Lompat ke isi

Kepercayaan tradisional di Sulawesi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 4 Maret 2023 05.25 oleh BuntuKonye (bicara | kontrib) (Pokok ajaran: Antisme Filipina ~~~~)
Upacara pemakaman di suku toraja

Animisme di Pulau Sulawesi mengacuh pada Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja "Aluk Todolo" yang merupakan kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Sejarah

Awal mula animisme di Pulau Sulawesi berasal dari Aluk Todolo, keyakinan, dan ajaran hidup orang Toraja terdahulu, mereka meyakini bahwa "Orang Toraja berasal dari Langit". Tidak hanya manusia saja, tetapi juga kerbau, ayam, kapas, hujan, besi, bisa, dan padi sebagai unsur dasar dari alam ini, dibuat dan diturunkan dari langit. Adalah Datu' Laukku yang dianggap sebagai nenek moyang manusia. Ia dibuat langsung oleh Sang Pencipta yang disebut Puang Matua, dari bahan emas murni, dengan perantaraan Sauan Sibarrung.

Datu' Laukku beserta keturunannnya tetap hidup di langit hingga beberapa generasi, dan dari keturunannya itu yang pertama kali diturunkan ke bumi adalah Pong Bura Langi. Di bumi, Pong Bura Langi kemudian memiliki keturunan yang pertama dan disebut Pong Mula Tau. Pong Mula Tau inilah yang dianggap dan disebut sebagai manusia pertama.

Namun menurut orang Toraja, Pong Bura Langi bukanlah satu-satunya yang turun dari langit. Beberapa keturunan Datu' Laukku lainnya juga turun ke Bumi. Di antara yang turun dari langit adalah Puang Soloara di Sesean, Puang Tamboro Langi (Sawerigading) di Kandora, dan Puang Ri Kesu di Gunung Kesu. Mereka ini disebut tomanurun di langi’ yang artinya adalah orang yang turun dari langit. Kali ini Toraja tidak sendirian menganut kepercayaan tomanurun di Langi. Suku-suku lain yang mendiami wilayah seputaran semenanjung Sulawesi Selatan juga percaya adanya tomanurung di langi’, hanya saja mengenai tempat kedatangannya sangat bervariasi.[1]

Kepercayaan awal

Upacara kematian Toraja.

Kepercayaan Aluk Todolo ini bersumber dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dan aluk serba seratus (sanda saratu'). Aluk Sanda Pitunna (aluk 7777) merupakan sistem religi yang diyakini oleh orang Toraja sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama-sama dengan umat manusia. Oleh karena itu, Aluk Sanda Pitunna adalah aluk tertua dan menyebar secara luas di Toraja. Sementara itu, Aluk Sanda Saratu' datang kemudian, namun Aluk Sanda Saratu' hanya berkembang didaerah Tallu Lembangna.

Aluk Sanda Pitunna bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka') dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Aluk sendiri meliputi upacara yang terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a'pa' pentaunina). Disebut tiga aluk karena ia meliputi upacara yang menyangkut aluk tau atau manusia.[2][3]

Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak zaman dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepercayaan. Dalam hal kepercayaan, penduduk Suku Toraja percaya kepada Sang Pencipta, yang disebut dengan istilah Puang Matua. Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, sang pencipta ini. Di dalam menjalankan ritualnya, Aluk Todolo memiliki dua macam upacara yaitu upacara berduka disebut Rambu Solo' dan Rambu Tuka sebagai upacara kegembiraan. Upacara Rambu Solo' meliputi tujuh tahapan, yaitu Rapasan, Barata Kendek, Todi Balang, Todi Rondon, Todi Sangoloi, Di Silli, Todi Tanaan. Serta upacara Rambu Tuka juga meliputi tujuh tahapan diantaranya Tananan Bua, Tokonang Tedong, Surasang Tallang, Remesan Para, Tangkeuan Suru, Kapuran Pangguan.

Ritual

Aluk Todolo sendiri menjadi tali pengikat masyarakat Toraja yang begitu kuat, bahkan menjadi landasan kesatuan sang torayan yang sangat kokoh sehingga ke manapun orang Toraja pergi, mereka akan selalu teringat dengan kampung halaman, dan rindu untuk kembali kesana. Ikatan batin yang begitu kokoh tentu saja adalah buah-buah hasil dari tempaan Aluk Todolo itu. Karena itu memprihatinkan bila aluk todolo kini nyaris lenyap diterpa arus dunia modern, namun ritual-ritual masih dipertahankan. Salah satu ritual yang masih kental yaitu "Ritual Ma'Nene".

