Ceki
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Alteaven (Kontrib • Log) 336 hari 1176 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Ceki (dibaca dengan e pepet /tʃəki/) adalah sejenis kartu permainan dari masyarakat Tionghoa dan Peranakan yang dimainkan di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ceki merupakan turunan kartu permainan Tionghoa bergambar uang dan tokoh Batas Air yang gambar-gambarnya mengalami penyederhanaan dan abstraksi. Kartu ceki digunakan untuk sejumlah variasi permainan yang berbeda-beda di tiap daerah. Ceki sempat menjadi permainan populer yang dimainkan segala kalangan sebagai sarana rekreasi, pergaulan, dan juga perjudian. Peminat ceki mengalami penurunan jumlah memasuki abad ke-21 M, namun kartu ini masih lazim dimainkan di sejumlah daerah.
Nama
Beberapa sumber menduga bahwa kata ceki (Jawi چکي, aksara Jawa ꦕꦼꦏꦶ, aksara Bali ᬘᭂᬓᬶ) berasal dari istilah Bahasa Hokkien seperti chít ki (一枝) “satu kartu” atau jī ki (二枝) "dua kartu". Istilah ini mungkin merujuk pada jenis permainan sebelum bergeser makna menjadi kartunya sendiri.[1][2] Di beberapa tempat, ceki masih dirujuk sebagai jenis permainan sementara kartunya dikenal dengan nama lain seperti daun ceki, iyu/yu,[a] kartu Cina, kertu cilik,[3] koa/kowa,[4][5][6] dan sikiah.[7] KBBI dan Kamus Bahasa Melayu Malaysia sama-sama menggunakan ejaan ceki untuk Bahasa Indonesia dan Melayu baku,[8][9] namun terdapat banyak variasi ejaan dalam rujukan eksiting, termasuk cuki,[10] cekian,[11] chĕki,[12] cherki, chaqui,[2] tjeki, dan tyekén.[13]
Penggunaan Populer
Ceki pada awalnya hanya dimainkan oleh masyarakat Tionghoa dan Peranakan. Berkat jalur dagang dan kegiatan komersial masyarakat Tionghoa-Peranakan, permainan ceki kemudian menyebar ke masyarakat lokal di berbagai daerah Nusantara yang kembali menyebarkannya ke berbagai pelosok. Ceki juga pernah dimainkan di Suriname, dibawa oleh tenaga kerja Jawa yang didatangkan pemerintahan kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.[13] Ceki digunakan sebagai sarana rekreasi dan pergaulan; sesi-sesi tertentu dapat berjalan semalam suntuk karena bebarengan dengan obrolan panjang antar pemain. Permainan ceki juga kerap dibarengi dengan taruhan kecil, yang tidak jarang bergeser menjadi perjudian dengan taruhan besar.[14][15] Asal-usul gambar abstrak pada ceki tidak selalu dipahami oleh khalayak umum dan ini mengantarkan pada sejumlah interpretasi dan penggunaan mistis ceki sebagai kartu ramalan,[15] layaknya Tarot.
Di Malaysia dan Singapura masa kolonial, ceki sempat menjadi permainan segala kalangan, dari jelata hingga bangsawan. Sebagai contoh, catatan keuangan Sultan Abdul Hamid Halim dari Kedah (1864-1943) menunjukkan bahwa sang sultan senang berjudi menggunakan ceki.[16] Pemain ceki di Malaysia-Singapura cenderung banyak menggunakan istilah Hokkien, dan gambar kartu yang digunakan lebih mendekati kartu Tionghoa asli dibanding kartu-kartu yang digunakan di Indonesia. Seiring waktu hanya wanita yang memainkan ceki, terutama dari kalangan peranakan, tapi dengan peminat yang terus berkurang hingga hampir punah di masa modern. Buku The Babas melaporkan bahwa sekitar 1980an ceki hanya bisa dibeli di Malaka. Namun begitu terdapat upaya untuk melestarikan dan mempopulerkan kembali ceki pada masyarakat umum.
