Lompat ke isi

Ngalaksa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Prosesi memasukan padi ke dalam leuit dalam Upacara Adat Ngalaksa.

Ngalaksa adalah salah satu upacara adat Sunda membawa padi ke lumbung dan membuat laksa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesuksesan dan keberhasilan panen padi di sawah yang diperoleh masyarakat. [1] Upacara tradisional ini dilaksanakan sebagai agenda rutin di daerah Rancakalong, Kabupaten Sumedang dan merupakan ungkapan kepercayaan lokal masyarakat terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Sri dan Karuhun (ruh-ruh nenek moyang). Nyi Pohaci adalah nama lain dari Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi kesuburan. [2] Ngalaksa merupakan kata kerja berimbuhan Nga- yang menggambarkan proses membuat makanan laksa oleh warga yang menjadi Rurukan (pemangku acara) selama tujuh hari tujuh malam dengan iringan seni Tarawangsa dan kecapi buhun yang disebut Jentreng. Laksa adalah sejenis makanan dengan bahan dasar tepung beras yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadi suatu jenis makanan seperti lontong yang dibungkus dengan daun congkok. Laksa tersebut direbus dengan daun combrang dengan jumlah ribuan atau sebanyak tepung yang telah dipersiapkan. Masyarakat percaya bahwa jumlah yang didapat pada saat itu memberi gambaran akan keberhasilan panen berikutnya. Bila pada saat itu dapat menghasilkan bungkus laksa yang lebih banyak dari tahun kemarin maka mereka yakin berkah melalui panen yang akan datang pun akan lebih berlimpah.[3]

Asal-usul

Versi Pertama

Zaman dahulu pada tahun 1620-an, pada masa pemerintahan Suryadiwangsa di Sumedang, keadaan sedang sibuk. Saat itu wilayah Sumedang berada dalam kekuasaan Kerajaan Mataram. Karena merasa tidak aman, masyarakat Sumedang melarikan diri ke dua tempat yang berbeda. Para Aparat Pemerintahan pergi ke Dayeuh Luhur, sebagian lagi yaitu para Budayawan lari ke Rancakalong. Saat itu, Kerajaan Mataram memiliki rencana untuk menyerang VOC ke Batavia. Maka ditentukan bahwa pusat perbekalan perang Kerajaan Mataram ada di Cirebon yang saat itu dipimpin oleh Dipati Ukur. Bahan pangan, terutama padi di seluruh wilayah Kerajaan Mataram harus dikirim ke Cirebon. Begitu pun Sumedang, bahan pangan seperti padi, palawija, dan sebagainya habis diberikan ke Cirebon. Tentunya saat itu di Sumedang mengalami paceklik atau kesusahan pangan. Melihat keadaan tersebut, masyarakat memiliki inisiatif mengirimkan utusan ke Cirebon. Ada 13 orang utusan yang dipimpin oleh Jatikusumah mempunyai tugas untuk membawa benih padi dari Cirebon ke Sumedang. Tetapi setelah 3 tahun ternyata tidak membuahkan hasil. Ini karena ketatnya pengawasan dari penjaga Cirebon. Para utusan tertangkap, digeledah pada saat membawa benih padi. Oleh karena itu Jatikusumah meminta kepada Pemerintah Sumedang untuk mencarikan seniman Tarawangsa. Saat itu Sumedang langsung mengutus 2 orang seniman Tarawangsa untuk pergi ke Cirebon. Dengan kepintaran 2 utusan tadi mereka berpura-pura menjadi pengamen, akhirnya benih padi pun bisa sampai ke Sumedang. Sejak saat itu masyarakat Sumedang tidak lagi mengalami paceklik karena benih padi yang ditanam hasilnya selalu baik. Setelah mengetahui di Rancakalong hasil panen sangat melimpah, diputuskan Sumedang harus mengirim padi ke Cirebon dalam bentuk makanan yang sudah matang. Saat itu masyarakat Rancakalong mengolah padi menjadi suatu makanan yang disebut laksa, serta setiap panen harus menyerahkan ke Cirebon untuk bekal perang. Sejak saat itu, kebiasaan membuat laksa itu dijalankan setelah panen, serta mengirimkannya ke Cirebon. Lama-lama para pembuat laksa meninggal karena usianya yang sudah tua. Akhirnya semuanya meninggal, meninggalkan 1 anak yang berumur 12 tahun. Selanjutnya diangkat oleh seorang warga Desa Rancakalong, sampai berumur 35 tahun. Dari anak itu berumur 12 tahun hingga 35 tahun, kebiasaan membuat laksa berhenti dan berlanjut lagi sampai sekarang.[4]

Versi Kedua

Konon dahulu cerita masyarakat Rancakalong ditimpa musibah yang membuat warganya panik luar biasa. Sebab musabab kepanikan tersebut karena hilangnya butiran padi dari dalam kulitnya. Padi yang ditanam tumbuh, tetapi tidak berisi. Akibatnya, masyarakat mengalami kekurangan pangan, kelaparan dan muncul berbagai jenis penyakit. Kemudian para tokoh desa Rancakalong berembuk dengan satu tujuan yakni mereka berusaha untuk mendapatkan bibit padi. Pada masa itu, Mataram dikenal sebagai lumbungnya bibit padi, maka berangkatlah para utusan dari Desa Rancakalong untuk menemui Raja Mataram. Namun para utusan tersebut tidak berhasil menghadap dan menemui Raja Mataram, bahkan di perjalanan para utusan dihadang pengawal Kerajaan (sumber lain menyebutkan perampok). Berdasarkan pengalaman tersebut, lalu mereka para tokoh bermusyawarah kembali, untuk mencari siasat atau ide agar dapat menghadap sang Raja Mataram. Maka muncul ide dari Eyang Jatikusumah untuk menciptakan dua buah alat musik Tarawangsa dan Jentreng (sejenis rebab dan kecapi), agar dapat berjumpa dengan sang Raja. Melalui kedua alat musik tersebut, mereka berhasil tampil dihadapan sang Raja dan mereka juga memperoleh bibit padi, sebagaimana tujuan yang diharapkan oleh masyarakat Rancakalong. Untuk membawa bibit padi tersebut, agar terhindar dari pemeriksaan dan perampasan para pengawal atau perampok dengan cara memasukannya ke dalam lubang resonator yang terdapat pada bagian belakang alat tersebut. Alat musik yang dipakai tersebut di beri nama Jentreng dan Tarawangsa.[5]

