Lompat ke isi

Perubahan iklim di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 30 Desember 2021 00.57 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.5)

Perubahan iklim di Indonesia merupakan permasalahan yang penting, karena banyaknya populasi yang hidup di tepi pantai yang dapat terkena dampak kenaikan permukaan laut dan karena kehidupan banyak penduduknya bergantung pada pertanian, marikultur dan perikanan, yang semuanya dapat terkena dampak dari perubahan suhu, curah hujan dan perubahan klimatik lainnya.

Emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan Indonesia merupakan bagian yang signifikan dari total dunia. Indonesia telah disebut sebagai "penghasil gas rumah kaca yang paling diabaikan" yang "dapat menjadi negara yang menghancurkan iklim dunia."[1] Indonesia adalah "salah satu dari penghasil gas rumah kaca terbesar".[2] Pengukuran tahun 2013 menunjukkan total emisi GRK Indonesia adalah 2161 juta metrik ton ekuivalen karbon dioksida yang mencapai 4.47 persen dari total global.[3] Pada 2014, Indonesia berada pada peringkat kedelapan pada daftar negara menurut emisi gas rumah kaca.

Emisi

Emisi GRK di Indonesia berasal dari kebakaran liar, deforestasi, dan pembakaran gambut. Bergantung pada keparahan kebakaran liar, Indonesia dapat berada pada peringkat ketiga sampai keenam penghasil GRK tahunan terbesar.[1]

Selama abad ke-21, hutan dengan luas yang kira-kira sebanding dengan negara bagian AS Michigan (240.000 km2) telah ditebang, terutama untuk memperluas perkebunan kelapa sawit.[4]

Batu bara dan energi terbarukan

Batu bara diharapkan dapat menyediakan sebagian besar energi Indonesia hingga tahun 2025. Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia.[5] Indonesia merencanakan untuk menggandakan konsumsi batu bara pada 2027 untuk membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru.[4] Untuk menjaga komitmennya pada Persetujuan Paris, Indonesia harus berhenti membangun pabrik batu bara baru, dan berhenti membakar batu bara pada tahun 2048.[6]

Ladang angin pertama di Indonesia dibuka pada tahun 2018, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidrap 75MW di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan.[7] Indonesia mengumumkan tidak mungkin memenuhi target 23% energi terbarukan pada tahun 2025 yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris.[8]

Kebakaran 2010

Kabut Asia Tenggara 2010 merupakan sebuah krisis polusi udara yang mengenai negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura pada bulan Oktober 2010.[9]

Ini terjadi pada musim kemarau pada Oktober ketika kebakaran hutan dilakukan secara ilegal oleh petani-petani kecil di Dumai dan Bengkalis, di Provinsi Riau di Sumatra.[10] Petani-petani ini menggunakan metode peladangan untuk membuka lahan pertanian secara cepat.[11] Jumlah kebakaran di Sumatra mencapai puncak pada 18 Oktober, dengan 358 titik panas.[9]

Kebakaran 2015

Pada 2015, di Indonesia terjadi kebakaran parah yang berlangsung selama hampir dua bulan. Gambut adalah bahan bakar utamanya. Sebuah El Niño menyebabkan musim kemarau yang sangat kering yang memperburuk situasi.[12] Kebakaran ini menghasilkan GRK yang cukup bagi Indonesia untuk menghasilkan lebih banyak emisi per hari daripada Amerika Serikat selama 38 hari.

Kebijakan pemerintah

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen secara sukarela untuk pengurangan emisi GRK minimum 26 persen pada 2020 dan 29 persen pada 2030.[13] Namun, Indonesia tidak efektif dalam menerapkan kebijakan untuk memenuhi target dari Persetujuan Paris. Pada 2018, kebijakan yang diambil pemerintah meningkatkan emisi. Kebijakan ini mencakup pembangunan 100 pembangkit listrik tenaga batu bara, perluasan produksi minyak sawit, dan peningkatan konsumsi bahan bakar hayati.[1]

Indonesia mengembangkan kebijakan iklim terkait guna lahan dan emisi kehutanan. Sebuah moratorium untuk penebangan hutan primer dan pembukaan lahan gambut diperpanjang dari 2 menjadi 4 tahun.[14]

Pemerintah Indonesia berusaha mengurangi kemiskinan sebanyak 4 persen pada 2025, tetapi kebijakan iklim yang kuat dapat membuat target ini mustahil dicapai. Bantuan internasional dapat memungkinkan Indonesia untuk mengurangi emisinya sebanyak 41 persen pada 2030.[2]

