Bayanullah dari Ternate
Sultan Ternate Bayanullah (1500-1521) adalah putera pertama Sultan Zainal Abidin (1486-1500). Namanya seringkali berbeda dalam berbagai sumber sejarah, ia sering juga disebut Sultan Bolief atau Abu Alif dan sewaktu muda ia lebih dikenal dengan sebutan Kaicil Leliatur.
Bayanullah dibesarkan dalam lingkungan Islam yang ketat. Sejak resmi menjadi kesultanan di masa kakeknya Kolano Marhum (1465-1486), Ternate tak henti-hentinya melakukan perubahan dengan mengadopsi segala hal yang berbau Islami. Sultan Bayanullah menetapkan Syariat Islam sebagai hukum dasar kerajaan. Seluruh rakyat Ternate diwajibkan memakai pakaian yang menutup aurat. Ia membentuk struktur baru dan lembaga pemerintahan sesuai Islam yang segera diadopsi oleh kerajaan-kerajaan lain di Maluku. Tindakannya ini berhasil membawa Maluku keluar dari alam animisme ke monoteisme (Islam).
Sultan Bayanullah juga dikenal sebagai Sultan yang mencintai ilmu pengetahuan dan berjasa besar bagi perkembangan Islam di wilayah timur Nusantara dan Maluku pada khususnya. Ia banyak mengundang guru-guru Muslim untuk mengajar di Kesultanan Ternate, ia pun tak segan mempelajari ilmu dari bangsa-bangsa asing yang datang, mengenai hal ikhwal persenjataan, strategi perang, perkapalan, teknik pembangunan dan sebagainya.
Di masanya tiba orang Eropa pertama di Maluku, Ludovico Varthema (Lodewijk de Bartomo) tahun 1506. Tahun 1511 armada Portugis untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Maluku dibawah pimpinan Francisco Serrão. Kedatangan Portugis yang awalnya untuk berdagang ini disambut dengan sukacita oleh Sultan Bayanullah dan bahkan menjadikan mereka sebagai penasihat kerajaan. Langkah yang sama juga ditempuh mertua sekaligus saingannya Sultan Almansur (1500-1526) dari Kesultanan Tidore yang juga berlaku serupa terhadap bangsa Spanyol.
Sultan Bayanullah sangat menyukai bangsa Portugis hingga memberikan mereka hak-hak istimewa dalam perdagangan. suatu langkah yang kelak membawa kehancuran bagi putera-putera dan negerinya. Sultan Bayanullah tutup usia tahun 1522, kematiannya yang meninggalkan pewaris yang masih belia memberikan kesempatan bagi Portugis untuk turut andil dalam percaturan politik di Maluku.