Pelaksanaan

Upacara adat Ngalaksa dianggap sebagai kegiatan tradisi yang bersifat sosio religius. Nilai kemasyarakatan berkaitan dengan sifat religius tentunya membutuhkan pemikiran yang matang sehingga fungsi dan maksud adanya upacara sejalan dengan tujuan diadakannya upacara. Menurut tradisi, dulunya upacara adat Ngalaksa dilaksanakan 3 atau 4 tahun sekali. Tetapi mulai tahun 1985 setelah para sesepuh adat mengadakan musyawarah dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwista Kabupaten Sumedang, upacara menjadi dilaksanakan setahun sekali, yaitu pada bulan Mei atawa Juli. Upacara ini dilaksanakan di lima rurukan yaitu di Rurukan Rancakalong, Rurukan Cibunar, Rurukan Cijere, Rurukan Legok Picung, dan Rurukan Pasir Biru.[3] Sekarang ngalaksa telah menjadi agenda rutin Kabupaten Sumedang yang mandiri karena diselenggarakan berdasarkan Peraturan Bupati Sumedang Nomor 113 Tahun 2009 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda (Sumedang sebagai pusat budaya Sunda).[6]

Tahapan Upacara

Badanten

Badanten atau musyawarah adalah tahap pertama dalam upacara ngalaksa. Bila pelaksanaannya di masyarakat, para rurukan sudah mempersiapkan acara badanten sejak bulan Mulud (Rabiul’awal) atau Silih Mulud (Rabiul’akhir) untuk ngalaksa bulan Jumadil’akhir, atau selepas Lebaran (Syawal) untuk ngalaksa di bulan Hapit (Dzulqaidah) pada tahun ketiga menjelang keempat. Adapun bila pelaksanaannya menurut pada agenda pemerintah di Desa Wisata, sebelumnya para ketua rurukan sudah mengetahui rurukan mana yang akan menjadi penanggung jawab penyelenggaraan kegiatan setiap tahunnya. Antara bulan Mei sampai dengan Juli (kalender pemerintah) untuk menentukan waktu terbaiknya. Badanten dilakukan oleh para ketua rurukan dengan mengundang empat ketua rurukan lainnya, perangkat desa, sesepuh laki-laki dan perempuan atau para saéhu, juga para pendukung lainnya. Dalam badanten dilakukan musyawarah tentang segala persiapan dan pelaksanaan upacara ngalaksa. Mulai dari waktu (hari dan tanggal) yang harus dihitung berdasarkan palintangan Sunda, kepanitiaan atau panata calagara, candoli, bahan yang harus disediakan, perlengkapan (peralatan dapur dan peralatan listrik), transportasi, dan penabuh kesenian tarawangsa. Struktur tahapan badanten adalah sebagai berikut.[7]

  • Saur atau Béwara, setelah badanten dilaksanakan secara tatalépa atau dari mulut ke mulut saur (informasi) segera menyebar. Prosesnya disebut bewara atau mengumunkan dalam waktu satu minggu.
  • Ngahayu atau Ngayu adalah mengajak warga untuk mempersiapkan keperluan upacara. Pada rurukan Rancakalong, istilah ini disebut ngayun, yaitu ngarahayukeun sareng ngayunkeun kahoyong Nyai (membahagiakan padi) dengan cara memainkan tarawangsa beberapa malam.
  • Ngiringan, masyarakat setempat berdatangan pada ketua rurukan untuk ngiringan. Ngiringan (mengikuti) ini adalah kegiatan sukarela pada masyarakat setempat untuk ikut serta dengan cara menyumbangkan berbagai keperluan upacara. Barang yang disumbangkan bisa berupa bahan (padi, beras, tepung untuk keperluan pembuatan kue, bumbu dapur, ayam, dll) atau kue yang sudah jadi, alat dan pekakas yang dipinjamkan, sampai uang yang setara dengan harga barang yang disumbangkan. Semua masyarakat sekitar ngiringan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Proses mengumpulkan bahan ini dilakukan dalam jangka satu minggu.[7]

Mera

Mera adalah pembagian tugas dan pembagian bahan (bibit padi). Setelah semua keperluan upacara hasil sumbangan dari masyarakat terkumpul dengan cara ngiringan, bahan dan tugas pun diperjelas kembali pembagiannya. Adapun tahapan mera adalah sebagai berikut.

  • Pembukaan, acara ini didahului oleh sambutan sesepuh atau saéhu sebagai pemimpin dimulainya mera.
  • Ngajiad Menyan dan Ijab Kabul, setelah pembukaan, lalu juru ijab atau salah seorang sesepuh atau saéhu membakar kemenyan dan mengucapkan ijab kabul yang isinya adalah bersyukur pada Tuhan, memberi salawat dan salam pada para Nabi, para wali, para leluhur, dan meminta ijin akan dilaksanakan mera demi keancaran upacara ngalaksa.
  • Membagi Bahan,hasil dari ngiringan masyarakat setempat yang sudah terkumpul tadi kemudian dibagi menjadi lima bagian. Pembagian bahan dilakukan demikian, misalnya dari ngiringan terkumpul satu kuintal beras atau padi, maka hasil satu kuintal tersebut dibagi dengan cara ditimbang untuk keperluan bahan membuat laksa, belanja untuk berbagai keperluan sesaji dan upacara, makan dan minum selama upacara berlangsung, dan upah untuk para pangrawit, pendukung, atau pembantu, dan biaya tak terduga.
  • Nginebkeun, setelah jelas pembagiannya, misalnya padi untuk membuat laksa terkumpul 45 gédéng atau gundu, lalu padi itu diserahkan kepada orang yang bertugas mengurusnya. Para petugas itu kemudian menyimpan padi di lumbung atau goah untuk diinebkeun (disimpan) hingga pada waktunya dilungsurkeun (diturunkan) ketika hari pertama upacara ngalaksa berlangsung.

Meuseul

Meuseul adalah istilah halus bagi memijit. Memijit bukan arti sebenarnya, tetapi kata yang dipilih untuk menghormati Nyai Pohaci sebagai pengganti kata menumbuk. Meuseul yang terdapat pada ngalaksa terdapat dua jenis, yaitu meuseul mitembeyan dan meuseul geulis.[8]

Meuseul Mitembeyan

Meuseul Mitembeyan adalah menumbuk pertama kali untuk memperoleh beras dari padi. Meuseul mitembeyan dilaksanakan waktu subuh pada hari kedua acara. Dalam meuseul mitembeyan ini terstruktur tahapan-tahapan rincinya sebagai berikut.[8]

