Lompat ke isi

Hasyim bin Abdu Manaf

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 8 Januari 2016 03.01 oleh Rachmat-bot (bicara | kontrib) (clean up, replaced: dimana → di mana (7))

Hasyim bin Abdu Manaf (Bahasa Arab: هاشم بن عبد مناف) (meninggal 497) adalah pendiri dari Bani Hasyim, dan buyut dari Nabi Muhammad dan Ali bin Abu Thalib. Nama sesungguhnya adalah Amar dan bergelar Ala. Ia merupakan saudara kembar dari 'Abd asy-Syams.[1]

Silsilah Keluarga

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
'Abd al-Manâf
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Muththalib
 
 
 
Hâsyim
 
 
 
'Abd asy-Syams
 
 
 
Naufal
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Asad
 
 
 
'Abd al-Muththalib
(lahir 497)
 
 
 
Abu Saifi
 
 
 
Nadla bin Hâsyim
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

[2]

Saudara Kembar

Hâsyim dan 'Abd asy-Syams merupakan saudara kembar. Diriwayatkan oleh para sejarawan bahwa pada saat kelahiran Hâsyim dan 'Abd asy-Syams, sebuah jari Hâsyim tertusuk ke dahi 'Abd asy-Syams. Darah mengalir deras ketika mereka dipisahkan, dan orang-orang menganggap kejadian ini sebagai pertanda buruk.[1]

Hal ini dapat dilihat dari kenyataan sejarah, di mana Bani Hâsyim, yang menurunkan Ali dan Bani 'Abd asy-Syams yang menurunkan Bani Umayyah, melalui Muawiyah di mana kemudian terjadi Pertempuran Shiffin. Syahidnya Husain di Karbala atas perintah Yazid yang merupakan keturunan dari Bani Umayyah. Selain itu perang yang terus menerus antara Bani Abbasiyah—keturunan Bani Hâsyim— dan Bani Umayyah.

Perebutan Kepemimpinan Mekkah

Setelah meninggalnya generasi pertama dari anak Qushay yaitu 'Abd al-Manâf dan 'Abd al-Dâr, terjadi perebutan kepemimpinan di mana separo kaum Quraisy berdiri di belakang putra 'Abd al-Manâf, Hâsyim, lelaki yang paling terkemuka saat itu, dan menuntut agar pemerintahan dialihkan dari Bani 'Abd al-Dâr ke Bani 'Abd al-Manâf. Mereka yang mendukung Hâsyim dan saudara-saudaranya itu adalah dari Bani Zuhrah, Bani Taim dan seluruh keturunan anak Qushay selain dari anak pertama. Bani Makhzum dan sepupu yang lebih jauh menerima pemerintahan Bani 'Abd al-Dâr.[3]

Terjadi peristiwa di Mekkah, di mana kaum wanita dari Bani 'Abd al-Manâf membawa secawan minyak wangi wangi dan meletakkannya di sebelah Ka'bah. Hâsyim dan saudara-saudaranya serta seluruh pengikutnya mencelupkan tangan mereka ke dalam cawan dan mengangkat sumpah bersama untuk tidak saling mengganggu satu sama lain, kemudian menggosokkan tangannya yang harum di atas batu Ka'bah sebagai tanda tercapainya kesepakatan. Kelompok ini dikenal dengan sebagai kelompok Harum (al-Muththayyibun). Para pengikut dari Bani 'Abd al-Dâr juga mengangkat sumpah membentuk suatu kelompok yang dikenal dengan Kelompok Sekutu (al-Ahlaf).[3]

Hampir terjadi peperangan di antara dua kelompok tersebut yang akibatnya dapat memusnahkan Quraisy, kalau tidak cepat dilakukan perdamaian, selain itu untuk menegakkan peraturan pelarangan perang di wilayah Ka'bah dan kawasan Mekkah. Akhirnya disepakati bahwa Bani 'Abd al-Dâr berhak memegang kunci Ka'bah, panji dan pimpinan rapat serta tempat tinggal mereka harus diteruskan fungsinya sebagai Dar an-Nadwah atau Rumah Majelis. Sedangkan Bani 'Abd al-Manâf berhak menetapkan pajak serta menyediakan makanan dan minuman bagi para jamaah haji.[3][4]

