Lompat ke isi

Kerajaan Sintang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Adi.akbartauhidin (bicara | kontrib)
k Reverted 2 edits by 114.6.27.117 (talk) identified as vandalism to last revision by Alamnirvana. (TW)
Baris 1: Baris 1:
<sub>'''Kerajaan Sintang''' adalah [[Kerajaan Hindu]] kemudian menjadi [[Kerajaan Islam]] yang pernah berdiri di [[Kabupaten Sintang]], [[Kalimantan Barat]], Indonesia. Penguasa Kerajaan Sintang disebut [[Panembahan]] Sintang.
'''Kerajaan Sintang''' adalah [[Kerajaan Hindu]] kemudian menjadi [[Kerajaan Islam]] yang pernah berdiri di [[Kabupaten Sintang]], [[Kalimantan Barat]], Indonesia. Penguasa Kerajaan Sintang disebut [[Panembahan]] Sintang.
'''Masa Kerajaan Sintang Hindu'''
Kerajaan ini diperkirakan awalnya terletak di Desa Tabelian Nanga Sepauk, berjarak sekitar 50 km dari Kota Sintang (saat ini). Bukti sejarah berdirinya kerajaan ini dapat ditelusuri melalui sejumlah benda peninggalan sejarah. Sebuah patung yang menyerupai Siwa ditemukan di Desa Temian Empakan, Kecamatan Sepauk. Patung ini mempunyai empat tangan yang terbuat dari perunggu. Di samping itu, juga ditemukan Batu Lingga dan Joni yang bergambar Mahadewa di Desa Tabelian Nanga Sepauk (masyarakat menyebutnya dengan nama lain, Batu Kalbut). Di desa yang sama, ditemukan batu yang menyerupai b*** (sensored) atau lembu, beberapa kapak batu, dan makam Aji Melayu.


Aji Melayu diperkirakan merupakan nenek moyang raja-raja atau sultan-sultan di Kesultanan Sintang. Tidak ada banyak data yang mengungkap tentang asal-usul siapa sebenarnya Aji Melayu itu. Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia merupakan penyebar agama Hindu dari Tanah Balang (Semenanjung Malaka) ke Sepauk. Awalnya, ia menetap di Kunjau, dan kemudian pindah ke Desa Tabelian Nanga Sepauk hingga akhir hayatnya. Ia menikah dengan Putung Kempat, dan dikaruniai seorang putri, Dayang Lengkong.

Dayang Lengkong memiliki garis keturunan yang merupakan para pewaris tahta kekuasaan di Kerajaan Sintang Hindu berikutnya, yaitu: Abang Panjang, Demong Karang, Demong Kara, Demong Minyak, Dayang Setari, Hasan, Demang Irawan (Jubair Irawan I) dan Dara Juanti.

Pada abad ke-XIII, Demong Irawan (Jubair Irawan I) memindahkan pusat kerajaan ke Senentang, terletak di persimpangan Sungai Kapuas dan Muara Melawi. Nama Senentang ini lambat-laun lebih dikenal dengan sebutan Sintang. Sebenarnya, penggunaan nama Sintang (Senentang) mulai berlaku sejak zaman pemerintahan Demong Irawan. Pada masa ini, wilayah Kerajaan Sintang mencakup Sepauk dan Tempunak.

Setelah Demong Irawan wafat, tahta kekuasaan dipegang oleh Dara Juanti. Dara Juanti menikah dengan Patih Legender yang berasal dari kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Dara Juanti, Kerajaan Sintang pernah mengalami masa kemajuan dan kemakmuran. Setelah Dara Juanti mengundurkan diri kerajaan Sintang mengalami kemunduran,tidak terdengar lagi seolah-olah kerajaan Sintang sudah tidak ada lagi. Baru beratus-ratus tahun kemudian muncul Abang Samad sebagai raja dari keturunan Dara Juanti.

Setelah Abang Samad, tampuk pimpinan Kesultanan Sintang dipegang secara berturut-turut oleh: Jubair Irawan II, Abang Suruh dan Abang Tembilang. Kemudian Abang Pencin yang bergelar Pangeran Agung. Abang Pencin merupakan penguasa terakhir di Kerajaan Sintang Hindu. Ia juga merupakan raja yang menganut Islam pertama kali di Sintang. Masa pemerintahan Abang Pencin dapat dikatakan sebagai babak baru masa Kesultanan Sintang Islam.

