Lompat ke isi

Hermeneutika: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP78Rizky (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: BP2014
55hans (bicara | kontrib)
Baris 5: Baris 5:
== Sejarah ==
== Sejarah ==


Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar [[logika]],''Peri Hermeneias'' karya [[Aristoteles]].<ref name="palmquist">{{cite book| author=Palmquist, Stephen|tittle=tree of philosophy|publisher=Philopsychy press|location=Hongkong|year=2000}}pekan VI. Filsafat bahasa. Kuliah 18. Hermeneutika</ref> Sejak saat itu pula konsep [[ logika]] dan penggunaan [[rasionalitas]] diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.<ref name="palmquist"></ref>
Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar [[logika]],''Peri Hermeneias'' karya [[Aristoteles]].<ref name="palmquist">{{cite book| author=Palmquist, Stephen|tittle=tree of philosophy|publisher=Philopsychy press|location=Hongkong|year=2000}}pekan VI. Filsafat bahasa. Kuliah 18. Hermeneutika</ref> Sejak saat itu pula konsep [[ logika]] dan penggunaan [[rasio|rasionalitas]] diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.<ref name="palmquist"></ref>


Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa [[agama]] ketika memasuki [[abad pertengahan]] (''[[medieval age]]'').<ref name="palmquist"></ref> Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan [[Tuhan]] dalam kitab suci-Nya secara [[rasional]]. <ref name="edi"> {{cite book|author=Mulyono, Edi. dkk|title=Belajar Hermeneutika|publisher= IRCiSod|Location=Yogyakarta|year=2012|id=ISBN 978-602-255-013-6}} Halaman 20-21</ref> Dalam tradisi [[kristen]], sejak abad 3 M , [[gereja]] yang kental dengan tradisi [[paripatetik]] menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk menginterpretasikan [[al-kitab]].<ref name="palmquist"></ref> Sedangkan dalam tradisi [[filsafat Islam]], ulama ''[[kalam]]'' menggunakan istilah [[Takwil]] sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat ''[[Mutasyabbihat]]''.<ref name="corbyn">{{cite book|author= Corbyn,Henry|tittle= History of Islamic Philosophy|publisher= Kean Paul International|location=London and New York|year=1962|en}} hal. 1-5.</ref>
Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa [[agama]] ketika memasuki [[abad pertengahan]] (''[[medieval age]]'').<ref name="palmquist"></ref> Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan [[Tuhan]] dalam kitab suci-Nya secara [[rasional]]. <ref name="edi"> {{cite book|author=Mulyono, Edi. dkk|title=Belajar Hermeneutika|publisher= IRCiSod|Location=Yogyakarta|year=2012|id=ISBN 978-602-255-013-6}} Halaman 20-21</ref> Dalam tradisi [[kristen]], sejak abad 3 M , [[gereja]] yang kental dengan tradisi [[paripatetik]] menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk menginterpretasikan [[al-kitab]].<ref name="palmquist"></ref> Sedangkan dalam tradisi [[filsafat Islam]], ulama ''[[kalam]]'' menggunakan istilah [[Takwil]] sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat ''[[Mutasyabbihat]]''.<ref name="corbyn">{{cite book|author= Corbyn,Henry|tittle= History of Islamic Philosophy|publisher= Kean Paul International|location=London and New York|year=1962|en}} hal. 1-5.</ref>

Revisi per 4 April 2014 11.33

Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. [1] Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuien yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.[2] Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus .[3]

Sejarah

Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar logika,Peri Hermeneias karya Aristoteles.[4] Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.[4]

Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age).[4] Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. [5] Dalam tradisi kristen, sejak abad 3 M , gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk menginterpretasikan al-kitab.[4] Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.[6]

Ketika Eropa memasuki masa pencerahan([rennaisance]), dari akhir abad 18 M sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan upaya para ahli Filologi Klasik.[7] Empat tingkatan interpretasi yang berkembang di abad pertengahan, yaitu, literal eksegesis,allegoris eksegesis,tropologikal eksegegis, dan eskatologis eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal eksegesis .[7] Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friederich August dan Friederich Ast.[8]

Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari empat tingkatan interpretasi abad pertengahan ketika Schleiermacher menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari sekedar mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. [4] [9] Hal tersebut disetujui dan dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M.[9] Ia memadukan konsep sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang baru terhadap Hermeneutika.[9] Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika adalah sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap generasi.[10] Walaupun melahirkan pemahaman yang tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.[10] [11]

Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat, fenomenologi lahir sebagai paham baru yang merambah dunia hermeneutika.[12] [5] Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi manusia yang sesungguhnya.[13] Usahanya mendapat respon postif dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika.[14] Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.[15] [5]

Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul Ricoeur memperkenalkan teorinya. [16] ia kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya saja , cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger. <ref>poespoporodjo, W. (2004). Bandung: pustaka setia.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)hal, Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.

  1. ^ Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6.  Halaman 15.
  2. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Kasenda
  3. ^ Hamilthon, Edith (2009). Yogyakarta. ISBN 979-1698-045-64-0.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  4. ^ a b c d e Palmquist, Stephen (2000). Hongkong: Philopsychy press.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)pekan VI. Filsafat bahasa. Kuliah 18. Hermeneutika
  5. ^ a b c Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6.  Halaman 20-21
  6. ^ Corbyn,Henry (1962). London and New York: Kean Paul International.  Teks "en" akan diabaikan (bantuan); Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan) hal. 1-5.
  7. ^ a b <Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6.  hal 34-35.
  8. ^ Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6.  hal. 21.
  9. ^ a b c Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6. 
  10. ^ a b Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6.  hal 21-22.
  11. ^ poespoporodjo, W. (2004). Bandung: pustaka setia.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan) hal. 55-56.
  12. ^ Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6.  hal 23, 69-70.
  13. ^ Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6.  hal.61-69
  14. ^ Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6.  hal.23,155-156.
  15. ^ Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6.  hal, 74-76,155-156
  16. ^ poespoporodjo, W. (2004). Bandung: pustaka setia.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan) hal. 109-111.