Ritual Ma'nene adalah ritual tradisional di Tana Toraja ketika jenazah leluhur keluarga Toraja akan digantikan kainnya.

Ritual Ma'nene adalah ritual tradisional di Tana Toraja dimana jenazah leluhur keluarga Toraja akan dibersihkan, digantikan baju dan kainnya.[4][5]

Ma' Nene' merupakan sebuah ritual adat dalam budaya Suku Toraja. Ritual ini merupakan sebuah ritual di mana mayat yang berusia puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dikeluarkan dari dalam liang kuburan untuk dibersihkan dan diganti baju dan kainnya. Ritual adat ini termasuk dalam upacara adat Rambu Solo' (kematian).

Pokok ajaran

Aluk Todolo

Pokok-okok ajaran animisme di Sulawesi hampir keseluruhan mengacu pada ajaran Aluk Todolo, Puang Matua menciptakan segala isi bumi ini pertama-tama dengan menciptakan delapan Makhluk di atas langit melalui tempayan yang disebut Saun Sibarrung, yang menurut mitos ajarannya berbunyi: "Berangkatlah sang pencipta ke sebelah barat mengambil sebakul emas dan kembali membawa bakulnya itu dan dimasukkannya kedalam sebuah tempayan yang dinamakan Saun Sibarrung dan kemudian dihembusnya Saun Sibarrung itu lalu terciptalah delapan macam nenek makhluk dari dalamnya dan masing–masing diberi nama:

  • Datu' La Ukku', yaitu Nenek dari Manusia
  • Merrante, yaitu Nenek dari Racun
  • La Ungku', yaitu Nenek dari Kapas
  • Irako, yaitu Nenek dari Besi
  • Menturini, yaitu Nenek dari Kerbau
  • Pong Pirik–Pirik, yaitu Nenek dari Hujan
  • Lamemme, yaitu Nenek dari Padi
  • Menturiri, yaitu Nenek dari Ayam"

Setelah Puang Matua menciptakan kedelapan mahluk terseut maka kepada Nenek Manusia yaitu Datu’ La Ukku’ diberikan kepadanya satu aturan atau ketentuan setelah Puang Matua menikahkannya dengan To Tabang Tua yang juga diciptakan oleh Puang Matua. Aturan itulah yang kemudian dinamakan sukaran aluk yang kelak diikuti oleh keturunan Datu' La Ukku' bernama Pong Mula Tau sebagai manusia pertama yang turun dari langit membawa sukaran aluk.[2]

Sebelum kata Toraja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Toraja, sebenarnya dahulu negeri tersebut adalah negeri yang berdiri sendiri yang dinamai "Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo" yang artinya adalah negeri yang pemerintahan dan kemasyarakatannya berketuhanan yang merupakan kesatuan yang bulat bentuknya bagaikan bundaran bulan/ matahari.

Nama Lepongan Bulan atau Matari' Allo adalah bersumber dari terbentuknya negeri ini dalam suatu kesatuan tata masyarakat yang terbentuk berdasarkan:

  • Persekutuan berdasarkan suatu ajaran Agama / Keyakinan yang sama yang dinamakan Aluk Todolo, mempergunakan suatu aturan yang bersumber / berpancar dari suatu sumber yaitu "Marinding Banua Puang" yang dikenal dengan Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777)
  • Beberapa Daerah Adat yang mempergunakan satu Aturan Dasar Adat dan Budaya yang bersumber dari satu Aturan.
  • Dibentuk oleh satu suku bangsa Toraja

Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) di dalamnya mencakup:

  • Aturan hidup dan kehidupan manusia (etika dan etiket)
  • Aturan Pemujaan kepada Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa)
  • Aturan persahabatan dengan alam semesta untuk menjaga harmonisasi
  • Aturan menyembah kepada Tolendu' Membali Puang/Todolo (Arwah leluhur)

Antisme Filipina

Agama rakyat asli Filipina adalah agama yang dibawah oleh penyebar animisme dari Kepulauan Sulawesi, terutama dari dataran tinggi Pegunungan Toraja, Sulawesi Selatan sekitar abad ke 10 Masehi yang kemudian menjadi agama asli, namun berbeda dari berbagai kelompok etnis di Filipina. Agama rakyat Filipina disebut sebagai Anito atau Anitisme atau Dayawisme yang lebih modern dan kurang etnosentris.[6][7][8][9] Sekitar 0,2% penduduk Filipina berafiliasi dengan apa yang disebut "agama suku", menurut sensus nasional 2010.

