Lompat ke isi

Dukun

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 22 Agustus 2022 18.58 oleh Zulf (bicara | kontrib)
Dukun (sikerei) suku Sakuddei, pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Seorang dukun sedang mempersiapkan sebuah minuman.

Dukun adalah istilah yang secara umum dipahami dalam pengertian orang yang memiliki kelebihan dalam hal kemampuan supranatural yang menyebabkannya dapat memahami hal tidak kasatmata serta mampu berkomunikasi dengan arwah dan alam gaib, yang dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah di masyarakat, seperti penyakit, gangguan sihir, kehilangan barang, kesialan, dan lain-lain.[1]

Dukun suku Dayak, Kalimantan Timur.

Istilah dukun biasanya digunakan di daerah pedesaan, sedangkan “orang pintar” atau paranormal, untuk menyatakan hal yang sama, digunakan lebih umum di antara populasi perkotaan. Penerimaan sosial terhadap istilah “orang pintar” pun biasanya lebih positif dibandingkan penggunaan istilah dukun. Sebab, meskipun memiliki persamaan karakteristik dengan dukun dalam hal bantuan yang diberikan, merujuk pada penggunaan istilah “orang pintar” biasanya tidak meminta imbalan atas jasa yang diberikan, dan tidak seperti tipikal dukun dalam penggunaannya secara istilah, keberadaan “orang pintar” di dalam masyarakat, tidak berbeda dengan anggota komunitas lainnya.[1] Selain menarik bayaran untuk keuntungan pribadi serta kurang berinteraksi dan berbaur dengan komunitas masyarakat, konotasi negatif yang muncul apabila istilah dukun yang digunakan, yaitu cenderung bersifat oportunistik dan menjalani praktik-praktik tidak bermoral, dengan dalih sebagai bagian dari “treatment”.[2]

Dukun dalam pengertiannya yang asli dan tidak dibedakan dari istilah “orang pintar”, mempunyai peranan signifikan dalam masyarakat.[1] Adanya pengobatan medis modern dan asuransi kesehatan, terutama di daerah pelosok, tidak dapat menyingkirkan eksistensi pengobatan alternatif melalui dukun. Penyembuhan penyakit secara non-medis tersebut masih dipraktikkan dan masih menjadi pilihan utama masyarakat karena lebih murah dan lebih mudah. Di Kediri, dukun yang membantu menyembuhkan penyakit sangat dibutuhkan dan dihormati di masyarakat, sehingga mereka memegang peranan sosial yang cukup penting. Para pasien yang datang untuk berobat ke sana tidak hanya terbatas dari dalam Kediri saja, tetapi juga dari luar Kediri, hingga luar provinsi, bahkan luar pulau Jawa.[3]

Di samping peran signifikannya, keberadaan dukun sering kali menjadi kontroversi.[1] Berdasarkan hasil penelitian tentang fenomena dukun yang dilakukan di Madura, dapat diketahui bahwa melalui dukun adalah salah satu strategi yang digunakan untuk mendapatkan kedudukan sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat. Penggunaan kekuatan yang berasal dari sumber gaib sebagai cara terpenting maupun sebagai cara alternatif untuk mencapai keinginan dan tujuan pribadi secara seketika, yang mana agama tidak menjanjikan keinstanan tersebut, telah ada di Madura sejak bertahun-tahun lalu. Hal-hal pribadi yang diinginkan melalui perantara kekuatan gaib itu meliputi keinginan meningkatkan kedudukan sosial, mencapai kuota dan target bisnis, kemajuan karier, kesuksesan pendidikan, kesehatan, hingga asmara. Beberapa orang Madura mengidentifikasikan diri sebagai Muslim dan mengamalkan ajaran serta kepercayaan agama, tetapi pada saat yang sama melibatkan diri dengan aktivitas yang berhubungan dengan alam gaib yang tidak diperbolehkan/dibenarkan dalam agama dan kepercayaan tersebut.[4]

Dukun dan perdukunan merupakan suatu dilema. Pada satu sisi dipandang sebagai profesi dan aktivitas yang “kotor”, tetapi pada sisi yang lain setidaknya memainkan peran dinamis dalam sistem sosial, budaya, dan hubungan politik, dalam terminologi yang oleh sosiologis Perancis, Pierre Bourdieu, sebut sebagai cultural capital, yang diakumulasikan untuk mendominasi masyarakat. Istilah dukun yang populer di daerah pedesaan itu pada perkembangannya menjadi jarang digunakan. Sebagai gantinya digunakan kata yang lebih halus atau yang lebih mengindikasikan orientasi keagamaan seperti Ki atau Aki, Abah, Haji, Kyai, atau Ustaz, agar secara konsensus sosial tidak berbahaya, sehingga dapat mengganggu aktivitas atau kebutuhan mereka.[4]

