Lompat ke isi

Hasan al-Kharrat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hasan al-Kharrat
حسن الخراط
Seorang pria sedang mengenakan pakaian adat Arab Levant
Portret Hasan al-Kharrat
Lahir1861
Damaskus, Wilayat Suriah, Kekaisaran Utsmaniyah
Meninggal25 Desember 1925 (umur 63–64)
Damaskus, Suriah di bawah Mandat Perancis
KebangsaanSuriah
PekerjaanPeronda malam dan
qabaday (jawara kampung) Al-Syaghur
Dikenal atasMemimpin pemberontak Damaskus dan Ghouta dalam Pemberontakan Besar Suriah
AnakFakhri

Abu Muhammad Hasan al-Kharrat (bahasa Arab: حسن الخراط 1861[note 1]–25 Desember 1925) adalah salah seorang pemimpin utama pemberontak Suriah dalam peristiwa pemberontakan besar-besaran rakyat Suriah melawan pemerintah Mandat Perancis. Daerah operasi utama Hasan adalah kota Damaskus dan Ghouta, daerah pedesaan di sekeliling kota Damaskus. Ia gugur dalam perjuangan dan dihormati sebagai pahlawan bangsa Suriah.[4]

Sebagai qabaday (bahasa Turki: Kabadayı, secara harfiah berarti "perundung") atau jawara kampung Al-Syaghur di kota Damaskus, Hasan dekat dengan Nasib al-Bakri, seorang tokoh nasionalis dari keluarga paling terkemuka di Al-Syaghur. Atas ajakan Nasib, Hasan bergabung dengan gerakan pemberontakan pada bulan Agustus 1925 dan membentuk kesatuan yang terdiri atas para pejuang asal Al-Syaghur dan sekitarnya. Ia memimpin aksi penyerbuan kota Damaskus, dan sempat menguasai rumah Komisaris Tinggi Perancis, Maurice Sarrail, sebelum terdesak mundur akibat dibombardir Perancis.

Menjelang akhir 1925, timbul ketegangan antara Hasan dan para pemimpin pemberontak lainnya, khususnya Sa'id al-'As dan Ramadan al-Syallasy, akibat saling tuding telah menjarah desa-desa atau memeras warga setempat. Hasan terus memimpin operasi-operasi di Ghouta, tempat ia tewas terbunuh dalam suatu aksi penyergapan yang dilakukan tentara Perancis. Pemberontakan rakyat Suriah dipadamkan pada 1927, namun Hasan al-Kharrat tetap dikenang sebagai syuhada yang gugur dalam perjuangan rakyat Suriah melawan pemerintahan Perancis.

Masa muda dan awal karier

Suasana jalan kampung Al-Syaghur di kota Damaskus, 1910. Hasan tinggal di Al-Syaghur tempat ia menjadi qabaday (jawara kampung) dan peronda malam di kebun-kebun buah kampung itu.

Hasan Al-Kharrat lahir dalam sebuah keluarga Muslim Sunni di Damaskus pada 1861, manakala Suriah masih menjadi bagian dari wilayah Kekaisaran Utsmaniyah.[5][6] Ia bekerja sebagai peronda malam di kawasan permukiman Al-Syaghur dan penjaga kebun-kebun buah yang berada di kampung itu.[6][7][8] Damaskus direbut kaum pemberontak Arab dalam Perang Dunia I pada bulan Oktober 1918. Tak lama kemudian, Perkumpulan Orang Arab, sebuah organisasi kebangsaan Arab, dibentuk di Damaskus untuk menghimpun dukungan bagi kaum pemberontak Arab.[9] Perkumpulan ini memberi sokongan kepada pemimpin kaum pemberontak Arab, Emir Faisal, yang membentuk pemerintahan ala kadarnya di Suriah.[9] Hasan bersekutu dengan Perkumpulan Orang Arab dan menghimpun dukungan di Al-Syaghur bagi Emir Faisal.[10] Pada bulan Juli 1920, pemerintahan Emir Faisal tumbang setelah angkatan bersenjatanya yang hanya sekadar gerombolan bersenjata itu dikalahkan tentara Perancis dalam Pertempuran Maysalun.[11] Perancis kemudian memerintah Suriah dengan mengatasnamakan Mandat Liga Bangsa-Bangsa.