Sama seperti di Malaysia dan Singapura, ceki juga sempat menjadi permainan segala kalangan di Indonesia masa kolonial. Pada awal abad ke-20 M, perusahaan mancanegara seperti Turnhout mengekspor ceki ke Sumatra sementara perusahaan lokal seperti Handelsvereeniging Harmsen Verweij & Dunlop N.V. memiliki percetakan ceki yang beroperasi di Padang, Jawa, dan Makassar, mengindikasikan mangsa pasar yang cukup besar di masa itu.[17] Memasuki abad ke-21 M, ceki mengalami penyusutan jumlah peminat hingga hanya beberapa daerah yang masih memainkan ceki. Di Jawa misal, ceki hampir tidak lagi ditemukan meski populer dimainkan oleh rakyat jelata dan bangsawan setidaknya hingga 1940an.[18] Sementara itu di ranah Minang serta Bali, ceki masih cukup banyak diminati dan kartunya relatif mudah ditemukan di berbagai toko.[19][20] Di Bali bahkan, masih terdapat pertemuan dan lomba ceki yang diselenggarakan berkala oleh berbagai banjar dengan dukungan pemerintahan daerah Bali. Pertemuan-pertemuan ini sekaligus menjadi ajang sosialisasi yang berupaya untuk menghapus kesan perjudian ceki dengan menunjukkan aspek positif seperti pengasahan strategi dan pemupuk pergaulan.[21][22]
Susunan Dek
Sebuah dek ceki (disebut kepala di Jawa) terdiri dari 3 kelompok simbol, masing-masing terdiri dari kartu bernilai 1-9 dengan 3 kartu tambahan, sehingga total terdapat 30 jenis kartu. Tiap kartu memiliki kembar, sehingga total terdapat 60 kartu dalam satu kepala.[b] Ke-30 jenis kartu ceki dapat dilihat pada tabel berikut:
Simbol/Nilai | Khusus | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Koin | ||||||||||
Tali | ||||||||||
Muka |
Pada ceki, hanya kartu bersimbol 10,000an yang memiliki informasi langsung terkait nilai dalam bentuk angka Tionghoa: 1 一, 2 二, 3 三, 4 四, 5 五, 6 六, 7 七, 8 八, 9 九. Indikasi nilai yang konsisten diterapkan pada semua kartu adalah bentuk pigura; kartu dengan nilai yang sama memiliki pigura yang sama. Sebagian besar permainan ceki berkutat pada pencarian pasangan pigura yang dapat dilakukan secara visual, sehingga pemain tidak selalu harus mengetahui nilai angka tiap pigura. Tiga kartu khusus memiliki nilai yang bergantung pada permainan.
Ketiga simbol ceki berasal dari mata uang Tionghoa, namun pemain dari berbagai daerah menggunakan banyak variasi nama dan julukan. Hal ini berkaitan dengan gambar abstrak ceki yang rentan diinterpretasi ulang oleh pemain yang tidak akrab dengan konvensi kartu Tionghoa. Untuk konsistensi, artikel ini menggunakan istilah yang merujuk pada simbol piktorial asli pada permainan kartu Tionghoa: koin, tali, dan muka.
Simbol | Benda rujukan | Keterangan | Nama lain |
---|---|---|---|
Koin | Satuan koin kepeng | tong (Hokkien 筒 'tong'), piah (Hokkien 餅 ‘butiran’), hitam, batik | |
Tali | Seratusan koin kepeng yang diikat dalam seutas tali | sok (from Hokkien 索 ‘tali’), tiau (Hokkien 條 ‘irisan’), lintrik (ꦭꦶꦤ꧀ꦠꦿꦶꦏ ‘barisan’), manik | |
Muka | Pada sistem dasarnya, kartu ini merujuk pada 10,000 an koin kepeng yang diwakili oleh karakter Hanzi 万, secara figuratif dalam bahasa-bahasa Tionghoa dapat berarti "sangat banyak" atau "tidak terhingga". Namun bagi pemain yang tidak mengenal Hanzi, kartu ini jadi lebih dikenal lewat figur muka manusia yang merupakan abstraksi tokoh novel Batas Air.[c] | ban (Hokkien 万 '10,000an'), wong (ꦮꦺꦴꦁ orang), cina |
Variasi Nama Tiap Kartu
Permainan
Galeri
|
Catatan
- ^ kadang ditulis dengan ejaan lama ijo, dibaca i-yo /ijo/ bukan /idʒo/
- ^ Banyak permainan ceki yang memerlukan minimal dua dek, atau 120 kartu.
- ^ Karakter yang didepiksikan meliputi: 燕青 Yàn Qīng (1), 戴宗 Dài Zōng (2), 吳用 Wú Yòng (3), 花榮 Huā Róng (4), 李逵 Lǐ Kuí (5), 雷橫 Léi Héng (6), 秦明 Qín Míng (7), 朱仝 Zhū Tóng (8), dan 宋江 Sòng Jiāng (9).