Kepemimpinan Hâsyim

Selama musim Haji

Sebagai contoh dari kepemimpinan Hâsyim, bilamana tiba bulan Djulhijjah, ia datang ke Ka'bah, bersandar di dindingnya dan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:

"Wahai kaum Quraisy, kamu adalah yang paling bijaksana dan paling mulia di kalangan orang Arab. Ras kamu adalah yang terbaik di antara semua ras. Allah Yang Mahakuasa memberikan kepadamu tempat di sisi rumah-Nya sendiri dan telah menganugerahkan kepada kamu kelebihan dalam hal ini di atas seluruh keturunan Ismail."
"Wahai kaumku, berhati-hatilah! Para pengunjung Rumah Allah datang kepada kamu bulan ini dengan kenikmatan luar biasa. Mereka adalah para tamu Allah, dan kewajiban kamu adalah menerima mereka. Ada banyak orang fakir miskin di antara mereka, yang datang dari tempat-tempat jauh. Saya bersumpah demi Tuhan Rumah ini, apabila saya cukup kaya untuk menjamu semua tamu Allah maka saya tidak akan mendesak kamu untuk memberikan bantuan. Namun, sekarang saya menafkahkan semua yang dapat saya nafkahkan, dan apa yang telah saya peroleh dengan jalan halal."
"Saya bersumpah kepada kamu demi kehormatan Rumah ini bahwa kamu tidak boleh menafkahkan, untuk tujuan ini, apa yang telah kamu serobot, atau memberikan atau menafkahkan apa pun secara munafik atau karena terpaksa. Apabila seseorang tak ingin membantu, ia bebas untuk tidak menafkahkan apapun."[1]

Perjanjian dengan pihak asing

Hâsyim membangun dua rute perjalanan kafilah besar dari Mekkah; pada musim dingin, kafilah berangkat ke Yaman dan pada saat musim panas kafilah ke barat laut Arab, dan di antara dua musim itu ke Palestina dan Syria, di mana Syria dan Palestina masa itu merupakan bagian dari kekuasaan Byzantium (masih di bawah Romawi).[3]

Hâsyim mengadakan pula perjanjian dengan penguasa Bani Ghassan di Syria, setelah itu diadakan pula perjanjian oleh saudaranya 'Abd asy-Syams dengan raja Ethiopia, berturut-turut kemudian Muththalib dengan Yaman dan Naufal dengan raja Iran (Sasaniyyah). Menurut perjanjian-perjanjian tersebut barang-barang dapat diperdagangkan secara bebas dengan berbagai negara. Hal ini menyelesaikan banyak kesulitan dan memunculkan banyak usaha dagang di Mekkah, yang terus berlangsung hingga datangnya Islam.[1]

Kecemburuan Umayyah terhadap Hâsyim

Umayyah, putra dari 'Abd asy-Syams, merasa cemburu atas kebesaran dan martabat pamannya, Hâsyim. Ia berusaha menarik simpati rakyat kepada dirinya dengan memberikan banyak hadiah, namun meskipun begitu ia tidak dapat mendongkel Hâsyim dari kedudukannya. Sebaliknya usahanya untuk memfitnah dan mencemari pamannya tersebut menambah kehormatan Hâsyim di hati penduduk.[1]

Akhirnya ia mendesak pamannya agar mereka mendatangi salah seorang ahli nujum di tanah Arab, dan hanya orang yang dikukuhkan oleh ahli nujum itulah yang berhak memegang kendali pemerintahan. Hâsyim menyetujui hal tersebut dengan dua syarat. Pertama, pihak yang kalah harus mengurbankan seratus ekor unta bermata hitam dalam musim haji. Kedua, ia juga harus meninggalkan Mekkah selama sepuluh tahun. Ternyata ahli nujum, Asfan melihat Hâsyim. Ia pun memujinya dan memberikan keputusan yang menguntungkannya. Karena itu Umayyah terpaksa meninggalkan Mekkah dan tinggal selama sepuluh tahun di Syria.[1]