Pada tahun-tahun permulaan pemerintahan Perancis, Hasan adalah qabaday (jamak: qabadayat) kampung Al-Syaghur.[7][12] Menurut kebiasaan turun-temurun dalam masyarakat setempat, qabadai adalah pemimpin para berandal di suatu kampung atau kawasan permukiman.[13] Secara tidak resmi, warga kampung mengandalkan qabaday untuk menindaklanjuti keluhan-keluhan warga dan membela kehormatan kampung dari gangguan penjahat atau qabaday kampung lain.[13] Di mata umum, Hasan adalah seorang pria terhormat yang dikagumi karena berbadan kuat[13] serta gemar melindungi kaum lemah dan kaum papa.[14] Menurut sejarawan Philip S. Khoury, qabaday dianggap sebagai "pejunjung adat istiadat Arab, penjaga budaya rakyat."[13][14] Philip S. Khoury berpendapat bahwa Hasan "mungkin sekali adalah qabaday yang paling dihormati dan dikagumi orang semasa hidupnya".[12] Para qabadayat lazimnya enggan bersekolah,[13] dan menurut sejarawan Michael Provence, Hasan agaknya buta huruf.[15] Para qabadayat lazimnya bersekutu dengan tokoh-tokoh tertentu yang terkemuka di kota, dan dapat dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh itu untuk menuai dukungan warga di kampung-kampung asal para qabadayat.[13] Hasan bersekutu dengan Nasib al-Bakri, seorang politikus dan tuan tanah di kota Damaskus.[8] Keluarga Al-Bakri adalah keluarga paling berpengaruh di Al-Syaghur, dan Hasan bekerja sebagai kaki tangan utama keluarga Al-Bakri di kampung itu.[16]

Menjadi pemimpin pasukan dalam Pemberontakan Besar Suriah

Perekrutan dan konfrontasi awal

Pada pertengahan 1925, Sultan Pasya al-Atrasy, Syekh (pemimpin kaum) Druzi, mengobarkan pemberontakan melawan pemerintah Mandat Perancis di Jabal al-Druzi (bahasa Arab: جبل الدروز‎, jabal ad-durūz, gunung kaum Druzi), daerah pegunungan di kawasan selatan Suriah.[8] Kemenangan telak pasukan Syekh al-Atrasy atas Tentara Syam Perancis (bahasa Prancis: Armée du Levant) menggugah semangat juang kaum nasionalis Suriah sehingga pemberontakan ini menjalar ke utara sampai ke daerah pedesaan di sekitar Damaskus, bahkan lebih jauh lagi.[8] Nasib al-Bakri adalah penghubung utama antara Syekh al-Atrasy dan gerakan-gerakan pemberontakan yang bermunculan di Damaskus dan Ghouta.[8] Ghouta adalah dataran subur di sekeliling kota Damaskus,[17][18] dan rumpun-rumpun pepohonan di kebun-kebun buah serta saluran-saluran air yang banyak terdapat di daerah itu dimanfaatkan oleh kaum pemberontak sebagai tempat perlindungan sekaligus pangkalan untuk menyerbu Damaskus.[19] Pada bulan Agustus, Nasib meyakinkan Hasan untuk bergabung dengan gerakan pemberontakan.[6][16] Menurut Michael Provence, Hasan adalah sosok yang "ideal" untuk dilibatkan, karena ia "diikuti anak-anak muda di kampungnya, disegani orang di luar kampungnya, punya banyak koneksi, dan sudah dikenal sebagai seorang jawara yang tangguh."[16] Kesatuan pejuang yang dipimpinnya terkenal dengan sebutan ′isabat al-Syawaghirah (Kawanan Al-Syaghur).[8] Meskipun nama kesatuan ini berasal dari nama kampung Hasan, anggota-anggotanya juga meliputi dua puluh orang qabadayat dari kampung-kampung lain di kota Damaskus dan desa-desa di sekitarnya, beserta gerombolan bersenjata mereka masing-masing.[20][note 2] Daerah-daerah operasi utama Hasan adalah daerah-daerah di sekitar Al-Syaghur dan hutan Al-Zur di kawasan timur Ghouta.[15] Melalui kedekatannya dengan seorang ulama Sufi, Hasan memasukkan unsur perang suci Islam ke dalam gerakan pemberontakan yang sesungguhnya sangat bersifat sekuler itu. Tindakan ini tidak disambut baik oleh sejumlah pihak yang turut terlibat dalam gerakan pemberontakan.[16]