  • Ngajiad Menyan dan Ijab Kabul, acara pada hari pertama adalah Ngajiad Menyan dan Ijab kabul dilakukan oleh saéhu laki-laki. Ngajiad Menyan adalah menyalakan menyan sebagai simbol dibukanya acara dengan membacakan mantra. Setelah ngajiad menyan, ijab dilalarkeun atau dinyaringkan. Ijab kabul ini adalah salam pembuka, memuji Allah, solawat pada Nabi Muhammad, doa-doa, menyebut para nabi para wali, menyebut semua leluhur di Rancakalong, dan ngedalkeun pamaksudan atau menyatakan maksud, setelah itu memohon perlindungan dan menyatakan harapan, keberkahan, keselamatan, dan kerahayuan akan bersawah dan hasilnya satu tahun ke depan. Selesailah ijab. Selanjutnya untuk mengisi acara, kesenian tarawangsa ditabuh dari sore sampai malam, sampai tiba acara nyumpingkeun keresa Nyai.
  • Nyumpingkeun Keresa Nyai, selanjutnya malam hari pada hari pertama itu dilaksanakan nyumpingkeun kersa Nyai (sekitar jam 21.00 s.d. 04.00). Nyumpingkeun adalah ritual yang disertai tarawangsa. Pada acara ini, bisa terlihat mitos menjadi kepercayaan bagi penganutnya.
  • Meuseul Mitembeyan, setelah istirahat dan sholat subuh, jam 05.00 semua bersiap-siap untuk ngalungsurkeun Nyai dari leuit untuk dipeuseul mitembeyan dan ditumbuk permulaan.
  • Nyiraman Nyai, di pangsiraman, Nyai disiraman atau diisikan atau dimandikan, dibersihkan. Mengawali Nyai disiraman, doa dan mantra dipanjatkan disertai kemenyan yang dibakar. Setelah semuanya selesai dibersihkan, kembali bakul-bakul berisi padi itu diarak diiringi ineban Nyai dibawa ke pajemuhan. Di pajemuhan, Nyai dipindahkan pada pangkon boboko yang sebelumnya dialasi dengan daun cariang ‘sejenis daun talas’ yang sudah diberi dengan minyak keletik. Daun cariang ini ibarat selimbut Nyai yang akan menjadikannya hangat ketika nanti diinebkeun ‘diperam’ di pangineban.
  • Nginebkeun Nyai 2, pangramaan mulailah membaca doa dan mantra serta membakar kemenyan di pangineban, ineban Nyai sebanyak 12 dimasukkan sebagian ke pangineban, lalu bakul-bakul berisi padi yang sudah dialasi dan ditutup daun cariangpun satu-persatu dimasukkan ke goah yang disebut pangineban tadi.
  • Ngaguar Nyai, hari kelima jam 03.40 subuh, setelah semalaman nyumpingkeun keresa Nyai¸ tibalah ngalungsurkeun Nyai dari peramannya yang dalam masa empat hari tiga malam itu. Nyai dikeluarkan dan ditumpahkan pada pangkon nyiru untuk diguar.[8]

Meuseul Geulis

Meuseul geulis adalah menumbuk halus, tujuannya memperoleh tepung dari beras yang sudah ditumbuk pada hari kedua tadi. Meuseul geulis dilaksanakan pada hari kelima atau hari terakhir untuk mendapatkan bahan dasar laksa (tepung).[8]

Ngalaksa

Laksa yang telah jadi.

Tibalah saatnya ngalaksa atau membuat laksa. Pada pelaksanaannya, pembuatan laksa ini terbagi dua, yaitu ada rurukan yang melaksanakan membuat laksa bongkok saja dan ada rurukan yang meneruskannya dengan membuat laksa gencét atau nyepitan Nyai. Tahapan melaksanakan laksa bongkok ini adalah ngadonan Nyai, nyinjangan Nyai, ngagodog Nyai, dan turun jimat. Tahapan ini diteruskan lagi bila membuat laksa gencét, tahapannya adalah: numbuk cikal, ngaléér, membuat orok-orok, nyepitan Nyai, membuat laksa dan ditambah, dan ngahurip Nyai.[8]

  • Ngadonan Nyai adalah proses membuat adonan laksa. Adapun kegiatannya sebagai berikut. Tepung dari tumbukan ritual diadonan pertama kali, mulai dari tepung dari padi cikal, panengah, dan bungsu.
  • Nyinjangan Nyai artinya memberikan kain pada Nyai. Adonan yang sudah selesai diuleni kemudian dimasukkan ke dalam wadah-wadah dan dibagikan pada ibu-ibu yang sudah siap memberikan sinjang. Sinjang bukan arti sesungguhnya, tetapi daun congkok (Latin: Moliner Capitulata) yang sudah dibersihkan yang disediakan sebagai kemasan membungkus laksa.
  • Ngagodog Nyai, setelah Nyai disinjangan, tibalah saatnya Nyai digodog atau direbus dalam air godogan papagan combrang. Sebelum Nyai digodog ada kasepuhan yang mengantarnya ke panggodogan, yang disebut ngajajapkeun ‘mengantarkan’. Kasepuhan yang mengantarkan bungkusanbungkusan laksa itu layaknya seorang kakek atau seorang bapak yang menimang anaknya untuk diantarkan ke tempat yang ditujunya.
  • Turun Jimat, laksa yang diangkat dari panggodogan inilah yang dinanya makan laksa bongkok. Setelah laksa-laksa itu diangkat dan ditiriskan, tibalah saatnya turun jimat atau membagikan laksa sebagai pamulang sambung, terutama kepada mereka yang ngiringan, para ketua rurukan, aparat desa, para pendukung, dan masyarakat. Pada turun jimat ini diyakini beberapa hal oleh masyarakat setempat, yaitu apabila laksa dikering dan disimpan di goah atau di leuit, maka Nyai Pohaci akan senang dan hasil pertanian akan bagus, apabila laksa dimakan, maka orang yang memakannya akan terhindar dari berbagai macam musibah, apabila air bekas mencuci jambangan (alat untuk membuat laksa gencét) dipakai mencuci pada wajah, maka akan awet muda, dan apabila air bekas mencuci jambangan disiramkan pada sawah-ladang, maka tumbuhannya akan subur. Demikian juga bila diminumkan pada binatang ternak, maka akan beranak pinak.
  • Numbuk Cikal, tahap seterusnya adalah numbuk cikal, bila rurukan akan melaksanakan membuat laksa gencét. Pelaksanaannya adalah sebagai berikut. Semua laksa bongkok yang sudah masak dari padi cikal dibuka dari daun pembungkusnya, lalu disatukan. Setelah itu ditumbuk sampai lumat di dalam dulang.
  • Ngaléér, setelah lumat semua, adonan dikeluarkan untuk diléér di atas papan ukuran 150x40x2 cm. Papan tersebut dialasi daun pisang dan supaya licin dan mudah diuleni, diolesi minyak kelapa sebelumnya. Setelah itu, lalu adonan diléér atau diratakan dengan bambu kuluntungan sampai beberapa kali. Orang yang ngeléér harus sampai berkeringat dan bekerja keras sampai adonan benar-benar lembut. Setelah itu lalu dibentuk lonjong sekitar 100x20x7cm dan dipotong-potong menjadi enam bagian.
  • Membuat Orok, lima bagian potongan ulenan kemudian dibentuk orok. Satu bagian disisihkan untuk menjadi saksi. Ulenan itu dibuat menyerupai bayi, kepalanya lengkap dengan anggota tubuhnya (mata hidung, telinga, bibir), tangannya, tubuhnya, kakinya. Para Ibu mengerjakannya dengan khidmat dan penuh perasaan, bahkan banyak pula yang menangis terharu.
  • Nyepitan Nyai, tibalah saatnya nyepitan Nyai atau mengkhitan Nyai. Alat mengkhitan Nyai adalah jambangan yang terdiri dari titihan dan cacadan. Sebelum kegiatan itu dilakukan, juru ijab kembali mengucapkan ijab kabul yang intinya memohon ijin pada Nyai Pohaci karena tubuhnya akan ditekan atau disepitan. Setelah ijab selesai, orok tersebut kemudian dimasukkan ke dalam titihan berlubang, lalu dengan cacadan orok tersebut digencét atau ditekan dengan cacadan, maka keluarlah laksa atau laksa gencét, laksa yang sesungguhnya yang berupa lembaran-lembaran laksa menyerupai emi atau semacam spageti. Nyepitan ini hanya dibuat satu kali saja, maka dari itu, dilakukan dengan sekuat tenaga agar orok beubah menjadi laksa (mentah).
  • Membuat Laksa, laksa mentah yang berupa lembaran-lembaran menyerupai mie itu kemudian ditampung dengan ayakan lalu direbus di atas tungku. Ketika lembaran itu matang, maka menyembullah dari dalam air yang panas itu, maka semua orang berteriak girang dan bahagia: Geulis! Geulis! Geulis!, atau Cantik! Cantik! Cantik! Diambillah lembaran-lembaran laksa matang itu untuk dihurip. Sisa laksa yang masih dalam titihan dan tidak keluar menyerupai mie disimpan.
  • Ngahurip, proses terakhir dari membuat laksa gencét ini adalah ngahurip. Ngahurip adalah mendoakan lembaran laksa yang telah diangkat daritempat rebusan. Prosesnya seperti ngahurip pada bayi saja, yaitu seorang sesepuh laki-laki menimang dan mendoakan laksa yang dialasi selembar daun yang lebar, lalu diserahkan pada sesepuh perempuan yang seolah Ma Paraji atau dukun beranak yang juga mendoakan dengan sayangnya. Dialah wali puhun perempuan. Setelah itu acara ditutup dengan oleh saéhu dengan menyampaikan pidato tradisional, yang isinya berupa nasehat agar masyarakat yang mengikuti upacara Ngalaksa senantiasa melaksanakan amanat leluhurnya supaya terhindar dari kesulitan.[8]