Efek dari permusuhan ini berlangsung turun menurun hingga 130 tahun setelah kedatangan Islam. Riwayat di atas, di samping menyoroti asal usul permusuhan antara kedua keluarga, juga menjelaskan penyebab pengaruh Bani Umayyah di Syria. Hubungan yang terjalin lama dengan Syria menyiapkan tempat bagi pemerintahan mereka di sana, khususnya Damaskus sebagai pusat pemerintahan Bani Umayyah.[1]

Pernikahan

Kedua rute perjalanan kafilah yang dibangun Hâsyim mengikuti rute minyak wangi kuno; di mana salah satu pemberhentian utama dari kafilah musim panas adalah oasis di Yatsrib, sebelas hari perjalanan unta ke utara Mekkah. Dulu oasis ini dikuasai oleh kaum Yahudi, tetapi sekarang dikuasai oleh suku bangsa Arab dari Arabia Selatan. Dalam masyarakat Arab Yatsrib dikenal tradisi matriakal-di mana pihak perempuan sebagai pewaris utama-, secara kolektif mereka dikenal sebagai Bani Qaylah, merujuk nama leluhur mereka, kemudian mereka terbagi dalam dua suku yang disebut Bani 'Aus dan Bani Khazraj, merujuk kedua putra Qaylah.[3]

Salah seorang wanita Bani Khazraj yang sangat berpengaruh adalah Salmâ binti 'Amr, dari suku Najjâr. Hâsyim melamar untuk menikahinya. Salmâ mau asal ia tetap diperbolehkan memimpin masyarakatnya. Ketika melahirkan seorang putra, ia mengasuhnya di Yatsrib hingga berumur kira-kira empat belas tahun. Hâsyim tidak melarangnya agar si anak tahan terhadap berbagai penyakit padang pasir yang lebih berbahaya bagi pendatang baru ketimbang bagi penduduk asli. Sebab penduduk daerah tropis lebih kuat dibandingkan penduduk Mekkah. Selain itu, ia sering bolak-balik ke Syria sehingga dapat bertemu dan tinggal bersama Salmâ dan putranya yang diberi nama Syaibah yang kemudian dikenal dengan nama 'Abd al-Muththalib.[3]

Pergantian Kepemimpinan

Pada suatu perjalanan kafilah ke Palestina, Hâsyim meninggal di Gaza, diperkirakan terjadi pada tahun 497 Masehi. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muththalib. Sebenarnya Muththalib masih adik dari 'Abd asy-Syams, tetapi ia sangat dihormati oleh masyarakat, karena sifatnya yang suka menenggang dan murah hati. Oleh Quraisy ia dijuluki al-Fayd (yang melimpah, yang banyak jasanya).[4]

Selain alasan tersebut juga dikarenakan kesibukan dari 'Abd asy-Syams sendiri dengan kegiatan perdagangan di Yaman dan belakangan juga di Syria, sementara Naufal sibuk dengan perdagangannya di Irak, sehingga keduanya jarang berada di Mekkah untuk waktu yang lama.

Keturunan

Menurut Ibnu Hisham, putra-putranya adalah:

dan putri-putrinya adalah:

  • Ash-Shifa binti Hâsyim
  • Khalida binti Hâsyim
  • Da'ifa binti Hâsyim
  • Ruqayyah binti Hâsyim
  • Jannah binti Hâsyim

Referensi

  1. ^ a b c d e f g SUBHANI, Ja'far. Ar-Risalah: sejarah kehidupan Rasulullah saw. Jakarta: Lentera, 2002. ISBN 979-8880-13-7
  2. ^ AL-A'ZAMI, M.M.; Sejarah Teks Al-Qur'an: dari Wahyu sampai Kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2005. ISBN 979-561-937-3
  3. ^ a b c d e f LINGS, Martin. Muhammad: Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: Serambi, 2002. ISBN 979-3335-16-5
  4. ^ a b HAEKAL, M.H.; Sejarah Hidup Muhammad. Bogor: Litera AntarNusa, 2006. ISBN 979-8100-02-6

Lihat pula