Pasukan pemberontak di Ghouta, di bawah pimpinan Syekh Druzi, Izz al-Din al-Halabi (berdiri nomor lima dari kiri), 1925. Pasukan pemberontak yang dipimpin Hasan lebih banyak beroperasi di Ghouta.

Hasan menghimpun operasi-operasi gerilya pada bulan September, mentargetkan pasukan Perancis yang bertugas di timur dan selatan Ghouta.[20] Ketenarannya berkembang saat ia memimpin penyerbuan malam melawan Perancis di Damaskus, dimana ia menyerang para pasukan patroli dan menyandera para prajurit.[6] Di Al-Syaghur, Souk Saruja dan Jazmatiyya, Hasan dan kelompoknya membakar seluruh bangunan yang dipegang Perancis.[6] Pada pekan pertama bulan Oktober, enam puluh gendarme Perancis dikerahkan di Ghouta untuk melawan Hasan dan para pejuangnya.[21] Pasukan gendarme tersebut ditempatkan di rumah mukhtar (kepala desa) al-Malihah.[21] Pada sore hari, para pemberontak menyerang kediaman tersebut, membunuh satu gendarme dan menangkap sisanya; para tahanan kemudian semuanya dipulangkan tanpa cedera.[21]

Pada 12 Oktober, pasukan Perancis yang didukung oleh tank, artileri dan dukungan udara meluncurkan sebuah operasi untuk mengitari dan mengeliminasi para pemberontak Hasan di hutan al-Zur.[22] Pasukan Hasan berhadapan dengan pengerahan Perancis melalui para petani al-Malihah.[22] Ditempatkan di antara pohon-pohon, para pemberontak memakai tembakan senapan melawan pasukan Perancis.[22] Pasukan Perancis tak dapat menghalau para pemberontak dan menarik diri.[22]

Saat Perancis menarik diri menuju al-Malihah, mereka merampas desa dan membakarnya.[22] Para pejabat intelijen Perancis membenarkan tindakan kolektif terhadap al-Malihah sebagai pembalasan terhadap penangkapan dan penghinaan yang dilakukan oleh para pemberontak terhadap pasukan gendarme sepekan sebelumnya; Perancis mengklaim seorang bocah dari al-Malihah memberitahukan pasukan Hasan akan keberadaan Perancis di desa tersebut.[23] Meskipun mereka tak dapat menyergap Hasan dan pasukannya secara langsung, pasukan Perancis mengeksekusi sekitar 100 warga sipil dari desa-desa Ghouta.[23] Jasad-jasad mereka dibawa ke Damaskus, dan enam belas jasad diantaranya yang disebut oleh Perancis sebagai "brigand" disimpan.[23]