Rujukan
- ^ Jones 2008, hlm. 48.
- ^ a b Amaro 1993.
- ^ Robson & Wibisono 2002, hlm. 365.
- ^ Matthes 1859.
- ^ Matthes 1874.
- ^ Wilkinson 1901.
- ^ Robson & Wibisono 2002, hlm. 679.
- ^ "Ceki". Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring.
- ^ "Ceki". Kamus Bahasa Melayu Malaysia Daring.
- ^ Duff-Cooper 1987, hlm. 72.
- ^ Dalton 1997, hlm. 174.
- ^ Hamilton 1924, hlm. 53.
- ^ a b Hoefte 1998, hlm. 170.
- ^ Raap 2013, hlm. 142.
- ^ a b Reimena 2021.
- ^ Musa 2015, hlm. 58.
- ^ Alkatiry & Aviandy 2018, hlm. 281.
- ^ Siem 1941.
- ^ Muhammad 2021, hlm. 170.
- ^ Alkatiry & Aviandy 2018.
- ^ Putri, Ni Made Lastri Karsiani (14 Agustus 2022). "Turnamen ceki di Denpasar hapus kesan judi, jadi ajang rekreasi". Detik Bali.
- ^ rat (3 September 2023). "Turnamen Ceki, Wahana Gembira dan Pelestarian Budaya Tanpa Judi". Nusa Bali.
Daftar Pustaka
- Alkatiry, Zeffry; Aviandy, Mochammad (2018). "Tradition Card Game Ceki: Community Identity Chinese Melay Medan, Minang, and Bali". International Review of Humanities Studies. 3 (2): 274–286. doi:10.7454/irhs.v3i2.69.
- Amaro, Ana Maria (1993). "'Chaqui and Partui: Two Popular Card Games of the 'Christãos' of Malacca', translated by A. G. Smith". Journal of the International Playing-Card Society. 22 (2): 34-40.
- Dalton, Bill (1997). Bali Handbook. Chico: Moon Publications. ISBN 1-56691-073-0.
- Duff-Cooper, Andrew (1987). "Some Imaginative Functions of Consciousness from a Balinese Form of Life on Lombok". Anthropos. 82 (1): 63–85.
- Chia, Felix (1980). The Babas. Singapore: Times Books International. ISBN 9971-65-058-4.
- Hamilton, A. W. (1924). "Chinese Loan-Words in Malay". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 2 (June): 48–56.
- Hoefte, Rosemarijn (1998). In Place of Slavery: A Social History of British Indian and Javanese Laborers in Suriname. Gainesville: University Press of Florida. ISBN 0-8130-1625-8.
- Jones, Russell (2008). Loan-words in Indonesian and Malay. Leiden: KITLV Press. ISBN 978-90-6718-304-8.
- Matthes, Benjamin Frederik (1859). Makassaarsch–Hollandsch woordenboek. Amsterdam: Frederik Muller.
- Matthes, Benjamin Frederik (1874). Boegineesch–Hollandsch woordenboek. Amsterdam: C. A. Spin & Zoon.
- Muhammad, Ali Azhar (2021). "The Transitional Democracy Trap: Democracy, Complexity, and Local Oligarchy in Bali". Dalam Vandenberg, Andrew. Pages in Security, Democracy, and Society in Bali. Singapore: Palgrave Macmillan. hlm. 155–176. ISBN 978-981-15-5848-1.
- Musa, Mahani (2015). "The Memory of the World Register: The Sultan Abdul Hamid Correspondence and Kedah history". Kajian Malaysia vol. 33: 53–74.
- Raap, Olivier Johannes (2013). Soeka Doeka Di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: KPG.
- Reimena, Randi (31 Oktober 2021). "Menyigi Sejarah Koa/Ceki: Dekat dengan Mistik, Bukan "Produk" Orang Minang". Haluan Padang.
- Robson, Stuart ; Wibisono, Singgih (2002). Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus Editions. ISBN 0-7946-0000-X.
- Siem 沁, Tjan Tjoe 曾祖 (1941). Javaanse Kaartspelen: bijdrage tot de beschrijving van land en volk; Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen volume 75. Bandung: A. C. Nix & Co.
- Tauern, O. D. (1914). "Javanische Kartenspiele". Zeitschrift für Ethnologie. 46 (1): 45–48.
- Wilkinson, Richard James (1901). A Malay–English Dictionary volume 1: ‘Alif to Za’. Singapore: Kelly & Walsh.
Pranala Luar
Ceki Cards oleh George Pollard (2023)