Wawarian

Wawarian adalah netepkeun karuhun ka asalna. Tahap ini adalah tahap terakhir yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara ngalaksa. Tahap wawarian ini dilaksanakan tidak di Desa Wisata tetapi dilakukan di rumah ketua rurukan yang bertanggung jawab menyelenggarakan upacara. Tahap wawarian dilaksanakan tiga hari atau seminggu setelah upacara ngalaksa selesai di Desa Wisata. Adapun penjelasan tahap wawarian adalah iber, padungdengan, ngajiad menyan dan ijab kabul, dan nyumpingkeun, dan  ngineban.[7]

  • Iber atau ngawartosan adalah kegiatan yang dilakukan oleh ketua rurukan untuk mengundang: para ketua rurukan lainnya, wakil aparat desa, dan para saéhu (sesepuh pangramaan dan paibuan). Selain itu, tak lupa mengundang penabuh kesenian tarwangsa untuk mengiringi kegiatan wawarian.
  • Padungdengan (Evaluasi), selepas magrib, semua yang hadir breng padungdengan atau diskusi dengan hangat dan tanpa formalitas; ngobrol ngalér-ngidul, bisa merokok, mencicipi makanan, dan sejenisnya. Dengan suasana santai, dibicarakanlah kekurangan dan kelebihan atau sisa yang tertinggal dari upacara Ngalaksa. Setelah padungdengan dianggap selesai, mulailah suasana dikondisikan khidmat. Semua bersikap daria.
  • Ngajiad Menyan & Ijab Kabul, selepas isya, wawarian dibuka dengan ngajiad menyan dan ijab kabul. Ijab kabul yang dinyatakan sama seperti ijab kabul permulaan, yaitu salam pembuka, memuji Allah, solawat pada Nabi Muhammad, doa-doa, menyebut para nabi para wali, menyebut semua leluhur di Rancakalong. Adapun yang membedakannya kegiatan ijab kabul permulaan adalah isi dan tujuan ketika ngedalkeun pamaksudan atau menyatakan maksud yaitu berterima kasih pada para karuhun yang telah ikut serta dalam upacara Ngalaksa lalu memohon maaf bila banyak kekurangan dan memohon perlindungan dan menyatakan harapan agar keberkahan, keselamatan, dan kerahayuan akan bersawah dan hasilnya satu tahun kedepan. Selesailah ijab.
  • Nyumpingkeun, selanjutnya kesenian tarawangsa ditabuh dari malam sampai subuh untuk mengiringi acara nyumpingkeun Keresa Nyai yang tatacaranya sama dengan nyumpingkeun di awal. Subuh menjelang, dan Keresa Nyai yang dianggap sudah sumping adalah simbol persetujuan bahwa para karuhun sudah tetep di asalnya dan menerima seluruh kegiatan.
  • Nginebkeun, acara terakhir adalah nginebkeun pangkon atau ineban ke goah atau pangineban.[7]

Pelaksana

Gambaran Juru Ijab atau Wali Puhun sedang bertugas pada suatu upacara adat.

Penyelenggara teknis dalam upacara adat Ngalaksa di antaranya sebagai berikut.[9]

Ketua Rurukan

Ketua Rurukan atau Ketua Kampung, yaitu tugasnya memimpin upacara serta mengatur jalannya upacara. Ketua rurukan yang membuka acara dan diawali dengan memberikan contoh kepada peserta upacara mengenai semua kegiatan yang akan dilaksanakan. Seorang ketua rurukan harus bisa menjaga jalannya upacara sehingga tidak keluar dari kaidah-kaidah yang berlaku dan sudah disepakati sebelumnya.

Saehu

Saehu bisa mempunyai dua arti, yaitu pemimpin kegiatan dan singkatan dari saé hubungan seseorang yang dianggap bisa menjalin komunikasi dengan baik. Saéhu ini mempunyai peran penting dalam kegiatan, dialah yang ngokojoan atau ngaluluguan kegiatan. Kata saéhu ini bisa diterapkan pada laki-laki dan perempuan. Hal yang lebih penting bagi peran ini adalah mereka bisa saja bukan turunan langsung dari rurukan. Saéhu ini bisa bertugas jadi juru ijab, nu ngajiad menyan, nu marancah, apabila menguasainya, dan sebutan mereka berubah menjadi juru ijab atau wali puhun.

Juru Ijab

Juru Ijab atau Wali Puhun, yaitu tokoh yang tugasnya selaku mediator yang mengucapkan mantra-mantra dan do’a untuk roh para leluhur. Juru Ijab harus hapal mantra dan do’a dalam upacara karena dianggap sebagai tokoh penghubung dunia nyata dan dunia gaib. Mereka biasanya adalah tokoh tua atau kalaupun tidak tua tetapi berpengalaman dalam setiap urusan hubungan dua dunia (nyata-gaib).