Pada tahun 2020, "Indonesia akan mulai mengintegrasikan rekomendasi dari Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon yang baru ke dalam rencana pembangunan nasional 2020-2024." Perlindungan dan restorasi mangrove akan memainkan peran penting dalam memenuhi tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga lebih dari 43 persen pada tahun 2030.[15]

Pada bulan Februari 2020, diumumkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat sedang mempersiapkan RUU energi terbarukan pertamanya.[5]

Juga pada bulan Februari 2020, perubahan yang diusulkan untuk deregulasi lingkungan telah menimbulkan keprihatinan baru, dan dapat "memungkinkan perkebunan dan tambang ilegal untuk menutupi operasinya."[16]

Dampak perubahan iklim

Perubahan iklim global diperkirakan meningkatkan suhu di Indonesia sebanyak 0,8 °C pada 2030.[17]

Pada 2019, sekitar setengah dari ibukota Indonesia, Jakarta, terletak di bawah permukaan laut, dengan beberapa daerah menurun "secepat 9 inci [23 cm] per tahun."[18] Jika emisi karbon terus berlanjut dengan laju pada 2019, dikombinasikan dengan penggunaan air tanah ilegal, diperediksikan 95% dari Jakarta Utara akan tenggelam pada 2050.[18]

Perubahan pola curah hujan diprediksikan berdampak buruk pada pertanian di Indonesia, karena musim hujan yang lebih pendek.[17] Indonesia mengalami kerugian panen dan dampak buruk pada perikanan sebagai akibat perubahan iklim paling awal sejak 2007.[19]

Pada tahun 2020, perubahan iklim telah berdampak pada nelayan Indonesia.[20]

Dampak pemanasan global

Kenaikan temperatur rata-rata di Indonesia 1981-2018.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bakal terjadi peningkatan suhu udara di Indonesia sebesar 0,5 derajat celsius pada 2030. Selain kenaikan suhu udara, kasus kekeringan juga akan meningkat di Pulau Sumatera bagian selatan, sebagian besar Pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), hingga Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2030. Sebaliknya pada musim hujan, jumlah hujan lebat hingga ekstrem juga cenderung meningkat hingga 40 persen dibandingkan saat ini.[21]

Akibat perubahan iklim, menyebabkan pengurangan kadar oksigen di daerah khatulistiwa, termasuk Indonesia, dapat berdampak lebih serius, dibanding kawasan negara empat musim. Selama ini di dalam lautan ada perbedaan berdasarkan kedalamannya, laut membuat stratifikasinya sendiri. Proses stratifikasi ini membuat oksigen banyak terkonsentrasi di bagian atas sehingga menghasilkan banyak biomassa berupa ikan dan ganggang. Dalam studi yang terbit dalam jurnal Science edisi 5 Januari 2018 disebutkan perubahan iklim, membuat kadar oksigen di dalam lautan menurun. Akibatnya rantai makanan dan biota laut yang membutuhkan oksigen jelas akan terganggu. Dari studi itu terungkap bahwa wilayah laut terbuka yang minim oksigen meningkat empat kali lipat. Hal itu juga terjadi di wilayah muara, teluk, dan pesisir, sejak 1950. Studi berjudul "Declining Oxygen in the Global Ocean and Coastal Waters" itu menjelaskan suhu permukaan air naik. Suhu panas ini menyerap oksigen di permukaan. Perubahan ini bisa merusak rantai makanan, di mana kehidupan manusia basisnya adalah rantai makanan. Pemanasan global juga akan berdampak pada naiknya suhu sehingga bila ini terjadi maka yang ditakutkan adalah kurang konsistennya produktivitas biomassa akibat kenaikan suhu. Yang seharusnya panen jadi tidak panen, yang kuat jadi lemah, maka rantai makanan akan semakin timpang.[22]

Perubahan suhu permukaan laut yang lebih hangat menjadi ancaman bagi kehidupan terumbu karang. Padahal, keberadaan terumbu karang sangat penting bagi kembang biak ikan. Jika laut di Indonesia sumber makanan sudah berkurang, ikan tentu akan bermigrasi. Dampaknya adalah nelayan akan semakin sulit mencari ikan. Selain sulit mencari kumpulan ikan, ancaman badai besar dan gelombang tinggi juga semakin besar buat para nelayan.[22]

