Lompat ke isi

Nafsu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Detail: Luxuria (Hawa Nafsu), dalam The Seven Deadly Sins and the Four Last Things, oleh Hieronymus Bosch.

Hawa nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri seorang manusia; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu obyek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut.[1] Dapat berupa hawa nafsu untuk pengetahuan, kekuasaan, dan lainnya; namun pada umumnya dihubungkan dengan hawa nafsu seksual.


Dalam agama

Islam

"Hawa nafsu" terdiri dari dua kata: hawa (الهوى) dan nafsu (النفس).

Dalam bahasa Melayu, 'nafsu' bermakna keinginan, kecenderungan atau dorongan hati yang kuat. Jika ditambah dengan kata hawa (=hawa nafsu), biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik. Adakalanya bermakna selera, jika dihubungkan dengan makanan. Nafsu syahwat pula berarti keberahian atau keinginan bersetubuh.[2]

Ketiga perkataan ini (hawa, nafsu dan syahwat) berasal dari bahasa Arab:

  • Hawa (الهوى): sangat cinta; kehendak
  • Nafsu (النفس): roh; nyawa; jiwa; tubuh; diri seseorang; kehendak; niat; selera; usaha
  • Syahwat (الشهوة): keinginan untuk mendapatkan yang lazat; berahi.[3]"

Ada sekolompok orang menganggap hawa nafsu sebagai "syaitan yang bersemayam di dalam diri manusia," yang bertugas untuk mengusung manusia kepada kefasikan atau pengingkaran. Mengikuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang.

Sebenarnya setiap orang diciptakan dengan potensi diri yang luar biasa, tetapi hawa nafsu dapat menghambat potensi itu muncul kepermukaan. Potensi yang dimaksud di sini adalah potensi untuk menciptakan keadilan, ketenteraman, keamanan, kesejahteraan, persatuan dan hal-hal baik lainnya. Namun karena hambatan nafsu yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan (dalam realita kehidupan). Maka dari itu mensucikan diri atau mengendalikan hawa nafsu adalah keharusan bagi siapa saja yang menghendaki keseimbangan, kebahagian dalam hidupnya karena hanya dengan berjalan di jalur-jalur yang benar sajalah menusia dapat mencapai hal tersebut.

Kekristenan

Dalam kitab suci Perjanjian Baru bahasa Indonesia terjemahan LAI, ditemukan bahasa Yunani: ἐπιθυμέω (sesuai yang tertulis di Septuaginta) diterjemahkan menjadi keinginan yang tidak berhubungan dengan seksual. Dan juga dalam banyak terjemahan bahasa Inggris: desire, covet, misalnya pada ASV. Beberapa contohnya yaitu:

  • Matius 13:17 : Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya banyak nabi dan orang benar ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya.
  • Lukas 22:15 : Kata-Nya kepada mereka: "Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita.
  • Kisah Para Rasul 20:33 : Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapapun juga.

Secara khusus ἐπιθυμέω dalam bahasa Yunani terkait dengan keinginan seksual (bahasa Inggris: lust) misalnya pada Matius 5:28 :

"Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya."

Kemungkinan hal tersebut yang menyebabkan "hawa nafsu" sering dikaitkan dengan keinginan seksual, baik di Indonesia maupun di banyak negara berbahasa Inggris.

Katolik

Hawa nafsu berasal dari bahasa Latin: luxuria yang digunakan Santo Hieronimus untuk menerjemahkan berbagai dosa dalam kitab suci (Vulgata), termasuk kemabukan dan hasrat seksual berlebih.[4] Santo Gregorius Agung kemudian menempatkan hawa nafsu (bahasa Latin: luxuria, bahasa Inggris: luxury) dalam salah satu dari tujuh dosa pokok, dan mempersempit cakupannya menjadi keinginan yang tidak teratur.[4][5] Lalu Santo Thomas Aquinas dalam Summa Theologia turut menegaskan bahwa hawa nafsu memang termasuk dosa pokok; sambil mengutip kata-kata St Isidorus dari Sevilla, St Thomas mengaitkan hawa nafsu sebagai kesenangan seksual yang merusakkan pikiran manusia.[6] Perlu diketahui bahwa Alkitab Douay Rheims, yang dahulu umum digunakan kalangan Katolik berbahasa Inggris, menggunakan kata luxury bukan lust.

Secara lengkap Katekismus Gereja Katolik (KGK) #2351 mendefinisikan hawa nafsu (bahasa Inggris: lust) sebagai suatu keinginan yang tidak teratur atau kenikmatan berlebihan atas kepuasan seksual, apabila kepuasan tersebut dikejar bagi dirinya sendiri dengan melepaskannya dari tujuan prokreasi (demi kelahiran manusia baru) dan persatuan dalam cinta kasih suami - isteri (Tobit 8:4-9) --KGK #2361.[7] Ungkapan kebiasaan buruk hawa nafsu menghasilkan dosa berat (Lihat: Bobot Dosa) melawan kemurnian yaitu: perzinahan, masturbasi, perselingkuhan, pornografi, pelacuran, perkosaan, dan tindakan homoseksual (yang merupakan dosa adalah tindakan/perbuatan seksualnya, bukan kecenderungan seksualnya).[8] Dengan lebih tegas St Thomas Aquinas mengatakan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dengan hawa nafsu termasuk dalam dosa berat, termasuk ciuman atau sentuhan yang dilakukan dengan penuh gairah dan nafsu.[9]

Karena kadar dosa yang berat, mutlak dibutuhkan penyesalan dan rahmat dari Sakramen Pengakuan Dosa sebagai langkah awal kesembuhan dari keterikatan hawa nafsu (KGK #1856)[5]; sehingga kemudian seseorang dapat menyambut Komuni Kudus yang memampukannya untuk berjuang lebih baik dalam mengatasi bahaya dosa berat di kemudian hari (KGK #1395)[10]. Santo Paulus mengatakan bahwa hawa nafsu termasuk dalam perbuatan atau keinginan daging (Galatia 5:19), sehingga perjuangan mengatasi hawa nafsu membutuhkan keutamaan kemurnian berupa pembersihan hati dan pengendalian diri (KGK #2517).[11]

Lihat pula

Bahan bacaan

Catatan kaki

  1. ^ (Inggris) Richard Lazarus with Bernice N Lazarus (1994). Passion and Reason: Making Sense of Our Emotions. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0195104615. 
  2. ^ Syafrein Effendi Usman dan Norain Ishak, Nafsu dan Perkahwinan, halaman 1, Penerbitan Kintan Sdn Bhd, Kuala Lumpur, 1992.
  3. ^ Ibid., dikutip dengan izin
  4. ^ a b (Inggris) Mark D. Jordan (1994). The Invention of Sodomy p. 37. 
  5. ^ a b (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - Sin". Holy See. 
  6. ^ (Inggris) St. Thomas Aquinas. "The Summa Theologica II.II-Q153 (Lust)" (edisi ke-1920, Second and Revised Edition). New Advent. 
  7. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - The Sixth Commandment". Holy See. 
  8. ^ Benedictus PP XVI (2005). "Kompendium Katekismus Gereja Katolik" (PDF) (edisi ke-2013). Konferensi Waligereja Indonesia dan Penerbit Kanisius. ISBN 978-979-21-2184-1. 
  9. ^ (Inggris) "The Summa Theologica II.II-Q154 (The Parts of Lust)" (edisi ke-1920, Second and Revised Edition). New Advent. 
  10. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - The Sacrament of the Eucharist". Holy See. 
  11. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - The Ninth Commandment". Holy See. 

Pranala luar