Candoli

Candoli, yaitu pelaku yang tugasnya menunggu dan mengerjakan segala pekerjaan dan keperluan di tempat penyimpanan sesaji (goah) atau dapur.

Juru tulis

Juru tulis, yaitu tokoh yang tugasnya menerima dan mencatat sumbangan dari warga masyarakat untuk keperluan upacara. Setelah selesai upacara, juru tulis membagi-bagikan lontong kepada semua peserta upacara sebagai balas jasa.

Pangramaan dan Paibuan

Pangramaan adalah barisan parasaéhu laki-laki, mereka bertugas mengatur kegiatan, saling melengkapi, mengarahkan, dan membantu. Tugas pentingnya di antaranya adalah mengawali ngemban atau ngabadaya; menari dan nyumpingkeun. Paibuan adalah barisan saéhu perempuan. Paibuan sangat dominan perannya ketika nyumpingkeun Keresa Nyai.

Saksi

Saksi yang diperuntukkan pada orang yang paling tua sekali umurnya dan mengetahui kegiatan Ngalaksa. Tugas saksi adalah meluruskan, membenarkan, atau menyempurnakan bila ada yang salah dan ada yang kurang.

Nu Ngiringan

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa nu ngiringan adalah mereka yang dengan sukarela membantu mengumpulkan bahan, iuran, alat-alat, atau menyumbangkan pikiran dan tenaganya secara sukarela untuk upacara ngalaksa. Nu ngiringan atau jamaknya nu ngariringan ini, terutama nu ngiringan dengan tenaganya pada saat-saat kegiatan sudah mengerti apa yang harus diperbuat dan yang menjadi tugasnya. Tugas dan kewajiban mereka disebutkan sudah dari karuhunnya, terutama yang sudah ditegaskan lagi dalam mera, yaitu yang bertugas membuat boneka Nu Geulis dan Nu Kasép, yang bertugas menyiapkan sasajényang bertugas menyiapkan daun congkok untuk sinjang ‘pembungkus’ laksa, yang bertugas menyiapkan semua pekakas, yang bertugas menumbuk padi, yang bertugas menampung laksa, yang bertugas mengelola dalam pembuatan laksa (pembuat adonan, pencetak, ngagodog), yang bertugas membagikan laksa di puncak acara. Dalam ngiringan ada istilah nu ngiringan duit saduit (artos pamulud). Setiap nu ngiringan duit saduit memberi sumbangan uang dengan peruntukan perjiwa. Misalnya memberi uang Rp. 10.000 untuk lima jiwa, artinya setiap jiwa nu ngiring memberi sumbangan Rp. 2000 untuk sedekah mulud, karena ngalaksa secara tradisional ada yang dilaksanakan pada bulan setelah mulud (Rabiul’awal) yaitu Jumadil’akhir selain pada bulan Hapit (Dzulqaidah). Pada yang menyumbang ini yang diharapkan adalah kabarokahan.[8]

Benda-benda Upacara

Benda-benda Dapur

Benda-benda dapur adalah alat-alat atau pekakas yang biasa digunakan di dapur untuk menyiapkan makan dan minum seluruh pendukung kegiatan. Benda-benda ini misalnya saja: hawu ‘tungku’ dan kayu bakarnya, kancah dan susuknya untuk penggorengan, dandang besar untuk menanak nasi dan menggodog laksa, ember untuk membawa air, teko besar untuk menyimpan air minum, gelas-piring-sendok, lap bersih-lap kotor, dan lain-lain.[8]

Benda-benda Upacara

Benda-benda upacara adalah alat-alat atau pekakas yang digunakan dalam upacara ngalaksa yang secara ritual berperan penting pada waktunya. Benda-benda ini terbagi dua, yaitu adalah benda-benda perlengkapan Ngalaksa dan benda-benda perlengkapan sasajen.

Benda-benda Perlengkapan Ngalaksa

Benda-benda ini adalah jambangan, pangkon (nyiru, boboko, tolombong), ayakan, giribig, terpal, lisung-halu, hihid, susuk awi, dulang, dan baskom.

Benda-benda Perlengkapan Sasajén

Benda-benda ini terbagi tiga, yaitu: sajen pokok dan sajen pengiring. Sajen pengiring terbagi dua, yaitu sajen makanan dan sajen non makanan.

Sajen Pokok adalah menyan dan parupuyan, sajarah wujud (kendi-air-pohon hanjuang hijau, hihid), puncak manik (nasi yang dibuat puncak gegunungan dari beras satu mangkok, telur ayam kampung, dan uang koin dua macam), rurujakan (tujuh atau sembilan macam), kopi pahit kopi manis, dan kelapa muda.

Sajen Pengiring makanan terdiri atas bubur merah, bubur putih, ketupat, lepat, dupi, papais merah, papais putih, sarikaya, bugis, candil, kelepon, kue cara merah, kue cara putih, (14) buah-buahan beubeutian, hahampangan (opak, kolontong, wajir, ranginang, rangining, dll), rampe, rujak petis, lemper, ranggesing, amis cangkéng, hahaneutan ‘bumbu dapur’, minyak keletik, cau kapas, congcot mulus (tumpeng, ikan mas, telur metah, dan daging mentah), congcot rasul (bakakak ayam, telur ayam matang, dan piis ‘asakan’, urab ketan, dan gulampo.

Sajen Pengiring bukan Makanan terdiri atas saksi (patung Nu Geulis dan Nu Kasép), sampayan (kebaya-kain yang dijejerkan di atas penabuh menjadi latar kegiatan), pangradinan, yaitu: alat-alat kecantikan Nyai (sisir, cermin, bedak, lipstik, pinsil alis, minyak wangi, dll), perhiasan Nyai (gelang tangan dan gelang kaki, cincin, kalung, jepit rambut, dll), anggoan Nyai (kain-kebaya-karémbong ‘selendang’), pakakas Nyai (keris), seureuh ranggeuyan dan tékték, lemareun ‘bahan untuk makan sirih’, sesepen (rokok atau cerutu), sawén, tampolong kuningan ‘pekakas untuk meludah’, dan pangkonan; lungsuran; ineban ‘bibit padi’, dan (13) bunga tujuh atau sembilan rupa, minyak keletik, dan rampé.

Benda-benda perlengkapan sajen ini bisa dibuat untuk dua hal, yaitu untuk upacara ngalaksa dan untuk tarawangsa. Sajen untuk upacara ngalaksa secara keseluruhan disimpan di pangineban atau di goah, sajen untuk tarawangsa disimpan di depan penabuh tarawangsa untuk keperluan Nyumpingkeun Keresa Nyai.

Benda-benda Midang

Benda-benda midang adalah benda-benda yang dipakai oleh para saéhu, para penabuh, para penari, dan nu ngiringan, dalam aktivitas upacara ngalaksa dan atau terutama ketika ngabadaya atau ngemban.

