Telur bitan: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 17: | Baris 17: | ||
Penambahan timbal(II) oksida diketahui bisa mempercepat proses pembuatan telur pitan, walaupun berbahaya karena bersifat meracuni. Cara ini dipraktekkan oleh pembuat telur pitan yang tidak bertanggung jawab di masa lalu. Kini, alternatif yang lebih aman digunakan, yaitu seng oksida. Meskipun zat seng dibutuhkan dalam jumlah kecil, namun konsumsi berlebihan bisa menyebabkan tubuh kekurangan zat tembaga. |
Penambahan timbal(II) oksida diketahui bisa mempercepat proses pembuatan telur pitan, walaupun berbahaya karena bersifat meracuni. Cara ini dipraktekkan oleh pembuat telur pitan yang tidak bertanggung jawab di masa lalu. Kini, alternatif yang lebih aman digunakan, yaitu seng oksida. Meskipun zat seng dibutuhkan dalam jumlah kecil, namun konsumsi berlebihan bisa menyebabkan tubuh kekurangan zat tembaga. |
||
==Konsumsi== |
|||
Telur pitan dapat dimakan begitu saja, sebagai pendamping, atau dicampur dengan bahan makanan lainnya, menciptakan resep baru. Di Hong Kong, telur ini bisa dijumpai dalam bentuk goreng tepung. Di Taiwan, dimakan bersama tahu rebus yang sudah didinginkan, ditambahi katsuobushi (serutan halus ikan cakalang kering) dan minyak wijen. Sementara di Jakarta bisa ditemui dalam bentuk sayur tumis, biasanya tomio, dengan cacahan telur asin dan telur pitan.<ref>[http://travel.kompas.com/read/2009/04/27/1007187/Telur.Asin.Telur.Pitan.Roti.Talua ''Telur Asin, Telur Pitan, Roti Talua'', diakses dari situs Travel Kompas]</ref> |
|||
==Mitos== |
==Mitos== |
Revisi per 11 Februari 2013 20.45
Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Telur bitan di en.wiki-indonesia.club. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan. (Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel) |
Telur pitan adalah telur ayam atau itik yang diawetkan di dalam campuran lempung, abu, garam, lime dan sekam padi selama beberapa minggu atau sampai beberapa bulan, tergantung metode proses. Selama diawetkan, kuning telur akan berubah menjadi hijau gelap dan menjadi seperti krim dengan bau belerang dan amonia, sementara putih telur berubah menjadi kecokelatan dan sedikit transparan.
Telur berubah dikarenakan adanya material alkalin, yang menaikkan pH dari telur menjadi 9, 12, atau lebih. Proses kimiawi ini menghancurkan beberapa kandungan protein dan lemak yang kompleks di dalam telur. Kadang telur memiliki corak-corak seperti cabang pinus di bagian putihnya.
Sejarah
Asal dari makanan ini kemungkinan dari munculnya kebutuhan mengawetkan telur dengan cara dilapisi dengan tanah liat alkali, yang hampir mirip dengan pengawetan telur di kebudayaan barat. Tanah liat ini mengeras dan mengawetkan isi telur di dalamnya menjadi kehijauan namun masih bisa dikonsumsi manusia. Bukan sebaliknya, malah menjadi telur busuk.
Ada pula yang memperkirakan bahwa telur pitan telah mulai ditemukan 500 tahun sebelumnya. Penemuan cara produksinya, walaupun tidak bisa diverifikasi, diperkirakan dari masa Dinasti Ming di Hunan, 600 tahun lalu. Seorang pemilik rumah menemukan telur bebek di genangan air kecil yang berisi larutan kalsium hidroksida, yang digunakan sebagai bahan adukan untuk pembuatan rumahnya, dua bulan sebelumnya. Ia memutuskan untuk membuat lebih banyak dengan menambahkan garam untuk memperbaiki rasanya, sehingga terciptalah resep pembuatan telur pitan.
Produksi
Cara tradisional untuk membuat telur pitan adalah dengan cara menggunakan abu kayu, kalsium oksida, dan garam. Dengan demikian pH dan kandungan sodiumnya meningkat. Penambahan alkali alami ini meningkatkan kemungkinan berhasilnya pembuatan telur pitan serta kecepatan proses pembuatannya. Pembuatan diawali dengan merebus 1,3 kilogram teh di dalam air, yang kemudian ditambahkan dengan 1,3 kilogram kalsium oksida (atau 3,1 kilogram jika dilakukan di musim dingin), 4 kilogram garam laut, dan 3,1 kilogram abu dari kayu oak, lalu diaduk hingga menjadi pasta yang lembut. Setiap telur dilapisi dengan pasta ini dan digulingkan di atas sekam beras supaya tidak menempel satu sama lain. Pasta lumpur ini kemudian mengering dan disimpan selama berbulan-bulan di gentong yang ditutupi dengan kain atau keranjang yang dianyam dengan rapat. Akhirnya telur pitan siap dikonsumsi.
Meskipun cara tradisional masih banyak digunakan, cara modern telah banyak menyederhanakan proses pembuatan telur pitan. Misalnya merendam telur di larutan garam, kalsium hidroksida dan sodium karbonat selama 10 hari dan diikuti penyimpanan dalam waktu beberapa minggu bisa menghasilkan telur yang serupa. Hal ini karena pada dasarnya penambahan ion hidroksida dan sodium kepada telur sama-sama terjadi dalam proses tradisional maupun modern.
Penambahan timbal(II) oksida diketahui bisa mempercepat proses pembuatan telur pitan, walaupun berbahaya karena bersifat meracuni. Cara ini dipraktekkan oleh pembuat telur pitan yang tidak bertanggung jawab di masa lalu. Kini, alternatif yang lebih aman digunakan, yaitu seng oksida. Meskipun zat seng dibutuhkan dalam jumlah kecil, namun konsumsi berlebihan bisa menyebabkan tubuh kekurangan zat tembaga.
Konsumsi
Telur pitan dapat dimakan begitu saja, sebagai pendamping, atau dicampur dengan bahan makanan lainnya, menciptakan resep baru. Di Hong Kong, telur ini bisa dijumpai dalam bentuk goreng tepung. Di Taiwan, dimakan bersama tahu rebus yang sudah didinginkan, ditambahi katsuobushi (serutan halus ikan cakalang kering) dan minyak wijen. Sementara di Jakarta bisa ditemui dalam bentuk sayur tumis, biasanya tomio, dengan cacahan telur asin dan telur pitan.[1]
Mitos
Beberapa kepercayaan masyarakat mengenai telur ini adalah dibuat dengan menggunakan kencing kuda, yang sama sekali tidak benar. Sebab kencing kuda hanya memiliki pH 7.5 hingga 7.9, jika dibandingkan pH 9-12 yang digunakan dalam pembuatan telur pitan dengan menggunakan kalsium oksida dan abu kayu.