Pertempuran Damaskus dan operasi-operasi di Ghouta

Jenderal Maurice Sarrail, Komisaris Tinggi Mandat Perancis di Suriah

Terhentak oleh tindakan tentara Perancis di Ghouta, Nasib berencana merebut Istana Damaskus, dimana pasukan Perancis terkonsentrasi, dan Istana Azm, dimana Jenderal Maurice Sarrail, Komisioner Tinggi Suriah Perancis, bermukim pada 17–18 Oktober (Sarrail biasanya bermarkas besar di Beirut).[23] Komisioner tinggi tersebut difungsikan sebagai administrator seluruh Suriah atas perantara Perancis dan memegang kekuasaan mutlak.[24] Unit-unit pemberontak yang aktif di Damaskus pada masa itu adalah isabat Hasan dan pasukan campuran pejuang dan pemberontak Druze dari wilayah al-Midan dan Ghouta.[25] Untuk mengkompensasi kekurangan kekuatan pemberontak, Nasib mengirim sebuah surat kepada Syekh al-Atrasy meminta pengerahan.[23] Syekh al-Atrasy membujuk agar ia melakukan operasi pendudukan di Hauran, namun kemudian mengirim seluruh pasukannya untuk membekingi para pemberontakan Damaskus serta urusan yang ditempatkan disana.[23] Sebelum ia meraih jawaban Syekh al-Atrasy, Nasib memutuskan untuk melangkah maju dengan operasi tersebut.[25]

Pada 18 Oktober, Hasan memimpin empat puluh pemberontak ke Al-Syaghur dari pemakaman kuno yang berdekatan dengan gerbang selatan Damaskus, mengumumkan bahwa Druze telah datang untuk membebaskan kota tersebut dari pendudukan Perancis.[25] Kerumunan pemukim secara antusias menyambut para pemberontak, dan beberapa orang ikut serta memegang senjata bersama dengan mereka. Pasukan Hasan merebut stasiun polisi wilayah tersebut, mengusir garisunnya.[25] Mereka bergabung dengan Ramadan al-Syalasy, seorang komandan pemberontak dari Deir ez-Zor, dan dua puluh pejuang Badawi-nya. Pasukan bersama tersebut bergerak ke Pasar Hamidiyya dan merebut Istana Azm,[25][26] namun Sarrail tak hadir, pergi untuk menghadiri sebuah pertemuan di kota Hauran Daraa.[25] Para pemberontak menggerayangi istana tersebut dan membakarnya.[25] Provence menyatakan bahwa menaklukan istana tersebut tanpa Sarrail "tidaklah memegang pengaruh taktikal" namun menjadi pengabdian yang sangat simbolik bagi para pemberontak karena Istana Azm "berpengaruh sebagai kursi bersejarah dari kekuasaan ekonomi dan politik di Damaskus, sekarang dirampas oleh Perancis dan secara utuh tak terpertahankan".[25]

Saat Hasan merebut Istana Azm, Nasib dan 200 pemberontak di bawah komandonya mengarungi kota tersebut dan diikuti oleh warga sipil dalam jumlah yang meningkat.[25] Setelah menyegel Kota Lama untuk menghindari pasukan musuh masuk, Hasan mengeluarkan perintah untuk membunuh siapapun yang berhubungan dengan tentara Perancis.[26] Sekitar 180 prajurit Perancis dibunuh.[26] Sarrail memerintahkan peledakan dan bombardemen udara terhadap kota tersebut, yang berlangsung selama dua hari dan menewaskan sekitar 1,500 orang.[27] Pertikaian dan pertarungan terjadi di seluruh wilayah, masjid-masjid dan gereja-gereja ditutup, pasukan Perancis dipindah, dan ratusan figur utama dalam gerakan nasional Suriah ditangkap,[26] termasuk putra Hasan, Fakhri.[8] Fakhri ditangkap pada 22 Oktober saat penyerbuan malam hari oleh para pemberontak melawan Perancis, yang saat itu telah merebut kembali Damaskus.[15] Hasan menawarkan pembebasan putranya dengan menukar penyerahannya sendiri, namun ditolak.[28]

