Lompat ke isi

Ikon Minangkabau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 15 Februari 2017 07.05 oleh Crisco 1492 (bicara | kontrib) (+)
Istano Basa Pagaruyung di Tanah Datar yang berdesain Rumah Gadang sebagai ikon utama budaya Minangkabau.
Berkas:Ilustrasi Bundo Kanduang.jpg
Ilustrasi Bundo Kanduang Minangkabau yang elegan sebagai perempuan yang dimuliakan dalam adat matrilineal.

Ikon Minangkabau adalah suatu citra atau persepsi yang mengarahkan atau mengingatkan seseorang pada Minangkabau. Yang membentuk citra atau persepsi tersebut bisa berupa benda fisik maupun non-fisik, hasil dari perjalanan dan pergulatan kultur atau budaya Minangkabau.

Adat matrilineal

Adat matrilineal adalah suatu sistem kekerabatan yang bernasabkan garis keturunan ibu. Sebagai suatu sistem yang lebih tua, nasab matrilineal ini sudah langka penganutnya di dunia. Saat ini Minangkabau merupakan penganut sistem matrilineal terbesar di dunia dan satu-satunya di Indonesia. Sebagai penganut sistem matrilineal, masyarakat Minangkabau memuliakan kedudukan perempuan, baik saudara perempuan maupun orang tua perempuan yang dipanggil sebagai Bundo Kanduang.

Adat matrilineal menjadi salah satu pembeda masyarakat Minangkabau dengan masyarakat lainnya di Indonesia, sehingga ketika berbicara tentang sistem matrilineal akan mengingatkan orang pada Minangkabau. Adat matrilineal menjadi salah satu ikon tradisi dan budaya Minangkabau.

Bung Hatta

Berkas:Bung Hatta Anti-Corruption Award.jpg
Logo Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA).

Bersama Bung Karno, Bung Hatta merupakan proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Majalah Tempo edisi Milenium pada tahun 2000, menempatkan tokoh sederhana ini sebagai pendiri utama negara Indonesia bersama Soekarno, Tan Malaka, dan Sutan Syahrir. Hatta merupakan pencetus politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Pemikirannya tersebut ia tuangkan dalam buku Mendayung Antara Dua Karang.

Bung Hatta juga dijuluki sebagai Bapak Koperasi Indonesia karena pemikiran ekonominya yang berpihak pada rakyat banyak. Ia juga dikenal sebagai Bapak Bangsa yang sederhana dan bersih. Sampai ajal menjemputnya, ia tak pernah mampu membeli sepatu Bally yang sangat disukainya.

Nama Bung Hatta yang lahir di Bukittinggi ini menjadi ikon intelektualisme dan patriotisme Minangkabau.

Buya HAMKA

HAMKA dikenal sebagai seorang tokoh yang multi-talenta. Ia tidak hanya dikenal sebagai ulama Indonesia terkemuka, tapi juga seorang sastrawan, serta politikus dan pejuang kemerdekaan. Keulamaan HAMKA tidak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga bergema hingga negara-negara tetangga di Asia Tenggara, dan secara relatif di dunia internasional.

Pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah pemerintahan otoriter Soekarno, HAMKA pernah dipenjara karena memuat artikel Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta pada majalah yang dipimpinnya, Panji Masyarakat.

Datuk

Datuk merupakan gelar adat yang terhormat dalam masyarakat Minangkabau. Gelar ini disandang oleh seorang pemimpin dalam suatu keluarga besar yang ada dalam suku-suku atau klan di Minangkabau.[1] Dalam legenda Minangkabau, disebut dua orang datuk yang legendaris, yaitu Datuak Katumangguangan dari klan Koto-Piliang yang menciptakan sistem adat Lareh Koto Piliang, dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dari klan Bodi-Caniago yang menciptakan sistem adat Lareh Bodi Caniago.

