ai-ya atau [[Chaiya]] selatan [[Thailand]] sekarang), ''Tan-ma-ling'' ([[Tambralinga]], selatan [[Thailand]]), ''Ki-lan-tan'' ([[Kelantan]]), ''Tong-ya-nong'' ([[Terengganu]]), ''Fo-lo-an'' (muara sungai [[Dungun]], daerah Terengganu sekarang), ''Ling-ya-si-kia'' ([[Langkasuka]] atau [[Langkawi]]), ''Ki-t'o'' ([[Kedah]]), ''Pong-fong'' ([[Pahang]]), ''Ji-lo-t'ing'' ([[Jelutong]], [[Pulau Pinang]]), ''Lan-mu-li'' ([[Lamuri]], daerah [[Aceh]] sekarang), ''Kien-pi'' ([[Jambi]]), ''Pa-lin-fong'' ([[Palembang]]), ''Sin-to'' ([[Kerajaan Sunda|Sunda]]), dan Tsien-mai. Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.
Dalam naskah berjudul ''Chu-fan-chi'' karya [[Chau Ju-kua]] tahun [[1225]]<ref>Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, ''Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.</ref> disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu ''Che-lan'' ([[Kamboja]]), ''Kia-lo-hi'' (Grahi, Ch'ai-ya atau [[Chaiya]] selatan [[Thailand]] sekarang), ''Tan-ma-ling'' ([[Tambralinga]], selatan [[Thailand]]), ''Ling-ya-si-kia'' ([[Langkasuka]], selatan Thailand), ''Ki-lan-tan'' ([[Kelantan]]), ''Tong-ya-nong'' ([[Terengganu]]), ''Fo-lo-an'' (muara sungai [[Dungun]], daerah Terengganu sekarang), ''Ki-t'o'' ([[Kedah]]), ''Pong-fong'' ([[Pahang]]), ''Ji-lo-t'ing'' ([[Jelutong]], [[Pulau Pinang]]), ''Lan-mu-li'' ([[Lamuri]], daerah [[Aceh]] sekarang), ''Kien-pi'' ([[Jambi]]), ''Pa-lin-fong'' ([[Palembang]]), ''Sin-to'' ([[Kerajaan Sunda|Sunda]]), dan ''Tsien-mai''. Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.


=== San-fo-tsi ===
=== San-fo-tsi ===

Revisi per 25 Januari 2010 07.36

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Cina ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國) merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di diketahui dimulai pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga, pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal abad ke 15 berpusat di Pagaruyung[1].

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682[2].

Peta Kerajaan Melayu kuno

Berita tentang Kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I-tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713)[3][4], dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di negeri Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya (tatabahasa Sansekerta). Ketika pulang dari India tahun 685, I-tsing bertahun-tahun tinggal di Sriwijaya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. I-tsing kembali ke Cina dari Sriwijaya tahun 695. Ia menulis dua buah bukunya yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang)[5].

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut[6]:

Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut[5]:

Menurut catatan I-tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Melayu.

Berita lain mengenai Kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, dimana Kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya, namun setelah berdirinya Sriwijaya sekitar 670, Kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Cina[7].

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[8].

Berkas:Candi Gumpung, Muarojambi.jpg
Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi. Karena menurut Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[7].

Dari keterangan Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa yaitu antara Kedah dan Sriwijaya[9].

Penaklukan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu adalah ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data[2]

  1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
  2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhan Malayu pun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682, Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka menggantikan peran Kerajaan Melayu[7].

Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di perbatasan Kamboja. Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, karena raja Jambi pada tahun 1082 masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225[10] disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralinga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Ki-t'o (Kedah), Pong-fong (Pahang), Ji-lo-t'ing (Jelutong, Pulau Pinang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan Tsien-mai. Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang)[1].

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan antara Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Penaklukan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[11]. Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[12]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman[13].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, Pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinast Mauli penguasa Kerajaan Dharmasraya dengan memindahkan pusat pemerintahan ke Pagaruyung (daerah Minangkabau) dengan gelar Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa[14]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Date King's name Capital Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
671 Minanga Berita China, catatan perjalanan I-tsing (634-713). Dan Prasasti Kedukan Bukit tahun 682, penaklukan Minanga oleh Sriwijaya.
1183 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.
1286 Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa Dharmasraya Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur (Kab. Dharmasraya sekarang), pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Dharmasraya.
1347 Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa Pagaruyung Prasasti Kuburajo tahun 1347 di Pagaruyung (Kab. Tanah Datar sekarang).
1375 Ananggawarman Pagaruyung Tambo Minangkabau.

Referensi

  1. ^ a b Paul Michel Munoz, 2006, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  2. ^ a b Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Perancis) Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Damais" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  3. ^ Junjiro Takakusu, 1896, A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  4. ^ Edouard Chavannes, 1894, Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  5. ^ a b Oliver W. Wolters, 1967, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  6. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  7. ^ a b c Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  8. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV, Bhratara, Djakarta
  9. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  10. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  11. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  12. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  13. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  14. ^ Djafar, Hasan, 1992. Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi.

Lihat Pula