Gambar kayu nenek moyang (Bulul) di sebuah museum di Bontoc, Filipina

Banyaknya istilah yang berbeda muncul dari fakta bahwa agama-agama pribumi ini sebagian besar berkembang pada periode pra-kolonial sebelum Filipina menjadi satu negara.[10] Berbagai orang Filipina berbicara bahasa yang berbeda dan dengan demikian menggunakan istilah yang berbeda untuk menggambarkan keyakinan agama mereka. Meskipun kepercayaan ini dapat diperlakukan sebagai agama yang terpisah, para ahli mencatat bahwa mereka mengikuti "kerangka kerja struktural umum dari gagasan" yang dapat dipelajari bersama.[8] Berbagai kepercayaan agama asli Filipina adalah berasal dari Aluk Todolo, yang dianut Suku Toraja, di Sulawesi Selatan yang memiliki kaitan dengan berbagai agama di Oseania dan Asia Tenggara maritim, yang berakar dari kepercayaan Austronesia seperti yang ada di Filipina.[9][11]

Narasi cerita rakyat yang diasosiasikan dengan keyakinan agama ini merupakan apa yang sekarang disebut mitologi Filipina, dan merupakan aspek penting dari studi budaya Filipina dan psikologi Filipina.

Aspek penting lainnya adalah Dukun pribumi yang bertindak sebagai pemimpin spiritual dari berbagai masyarakat etnis pra-kolonial Kepulauan Filipina. Para dukun ini, kebanyakan masih ada, hampir selalu perempuan atau laki-laki banci ('asog atau bayok). Mereka diyakini memiliki pemandu roh, yang dengannya mereka dapat menghubungi dan berinteraksi dengan roh dan dewa (anito atau diwata) dan dunia roh. Peran utama mereka adalah sebagai perantara selama ritual pag-anito'pemanggilan arwah. Ada juga berbagai subtipe dukun yang berspesialisasi dalam seni penyembuhan dan jamu, ramalan, dan sihir. Banyak jenis dukun menggunakan berbagai jenis barang dalam pekerjaan mereka, seperti jimat atau jimat yang dikenal sebagai agimat atau anting-anting, penangkal kutukan seperti buntot pagi, dan ramuan minyak suci, di antaranya banyak objek lainnya. Semua kelas sosial, termasuk dukun, menghormati dan menghormati patung dewa mereka (disebut larauan, bulul, manang, dll), yang mewakili satu atau lebih dewa tertentu dalam panteon etnis mereka, yang mencakup dewa non-leluhur dan leluhur yang didewakan.[12] Istilah yang lebih umum digunakan oleh sumber Spanyol untuk dukun asli di seluruh nusantara berasal dari Tagalog dan Visayan anito ("roh"); ini termasuk istilah seperti maganito dan anitera.[13][14][15]

A Hiligaynon woman depicting a babaylan (Visayan shaman) during a festival. According to Spanish records, majority of pre-colonial shamans were women, while the other portion was composed of feminized men. Both of which were treated by the natives with high respect, equal to the datu (domain ruler).[16]
A variety of modern Filipino charms and talismans called anting-anting or agimat. Certain agimats blessed by the deities are believed to give its wielder supernatural powers, such as invisibility, strength, speed, and defense. Some agimats are used as good luck charms, while others are used to deflect curses and enchanted beings.

