Lompat ke isi

Suku Ngalum

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Ngalum
Jumlah populasi
53.116
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia  Papua New Guinea
Pegunungan Bintang, Papua, Indonesia29.116[1][2]
Sandaun24.000[3][2]
Bahasa
Bahasa Ngalum, Bahasa Indonesia
Agama
Kristen 81,5%[3]
Kelompok etnik terkait
Suku Murop, Suku Kupol[4]

Suku Ngalum adalah kelompok etnik yang mendiami Pegunungan Bintang, Papua. Di bagian Indonesia, mereka tinggal di Kabupaten Pegunungan Bintang, sementara di bagian Papua Nugini di Provinsi Sandaun dan Provinsi Barat.[3][5]

Identitas

Kata Ngalum adalah penyebutan terhadap kelompok masyarakat yang tinggal di lereng Puncak Mandala hingga ke arah timur sampai di Distrik Telefomin di Papua Nugini).[2] Istilah lain yang digunakan oleh antropologis adalah "Ok" yang berarti air dalam bahasa Ngalum. Hal ini karena masyarakat Ngalum selalu tinggal di tempat yang dekat dengan mata air seperti sungai. Banyak tempat di Pegunungan Bintang diberi nama dengan awalan ok.[6] Di Pegunungan Bintang, suku ini adalah mayoritas, mencakup 42,61% total penduduk.[1]

Menurut mitos Aplim Apom Sibilki, leluhur suku Ngalum diciptakan oleh Atangki di Puncak Mandala sehingga gunung tersebut menjadi sakral bagi mereka. Laki-laki dilambangkan oleh Aplim sementara perempuan dilambangkan oleh Apom. Atangki dipercaya sebagai roh yang hidup tersatu dengan alam dan makhluk hidup di sekitarnya. Beberapa suku lain di Pegunungan Bintang juga memercayai mitos ini.[2][7] Sekarang, Atangki dipadankan dengan Allah dalam Kekristenan.[8]

Dalam sensus penduduk, suku Ngalum di Indonesia dimasukkan dalam kategori "Suku Asal Papua".[9]

Kehidupan Sosial

Masyarakat Ngalum menganut sistem iwolmai yang bersifat patrilineal. Iwolmai terdiri dari beberapa keluarga dalam satu desa dan dipimpin oleh seorang iwolmai ngolki. Iwolmai merupakan bagian dari iwol atau kumpulan desa. Saat ini tercatat terdapat 417 iwolmai di Pegunungan Bintang.

Dalam pelaksanaan upacara adat, terdapat pembagian peran pemimpin (ngolki), yaitu osangki berperan pada tari-tarian, om bonengki pada pengelolaan perkebunan dan bahan makan, ap iwol ngolki pada rumah adat pria, kaka nalkonki pada peperangan, dan jebulki pada penyimpanan barang warisan leluhur. Peran ini dapat diperoleh melalui beberapa proses, diawali dengan inisiasi adat (tena kamil). Orang yang telah mengikuti inisiasi tersebut dinamakan tukon.[10]

Terdapat tiga golongan dalam masyarakat Ngalum, yaitu golongan ngolki, orang biasa, dan non-Ngalum. Pembagian golongan ini baru telihat jelas dalam pelaksanaan upacara adat. Jika seorang warga melakukan pelanggaran, dia akan diadili oleh para tetua adat di bawah pimpinan Iwolmai-ngolki. Hukuman yang diberikan cukup berat seperti pemotongan tangan untuk pencuri. Hal ini menyebabkan tingkat kejahatan di daerah kediaman suku Ngalum kecil.[11]

Budaya

Pernikahan

Dalam pernikahan tradisional, pernikahan diawali oleh peminangan. Peminangan dapat dilakukan atas permintaan langsung orang tua, permintaan petatas oleh laki-laki, atau penggunaan pertanyaan kiasan, “Mena puka yepki nek ne nere” yang berarti 'noken muda itu bagus, berikan ke saya?'. Noken melambangkan perempuan karena perempuan selalu memegang noken ketika melakukan pekerjaan atau bepergian. Jika pinangan berhasil, pihak laki-laki akan mengumpulkan mahar untuk dibayarkan kepada pihak perempuan. Dahulu, jenis barang yang boleh dijadikan mahar adalah gigi anjing (anon ningil), kapak batu (takol papi), babi (kang), noken, dan siwol wan (kulit kerang). Pembayaran mahar terus berlanjut ketika anak lahir. Mahar ini dinamakan tena sibi dan wajib diberikan setiap kali seorang anak lahir. Pasangan yang ingin menikah tanpa paksaan orang tua juga dapat melakukan kawin lari (namal). Prosesnya adalah ketika para laki-laki menari, perempuan menonton dan memilih penari yang dia sukai dan mengikutinya ke rumah setelah tarian usai. Namal biasa dilakukan pada tarian oksang, yimne, bar, dan jambir.[12]