'''Masa Kesultanan Sintang Islam
'''

Setelah Abang Pencin meninggal, tahta kekuasaan di Kesultanan Sintang dipegang oleh putranya, Abang Tunggal dengan gelar Pangeran Tunggal. Sebelum meninggal, Pangeran Tunggal pernah berwasiat agar Abang Nata menggantikan dirinya. Abang Nata merupakan anak dari kakak perempuan Pangeran Tunggal, Nyai Cili, yang menikah dengan Mangku Negara Melik.

Pangeran Tunggal sebenarnya memiliki dua orang putra, yaitu Pangeran Purba dan Abang Itut. Namun, Pangeran Purba telah menikah dengan putri dari Sultan Nanga Mengkiang dan kemudian menetap selamanya di sana. Sementara itu, Abang Nata masih berumur 10 tahun. Oleh karena kondisi semacam ini, Pangeran Tunggal melakukan sebuah cara, yaitu menunjuk dua orang menteri, Mangku Negara Melik dan Sina Pati Laket. Setelah dewasa, Abang Nata mulai memimpin Kesultanan Sintang. Ia bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairi Waddin. Ia merupakan pemimpin pertama di Sintang yang menggunakan gelar sultan.

Pada masa pemerintahan Sultan Nata, banyak terjadi kemajuan di Kesultanan Sintang. Pada masa ini, mulai dibangun masjid pertama kali yang letaknya di ibu kota kesultanan, meski hanya dengan kapasitas 50 orang. Pada masa ini pula, wilayah kekuasaan Sintang meluas hingga ke daerah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu, hingga ke daerah perbatasan Serawak, Kalimantan Tengah, dan Melawi. Di samping mengalami kemajuan secara fisik, ada sejumlah keputusan penting terkait dengan Kesultanan Sintang yang ditetapkan dalam sebuah rapat, yaitu:

1. Ditetapkannya Sintang sebagai Kesultanan Islam
2. Pemimpin Kesultanan Sintang bergelar Sultan
3. Disusunnya Undang-undang Kesultanan yang terdiri dari 32 pasal
4. Didirikannya masjid sebagai tempat ibadah
5. Dibangunnnya istana kesultanan

Sultan Nata menikah dengan Putri Dayang Mas Kuma, putri dari Sultan Sanggau. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Nata dikaruniai seorang putra, Adi Abdurrahman.

Sultan Nata meninggal pada tahun 1150 H, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Putranya, Adi Abdurrahman kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau dengan sebutan lain, Sultan Pikai atau Sultan Aman,karena semasa beliau berkuasa rakyat aman sentosa tak pernah terjadi kekacauan.

Sultan Abdurrahman menikah dengan Utin Purwa, putri Sultan Sanggau. Mereka dikaruniai dua orang anak, Raden Machmud dan Adi Abdurrosyid. Sultan Abdurrahman menikah lagi (tidak diketahui identitasnya), yang kemudian dikaruniai seorang putra bernama Abang Tole. Setelah Sultan Abdurrahman meninggal, tahta kekuasaan Sintang dipegang oleh putranya, Adi Abdurrosyid dengan gelar Sultan Abdurrosyid Muhammad Jamaluddin. Sementara itu, anaknya yang lain, Raden Machmud diangkat sebagai Mangkubumi.

Pada masa Sultan Abdurrosyid, dibangun sebuah masjid baru yang menggantikan masjid lama. Ia tidak lama berkuasa karena jatuh sakit. Pada tahun 1210 H, ia meninggal, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Adi Noh dengan gelar Pangeran Ratu Adi noh Muhammad Qomaruddin. Pada masa pemerintahan Adi Noh, sejumlah rombongan asal Belanda datang pertama kali ke Sintang, tepatnya pada bulan Juli 1822 M, yang dipimpin oleh Mr. J.H. Tobias, seorang Komisaris dari Kust van Borneo.

Pada bulan November tahun yang sama, Pangeran Ratu Adi Noh Muhammad Qomaruddin meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Gusti Muhammad Yasin dengan gelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan Belanda yang kedua, di bawah pimpinan Dj. van Dungen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alkadrie, sebagai juru bicara.

Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan dan kerja sama dagang, yang tertuang dalam Voorlooping Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1822 M. setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (1823, 1832, 1847, 1855). Secara umum, perjanjian-perjanjian tersebut lebih banyak menguntungkan pihak Belanda untuk melakukan intervensi terhadap pemerintahan dalam negeri Kesultanan Sintang. Alhasil, intervensi tersebut berdampak negatif terhadap masa depan pemerintahan Kesultanan Sintang.

Pada tahun 1855 M, Pangeran Adipati digantikan oleh putranya yang bernama Adi Abdurrasyid Kesuma Negara dengar gelar Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara I. Setelah Panembahan Abdurrasyid meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh Abang Ismail dengan gelar Panembahan Gusti Ismail Kesuma Negara II. Setelah Panembahan Ismail meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh anaknya, Gusti Abdul Majid dengan gelar Panembahan Gusti Abdul Majid Kesuma Negara III. Gusti Abdul Majid ditangkap dan dibuang ke Bogor oleh Belanda karena dituduh tidak mau membantu Belanda dalam menyerang pasukan Panggi.

Menghadapi kevakuman pejabat Sintang maka Pemerintah Belanda menunjuk Ade Muhammad Djoen putera Pangeran Temenggung Agama G.M Isya sebagai Wakil Panembahan. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Kesultanan Sintang sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan kolonial Belanda.


Pada tahun 1934 Ade Muhammad Djoen meninggal dunia. Hasil musyawarah keluarga raja-raja Sintang dengan wakil pemerintah Belanda menetapkan putera Gusti Abdul Majid,Raden Abdulbachri Danu Perdana sebagai Panembahan Kerajaan Sintang. Pada masa beliau lah berhasil dibangun Masjid Jami Sultan Nata dan Istana al Mukaramah. Pada tahun 1944 Panembahan Sintang bersaudara dan para bangsawan terpelajar serta tokoh-tokoh masyarakat ditangkap oleh Jepang dan dibawa ke pontianak. Selanjutnya dibunuh secara massal di Mandor.


Raden Abdulbachri Danu Perdana
Kemudian pemerintah Jepang mengangkat Raden Muhammad Chalidi Tsafiudin. Karena pada waktu itu raja masih berusia 6 tahun,maka untuk memangku jabatan raja diangkatlah Raden Syamsuddin sebagai Panembahan Sintang. Namun pada tahun 1946 Raden Syamsuddin diberhentikan oleh pemerintah NICA (Belanda) dari jabatan Panembahan,karena terbukti terlibat dalam gerakan Merah Putih di Nanga Pinoh tanggal 15 November 1946 yang dinilai gerakan ini melawan pemerintah Belanda yang akan memerintah kembali di daerah Sintang. Sebagai penggantinya diangkatlah Ade Muhammad Djohan sebagai Ketua Majelis Kerajaan Sintang.

Raden Syamsuddin
Kesultanan Sintang merupakan satu-satunya kesultanan di Kabupaten Sintang yang masih eksis hingga akhirnya “bubar” pada tanggal 1 April 1960 M. Sejak tahun 1966, Sintang merupakan Daerah Tingkat II (Kabupaten) di Provinsi Kalimantan Barat. Ibu kotanya adalah Sintang. Setelah Reformasi Sri Sultan Kusuma Negara V bergelar Pengeran Ratu Sri Negara Raden Ichsani Perdana Tsafiudin,putra dari Panembahan Raden Abdulbahri Danu Perdana dikukuhkan sebagai Sultan Kraton Al Mukaramah Sintang.

'''Burung Garuda Lambang Kerajaan Sintang dan Elang Rajawali

Garuda Pancasila Lambang Negara
'''Setelah Raden Syamsuddin diberhentikan oleh pemerintah NICA (Belanda) dari jabatan Panembahan, maka di Sintang hanya ada pemerintahan tunggal yaitu NICA dengan Beuwkes sebagai assisten residet. Susunan tata pemerintahan kerajaan disempurnakan berdasarkan pengakuan terhadap 12 daerah pemerintahan swapraja dan 3 daerah Neo Swapraja yang diakui oleh pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1926 dengan staatsblad 1948 (hasan, Syamsuddin, 1973). Dengan perkembangan inilah dalam tahun 1947 diangkat Ade Muhammad Djohan sebagai Ketua Majelis Kerajaan Sintang.

