Filsafat ketuhanan: Perbedaan antara revisi
PT14danang (bicara | kontrib) |
PT14danang (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 4: | Baris 4: | ||
==Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat== |
==Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat== |
||
[[Berkas:God-dice.jpg|thumb|200px|left|Tuhan dalam gambaran "kubus" dalam judul Tuhan tidak bermain dadu]] |
|||
Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut ''teologi kodrati'' atau ''teodise''.<ref name="Leahy">{{id}}Louis Leahy., ''Masalah Ketuhanan Dewasa Ini''., Yogyakarta: Kanisius, 1982</ref> Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri.... Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada [[teodise]].<ref name="Leahy"/> Jadi pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat.<ref name="Leahy"/> Namun pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman.<ref name="Leahy"/> Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll).<ref name="Leahy"/> Maka para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara [[refleksif]], Realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, [[ide]] dan gambaran Allah melalui sekitar diri kita.<ref name="Leahy"/> |
Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut ''teologi kodrati'' atau ''teodise''.<ref name="Leahy">{{id}}Louis Leahy., ''Masalah Ketuhanan Dewasa Ini''., Yogyakarta: Kanisius, 1982</ref> Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri.... Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada [[teodise]].<ref name="Leahy"/> Jadi pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat.<ref name="Leahy"/> Namun pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman.<ref name="Leahy"/> Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll).<ref name="Leahy"/> Maka para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara [[refleksif]], Realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, [[ide]] dan gambaran Allah melalui sekitar diri kita.<ref name="Leahy"/> |
||
Revisi per 29 Maret 2011 15.16
Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan iman dan akal budi, maka dipakai pendekatan yang disebut teologi filosofis.[1] Bagi orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Abrahamistik), maka akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.[1] Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para filsuf tentang Tuhan.[1] Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.[2]
Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat
Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi kodrati atau teodise.[3] Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri.... Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.[3] Jadi pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat.[3] Namun pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman.[3] Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll).[3] Maka para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, Realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui sekitar diri kita.[3]
Agama : Studi tentang tabiat Allah dan kepercayaan
Teisme
Teisme adalah paham yang mempercayai adanya Tuhan. Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos dan νόμος=hukum=aturan=paham, jadi sebuah aturan atau paham tentang Tuhan atau pengakuan adanya Tuhan.
Santo Agustinus(354-430)
Santo Agustinus percaya bahwa Allah ada dengan melihat sejarah dari drama penciptaan, yang melibatkan Allah dan manusia.[4] Allah menciptakan daratan untuk manusia, menciptakan manusia (Adam) yang berdosa melawan Allah.[4] Lalu Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden.[4] Kemudian setelah manusia berkembang, mereka berdosa lebih lagi dan dihukum dengan air bah dalam sejarah Nuh.[4] Orang-orang Yahudi yang diberikan perjanjian Allah ternyata tidak dapat memeliharanya sehingga dihukum melalui bangsa-bangsa lain.[4] Lalu Allah yang maha kasih menebus manusia melalui Yesus Kristus.[4] Dari sejarah ini Allah dapat selalu ada di tengah-tengah manusia.[4] Memang Agustinus adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang membela eksistensi Allah dari pandangan-pandangan lain yang ingin meruntuhkan paham teisme.[4] Tuhan didefinisikan dari sifat-sifatnya; maha tahu, maha hadir, kekal, pencipta segala sesuatu.[4] Namun lebih lagi, Tuhan bukan ada begitu saja, namun selalu terhubung dalam peristiwa-peristiwa besar manusia.[4]
Thomas Aquinas (1225-1274)
Thomas Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Wahyu Kristen.[4] Kebenaran iman dan rasa pengalaman bukan hanya cocok, namun juga saling melengkapi; beberapa kebenaran, seperti misteri dan inkarnasi dapat diketahui melalui wahyu, sebagaimana pengetahuan dari susunan benda-benda di dunia, dapan diketahui melalui rasa pengalaman; seperti kesadaran manusia akan eksistensi Allah, baik wahyu maupun rasa pengalaman dipakai untuk membentuk persepsi.[4]
Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) untuk mengetahui bahwa Allah benar-benar ada.[4]
- Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu bergerak, setiap gerakan pasti ada yang menggerakkan, namun pasti ada sesuatu yang menggerakkan sesuatu yang lain, namun tidak digerakkan oleh sesuatu yang lain, Dialah Allah.[4]
- Jalan 2 adalah sebab akibat, bahwa setiap akibat mempunyai sebabnya, namun ada penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah sebab pertaman, Allah.[4]
- Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di dunia ini ada hal-hal yang bisa ada dan ada yang bisa tidak ada (contohnya adalah benda-benda yang dahulu ada ternyata ada yang musnah, namun ada juga yang dulu tidak ada ternyata sekarang ada), namun ada yang selalu ada (niscaya) Dialah Allah.[4]
- Jalan 4 adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melalui perbandingan, bahwa dari sifat-sifat yang ada di dunia ( yang baik-baik) ternyata ada yang paling baik yang tidak ada tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.[4]
Jalan 5 adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi mempunyai tujuan yang terarah menuju yang terbaik, semua itu pastilah ada yang mengaturnya, Dialah Allah.[4]
Imanuel Kant
Hegel
Hegel juga disebut filsuf idealime Jerman.[5]
Schleiermacher (1768-1834)