Kemajuan peradaban yang salah satunya diukur dengan keikutsertaan sebuah bangsa pada modernisasi yang berdasarkan rasionalitas, menyebabkan cara hidup tradisional yang dipandang sebagai sebuah kemandegan, harus ditinggalkan. Termasuk di dalam cara hidup tradisional adalah praktik dukun dalam membantu proses melahirkan. Tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan di Indonesia memberikan kesadaran untuk lebih meningkatkan upaya kesehatan ibu, antara lain dengan cara menempatkan tenaga bidan di setiap desa, yang sedikit demi sedikit mulai menggeser peran dukun.[5]

Jenis-Jenis Dukun

Teridentifikasi sejumlah kategori dukun sebagai berikut:[4]

  1. Dukun Beranak atau disebut juga dengan dukun bayi, berperan seperti bidan dalam membantu proses persalinan.
  2. Dukun Pijet Berkeahlian dalam pijat-memijat, membantu menyelesaikan masalah pada tubuh atau anggota tubuh yang sakit atau kurang berfungsi dengan baik, misalnya badan pegal-pegal atau kaki keseleo karena terjatuh/kecelakaan, dll. (ketok magic).
  3. Dukun Parewangan/Dukun Suwuk atau disebut juga dengan cenayang, dapat bertindak sebagai medium perantara agar dapat berhubungan dengan makhluk gaib/alam gaib,[4] di samping keahlian utama dalam mengobati berbagai macam penyakit, mulai dari penyakit fisik, mental, spiritual, dan juga yang berkaitan dengan aspek sosial.[3]
  4. Dukun Calak Membantu proses khitan.
  5. Dukun Wiwit Membantu pada ritual pemungutan hasil panen dan spesialis upacara ritual.
  6. Dukun Penganten Membantu pada acara ritual dan upacara pernikahan.
  7. Dukun Petungan Ahli dalam peramalan menggunakan angka dan metode numerik dalam perhitungan hari baik untuk melangsungkan pernikahan, memulai suatu bisnis, dll.
  8. Dukun Sihir/Dukun Tenung/Dukun Santet Ahli sihir
  9. Dukun Susuk Memiliki keahlian dalam menggunakan jenis logam tertentu atau batu khusus untuk membantu klien mengumpulkan kekuasaan, kekuatan, atau kecantikan.
  10. Dukun Jampi Merupakan jenis dukun yang memanfaatkan tanaman herbal dan tanaman masyarakat asli lainnya untuk menyembuhkan orang.
  11. Dukun Japa Berkeahlian dalam memberikan mantra-mantra atau jampi-jampi.
  12. Dukun Siwer Memiliki keahlian khusus dalam mencegah suatu keadaan alam yang pada waktu tertentu tidak dikehendaki, misalnya mencegah agar hujan tidak turun pada saat diadakannya suatu acara, dll.

Tidak semua keahlian dalam setiap jenis dukun itu dimiliki serta dilakukan oleh seorang dukun.[3] Umumnya seorang dukun memiliki semua kapasitas perdukunan tersebut, kecuali dalam hal pijat dan persalinan. Jenis dukun calak untuk melakukan khitan juga tidak dimiliki oleh setiap dukun, sebab kemampuan dukun calak lebih cenderung menekankan ke bidang pengobatan daripada hal gaib.

Sumber Kemampuan Gaib

Sebagaimana dikatakan oleh para dukun, berdasar pada hasil penelitian, kemampuan dukun merupakan sesuatu hal yang tidak semua orang dapat memilikinya. Kemampuan dalam hal gaib dapat setidaknya berasal dari dua macam sumber, yaitu:[4]

Pemberian

Sumber yang pertama ini diperoleh secara alami tanpa melalui proses belajar, dan menjadi kemampuan yang melekat dengan sendirinya dalam diri dukun tersebut. Kemampuan meramal nasib di masa depan, kemampuan menyembuhkan penyakit, kemampuan berkomunikasi dengan makhluk astral/makhluk halus adalah beberapa dari kemampuan alami yang dukun itu sendiri tidak dapat memastikan kapan permulaannya hingga ia secara tidak sadar dapat mempergunakan kemampuan tersebut pada dirinya atau pada orang lain, pada suatu waktu. Namun meskipun dikatakan kemampuan tersebut secara murni merupakan pemberian, hal itu tidak serta merta dapat dibenarkan, karena kemampuan itu sebenarnya merupakan bakat yang diwariskan atau diturunkan dari leluhur. Hal ini pun dipercayai bahwa tanpa didahului oleh para pendahulu mereka di masa lalu (kakek, kakek buyut, nenek dari kakek, kakek dari kakek buyut, dst.) dengan kemampuan yang sama, tidak mungkin bagi seseorang memilikinya. Oleh sebab itu, berdasarkan sumber yang pertama ini, kemampuan gaib tidak dapat dimiliki oleh orang biasa dan hanya dimiliki oleh orang yang terpilih.[3]