Sisi negatif dari dukun Filipina adalah penyihir yang mencakup berbagai jenis orang dengan pekerjaan dan konotasi budaya yang berbeda tergantung pada kelompok etnis yang terkait dengan mereka. Mereka sama sekali berbeda dari gagasan Barat tentang apa itu penyihir. Contoh penyihir dalam konsep Filipina adalah mannamay, mangkukulam, dan mambabarang.[17] Sebagai media spiritual dan peramal, dukun terkenal karena melawan dan mencegah kutukan dan kekuatan penyihir, terutama melalui penggunaan item dan mantra khusus. Selain dukun, ada juga tipe orang lain yang bisa melawan sihir penyihir tertentu, seperti mananambal, yang berspesialisasi dalam melawan barang.[17] Dukun juga bisa melawan kutukan makhluk gaib seperti aswang. Namun, karena mereka adalah manusia fana, kekuatan fisik dukun terbatas dibandingkan dengan kekuatan makhluk aswang. Kesenjangan dalam kekuatan fisik ini biasanya dijembatani oleh dinamika pengetahuan dan kecerdasan.[18][19][20]

Adat Towani

Ajaran Towani atau lebih lazim disebut "Tolotang" bertumpu pada lima keyakinan, yaitu:

  • Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
  • Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia.
  • Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat
  • Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan
  • Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.

Bisa diluruskan bahwa Menyembah kepada batu-batuan, sumur, dan kuburan nenek moyang, adalah satu bentuk arah sebagai sarana konsentrasi. Jadi hal ini hendaknya tidak membuat orang-orang luar menghakimi mereka bahwa Tolotang adalah Animisme maupun Dinamisme.

Dalam masyarakat Tolotang sendiri terdapat dua kelompok, yaitu Masyarakat Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat Towani Tolotang (komunitas yang masih menganut agama Tolotang). Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi keagamaan, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan. Bagi komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti tata cara yang dilakukan dalam agama Islam. Bagi Komunitas Towani Tolotang, prosesi kematian, melalui prosesi memandikan jenazah yang kemudian membungkus dan melapisinya dengan menggunakan daun sirih. Sedangkan untuk prosesi pernikahan Kelompok Towani Tolotang. Mereka melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau pemimpin ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri Towani Tolotang.

Bagi Masyarakat Towani Tolotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkaplan ritual masyarakat Towani Tolotang, mereka diwajibkan membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal pada hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati pada hari kemudian. Sementara bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur Pakkawaru E, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan Lontara yang merupakan kitab suci bagi penganut agama Tolotang oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta.

Bissu, kaum pendeta Bugis Tolotang.

Upacara Adat Tolotang dilakukan oleh masyarakat Tolotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kabupaten Pangakajene dengan Kabupaten Soppeng, dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh penting Tolotang yang disebut Uwa. Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah tiada, maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak wangi oleh Uwa, atraksi Massempe yang merupakan permainan adu kekuatan kaki, kini hanya dilakukan oleh anak-anak. Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul dengan berpakaian serba putih-putih, sarung dan tutup kepala untuk para laki-laki, sedangkan Untuk perempuan mengenakan pakaian seperti kebaya.

Pada saat ritual, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan, serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta, ditandai dengan penyiraman minyak wangi pada batu leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe.

Daerah dan waktu penyebaran

Abad ke III - X

Abad ke X - XVII

Abad ke XVII - XIX

Abad ke XIX- XXI (Penyebaran terakhir)

Tokoh

  • I Maddaung Loloada
  • Bala Nirow Lolobua
  • Markus Rantelino
  • Andi Tjella' Daeng Mattemmu
  • Theodorus Endei
  • La Toawani Daeng Siabang

Pranala

[21] [22] [23] [24]