Schleiermacher adalah penganut Kant, namun baginya Allah lebih baik tidak ditelusuri dengan metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi.[1] Baginya, Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni.[1] Istilah yang dipakai oleh Schleiermacher untuk Allah adalah "Sang Universum".[1] Jika Kant mengenal Allah sebagai pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, sebab Allah hanya pemberi ganjaran kepada orang yang baik dan penghukum orang yang kurang baik.[1] Sebab Allah, bagi Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran ia tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan agar ia sempurna, melainkan agar ia berikhtiar mencapai kesempurnaan itu.[1]
Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melalui kontemplasi dan perasaan.[1] "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya, agama ingin mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,... Dalam kepasifan anak-anak, agama ingin ditangkap dan dipenuhi oleh daya pengaruhnya"[1] Agama adalah Sang Universum sendiri.[1] Sang Universum ditangkap dari alam dunia yang mamanifestasikannya.[1] Namun alam dunia bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, namun tetap memanifestasikan alam.[1] Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Alam adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang lebih tinggi dan lebih baik adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun bereksistensi.[1] Dalam aktivitas umat manusia itulah Allah menyatakan diri, alam diresapi oleh Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka tugas agama adalah mencari menemukan Allah yang ada di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung untuk mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi.[1]
Descartes (1596-1650)
Rene Descartes memikirkan Tuhan bermula dari prinsip utamanya yang merupakan “gabungan antara pietisme Katolik dan saint.[6]Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang terkenal dengan pemikiran ide Allah.[7] Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan radikalnya, The Methode of Doubt , bahkan menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha Kuasa dalam bayangan kita juga bisa saja menipu, sebab kita yang membayangkan". [8][7] Dalam menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, dekat kota Ulm - Jerman, disebut sebagai “perjalanan menara”, kata lain dari meditasi yang dilakukan, dia menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618.[1][7] Karena orang pada zamannya meragukan apa yang mereka lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang dipikirkan saja sebenarnya sudah ada, minimal di pikiran.[7] Orang bisa menyangkal segala sesuatu, namun ia tidak bisa menyangkal dirinya sendiri.[1] Jadi Allah di sini juga demikian, Allah sudah ada dengan sendirinya, bahkan lebih jauh Descartes mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari para pendahulunya.[7]Keterbukaan untuk mengemukakan ide dalam pikiran, maka segala sesuatu yang dapat dipikirkan pasti bisa ada.[1] Alkitab salah satu bukti eksistensi Allah, kemudian juga relasi bahwa manusia, binatang, malaikat, dan obyek-obyek lain ada karena natural light yang adalah Allah sendiri.[7]
Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada akhirnya berguna untuk menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Ada dua hal yang bisa ditempuh agar Aku sampai pada Allah, 1. sebab akibat, bahwa dirinya sendiri (manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.[1] Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus.[1] Allah yang ada itu tidak mungkin berdiri sendiri, tanpa ada kaitan dengan suatu entitas lain, maka Allah pasti ada dan bereksistensi.[1] Maka Allah yang ada dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia ada dan dapat diandalkan dalam relasi dengan entitas lainnya itu.[1]
Whitehead
Deisme
Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang artinya Allah.[5] Namun pandangan ini berbeda dengan teisme, sebab Allah dipercaya hanya pada waktu penciptaan, selanjutnya tidak berhubungan dengan dunia lagi karena dunia yang sudah teratur dari semula.[5] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berjalan sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya.[5] Jadi Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, setelah itu dianggap tidak ada.[5] Paham ini dianggap sebagai benih dari munculnya pandangan ateisme yang secara terbuka menyangkal adanya Tuhan.[5] Pandangan yang muncul pada abad 18 di Perancis.[5]
Agnostisisme
Agnostisisme adalah paham manusia yang tidak mau tahu atau tidak tahu tentang adanya Tuhan.[5] Namun hal ini lebih disebabkan karena kebuntuan pemikiran untuk mendefinisikan Tuhan.[5] Bagi para filsuf ini, Tuhan di berada di luar Jangkauan pemikiran manusia.[5]
Kierkegaard
Ateisme
Ateisme berari penyangkalan adanya Allah.[2] Namun arti tentang Allah yang disangkal adanya, tidak sama dengan pandagan semua orang, oleh karenanya arti ateisme berbeda-beda juga.[2] Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.[5]
Scientisme merupakan bagian dari Ateisme
Scientisme, sesuai dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran seluruh inteligibilitas, scientisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas pengetahuan saja, sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja.[3] Segala sesuatu dipandang sebagai obyek yang dapat diukur, bahkan subyek pada akhirnya nanti dibendakan juga.[3] Maka pada akhirnya scientisme menolak metafisika, sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan begitu saja, dan ini adalah bentuk ateisme.[3] Problem lebih lanjut adalah scientisme melawan pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal lain yang kemudian muncul juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah Alkitab.[3]
Ludwig Feuebach
Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sebagai proyeksi dari kehendak manusia saja.[5] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[5] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang nyata adalah manusia.[5] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat yang tidak dapat dicapainya.[5] Kehendak manusia untuk berkuasa, serba tahu, ada di mana-mana, dan tidak terikat waktu itu kemudian dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan.[5] Sebab kepastian yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[5] Pandangan seperti ini nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme.[5] Kebaikan pandangan Feuerbach ini adalah menyatakan hakekat manusia untuk kreatif, berbelas kasih, baik, saling menyelamatkan dsb.[5] Aneh bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri supaya ia menjadi kuat, baik, adil dana maha tahu.[5]
Karl Marx
Menurut Karl Marx, agama adalah candu masyarakat, karena agama, masyarakat menjadi tidak maju dan bersikap rasional.[5]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya menipu dan menyesatkan masyarakat.[5] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan bahwa Tuhan adalah khayalan, namun tidak mencari sebabnya.[5] Bagi Marx sebab yang diberikan adalah manusia lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari masyarakat kelas yang dikritiknya.[5] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia untuk menyangkal dan memperbaiki hidupnya yang sedang ditindas, seandainya Tuhan dan agama tidak ada, maka manusia bisa hidup bebas dan bermartabat.[5] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak diperlukan.[5] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[5]
Sigmund Freud
Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai denan pertanyaan, "Apakah kepercayaan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini berawal dari analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan selanjutnya, "Apakah agama benar-benar baik bagi manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia bertanya akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, namun lebih mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena bertanya, maka sesungguhnya penjelasan yang dikemukakan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dijelaskan dalam intelektual, sehingga perlu ditolak juga.[2] Terlebih lagi jika dicari manfaatnya, agama hanya sebagai penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula ditolak.[2]
Friedrich Nietzsche (1844-1899)
Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[4] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran bagi dia sangat subyektif, dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[4] Subyektivitas itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut baik bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat baik.[4]Agama Kristen dianggap oleh Nietzsche sebagai bentuk Platonisme baru yang memisahkan antara dunia, kosmologi, materi dan apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang meremehkan hal-hal duniawi, tampak seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh, dunia, hawa nafsu) sehingga merupakan hasrat akan kehampaan, kehendak akan dekadensi, sebagai penyakit, kelesuah dan kepayahan hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang memiliki label baik, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya membelenggu manusia untuk berkembang.[4] Bagi dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu, bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu mengerjakan apa yang diinginkannya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang paling baik, sebab manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu manusia itu, katanya.[4]
J. Paul Sartre (1905-1980)
Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia berada, oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan.[9] Tuhan juga tidak hadir ketika dia ingin menemuinya.[9] Oleh karena itu Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak umur 12 tahun.[9] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut sebagai agama baru baginya.[9] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam tulisannya Ada dan Ketiadaan terjemahan dari Being and Nothingness.[9] Baginya, di dunia ini tidak ada grand design yang mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya.[4] Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia ada dan kemudian menentukan "siapa dirinya".[4] Dia menyangkal Descartes tentang Aku berpikir, maka aku ada, yang benar adalah Aku ada lalu aku berpikir.[4] Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua bagian; etre en soi / ada dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi / ada untuk dirinya sendiri.[9] Segala sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri berarti tidak pasif, tidak aktif, tidak afirmatif juga tidak negatif, ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat dirutunkan dari sesuatu lain, tidak berkembang.[9] Sedangkan ada untuk dirinya sendiri adalah sebuah [kesadaran]], dan ini khas manusia.[9] Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang Kristen yang tidak berubah itu masuk dalam golongan ada dalam dirinya sendiri, maka dari itu dia tidak lebih besar dari manusia yang memiliki kesadaran untuk memilih esensinya sendiri.[9] Di sinilah penyangkalah Tuhan itu terjadi, dia tidak mengakui Tuhan lebih tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan lagi.[9] Karena Tuhan tidak lagi ada, maka manusia menjadi bebas dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[9] Di sinilah nilai positif Sartre yang kemudian menghabiskan seluruh kegiatan hidupnya untuk kebaikan manusia (gerakan sosial).[9] Bahkan dia pernah memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya terhadap kemanusiaan, namun ditolaknya.[9][4]
Lihat pula
referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
- ^ a b c d e f g h i j k l m n (Indonesia)Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1977
- ^ a b c d e f g h i j k l m n (Indonesia)Louis Leahy., Masalah Ketuhanan Dewasa Ini., Yogyakarta: Kanisius, 1982
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae (Inggris)Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia)Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius 2006
- ^ John Veitch., A Discourse on Method – Meditation and Principles, Everyman’s Library 1912 halaman vii
- ^ a b c d e f (Inggris) The Miracle of Theism, USA; Oxford University Press, 1982
- ^ Skirry. Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008 Hlm 24,
- ^ a b c d e f g h i j k l m (Indonesia) K Bertens., Filsafat Barat Kontemporer - Perancis, Jakarta: Gramedia, 2001