Para pemberontak mundur dari Damaskus saat pertemuan diadakan antara komandan tentara Perancis Maurice Gamelin dan delegasi bangsawan Damaskus.[29] Sebagai hasil pertemuan tersebut, Perancis sepakat untuk mengakhiri bombardemen mereka dengan bayaran 100,000 lira emas Turki pada 24 Oktober.[27] Ganti rugi tersebut tak dibayarkan oleh Perancis, namun bombardemennya tak dilanjutkan, sebagai hasil dari perintah pemerintah Perancis di Paris.[30] Pengecaman internasional terhadap bombardemen Damaskus yang dilakukan oleh Sarrail dan tumbuhnya kritikan di Perancis atas kesalahan penanganannya terhadap pemberontakan tersebut berujung pada pemecatannya pada 30 Oktober.[31] Ia digantikan oleh politikus Henry de Jouvenel,[32] yang datang ke Suriah pada bulan Desember.[33] Pada 22 November, Hasan mengkomandani 700 pemberontak dalam sebuah pertempuran dengan sekitar 500 prajurit Perancis di luar Damaskus.[34] Pasukan Hasan memberikan kekalahan "menyayat" terhadap Perancis, namun mendapatkan jumlah korban yang besar dari pihak mereka diri, dengan tiga puluh orang tewas dan empat puluh orang orang luka-luka menurut Reuters.[34] Pada 5 Desember, Hasan menjadi salah satu komandan dari 2,000 pasukan yang menyatukan pemberontak dari latar belakang berbeda, yang menyerang barak-barak Tentara Perancis di al-Qadam, selatan Damaskus. Perancis mengklaim jumlah korban yang signifikan, namun kegiatan pemberontak berlanjut.[35]

Ketegangan dengan para pemimpin pemberontak

Tatanan tersentralisasi dan sorotan berlebihan terhadap beberapa partisipan bersenjata pada pemberontakan tersebut sulit dijalin karena keragaman dan independensi dari faksi-faksi pemberontak. Sebuah pertemuan para pemimpin pemberontak diadakan di desa Saqba, Ghouta pada 26 November.[36] Sa'id al-'As menuduh Hasan dan para anggota lainnya melakukan penjarahan di Ghouta,[37] sementara Hasan menuduh bahwa Ramadan al-Syallasy mengusir para pemukim al-Midan dan kota Douma, Ghouta.[38] Pertemuan tersebut diakhiri dengan sebuah perjanjian untuk memiliki sebuah pemerintahan untuk menggantikan otoritas Perancis, meningkatkan perekrutan dari para penduduk Ghouta, operasi koordinasi militer di bawah komando sentral, dan mendirikan sebuah pengadilan revolusioner untuk mengeksekusi para mata-mata.[37] Pertemuan tersebut juga merancang kawasan dimana desa Zabdin dan utara jalan Douma-Damaskus dijadikan bagian dari zona operasi Hasan.[37] Disamping berperan utama dalam upaya militer pemberontak, Hasan tak masuk dalam dewan kepemimpinan pemberontak yang baru dibentuk, maupun persekutuan Nasib manapun.[37] Sa'id justru menjadi pemimpin seluruh pemberontak.[37]

Perpecahan faksi pemberontak tersebut menjadi tampak saat pertemuan kedua di Saqba pada 5 Desember. Menurut jurnalis Suriah Munir al-Rais, pertikaian antara Hasan dan Ramadan sangat dikenal di kalangan pemberontak.[36] Karena Ramadan merebut pajak-pajak perang atas tuan-tuan tanah besar dan kalangan elit kota Ghouta, atas Hasan, Nasib memandangnya sebagai ancaman terhadap kelas tuan tanah tradisional dimana Nasib merupakan salah satunya.[39] Munir mengklaim bahwa pertemuan tersebut diserukan oleh Hasan,[40] yang memerintahkan para pejuang untuk menangkap dan mengirim Ramadan ke Saqba.[41] Namun, menurut Sa'id, KTT tersebut diserukan oleh Ramadan, dan saat Ramadan datang ke desa tersebut, Hasan secara pribadi menahannya dan menyita kuda, persenjataan dan uangnya.[41]

