Lompat ke isi

Kerakusan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suatu cukilan kayu yang menggambarkan kerakusan.

Kerakusan atau kesengaman (bahasa Inggris: gluttony, bahasa Latin: gula) adalah perilaku menikmati kesenangan dan konsumsi berlebihan atas makanan, minuman, atau harta benda sampai pada titik pemborosan atau keroyalan. Kata gluttony sendiri berasal dari istilah Latin gluttire yang berarti meneguk atau menelan.

Dalam Kekristenan, hal ini dianggap sebagai dosa jika keinginan yang berlebihan atas makanan/minuman menyebabkan mereka yang membutuhkan menjadi tidak mendapatkannya.[1] Beberapa denominasi Kristen memandang kerakusan sebagai salah satu dari tujuh dosa pokok, yakni suatu hasrat yang keliru atau berlebihan atas makanan/minuman.

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Dalam Ulangan 21:20 dan Amsal 23:21 tertulis זלל.[2] Catatan Gesenius[3] (kata sebelah kiri bawah) mengindikasikan "menghamburkan" (squandering) dan "pemborosan" (profligacy).

Dalam Matius 11:19 dan Lukas 7:34, tertulis φαγος.[4] Catatan LSJ[5] sangat sedikit, dan hanya merujuk pada satu sumber eksternal, Zenobius Paroemiographus 1.73. Kata tersebut bisa saja berarti "seorang pemakan" (orang yang makan), karena φαγω berarti "makan".

Dalam agama

[sunting | sunting sumber]

Daftar 613 mitzvot menurut Rambam yang dipegang umat Yahudi, menyatakan bahwa kerakusan atau makan/minum berlebihan adalah hal yang dilarang. Hal ini tercantum dalam #169: "Tidak makan atau minum seperti seorang pelahap atau seorang pemabuk (tidak memberontak melawan ayah atau ibu)".[6]

Gula - Tujuh Dosa Mematikan dan Empat Hal Terakhir, karya Hieronymus Bosch

St. Gregorius Agung

[sunting | sunting sumber]

Paus Gregorius I (Santo Gregorius Agung), seorang Pujangga Gereja, menggambarkan berbagai hal yang termasuk dosa kerakusan, beserta kutipan dari Alkitab sebagai contohnya:[7][8][9]

1. Makan sebelum waktunya atau terlalu awal.

Dalam 1 Samuel 14 Yonatan makan sedikit madu sebelum waktunya makan, yakni sebelum matahari terbenam (1 Sam. 14:24), sehingga sesuai ucapan ayahnya seharusnya ia mati (1 Sam. 14:44).

2. Menikmati makanan yang lezat, lebih berkualitas, atau mahal.

Bilangan 11 mengisahkan orang-orang Israel yang telah dibawa keluar dari Mesir mati di padang gurun karena memandang rendah manna yang diterimanya dan menginginkan daging.

3. Mencari makanan yang disiapkan secara berlebihan atau kompleks (misalnya dengan saus dan bumbu yang mewah)

Kesalahan pertama kedua anak Eli adalah menginginkan daging mentah agar dapat dimasak dengan lebih baik (1 Samuel 2:15), sehingga bertentangan dengan adat Yahudi; tidak lama kemudian mereka mati (1 Sam. 4:11).

4. Makan dalam jumlah yang terlalu banyak atau berlebihan.

Yehezkiel 16:49 menceritakan bahwa salah satu kesalahan Sodom adalah "makanan yang berlimpah-limpah"; terlihat bahwa Sodom kehilangan keselamatan akibat pemuasan diri yang berlebihan, seiring dengan dosa kesombongan.

5. Makan terlalu antusias atau lahap, walaupun jumlahnya tepat dan bukan makanan mewah.

Esau kehilangan hak kesulungannya demi makanan yang ia inginkan, yakni masakan kacang merah, dengan gairah yang sangat besar (Kejadian 25:34).

Menurut St. Gregorius Agung, hal terakhir itu (yang kelima) merupakan yang terburuk di antara semuanya, karena dengan jelas menunjukkan keterikatan pada kepuasan diri. Secara ringkas St. Gregorius mengatakan bahwa seseorang jatuh dalam dosa kerakusan karena: 1.Waktu (kapan); 2.Kualitas; 3.Stimulan; 4.Kuantitas; 5.Gairah. Ia menegaskan bahwa hasrat yang tidak teratur itu yang merupakan dosa, bukan makanannya: "Sebab bukan makanannya, tetapi hasrat tersebut yang bersalah".[10]

St. Thomas Aquinas

[sunting | sunting sumber]

Dalam Summa Theologiae, St Thomas Aquinas menegaskan kembali kelima daftar yang disajikan St. Gregorius Agung (tanpa memperhatikan urutannya) mengenai dosa kerakusan:[11]

  • Laute - makan makanan yang terlalu mewah, eksotis, atau mahal
  • Studiose - makan makanan dengan kualitas berlebihan (terlalu 'anggun' atau rumit pembuatannya)
  • Nimis - makan makanan dengan kuantitas berlebihan (terlalu banyak)
  • Praepropere - makan dengan terburu-buru (terlalu awal atau pada waktu yang tidak tepat)
  • Ardenter - makan dengan sangat lahap (terlalu bergairah atau antusias)

St. Aquinas menyimpulkan bahwa "kerakusan menunjukkan konkupisensi yang tak terkendali saat makan"; tiga hal pertama di atas terkait dengan makanan itu sendiri, sedangkan dua hal terakhir berkaitan dengan cara makan.[11] Ia mengatakan bahwa abstinensi dari makanan dan minuman membantu mengatasi dosa kerakusan,[12] dan tindakan nyata dari abstinensi adalah berpuasa.[13]:A2 (lihat: Puasa (Katolik)) Secara umum, puasa berguna untuk mengekang konkupisensi atau nafsu kedagingan.[13]:A6