Opini publik dan perubahan iklim

Sebuah survei 2019 oleh YouGov dan Universitas Cambridge berkesimpulan bahwa Indonesia memiliki persentase penyangkal perubahan iklim terbesar (18 persen), diikuti Saudi Arabia (16 persen) dan Amerika Serikat (13 persen).[4]

Pendidikan tentang perubahan iklim tidak menjadi bagian dari kurikulum.[4][23]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c Coca, Nithin (March 28, 2018). "The Other Country Crucial to Global Climate Goals: Indonesia". The Diplomat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-12-05. 
  2. ^ a b Piesse, Mervyn (2018-09-18). "Indonesian Climate Change Policies: Striking a Balance between Poverty Alleviation and Emissions Reduction". Future Directions International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-12-05. 
  3. ^ "Greenhouse Gas Emissions Factsheet: Indonesia | Global Climate Change". www.climatelinks.org. Diakses tanggal 2019-02-28. 
  4. ^ a b c d Dickinson, Leta (2019-05-10). "With sea levels rising, why don't more Indonesians believe in human-caused climate change?". Grist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-05-16. 
  5. ^ a b Gokkon, Basten (2020-02-14). "In Indonesian renewables bill, activists see chance to move away from coal". Mongabay Environmental News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-19. 
  6. ^ Nugraha, Indra (2019-12-02). "Indonesia 'must stop building new coal plants by 2020' to meet climate goals". Mongabay Environmental News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-20. 
  7. ^ Andi, Hajramurni (2018-07-02). "Jokowi inaugurates first Indonesian wind farm in Sulawesi". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-19. 
  8. ^ "Indonesia Struggles to Meet Renewable Energy Target". Voice of America (dalam bahasa Inggris). November 29, 2018. Diakses tanggal 2020-02-19. 
  9. ^ a b National Environment Agency (2010). "Annual Weather Review 2010" (PDF). Review of Weather Conditions in 2010. 1: 2–5. 
  10. ^ "Worst haze from Indonesia in 4 years hits neighbors hard". Reuters (dalam bahasa Inggris). 2010-10-21. Diakses tanggal 2019-05-12. 
  11. ^ "Harvard-Columbia study finds that 2015 haze in Indonesia likely caused 100,300 premature deaths". Mighty Earth (dalam bahasa Inggris). 2016-09-18. Diakses tanggal 2019-05-12. 
  12. ^ Plumer, Brad (Oct 30, 2015). "How Indonesia's fires became one of the world's biggest climate disasters". Vox. 
  13. ^ Indonesia pledges to cut carbon emissions 29% by 2030, The Guardian, 2 September 2015
  14. ^ "Climate Change - Indonesia". World Resources Institute. Diakses tanggal 2018-12-05. 
  15. ^ Barclay, Eliza (2019-12-12). "Supertrees: Meet Indonesia's mangrove, the tree that stores carbon". Vox (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-20. 
  16. ^ Jong, Hans Nicholas (2020-02-11). "Experts see minefield of risk as Indonesia seeks environmental deregulation". Mongabay Environmental News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-20. 
  17. ^ a b Oktaviani, Rina; et al. (2011). "The impact of global climate change on the Indonesian economy". IFPRI, International Food Policy Research Institute. Diakses tanggal 2018-12-05. 
  18. ^ a b Dickinson, Leta (2019-05-01). "Indonesia might need a new capital because of climate change". Grist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-05-16. 
  19. ^ "Climate Change in Indonesia". Global Greenhouse Warming (dalam bahasa Inggris). 2018. Diakses tanggal 2018-12-05. 
  20. ^ "Indonesian fishermen grapple with climate change". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). January 13, 2020. Diakses tanggal 2020-02-19. 
  21. ^ "BMKG: Suhu Indonesia Naik 0,5 Derajat Celcius & Curah Hujan Meningkat 40% pada 2030". nasional.okezone.com. 23 Juli 2019. Diakses tanggal 11 Oktober 2019. 
  22. ^ a b "Dampak Pemanasan Global di Indonesia Lebih Serius". koran-jakarta.com. 15 Januari 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-06. Diakses tanggal 11 Oktober 2019. 
  23. ^ Putrawidjaja, Mochamad (2008). "Mapping Climate Education in Indonesia" (dalam bahasa Inggris). Jakarta: British Council. 

Bacaan lebih lanjut