Referensi

  1. ^ Saransi, Ahmad (2003). Tradisi Masyarakat di Sulawesi Selatan. Makassar: Lamacca Press. hlm. 25. 
  2. ^ a b Toraja Culture: Aluk Todolo Agama Purba Suku Toraja Diarsipkan 2019-03-22 di Wayback Machine.. 13 November 2013. Diakses 22 Maret 2019.
  3. ^ Tangdilintin, L.T. (2001). Toraja dan Kebudayaannya. Makassar: Yayasan Baruga Nusantara. hlm. 67. 
  4. ^ JawaPos.com (2017-09-14). "Ma'nene di Toraja, Cara Yang Hidup Tunjukkan Kasih kepada Yang Wafat". JawaPos.com. Diakses tanggal 2020-09-12. 
  5. ^ Liputan6.com (2005-08-20). "Ma`nene, Tradisi Mengenang Leluhur". liputan6.com. Diakses tanggal 2020-09-12. 
  6. ^ Almocera, Ruel A., (2005) Keyakinan Spiritual Filipina Populer dengan Usulan Tanggapan Teologis. dalam Doing Theology di Filipina. Suk, John., Ed. Mandaluyong: OMF Literature Inc. Pp 78-98
  7. ^ Maggay, Melba Padilla (1999). Kesadaran Religius Filipina. Kota Quezon: Lembaga Studi Gereja dan Budaya Asia.
  8. ^ a b Sitoy, T. Valentino Jr. (1985). A history of Christianity in the Philippines Volume 1: The Initial Encounter. Kota Quezon, Filipina: Penerbit Hari Baru. ISBN 9711002558. 
  9. ^ a b Demetrio; Cordero-Fernando; Nakpil-Zialcita, Roberto B.; Feleo (1991). The Soul Book: Introduction ke Agama Pagan Filipina. GCF Books, Quezon City. ASIN B007FR4S8G. 
  10. ^ Scott, William Henry (1994). Barangay: Budaya dan Masyarakat Filipina Abad Enam Belas. Kota Quezon: Ateneo de Manila University Press. ISBN 971-550 -135-4. 
  11. ^ Osborne, Milton (2004). Asia Tenggara: Sejarah Pengantar (edisi ke-Ninth). Australia: Allen & Unwin. ISBN 1-74114-448-5. 
  12. ^ William Henry Scott. /search/babaylan Mencari Orang Filipina Pra-Hispanik dan Esai Lain dalam Sejarah Filipina Periksa nilai |url= (bantuan). Baru Hari Penerbit. hlm. 124–127. ISBN 978-9711005245. 
  13. ^ Scott, William Henry (1988). A Sagada Reader. Penerbit Hari Baru. hlm. 148. ISBN 9789711003302. Anito: Tagalog dan Visayan abad ke-16 (menurut catatan Spanyol): berhala atau dewa yang menghuni berhala, juga maganito: upacara untuk berhala semacam itu, dan anitero: (Sp .) dukun, dukun. 
  14. ^ Brewer, Carolyn (2001). Konfrontasi Suci: Agama, Gender, dan Seksualitas di Filipina, 1521–1685 (dalam bahasa Inggris). hlm. 156. ISBN 978-971-8605-29-5. Terminologi yang lebih umum yang tampaknya digunakan di seluruh nusantara didasarkan pada penanda roh anito. Ini termasuk maganito dan anitera. 
  15. ^ Fluckiger, Steven J. (2018). 'She Serves the Lord' : Feminine Power and Catholic Appropriation in the Early Spanish Philippines. (Tesis M.A.). University of Hawaiʻi at Mānoa. https://scholarspace.manoa.hawaii.edu/handle/10125/62485. "Maganito pergi dengan beberapa nama berbeda di seluruh pulau tergantung pada kelompok bahasa, seperti babaylan, tetapi istilah maganito dan variasi serupa tampaknya menjadi istilah yang lebih universal dalam sumber-sumber kolonial Spanyol. Karena universalitas ini dan asal-usulnya yang asli, istilah maganito akan digunakan sebagai istilah umum untuk menggambarkan semua misionaris dukun animisme yang berhubungan dengannya pada abad keenam belas dan ketujuh belas." 
  16. ^ Limos, Mario Alvaro (March 18, 2019). "The Fall of the Babaylan". Esquiremag.ph. 
  17. ^ a b "Philippine Sorcery 101: 6 Metode dan Cara Melawannya". 
  18. ^ Batu, Adam J.; Krippner (October 14, 2011). Demistifikasi Dukun dan Dunianya: Studi Multidisipliner. ISBN 978-1-84540-333-1. 
  19. ^ "Beberapa Catatan tentang Alfred McCoy, "Baylan: Animist Religion and Philippine Peasant Ideology"". Philippine Quarterly of Culture and Masyarakat. 11. JSTOR 29791795. 
  20. ^ Mitos Filipina; Gaverza, J.K., 2014, Universitas Filipina Diliman
  21. ^ Konsep ketuhanan
  22. ^ Animisme: Agama Orang Suku yang Buta Aksara
  23. ^ Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
  24. ^ Sejarah kebudayaan Sulawesi