Lompat ke isi

Pekerja migran Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 27 Mei 2021 11.13 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 0 sources and tagging 2 as dead.) #IABot (v2.0.8)

Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri (seperti Malaysia, Timur Tengah, Taiwan, Australia) dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Namun, istilah TKI sering kali dikonotasikan dengan pekerja kasar karena TKI sejatinya memang adalah kumpulan tenaga kerja unskilled yang merupakan program pemerintah untuk menekan angka pengangguran. TKI perempuan sering kali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW).

TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan devisa 60 triliun rupiah (2006) [1], tetapi dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para pejabat dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka disediakan terminal tersendiri (terminal III) yang terpisah dari terminal penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk melindungi TKI tetapi juga menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar yang resmi seperti pungutan Rp.25.000,- berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI yang pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa pelayanan Rp25.000. (saat ini pungutan ini sudah dilarang)

Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Depnakertrans.

Kasus

Meski dapat menerima gaji yang besar dari hasil kerja, namun tidak jarang TKI (terutama TKW) terlibat di dalam kasus. Entah karena pemotongan gaji, perlakuan yang kejam, atau pelecehan dan pemerkosaan dari majikannya. TKI kerap kali tidak tahan akan perlakuan yang diterimanya, bahkan terkadang ada yang berusaha kabur, atau membunuh majikannya. Beberapa kasus yang melibatkan TKI:

Ceriyati

Ceriyati adalah seorang TKW di Malaysia yang mencoba kabur dari apartemen majikannya. Ceriyati berusaha turun dari lantai 15 apartemen majikannya karena tidak tahan terhadap siksaan yang dilakukan kepadanya. Dalam usahanya untuk turun Ceriyati menggunakan tali yang dibuatnya sendiri dari rangkaian kain. Usahanya untuk turun kurang berhasil karena dia berhenti pada lantai 6 dan akhirnya harus ditolong petugas Pemadam Kebakaran setempat. Tetapi kisahnya dan juga gambarnya (terjebak di lantai 6 gedung bertingkat) menjadi headline surat kabar Indonesia serta Malaysia, dan segera menyadarkan pemerintah kedua negara adanya pengaturan yang salah dalam pengelolaan TKI.

Ruyati

Ruyati adalah seorang TKW asal Bekasi, Jawa Barat di Arab Saudi yang membunuh majikannya. Dia berusaha membunuh ibu majikannya yang bernama Khairiyah Hamid yang berusia 64 tahun karena merasa tidak tahan dengan kekejamannya. Pembunuhan itu dilakukan dengan cara membacok kepala korban beberapa kali dengan pisau jagal dan kemudian dilanjutkan dengan menusuk leher korban dengan pisau dapur. Lalu, Ruyati melaporkannya ke KJRI di Jeddah.[1]

Pada 18 Juni 2011, Ruyati tewas dihukum pancung di Arab Saudi akibat perbuatannya itu. Keluarganya tetap meminta jenazah Ruyati untuk dipulangkan dan dimakamkan oleh pihak keluarga. Bahkan, pihak keluarga bertekad akan mengirimkan surat permohonan bantuan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dapat memulangkan jenazah. Sementara itu, suasana di rumah duka terus didatangi para pelayat dari kerabat dan warga sekitar. Mereka prihatin dengan peristiwa yang dialami Ruyati.[2]

Kedutaan Besar Indonesia untuk Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur, belum bisa memastikan pemulangan jenazah Ruyati ke Tanah Air. Ia mengemukakan itu menjawab pertanyaan anggota dewan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR di Jakarta, Kamis (23/6). Terkait keyakinan pemulangan jenazah Ruyati, berdasarkan sejarah selama ini korban pemancungan tidak ada yang pernah bisa kembali ke tanah airnya. Meski demikian, pihaknya terus melakukan upaya agar jenazah Ruyati, TKI yang dijatuhi hukuman pancung di Arab Saudi, bisa dikembalikan ke Tanah Air dan diserahkan kepada keluarga.[3]

Darsem

Seorang TKW asal Subang, Jawa Barat di Arab Saudi yang membunuh majikannya. Dia terancam hukuman mati karena membunuh. Hukuman ini dapat diperingan dengan membayar diyat atau tebusan senilai Rp4,7 miliar. Rupanya, Darsem belum sepenuhnya bebas dari hukuman secara maksimal meski telah membayar tebusan.

"Uang itu hanya untuk membebaskan Darsem dari hukum pancung," kata Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur saat melakukan rapat dengan pendapat dengan Komisi I Bidang Luar Negeri di Jakarta, Kamis 23 Juni 2011.

Menurut Gatot, setelah uang tebusan itu dibayarkan, pemerintah Arab Saudi akan menanyakan kepada keluarga korban dan masyarakat. "Apakah terganggu dengan pembunuhan yang dilakukannya," urai Gatot.

Jika keluarga dan masyarakat menyatakan terganggu dengan perbuatan Darsem, maka Darsem terancam hukuman 6 atau 10 tahun penjara. Saat ini Darsem sedang memasuki sidang umum.[4]

Pungutan Liar di KBRI/KJRI Malaysia

Para warga negara Indonesia yang ingin memperoleh pelayanan keimigrasian dimana kebanyakan dari mereka adalah TKI yang bekerja di Malaysia, dibebani tarif pungutan liar. Modusnya adalah terbitnya SK/Surat Keputusan ganda, untuk SK pungutan tinggi ditunjukan sewaktu memungut biaya, sedangkan SK pungutan rendah digunakan sewaktu menyetor uang pungutan kepada negara. Pungli ini berawal dari PPATK yang mencium aliran dana tidak wajar dari para pegawai negeri di Konjen Penang pada Oktober 2005, dikemudian hari terungkap, pungutan serupa juga terjadi di KBRI Kuala Lumpur. Pungli ini menyeret para pejabat ke meja hijau, termasuk mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hadi A Wayarabi,Erick Hikmat Setiawan (kepala KJRI Penang) dan M Khusnul Yakin Payapo (Kepala Subbidang Imigrasi Konjen RIPenang).[2] Erick Hikmat Setiawan divonis 20 bulan penjara.[3]

Pemotongan Gaji Ilegal

Hampir semua TKI atau buruh migran Indonesia mengalami potongan gaji secara ilegal. Potongan ini disebutkan sebagai biaya penempatan dan "bea jasa" yang diklaim oleh PJTKI dari para TKI yang dikirimkannya. Besarnya potongan bervariasi, mulai dari tiga bulan sampai tujuh, bahkan ada yang sampai sembilan bulan gaji. Tidak sedikit TKI yang terpaksa menyerahkan seluruh gajinya dan harus bekerja tanpa gaji selama berbulan-bulan. Praktik ini memunculkan kesan bahwa TKI adalah bentuk perbudakan yang paling aktual di Indonesia.

Lihat pula

Referensi

Pranala luar