Pakaian Keseharian

Saéhu laki-laki memakai iket-baju-celana kampret hitam-sandal, iket-baju celana pangsi hitam-sandal, peci-kemeja putih/batik-celana hitam sandal. Saéhu perempuan memakai kebaya-sinjang- rambut digelung/dikerudung. Para penabuh: iket-baju-celana kampret hitam atau iket-kaos-celana hitam (bebas ketika siang hari). Nu ngiringan: kebanyakan kaum ibu memakai kebaya-sinjang-rambut digelung/dikerudung, sedangkan kaum bapak sama saja pakaiannya seperti para saéhu.

Pakaian Ngabadaya

Saéhu laki-laki memakai iket-kemeja putih-jas luar atau bukaan hitam-kekemben (selendang)-sinjang prang kusumah-keris. Saéhu perempuan memakai gelung-sisir tanduk-renda-kabaya-sinjang prang kusumah-gelang-kekemben (selendang). Pakaian para penabuh dan nu ngiringan biasanya sama saja dengan pakaian keseharian pada saat upacara ngalaksa, kecuali pada hari terakhir ketika kegiatan membuat laksa dilakukan, terutama para ibu. Pada hari tersebut semua midang dengan warna kebaya yang cerah, misalnya hijau muda, kuning muda, biru, merah, dan ungu.

Gerakan dalam upacara

Gerakan Tarawangsa

Gerakan ini adalah gerakan khusus ketika tarawangsa ditabuh, terutama ketika kegiatan nyumpingkeun Keresa Nyai pada malam hari sampai pagi hari, yaitu:

Ngalisahan, Nyekar, dan Meuleum Menyan

Nyekar adalah memohon ijin pada leluhur di hadapan sajen. Nyekar ini dilakukan pertama kali oleh saéhu laki-laki, lalu saéhu perempuan, lalu siapapun yang akan ikut menari. Gerakan nyekar memang tidak seperti menari, tetapi ini bagian permulaan yang berpola dan harus dilakukan. Caranya adalah: saéhu duduk dengan khidmatnya lalu mengoleskan minyak keletik pada kening, alis, ibu jari (ngalisahan). Setelah itu berdoa di depan sajen dan membakar sedikit kemenyan di parupuyan.

Ngalulungsur

Ngalulungsur adalah mengundang para leluhur untuk turun pada pajemuhan. Gerakannya adalah saéhu mengganti bajunya dengan baju khusus untuk menari, yaitu saéhu laki-laki: iket-kemeja putih-jas luar atau bukaan hitam-kekemben (selendang)-sinjang prang kusumah-keris atau saéhu perempuan: gelung-sisir tanduk-renda-kabaya-sinjang prang

kusumah-gelang-kekemben (selendang). Setelah ngalisahan, nyekar, dan membakar sedikit kemenyan, mereka duduk menghadap sajen dan juga menghadap empat penjuru angin (timur, selatan, barat, dan utara) sambil membaca mantra. Setelah itu, saéhu menari menghadap sajen sampai selesai dengan lagu tarawangsa Pangemat/Pangameut.

Ider Naga

Setelah lulungsur selesai, maka saéhu laki-laki memimpin ider naga. Ider naga adalah gerakan membawa 9 s.d. 12 barang ineban oleh paibuan yang berjumlah 9 s.d.12 orang dengan gerakan berputar besar di depan sajen (pajemuhan). Paibuan ini beriring di belakang saéhu laki-laki dengan menimang ineban-ineban yang dibawanya seperti halnya menimbang bayi. Penabuh tarawangsa melagukan Pangapungan.

Setelah beberapa kali ideran, disimpanlah lagi ineban bersama sajen-sajen lainnya di hadapan para penabuh. Saéhu laki-laki kemudian menari menghadap sajen lalu menghadap hadirin. Selanjutnya saéhu laki-laki menyerahkan keris dan selendang pada saéhu perempuan.

Amitan

Saéhu perempuan menerima keris dan selendang, hal ini menandakan tanggung jawab selanjutnya ada pada saéhu perempuan. Maka setelah itu amitan atau amitan paibuan pun dilakukan oleh saéhu perempuan dan paibuan.

Setelah saéhu perempuan memakai perlengkapan baju menari, terutama memakai sisir tanduk, renda gelang, dan selendang, maka saéhu pun ngalisahan, nyekar, dan membakar sedikit kemenyan. Setelah itu saéhu perempuan bersalaman pada para sesepuh. Selanjutnya paibuan (para ibu-ibu pengiring saéhu) bersalaman pada sesepuh dan menarilah mengiringi saéhu perempuan. Saéhu perempuan menari menghadap sajen, sedangkan paibuan menari di belakang saéhu.

Panémaan

Panémaan berasal dari kata téma artinya sambung, jadi panémaan adalah menyambung tarian. Adapun penarinya adalah panéma atau penyambung. Panéma ini menerima benda-benda dari salah seorang paibuan yang selesai menari berupa baju seperangkat dengan kerisnya untuk dipakai lagi menari.

Setelah baju dipakai, maka panéma pun ngalisahan, nyekar, dan membakar sedikit kemenyan. Setelah itu dipegangnya puncak manik, diusapnya sajen dalam pangkon, lalu diusapnya juga pohon hanjuang, barulah panéma menari. Saéhu perempuan memakai perlengkapan menari terutama sisir tanduk, renda gelang, dan selendang. Setelah itu kemudian ngalisahan, nyekar, membakar kemenyan, bersalaman pada saéhu laki-laki, dan

menarilah. Paibuan kemudian berdiri dan menari mengelilingi dan menjaga saéhu perempuan yang akan trans atau akan kasumpingan Keresa Nyai. Setelah tampak saéhu tak sadarkan diri dalam tariannya, paibuan menahan tubuh saéhu agar tidak jatuh lalu mengangkat dan mengarahkan keris ke kepala saéhu. Setelah itu, saéhu diciprati air dengan menggunakan

tékték. Setelah mulai sadar, tangan saéhu menciprati paibuan yang menjaganya, lalu diminumnya sedikit air yang dipakai ritual tersebut.

Nginebkeun

Gerakan nginebkeun pada tarawangsaan adalah gerakan menyimpan benda-benda ineban ke pangineban (goah). Polanya adalah pola ider naga, tetapi ineban yang dibawanya hanya pangkonan, sajarah wujud, dan saksi. Gerakan iderannya sebanyak sembilan kali sesuai dengan arah jarum jam.

Gerakan dalam Upacara Ngalaksa

Gerakan ini maksudnya adalah gerakan yang berpola dalam upacara Ngalaksa secara menyeluruh.

Meuseul

Pada gerakan meuseul atau menumbuk, baik meuseul mitembeyan maupun meuseul geulis, gerakan dilakukan bersamaan atau sareundeuk saigel sabobot sapihanean. Tidak boleh ada gerakan yang pacorok atau heula-pandeuri, karena bukan kegiatan ngagondang (main-main), tetapi kegiatan sakral dan penuh kebersamaan. Oleh sebab itu, gerakan alu harus bersamaan mengayun ke atas dan ke bawah, kadang disesuaikan dengan lagu tarawangsa yang ditabuh.