St. Alfonsus Liguori

[sunting | sunting sumber]

Santo Alfonsus Liguori menuliskan hal berikut ketika menjelaskan mengenai kerakusan:

"Paus Innosensius XI mengutuk dalil yang menegaskan bahwa bukanlah dosa jika makan atau minum dengan satu-satunya alasan adalah memuaskan selera. Namun merasakan kenikmatan saat makan bukanlah suatu kesalahan: sebab, pada umumnya, tidaklah mungkin makan tanpa mengalami kenikmatan yang mana secara alamiah disebabkan oleh makanan. Tetapi merupakan suatu cacat cela jika makan, seperti binatang, dengan satu-satunya alasan yaitu pemuasan inderawi, dan tanpa alasan apa pun yang wajar. Oleh karena itu daging yang paling lezat sekalipun dapat dimakan tanpa berdosa, apabila alasannya baik dan pantas untuk seorang makhluk yang berakal budi; dan makan makanan yang paling kesat sekalipun tetapi jika terikat pada kenikmatan, mungkin ada yang salah dengannya."[14]

Dalam seni

[sunting | sunting sumber]

Kallimakhos seorang penyair terkenal dari Yunani, menuliskan, "Semua yang kuberikan pada perutku telah lenyap, dan tetap kusimpan segala pakan bagi jiwaku."[15]

Kutipan populer "Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan" umumnya dikaitkan dengan Socrates;[16] tanpa melupakan kutipan dari Rhetorica ad Herennium IV.28: "Effe oportet ut vivas; non vivere ut edas"[17] ("Seseorang perlu makan untuk hidup, bukannya hidup untuk makan"),[18] yang mana Oxford Dictionary of Proverbs menyatakan bahwa itu adalah kata-kata Cicero.[19]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Inggris) Okholm, Dennis. "Rx for Gluttony" Diarsipkan 2016-03-24 di Wayback Machine.. Christianity Today, Vol. 44, No. 10, September 11, 2000, p.62
  2. ^ (Inggris) "Strong's Search: H2151". Newjerusalem.org. Diakses tanggal 2014-08-27. 
  3. ^ (Inggris) "Hebrew and Chaldee Lexicon by Friedrich Wilhelm Gesenius". Tyndalearchive.com. Diakses tanggal 2014-08-27. 
  4. ^ (Inggris) "Strong's Search: G5314". Newjerusalem.org. Diakses tanggal 2014-08-27. 
  5. ^ (Inggris) "Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon, φάγος". Perseus.tufts.edu. Diakses tanggal 2014-08-27. 
  6. ^ (Inggris) "List of 613 Commandments". List of 613 Commandments. Diakses tanggal 10 May 2012. 
  7. ^ (Inggris) Shipley, Orby. A Theory About Sin, London (1875) pg. 268-278. Books.google.com. Diakses tanggal 2014-08-27. 
  8. ^ (Inggris) Susan E. Hill (2007). "The Ooze of Gluttony". Dalam Richard Newhauser. The Seven Deadly Sins: From Communities to Individuals. BRILL. hlm. 64. ISBN 9789004157859. 
  9. ^ (Inggris) Lori Barcliff Baptista (2012). "Gluttony". Dalam Carl A. Zimring, William L. Rathje. Encyclopedia of Consumption and Waste: The Social Science of Garbage. SAGE Publications. hlm. 324. ISBN 9781452266671. 
  10. ^ (Inggris) St. Gregory the Great, Morals on the Book of Job, Book XXX, 60, Lectionary Central 
  11. ^ a b (Inggris) St. Thomas Aquinas. "The Summa Theologica II-II.Q148.A4" (edisi ke-1920, Second and Revised Edition). New Advent. 
  12. ^ (Inggris) St. Thomas Aquinas, "Question 146. Abstinence", The Summa Theologica II-II, A2 (edisi ke-1920, Second and Revised Edition), New Advent 
  13. ^ a b (Inggris) St. Thomas Aquinas, "Question 147. Fasting", The Summa Theologica II-II (edisi ke-1920, Second and Revised Edition), New Advent 
  14. ^ (Inggris) St. Alphonsus Liguori. ''The True Spouse of Jesus Christ''; trans. from Italian. Dublin (1835), p. 282. Books.google.com. Diakses tanggal 2014-08-27. 
  15. ^ (Inggris) Jaucourt, Louis, chevalier de. "Gluttony." The Encyclopedia of Diderot & d'Alembert Collaborative Translation Project. Translated by Sean Takats. Ann Arbor: Michigan Publishing, University of Michigan Library, 2006. Web.
  16. ^ (Inggris) George Alexander Kennedy (2008). The Art of Rhetoric in the Roman World. Wipf and Stock Publishers. hlm. 133. ISBN 9781556359798. 
  17. ^ (Latin) M. Tullius Cicero, Rhetoricorum (edisi ke-1773), J. Manfré (asli dari Perpustakaan Montserrat Abbey), hlm. 335 
  18. ^ (Inggris) Giambattista Vico (1996). Giorgio A. Pinton, Arthur W. Shippee, ed. The Art of Rhetoric. Rodopi. hlm. 181. ISBN 9789051839289. 
  19. ^ (Inggris) Jennifer Speake, ed. (2015). Oxford Dictionary of Proverbs. OUP Oxford. hlm. 89. ISBN 9780191059599. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  • (Inggris) Kutipan tentang gluttony di Wikikutip