Setelah ia ditahan, Ramadan diberi pengadilan singkat dimana Hasan menuduhnya melakukan "penagihan dan pengumpulan ransum dan keuangan atas nama pemberontakan", sementara Nasib mengecamnya secara khusus karena mengusir para pemukim Douma untuk 1,000 giney (pound Utsmaniyah),[36] dan menagih bayaran yang besar terhadap para penduduk Harran al-Awamid, al-Qisa dan Maydaa untuk kekayaan pribadinya sendiri.[42] Hasan dan Nasib memutuskan untuk menghukum Ramadan, dan mengeluarkannya dari pemberontakan tersebut.[39] Meskipun beberapa pemberontak dengan latar belakang yang sama dengan Ramadan tak sepakat dengan keputusan tersebut, mereka tak ikut campur.[36] Dalam catatannya soal pertemuan, Munir mengecam para komandan pemberontak karena terjerumus dalam "pengadilan curang" dan menuduh Hasan secara khusus termotivasi oleh kepentingan pribadi.[40] Ramadan dapat melarikan diri—atau dibebaskan oleh Sa'id—saat pesawat-pesawat Perancis mengebom pertemuan tersebut.[41] Ramadan kemudian menyerah kepada Jouvenel dan berbalik memihak otoritas Perancis.[43]

Kematian dan tinggalan sejarah

Fakhri bin Hasan al-Kharrat, pemimpin kaum pemberontak yang dihukum gantung oleh pemerintah Mandat Perancis pada bulan Januari 1926 di alun-alun Marjeh, Damaskus

Hasan tewas terbunuh dalam serangan dadakan tentara Perancis ke daerah Ghouta pada 25 Desember 1925.[40] Kepemimpinannya selaku qabaday Al-Syaghur dan komandan kesatuan ′isabat al-Syawaghirah diteruskan oleh Mahmud Khaddam al-Srija.[12] Anak-anak buah Hasan terus-menerus bertempur melawan Perancis sampai Pemberontakan Besar Suriah berakhir pada 1927,[44] meskipun menurut sejarawan Thomas Philipp, kesatuan ′isabat al-Syawaghirah telah tercerai-berai sepeninggal Hasan.[45] Pada bulan Januari 1926, Fakhri, putra Hasan, dipidana mati dan dieksekusi di muka umum bersama dua orang pemberontak lain di alun-alun Marjeh, Damaskus.[46] Sebelum itu, pemerintah Mandat Perancis pernah meminta Fakhri untuk membujuk ayahnya agar menyerahkan diri demi pembebasannya, namun permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Fakhri.[15]

Abdul Rahman Syahbandar, seorang pemimpin gerakan kebangsaan Suriah yang terkemuka, mengungkapkan bahwa Hasan "sangat berperan penting" dalam pertempuran melawan Perancis di Ghouta dan Damaskus.[7] Sejarawan Daniel Neep menulis bahwa Hasan adalah sosok yang "paling dikenal orang" di antara semua pemimpin pemberontak yang berpangkalan di Damaskus,[8] kendati menurut para pemimpin pemberontak lainnya, kemasyhuran Hasan adalah hasil jerih payah dari sekutu dekat Nasib, yakni Panitia Suriah-Palestina yang berpusat di Kairo. Hasan dan putranya, Fakhri, kini dikenang oleh rakyat Suriah sebagai "pahlawan-pahlawan yang gugur sebagai syuhada" karena telah berjuang demi kepentingan bangsa dan gugur dalam perjuangan bangsa demi meraih kemerdekaan dari tangan Perancis.[16][40]

Keterangan

  1. ^ Sejarawan Suriah, Sami Moubayed, dan sejarawan Palestina, Hanna Batatu, berpendapat bahwa tahun kelahiran Hasan al-Kharrat adalah 1861 [1][2] sementara sejarawan Amerika Serikat, Michael Provence, berpendapat bahwa Hasan berusia 50 tahun pada akhir 1925, sehingga tentunya ia lahir pada 1875.[3]
  2. ^ Desa-desa dan permukiman-permukiman lain di Damaskus yang telah menyumbangkan tenaga-tenaga pejuang bagi kelompok pemberontak Hasan al-Kharrat adalah Jaramana, Kafar Batna, Bait Saham, Al-Malihah, Sidi Amud, Suq Saruja dan Al-Amara.[8]