Nimang/ngemban

Gerakan Nimang adalah gerakan berpola seperti halnya menimang bayi. Nimang disebut juga ngemban yaitu mengayun bayi ketika sedang mengasuh. Gerakan ini akan dengan mudah terlihat pada setiap waktu ketika tarawangsa ditabuh. Paibuan atau pangramaan, sesepuh, bahkan penongton yang mengerti akan menggerakkan tangannya seperti halnya

menimang bayi. Gerakan ini kadang menimang dengan tangan kosong ataupun dengan menimang selendang.

Ngibing Ngabadaya

Ngibing ngabadaya dilakukan malam hari adalah ketika tarawangsa ditabuh dan kegiatan nyumpingkeun Keresa Nyai dilaksanakan. Ngibing ngabadaya pada kegiatan ini dilakukan oleh para saéhu laki-laki dan para saéhu perempuan, juga panema dan paibuan, dan bersifat sakral karena berada pada ritual nyumpingkeun. Para saéhu memakai busana prang kusumah. Lagu-lagu yang mengiringinya adalah lagu-lagu pokok. Ngibing ngabadaya yang dilakukan siang hari diikuti oleh umum untuk meramaikan acara. Ngibing ini sifatnya hiburan. Lagu tarawangsa yang ditabuhpun dinamis dengan lagu-lagu panambah.

Gerakan ngibing ngabadaya bersifat bebas, intuitif, tetapi mengindahkan gerakan-gerakan dasar yaitu: memakai selendang, gerakan para perempuan lebih statis dengan hanya mengayun selendang ke kiri ke kanan, sedangkan gerakan para laki-laki lebih dinamis. Selain gerakan yang dikondisikan demikian, ada gerakan di luar kesadaran para penari, yaitu trans atau setengah kesurupan dan kesurupan. Menurut para saéhu, terutama yang menjaga kemenyan, penari yang trans tersebut kemasukan leluhurnya, sehingga ada perempuan yang menangis, menari dengan gagah, dan bahkan silat. Demikian juga dengan penari laki-laki, ada yang kesurupan pamacan, palutung, dan sebagainya.

Mungkus

Kegiatan mungkus memperlihatkan pula gerakan tersendiri. Para ibu yang ngiringan secara perseorangan membungkus laksa dengan daun congkok berada dalam kelompok yang serempak sama membungkus laksa. Hal ini menjadikan gerakan membungkus berada dalam ritme dan dinamika yang menarik.

Ngajajapkeun

Gerakan terakhir yang menarik adalah gerakan ngajajap atau mengantarkan Nyai ke panggodogan (perebusan). Gerakan ini dilakukan oleh kasepuhan atau yang bertugas untuk itu dengan semacam tarian mengikuti irama musik dan lagu yang ditabuh. Dengan memangku laksa yang akan digodog, kakek seolah mengayun Nyai dalam pelukannya. Kepala, badan, dan kaki kakek bergerak dengan lincahnya mengikuti irama lagu sambil membawa Nyai ke panggodogan.

Kesenian pengiring

Kesenian dalam upacara ngalaksa adalah pertunjukan kesenian tarawangsa selama tujuh hari tujuh malam dan pada hari ketujuh baru diikuti dengan tari-tarian dengan masyarakat atau sesepuh sebagai penarinya. [10] Selain itu ada juga seni rengkong yang dipertunjukan saat iring-iringan atau pawai berlangsung. [11]

Pertunjukan tarawangsa

AlatPertunjukan Tarawangsa dalam upacara ngalaksa.

Tarawangsa adalah seni pusaka yang sangat dihormati di Desa Rancakalong, sehingga dijuluki seni ormatan. Tarawangsa sendiri memiliki arti dan dimaknai sebagai tatabeuhan rakyat wali nu salapan (alat musik Sembilan Wali) atau narawang ka nu Maha Kawasa (menerawang pada Tuhan Yang Maha Esa). Tarawangsa juga memiliki fungsi khusus sebagai alat musik untuk menghormati Nyai Nu Geulis, sebuah sebutan yang dituturkan orang-orang tua pada zaman dahulu di Tatar Sunda untuk makanan khususnya beras dan nasi. [12] Alat musik yang dipakai dalam pertunjukan ini terdiri dari dua waditra, yaitu waditra jentreng (sejenis kecapi) dan ngek-ngek (sejenis rebab). Jentreng bentuknya mirip dengan perahu yang berukuran panjang 75 cm sampai dengan 104 cm, lebarnya 12 sampai 14 cm. Terdiri dari ruruma, geulang, inang, paksi, lubang suara dan kawat atau dawai yang berjumlah 7 buah. Sedangkan ngek-ngek adalah alat musik gesek yang memiliki resonansinya terbuat dari kayu, berleher panjang dan mempunyai dua buah kawat. Peranannya selain berfungsi sebagai melodi juga berperan sebagai goong yang dipetik untuk memperkuat aksen petikan pada akhir kenongan lagu.[10] Pertunjukan ini disajikan dalam bentuk ansambel kecil yang hanya dimainkan oleh dua orang yang terdiri dari satu orang pemain kecapi dan satu orang pemain rebab. Kecapi dalam tarawangsa memiliki tujuh dawai, sedangkan rebab nya memiliki dua dawai. Istilah untuk kedua alat musik itu dalam tarawangsa disebut jentreng dan ngek-ngek. Baik jentreng maupun ngek-ngek, kedua istilah ini diambil dari masing-masing imitasi bunyi waditranya. Jentreng berasal dari bunyi kecapi yang di petik menghasilkan bunyi ”treng” dan ngek-ngek berasal dari bunyi rebab yang di gesek menghasilkan bunyi “ngek”. Dalam membunyikan waditra ngek-ngek terdapat berbagai keunikan di dalamnya, selain bunyi suaranya yang khas, cara memainkan ngekngek sangat berbeda dengan memainkan rebab. Dalam memainkan rebab sunda dawai di tekan menggunakan ujung jari, sedangkan bila memainkan ngek-ngek dawai di tekan menggunakan sendi setiap jari-jari tangan. Waditra ngek-ngek hanya digunakan untuk memainkan lagu-lagu tarawangsa, karena fungsinya hanya sebagai pembawa melodi dari lagu tarawangsa tersebut. Berbeda dengan waditra rebab sunda yang dapat digunakan untuk mengiringi semua lagu-lagu sunda.[13] Dalam pertunjukan Tarawangsa, penduduk menari sambil diiringi musik semalam suntuk, tak sedikit orang yang menari mengalami kerasukan ruh para leluhur. Pertujukan ini diawali oleh para para tokoh dan sesepuh dengan memanjatkan pujian kepada Tuhan dan menghaturkan salawat kepada Nabi Muhammad Saw. [14]