Berkas:Penganugerahan gelar datuk.jpg
Penganugerahan gelar datuk di Minangkabau.

Dalam dunia Melayu, yang memakai gelar datuk ini hanya Minangkabau, Malaysia, dan Brunei dengan ejaan Dato', dan dengan penggunaan yang berbeda. Kalau di Minangkabau gelar datuk diwariskan secara turun-temurun kepada kemenakan (keponakan) dari garis ibu, sedangkan di Malaysia gelar Dato' diberikan sebagai penghargaan pada seorang tokoh yang dianggap punya jasa besar. Dalam novel roman Siti Nurbaya juga dikenal seorang tokoh antagonis, yaitu Datuk Maringgih. Datuk Maringgih yang diperankan H.I.M. Damsyik dalam sinetron Siti Nurbaya sangat melekat dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia, namun dalam citra yang ambigu. Gelar Datuk yang disandang oleh para penghulu juga telah menjadi ikon adat Minangkabau.

Malin Kundang

Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis, Padang, menurut legenda.

Cerita Malin Kundang adalah sebuah legenda dari Ranah Minang. Legenda ini mengisahkan tentang seorang anak lelaki yang bernama Malin Kundang pergi merantau dan berniaga. Setelah sekian lama merantau ia sukses menjadi seorang saudagar yang kaya raya. Dengan kapalnya, ia pulang ke Minangkabau. Ibunya yang sudah renta mendengar kabar tentang kepulangan anaknya, Malin Kundang. Namun betapa kecewanya sang ibu ketika bertemu Malin Kundang ia diperlakukan dengan kasar dan tak mengakui perempuan tua dan miskin itu sebagai ibunya. Setelah berulangkali meyakinkan si anak, Malin Kundang tetap tak mengakuinya. Sang ibu kemudian mengeluarkan sumpah sehingga Malin Kundang beserta kapalnya berubah menjadi batu.

Legenda ini kemudian jadi amat terkenal, tidak hanya di Minangkabau tapi juga di seluruh Indonesia. Legenda Malin Kundang telah menjadi ikon tentang seorang ibu Minangkabau yang ditinggal merantau oleh putranya, namun penantiannya yang panjang berakhir sia-sia.

Perantau

Sampul buku Adat Minangkabau dan Merantau karya Tsuyoshi Kato.

Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa yang gemar merantau ke berbagai wilayah di luar tanah kelahirannya di sekitaran dataran tinggi Minangkabau. Diperkirakan lebih dari separo orang Minang hidup di perantauan yang sebagian besar tersebar di Asia Tenggara, dan di wilayah lainnya di dunia, seperti Australia, Eropah, Amerika Serikat, Timur Tengah, dan lainnya, dalam jumlah yang lebih kecil.

Persentase perantau Minang yang yang begitu tinggi telah menyebarkan orang Minang ke berbagai tempat, sehingga umumnya orang memandang masyarakat Minang sebagai suku perantau. Tradisi merantau orang Minang telah berakar sejak berabad-abad yang lalu, namun tak diketahui secara pasti masa awalnya. Sejarah mencatat dengan baik, pengembaraan Raja Bagindo ke Sulu, Filipina, dalam rangka syiar Islam pada akhir abad ke-14, dan menjadi perintis Kesultanan Sulu. Sejarah juga mencatat penghijrahan besar-besaran orang Minang ke Semenanjung Malaya pada abad ke-15.

Rendang

Rendang sebagai ikon budaya kuliner Minangkabau dan Indonesia.