Ke 12 daerah Swapraja serta 3 daerah Neo Swapraja ini membentuk suatu gabungan yang merupakan sebuah Federasi. Federasi ini oleh pemerintah NICA diakui sebagai daerah Istimewa dengan pemerintahan sendiri melalui sebuah Dewan yang disebut Dewan Kalimantan Barat (DKB), dan daerahnya disebut Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Pengakuan ini dikeluarkan oleh Letnan Gubernur Jendral, tanggal 2 Maret 1948 (Staatsblad 1948 No. 58), (sumber buku “Wajah Kalimantan Barat” Hal. 14).

Usia DIKB tidak lama, karena dengan surat keputusan No. 234/R dan 235/R tanggal 7 Mei 1950 menyerahkan wewenang pemerintahannya kepada Resident Kalimantan Barat di Pontianak sebagai wakil pemerintah Pusat RIS di saat itu. Kemudian Menteri Dalam Negeri RIS mengeluarkan surat keputusan No. B.Z. 17/2/47 tertanggal 24 Mei 1950 yang menetapkan bahwa Pemerintahan di Kalimantan Barat dijalankan oleh Residen Kalimantan Barat berlandaskan pasal 54 Konstitusi RIS.

Saat Ade Mohammad Djohan diangkat menjadi Ketua Mejelis Kerajaan Sintang, beliau juga terpilih sebagai anggota DPR wakil Kalimantan Barat. Dari jabatan itu hubungan persahabatan keduanya semakin dekat, apalagi saat itu Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) No. 2 tahun 1949 dipercaya untuk mengkoordinir kegiatan perancangan lambang Negara.

Sehubungan dengan penugasan itu beliau mulai melakukan pendekatan ke berbagai kalangan termasuk melakukan studi komperatif atas lambang Negara barat maupun timur. Dalam rangka mencari ide untuk membuat lambang Negara, terdapat kesempatan Sultan Hamid II berbicara kepada Ade Mohammad Djohan (sebagai kepala Swapraja Sintang anggota parlemen RIS). Ade Mohammad Djohan menyatakan bahwa lambang kerajaan Sintang adalah Burung Garuda.

Mendengar ucapan Ade Mohammad Djohan, Sultan Hamid sangat tertarik dan sejak itu baik di Jakarta ataupun di Pontianak terjadi diskusi yang sangat intensif antara keduanya. Akhir dari semua itu Sultan Hamid II memberitahukan kepada Ade Mohammad Djohan bahwa beliau telah memutuskan akan membuat rancangan Lambang Negara RIS berbentuk Burung Garuda.

Berhubung dengan itu Sultan Hamid II pada bulan Januari 1950 berkunjung ke Kapuas Hulu dan dengan sengaja singgah di kesultanan Sintang untuk membuktikan sebuah fakta yang yang pernah dibicarakan dengan Ade Mohammad Djohan tentang lambang kerajaan Sintang. Pada saat Sultan Hamid melihat fakta yang ada, beliau kagum dan sangat tertarik.

Oleh karena itu Sultan Hamid II segera meminjamkan burung Garuda sebagai lambang kerajaan Sintang untuk dibawa ke Pontianak. Burung Garuda yang dipinjam oleh Sultan Hamid sat itu adalah berukuran kecil yang menghiasi puncak penyangga tiang Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit.

Saat itu pihak swapraja Sintang tak keberatan, namun dengan beberapa syarat, salah satunya Sultan Hamid harus menandatangani semacam berita acara peminjaman, dan waktu peminjaman sendiri tak boleh lebih dari 1 bulan. Fakta bahwa bentuk Burung Garuda yang pernah dibawa Sultan Hamid II tersebut kini di Simpan di Istana Kesultanan Sintang, yang telah ratusan tahun lalu menjadi pusat Kerajaan Sintang.

Menurut A.M Sulaiman (83) salah seorang pegawai swapraja Sintang yang turut menjadi saksi peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II pada masa itu, juga membenarkan adanya peminjaman tersebut. Sebagai saksi hidup peminjaman, beliau juga menyatakan, tak bermaksud menyangkal fakta sejarah bahwa Sultan Hamid II yang mengusulkan Burung Garuda Sebagai lambang negara, namun mereka hanya berharap ada pelurusan kronologi sejarah.