Pertunjukan seni tarawangsa biasanya dilaksanakan pada malam hari mulai pukul 20.00 WIB sampai dengan pukul 04.00 WIB dini hari. Khusus dalam upacara adat Ngalaksa dilakukan selama satu minggu siang dan malam secara berturut-turut. Hal ini terjadi karena tarawangsa dijadikan pengiring upacara yang senantiasa harus dipagelarkan selama upacara berlangsung. Para pemain seni tarawangsa terdiri dari penari perempuan berjumlah 5,7, dan 9 orang yang berusia lanjut, nayaga (pemain musik), saksi, dan Kuncen (tua kampung). Pertunjukannya dibagi ke dalam beberapa acara yaitu, tatalu (pembukaan), ngukus (membakar kemenyan), ijab kabul (ikrar serah terima), ngalungsurkeun (menurunkan), nema, nyumpingkeun (mendatangkan) dan nginebkeun (menyimpan). Lagu-lagu yang biasa dibawakan dari awal sampai akhir pertunjukan adalah Pamapag, Mataraman, Iring-iringan, Jemplang, Panimang, Sirna Galih, Dengdo, Angin-angin, Pangapungan, Buncis, Badud, dan Degung. Sesaji dalam seni tarawangsa memiliki ciri khas sebagai sebuah seni tradisi yang dianggap sakral. Makna-makna yang bisa diambil hikmahnya dari pertunjukan tarawangsa yaitu perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa bahwa dalam setiap tindakan harus mipit kudu amit ngala kudu bebeja (mengambil itu harus minta ijin lebih dahulu). Selain itu, manusia harus memperlakukan padi (Dewi Sri) dengan tertib, teliti, dan hati-hati. Sedangkan penggambaran media yang digunakan yaitu manusia hidup terdiri dari empat unsur yang dilambangkan dengan daun hanjuang (kehidupan), kendi (unsur bumi), hihid (unsur angin atau udara), dan air mengalir (darah).[10]

Dalam kesenian ini selalu disediakan sesaji sebagai syarat berlangsungnya ritus. Sesajen dalam seni ini terdiri dari sesaji di tengah rumah dan sesaji di padaringan (tempat menyimpan padi). Sasaji yang disimpan di tenputih, pakaian kebaya putih, pangradinan, sisir dan kaca, minyak kelapa, tektek juga beras yang di atasnya ditancapkan daun hanjuang, bunga rampai, dan kemenyan.[10]

Seni Rengkong

Seni rengkong.

Peralatan seni rengkong sangat sederhana. Alat tersebut adalah bambu gombong, tali ijuk, minyak tanah, dan kumpulan padi yang sudah diikat. Bambu gombong berfungsi untuk memikul. Tali ijuk digunakan sebagai pengikat padi yang digantung pada pikulan. Padi yang memiliki beratnya 10 sampai 20 kilogram sebagai beban yang pikul. Sedangkan minyak tanah untuk pengesat gesekan antara tali dan pikulan sehingga menghasilkan suara yang nyaring. Selain itu, ada Dogdog dan angklung buncis sebagai alat musik pengiring. Hatong juga sering digunakan sebagai instrumen pembantu. Hatong adalah alat tiup yang terbuat dari bambu. Suara yang dihasilkan musik rengkong sangat khas seperti suara katak bernyanyi dengan kompak. Pemain rengkong biasanya mengenakan celana pangsi, baju kampret, ikat kepala, dan tanpa alas kaki. Pemainnya berjumlah lima atau enam orang dengan durasi bermain selama satu jam. Pertunjukan rengkong selalu dilakukan di tempat terbuka. Cara memainkannya adalah pikulan yang berisi padi diletakkan di bahu sebelah kanan. Si pemikul mengayunkan ke kiri dan ke kanan dengan irama yang teratur. Tali ijuk yang menggantung pada badan bambu pun akan ikut bergerak-gerak, gesekan tali ijuk tersebut akan menghasilkan suara nyaring. [11]

Awalnya, rengkong digunakan sebagai sarana mengangkut padi dari sawah ke lumbung, sekaligus sebagai obat lelah para petani yang mengangkat beban padi yang begitu berat. Perlahan-lahan rengkong berubah menjadi kesenian tradisional masyarakat Sunda yang sering dipertunjukan ketika perayaan hari besar nasional, upacara keagamaan, upacara perkawinan, bahkan menyambut kedatangan tamu istimewa. Selain itu, rengkong juga memiliki nilai religius. Rengkong digunakan sebagai sarana ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan Dewi Sri (Dewi Keseburan) karena telah diberikan hasil panen yang melimpah. [11]

Rujukan

  1. ^ "Upacara Adat Ngalaksa-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  2. ^ "Tradisi Ngalaksa, Khas Warga Rancakalong". rri.co.id (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2019-04-10. 
  3. ^ a b "Wabup Buka Event Budaya Ngalaksa". www.setda.sumedangkab.go.id. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  4. ^ bpnbbandung (2015-05-20). "Upacara Adat Ngalaksa di Kabupaten Sumedang". Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-11. 
  5. ^ Kesuma, Guntur Cahaya (2016). "Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Adat Sunda "Ngalaksa" Tarawangsa di Rancakalong Jawa Barat". Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam (dalam bahasa Inggris). 7 (1): 35–44. doi:10.24042/atjpi.v7i1.1492. ISSN 2528-2476. 
  6. ^ Sumedang, Koran. "Ngalaksa Diharapkan Jadi Agenda Kabupaten Sumedang Mandiri". Korsum.net. Diakses tanggal 2019-04-18. 
  7. ^ a b c d "Rekontruksi Model Manajemen Rurukan Dalam Upacara Adat". webcache.googleusercontent.com. Diakses tanggal 2019-04-11. 
  8. ^ a b c d e f g h Isnendes, Retty (2013-12-12). "STRUKTUR DAN FUNGSI UPACARA NGALAKSA DI KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER" (dalam bahasa Inggris). Universitas Pendidikan Indonesia. 
  9. ^ Kartikasari, T. dkk. (1991). Pengukuhan Nilai-Nilai Budaya Melalui Upacara Traditional (Upacara Kesuburan Tanah Ngalaksa dan Upacara Bersih Desa Syaparan. Jakarta : Direktorat Jendral Kebudayaan. Hal. 29
  10. ^ a b c d "Tarawangsa, Seni Sakral Sunda Kuno yang Tersisa di Rancakalong". Sportourism.id. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  11. ^ a b c Redaksi. "Rengkong, Seni Masyarakat Agraris". Tangga.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-12. 
  12. ^ "Tarawangsa Rancakalong – Gigi Priadji" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-12. 
  13. ^ Ismail, M. Taufik (2017-06-16). "ORNAMENTASI WADITRA NGEK-NGEK GAYA ABUN DALAM LAGU REUNDEU PADA KESENIAN TARAWANGSA RANCAKALONG SUMEDANG" (dalam bahasa Inggris). Universitas Pendidikan Indonesia. 
  14. ^ Teguh, Irfan. "Tarawangsa: Menghormati Dewi Sri sampai Hilang Kesadaran". tirto.id. Diakses tanggal 2019-04-12. 

Pranala luar