Rujukan

  1. ^ Moubayed 2006, hlm. 381
  2. ^ Batatu 1999, hlm. 368.
  3. ^ Provence 2005, hlm. 100.
  4. ^ Provence 2005, hlm. 119.
  5. ^ "Syria Opposition Leader Interview Transcript" [Transkripsi Wawancara Pemimpin Oposisi Suriah]. The Wall Street Journal. 2011-12-02. Diakses tanggal 2013-04-07. 
  6. ^ a b c d e Moubayed 2006, hlm. 381.
  7. ^ a b c Batatu 1999, hlm. 117.
  8. ^ a b c d e f g h i Neep 2012, hlmn. 79–80.
  9. ^ a b Gelvin 1998, hlmn. 69–70.
  10. ^ Gelvin 1998, hlm. 75.
  11. ^ Khoury 1987, hlm. 97.
  12. ^ a b c Khoury 2006, hlm. 157.
  13. ^ a b c d e f Khoury 2006, hlm. 152.
  14. ^ a b Khoury 2006, hlm. 154.
  15. ^ a b c d Provence 2005, hlm. 118.
  16. ^ a b c d e Provence 2005, hlm. 101.
  17. ^ Neep 2012, hlm. 131.
  18. ^ Glassé, Cyril (1989). "Damascus". The New Encyclopedia of Islam [Ensiklopedia Baru Islam]. London: Stacey International. hlm. 110. ISBN 0-7591-0190-6. 
  19. ^ Baer, Gabriel (1982). Fellah and Townsman in the Middle East: Studies in Social History [Fellah dan Warga Kota di Timur Tengah]. Abingdon: Frank Cass and Company Limited. hlm. 302. ISBN 0-7146-3126-4. 
  20. ^ a b Khoury 1987, hlm. 174.
  21. ^ a b c Provence 2005, hlm. 100.
  22. ^ a b c d e Provence 2005, hlmn. 101–102.
  23. ^ a b c d e f Provence 2005, hlm. 102.
  24. ^ Peretz, Don (1994). The Middle East Today (edisi ke-Sixth). Westport: Greenwood Publishing Group. hlm. 365–366. ISBN 0-275-94575-8. 
  25. ^ a b c d e f g h i Provence 2005, hlm. 103.
  26. ^ a b c d Moubayed 2006, hlm. 382.
  27. ^ a b Provence 2005, hlm. 104.
  28. ^ MacCallum, Elizabeth Pauline (1928). The Nationalist Crusade in Syria. New York: The Foreign Policy Association. hlm. 132. OCLC 234199. 
  29. ^ Khoury 1987, hlm. 177.
  30. ^ Provence 2005, hlmn. 104–105.
  31. ^ Provence 2005, hlm. 109.
  32. ^ Khoury 1987, hlmn. 181–182.
  33. ^ Provence 2005, hlm. 126.
  34. ^ a b Reuters (1 January 1926). "Syrian Revolt: Hassan Kharrat Killed". The Advocate. Diakses tanggal 2013-04-07. 
  35. ^ Provence 2005, hlm. 116.
  36. ^ a b c d Provence 2005, hlmn. 134–135.
  37. ^ a b c d e Neep 2012, hlm. 81.
  38. ^ Neep 2012, hlm. 83.
  39. ^ a b Provence 2005, hlm. 134.
  40. ^ a b c d Provence 2005, hlm. 135.
  41. ^ a b c Provence 2005, hlm. 137.
  42. ^ Provence 2005, hlm. 136.
  43. ^ Provence 2005, hlmn. 138–139.
  44. ^ Provence 2005, hlm. 138.
  45. ^ Philipp, Thomas; Schumann, Christoph, ed. (2004). From the Syrian Land to the States of Syria and Lebanon [Dari Negeri Suriah menjadi Negara Suriah dan Negara Lebanon]. Würzburg: Orient Institut der DMG Beirut. hlm. 281. ISBN 3-89913-353-6. 
  46. ^ Neep 2012, hlm. 54.

Kepustakaan