Hasil Deduktif

Sumber kemampuan gaib yang kedua ialah yang diperoleh dari hasil belajar dan proses deduksi ilmu dari orang yang layak disebut guru.[3][4] Hal ini dipercayai beberapa orang dukun bahwa kemampuan gaib dapat dipelajari seperti ilmu-ilmu lain, dan dalam proses mempelajari ilmu gaib, seperti halnya mempelajari ilmu-ilmu yang lain, harus disertai dengan keinginan dan keteguhan hati, serta kepercayaan diri untuk menjadikannya usaha yang profesional. Namun, kemampuan gaib yang diperoleh dari hasil deduktif memiliki perbedaan kualitas dibandingkan dengan kemampuan yang bersumber dari pemberian. Kemampuan gaib hanya dapat ditransformasikan dengan cara yang terbatas dan hanya untuk kepentingan/tujuan yang terbatas pula, tidak untuk segala kepentingan/tujuan. Hal itu menjadikan tingkat kemampuan gaib dari hasil deduksi lebih rendah daripada yang melalui bakat alami.[3]

Cultural Capital

Secara keseluruhan, kemampuan gaib yang dimiliki di antara para dukun sesuai dengan konsep Pierre Bourdieu tentang cultural capital, yaitu karena kemampuan tersebut diturunkan atau dipelajari dalam rentang waktu tertentu. Konsisten dengan konsep tersebut, kurang tersedianya lapangan pekerjaan, kurangnya capital atau “modal” (seperti pendidikan, keahlian, atau jaringan), kebutuhan akan sumber ekonomi, faktor budaya, serta tingkat kompetisi dalam tatanan sosial dan politik, adalah apa yang merupakan ‘field’ dari dukun. Sementara kemampuan menyediakan jasa gaib sehingga menjadikannya sebagai pekerjaan utama merupakan habitus dari kegiatan perdukunan. Habitus dijelaskan sebagai suatu ingatan atau sejarah yang terlupakan, yang muncul sebagai respon atas ketidakpastian keadaan dan kondisi kompetitif pada ‘field’ yang memaksa dilakukannya strategi bertahan meski dengan segala konsekuensi dan konsensus yang ada, termasuk apabila strategi tersebut bertentangan dengan norma, nilai, serta sistem kepercayaan yang dianut. Di Indonesia, pemahaman mengenai ajaran agama diajarkan dari lingkung keluarga, sehingga pengetahuan apapun yang ada hubungannya dengan agama telah tertanam sejak masa anak-anak. Namun demikian, selain hal-hal agama, terdapat pula kebudayaan di Nusantara yang berada di luar konteks ajaran agama, yang dapat diketahui anak-anak, dan secara sadar atau tidak terselip ke dalam benak mereka. Selama waktu kebersamaan mereka dengan orang tua, anak-anak mampu menyerap berbagai perilaku dan dogma yang berlaku di masyarakat. Oleh sebab itu dalam mental anak-anak, tidak hanya ajaran agama yang melekat, tetapi termasuk juga unsur-unsur adat di luar ajaran agama. Berdasarkan hal itu, menurut hasil penelitian Bourdie, terlepas dari apakah orang-orang di Nusantara ingat atau tidak, terkadang masih tersimpan kepercayaan animisme, dinamisme, serta pada hal-hal mistis, dan tetap menjaganya dalam perbuatan mereka, di samping menjalankan ajaran agama yang telah dianut.[3]

Referensi

  1. ^ a b c d Sartini, Sartini; Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2017-02-27). "Redefining The Term of Dukun". Humaniora (dalam bahasa Inggris). 29 (1): 46–60. ISSN 2302-9269. 
  2. ^ "Something Wicked This Way Comes - Indonesia Expat". Indonesia Expat (dalam bahasa Inggris). 2012-10-23. Diakses tanggal 2017-11-02. 
  3. ^ a b c d e f g Arini, Ratih Tyas; Alimi, Moh Yasir; Gunawan, Gunawan (2016-08-22). "The Role of Dukun Suwuk and Dukun Prewangan in Curing Diseases in Kediri Community". KOMUNITAS: INTERNATIONAL JOURNAL OF INDONESIAN SOCIETY AND CULTURE (dalam bahasa Inggris). 8 (2): 328–338. doi:10.15294/komunitas.v8i2.4461. ISSN 2460-7320. 
  4. ^ a b c d e f Haryanto, Bangun Sentosa D. (2015-12-31). "The Dukuns of Madura: Their Types and Sources of Magical Ability in Perspective of Clifford Geertz and Pierre Bourdieu". Hubs-Asia (dalam bahasa Inggris). 9 (1): 107–118. ISSN 2406-9183. 
  5. ^ Prabowo, Dhanu Priyo (2013-12-30). "Marginalisasi Profesi Dukun Bayi dalam Puisi "NiniNini Dukun Bayi" Karya Iman Budhi Santosa". ATAVISME. 16 (2): 195–203. doi:10.24257/atavisme.v16i2.93.195-203. ISSN 2503-5215. [pranala nonaktif permanen]