Rendang adalah masakan tradisional khas dari Minangkabau. Karya budaya kuliner ini ikut mengangkat budaya kuliner Indonesia ke tataran internasional karena terpilih sebagai makanan terlezat atau peringkat pertama di dunia pada World's 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) berdasarkan hasil polling yang dilakukan oleh CNN Internasional pada tahun 2011. Makanan yang telah ada sejak berabad yang lalu ini telah dikonsumsi dan dijadikan bekal dalam perjalanan panjang oleh peniaga-peniaga Minangkabau yang melakukan aktivitas perdagangan ke berbagai wilayah di Asia Tenggara dari zaman dulu. Rendang yang dianggap sebagai puncak gastronomi Minang telah menjadi ikon budaya kuliner Minangkabau.[2]

Rumah Gadang

Rumah Gadang di Fort de Kock, Luhak Agam, Minangkabau.

Rumah Gadang adalah rumah adat tradisional Minangkabau. Rumah berbentuk kapal dengan atap berujung lancip dan menjulang ini sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tidak hanya karena bentuknya yang unik, desain rumah gadang juga makin dikenal karena bagian gonjong atapnya yang lancip banyak dipakai sebagai ikon utama bagi masyarakat Minang di mana pun berada. Banyak rumah makan Padang yang berada di luar Sumatera Barat memakai gonjong rumah gadang sebagai penanda dengan memasangnya di bagian depan rumah makan. Rumah Gadang telah menjadi ikon warisan budaya Minangkabau yang bersifat fisik atau kasat mata.[3]

Berkas:Sitti Nurbaya (sampul depan).PNG
Sitti Nurbaya, sebuah novel roman karya Marah Rusli.

Siti Nurbaya

Sitti Nurbaya adalah sebuah novel roman karya Marah Rusli terbitan Balai Pustaka pada tahun 1922 yang amat dikenal di Indonesia. Novel yang bercerita tentang kisah cinta kasih Siti Nurbaya dengan tema kasih tak sampai, anti-pernikahan paksa, pengorbanan, kolonialisme, dan kemodernan itu juga dipelajari di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Karena kepopulerannya, karya Marah Rusli ini juga dijadikan idiom oleh masyarakat untuk menyatakan penolakan terhadap orang tua yang masih suka menjodohkan anaknya dengan seseorang yang bukan pilihan si anak.[4]

Tokoh utama Siti Nurbaya dalam novel itu kemudian menjadi ikon perempuan Minangkabau yang mengorbankan, serta mencari dan membela cintanya hingga ajal menjemputnya setelah diracun suaminya sendiri, Datuk Maringgih. Novel roman Sitti Nurbaya juga telah menjadi salah satu ikon sastra Indonesia.

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol, ulama, dan pemimpin Perang Padri.

Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai ulama dan pemimpin perang Padri terkemuka. Terlepas dari pro-kontra yang melatari kepejuangan Imam Bonjol, ia telah memimpin suatu perang yang cukup panjang, yang merupakan salah satu perang yang menguras tenaga, materi, dan pikiran pihak kolonialis Belanda, di samping dua perang besar lainnya, yaitu perang Jawa atau perang Diponegoro dan perang Aceh.

Panglima perang ini berhasil ditangkap Belanda setelah ditipu dengan dalih perundingan damai yang dilakukan pihak Belanda. Ia kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, lalu ke Ambon, Maluku, dan terakhir ke Lotak, Minahasa, Sulawesi Utara, dan meninggal di sana pada tanggal 8 November 1864 setelah menjadi buangan selama 27 tahun.

Imam Bonjol dan perang Padri telah menjadi ikon ulama dan patriotisme Minangkabau dalam perjuangan bersenjata melawan kolonialis.

Rujukan

  1. ^ "Belasan Pemuka Adat Minangkabau Dinobatkan Menjadi Datuk" Liputan6.com, 03 September 2005. Diakses 18 September 2015.
  2. ^ "Rendang Bukan Lagi Milik Orang Minang" Tempo.co, 26 Agustus 2012. Diakses 16 September 2015.
  3. ^ "Banyak warisan budaya Minangkabau terancam punah" Antara, 01 April 2013. Diakses 16 September 2015.
  4. ^ "Seniman Sastra; Marah Rusli" Situs TIM. Diakses 18 September 2015.