Pengobatan

Suku Ngalum memanfaatkan bahan alam untuk dijadikan obat. Bahan yang umum dikenal adalah sayur yamen, daun gatal, dan buah merah. Fungsinya bermacam-macam, yaitu untuk membantu proses kelahiran, demam, tidak enak badan, dan juga ketahanan tubuh dan peningkatan kesuburan.[13]

Babi sebagai simbol status

Secara keseluruhan di daerah Papua, babi merupakan simbol status. Semakin banyak babi yang dimiliki seseorang atau sebuah kampung, semakin tinggi pula statusnya. Pemotongan dan penjamuan babi biasa dilakukan dalam upacara-upacara adat. Babi juga merupakan salah satu jenis mahar. Di daerah Oksibil, ibu kota Pegunungan Bintang, harga satu ekor babi hidup berkisar antara Rp10 sampai 40 juta per ekor dengan harga per kilogramnya sekitar Rp100.000.[14]

Kematian dan penguburan

Upacara kematian Suku Ngalum dibedakan berdasarkan status, yaitu upacara untuk ngolki dan upacara untuk orang biasa. Seorang ngolki yang meninggal dunia ditempatkan di dalam bangunan bokam iwol yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu. Bokam iwol tidak boleh dimasuki oleh perempuan dan anak muda yang belum diinisiasi. Setelah perkabungan, diadakan perjamuan makan babi yang disediakan oleh keluarga dan masyarakat. Satu kepala babi kemudian diletakkan ke dalam tempat jenazah bersama keladi. Kepala babi diletakan di sisi kanan mayat dan keladi pada sisi kiri mayat. Seluruh masyakat yang hadir dalam upacara membentuk iringan menuju ke tempat pemakaman. Di sepanjang jalan mereka meratap diikuti dengan lagu-lagu kematian. Sehari setelah pemakaman, bibit keladi ditanam di kebun milik keluarga. Pekerjaan menanam dilakukan oleh pihak keluarga, biasanya salah satu saudara laki-laki atau anak laki-laki tertua.

Pemakaman untuk orang biasa tidak dikuti dengan peletakkan babi dan keladi di sebelah mayat. Tanda kedukaan dinyatakan dengan cara mencukur atau mengambil beberapa helai rambut dari orang yang telah meninggal, kemudian disimpan pada sebuah tempat khusus. Perkabungan berlangsung selama tiga hari setelah pemakaman.

Penguburan orang Ngalum pada zaman dahulu adalah mayat dibalut dengan daun markon kemudian ditutupi dengan kulit kayu yang telah dirajut, lalu diikat dengan tali rotan. Dalam beberapa waktu, tempat tersebut akan lapuk sehingga tersisa kerangka mayat dengan posisi terlentang yang diletakan di lantai gua. Penggunaan peti kayu mulai dikenal saat misionaris masuk ke daerah ini sekitar tahun 1956 dan digunakan hingga sekarang.

Referensi

  1. ^ a b Ananta, Aris; Utami, Dwi Retno Wilujeng Wahyu; Handayani, Nur Budi (2016). "Statistics on Ethnic Diversity in the Land of Papua, Indonesia". Asia & the Pacific Policy Studies (dalam bahasa Inggris). 3 (3): 458–474. doi:10.1002/app5.143. ISSN 2050-2680. 
  2. ^ a b c d "Kabupaten Pegunungan Bintang". Badan Penghubung Daerah Provinsi Papua (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-09.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama ":1" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  3. ^ a b c "Ngalum | Joshua Project". joshuaproject.net. Diakses tanggal 2020-06-09. 
  4. ^ Melalatoa 1995.
  5. ^ Sitokdana & Hiktaop.
  6. ^ Sitokdana & Kristianus, hlm. 60-61.
  7. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 27.
  8. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 123.
  9. ^ Na’im, Akhsan; Syaputra, Hendry (2010). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. hlm. 27. ISBN 978-979-064-417-5. 
  10. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 31-33.
  11. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 34.
  12. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 38-39.
  13. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 44-48.
  14. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 48-49.

Daftar Pustaka

  • Sitokdana, Melkior N.N; Hiktaop, Kristianus; et al. (2020). Perdamaian Pegunungan Bintang [Untuk Membangun Peradaban Manusia Aplim Apom]. Salatiga: Satya Wacana University Press. ISBN 978-602-5881-68-8. 
  • Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm. 632. 
  • Kurniawan, Aan; Ayomi, Ivon; et al. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Etnik Ngalum Distrik Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. ISBN 978-602-235-228-0.