Faktanya adalah Sultan Hamid II memang meminjam lambang kerajaan Sintang yang berbentuk Burung Garuda. Faktanya lambang tersebut menjadi acuan Sultan Hamid mengusulkan Burung Garuda Sebagai Lambang Negara.” Ditambahkan lagi olehnya saat dialog antara keduanya, Ade Mohammad Djohan mengusulkan kepada Sultan Hamid II untuk mengusulkan Burung Murai sebagai lambang Negara, karena burung murai adalah burung pembersih atau rajin artinya tidak mau bermain-main ditempat yang kotor, oleh sebab itu apabila kita lihat sarang burung murai selalu dalam keadaan bersih.

Diskursus mengenai kronologi terciptanya lambang negara Indonesia kembali dibuka, pasalnya meski sejarah negara ini menyatakan bahwa ide penggunaan Burung Garuda sebagai lambang negara ini diperkenalkan oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, namun ternyata lambang yang dibawa oleh Sultan Hamid tersebut dipinjam dari lambang kerajaan Sintang. Apabila Sultan Hamid II tidak meminjam burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang saat itu, besar kemungkinan rancangan lambang Negara yang diusulkan oleh Sultan Hamid II bisa jadi dengan bentuk dan nama lain seperti yang diusulkan oleh anggota panitia lainnya.

Kalau kita amati secara mendalam, lambang Negara Republik Indonesia “Lahir Dari Sintang” sudah tepat, karena bahan yang dipinjam oleh Sultan Hamid II berbentuk fisik dan bukan sketsa gambar garuda di berbagai candi di pulau Jawa seperti yang dikirimkan oleh K.H. Dewantara kepada Sultan Hamid II, apalagi seperti pernyatan J.U Lontaan yang menyatakan: "Ukiran burung Garuda.

Tak berbeda dengan gambar burung garuda lambang bangsa Indonesia", Lambang kerajaan Sintang dengan nama Burung Garuda, sedangkan Lambang Negara oleh Sultan Hamid II menamakan Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dan baru diatur dalam amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 barulah dicantumkan bahwa “Garuda Pancasila” merupakan Lambang Negara Indonesia.

Oleh sebab itu lambang Negara Republik Indonesia lahir dari lambang kerajaan Sintang sudah sangat jelas sekali karena artefak burung Garuda itu sendiri masih utuh dan terpelihara dengan baik, bahkan dalam rangka memperingati “60 tahun Garuda Pancasila” oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Museum Konperensi Asia Afrika Bandung meminjam artefak burung Garuda itu untuk dijadikan icon pameran "60 tahun Garuda Pancasila".

Karena pameran itu mendapat sambutan puluhan ribu pengunjung, maka pihak kementerian luar negeri melalui museum konperensi Asia Afrika memperpanjang peminjaman untuk tingkat Asia di Bandung sehingga peminjaman artefak tersebut menjadi 6 (enam) bulan lamanya. Alhasil artefak burung Garuda yang berasal dari eks kerajaan Sintang mampu menyedot puluhan bahkan ratusan ribu pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat.

--[[Istimewa:Kontribusi pengguna/114.6.27.117|114.6.27.117]] 5 Maret 2013 10.09 (UTC)
== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
* {{en}} [http://riaulingga.blogspot.com/2005/07/father-jacques-maesen-with-panembahan.html weblog Indonesia Pusaka]
* {{en}} [http://riaulingga.blogspot.com/2005/07/father-jacques-maesen-with-panembahan.html weblog Indonesia Pusaka]
Baris 105: Baris 16:
[[Kategori:Sejarah Kalimantan]]
[[Kategori:Sejarah Kalimantan]]
[[Kategori:Bekas negara di Borneo]]
[[Kategori:Bekas negara di Borneo]]
</sub><sub><sub>Teks subscript</sub><sub>Teks subscript</sub></sub>

Revisi per 5 Maret 2013 10.18

Kerajaan Sintang adalah Kerajaan Hindu kemudian menjadi Kerajaan Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Penguasa Kerajaan Sintang disebut Panembahan Sintang.

Pranala luar