Biomagnetisme
Biomagnetisme adalah fenomena medan magnetik yang dihasilkan oleh organisme hidup, yang masih merupakan bagian dari bioelektromagnetisme.[1]
Asal usul biomagnetisme diperkirakan telah muncul beberapa ratus tahun yang lalu, terkait dengan istilah "magnetisme binatang." Definisi ilmiah saat ini dimulai pada 1970-an, ketika semakin banyak peneliti memulai untuk mengukur medan magnetik yang dihasilkan oleh tubuh manusia.
Gerhard Baule dan Richard McFee pada 1963 dari Departement of Electrical Engineering, Syracuse University, New York mendeteksi medan biomagnetik dari hati manusia dengan menggunakan dua kumparan yang mempunyai 2 juta putaran lilitan yang dihubungkan dengan amplifier yang sangat sensitive.
Pada tahun
1970, David Cohen dari MIT dengan menggunakan
magnetometer SQUID dapat mengukur medan biomagnetik
dari hati manusia, kemudian di 1972 dengan
menambah kepekaan magnetometer itu ia berhasil
mengukur medan magnetik disekitar kepala yang
dihasilkan oleh kegiatan otak.
Selanjutnya pengamatan empirik menunjukan bahwa
penyakit pada jaringan tubuh mengubah medan
biomagnetik normal. Sebaliknya medan biomagnetik
yang diberikan kepada jaringan organ dapat
menghindarkan organ tersebut dari penyakit.[2]
[3]
terciptanya medan magnetik pada manusia
[sunting | sunting sumber]ion besi (fe) di hemoglobin, membuat darah bersifat magnetik. Lain-lain cairan tubuh yang mengandung hidrogen (proton) juga bersifat magnetik.
Ketika menahan napas atau bernapas pelan/halus maka jumlah oksigen di paru-paru relatif tetap/terbatas dibandingkan bernapas biasa.
Darah mengalir lewat paru-paru, hemoglobin mengambil oksigen cukup cepat.
Pada saat oksigen sedikit maka hemoglobin (yang magnetik) akan "mengantri" dengan energi minimum yaitu dengan arah kutub tiap molekul searah membentuk barisan saling menempel.
Akibatnya darah dan tubuh menjadi magnetik.[1]
Pemanfaatan biomagnetisme
[sunting | sunting sumber]Di Jepang dan negara-negara Asia lainnya, medan magnetik dipakai sebagai alat dalam bidang kedokteran. Kedokteran Barat kontemporer menggunakan beberapa bentuk energi magnetik untuk tujuan diagnosis, contohnya Magnetic Resonance Imaging (MRI). Selain untuk tujuan diagnosis juga membantu untuk mempercepat proses penyembuhan melalui pengobatan alternatif, namun cukup kontroversial.[4] Penelitian yang dilakukan sejak tahun 1997 menyimpulkan belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan hal tersebut bekerja. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ada manfaat medis dari medan magnetik statis[5]
MRI (Magnetik Resonance Imaging)
[sunting | sunting sumber]MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah teknologi untuk memetakan organ tubuh memanfaatkan sifat magnetik inti hidrogen dan inti unsur lainnya. Citra organ tersebut dihasilkan oleh pancaran sinar elektromagnetik dari magnet inti yang tereksitasi akibat pengaktifan oleh alat, sehingga pancaran sinar inti ini dapat direkam di film foto atau secara digital.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Prof. Ir. Lilik Hendrajaya. 2008. Memahami Tenaga Dalam Sebagai Tenaga Medan Biomagnetik dan Bioelektromagnetik.[pranala nonaktif permanen]. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertahanan.
- ^ a b Hendrajaya, L 2005. Kecerdasan Magnetik.[pranala nonaktif permanen] Kedeputian Bidang Perkembangan Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
- ^ Tenforde, Thomas Tom (Ed.) 1979. Magnetic Field Effect on Biological Systems Lawrence Berkeley Laboratory.
- ^ Does Magnetic Therapy Work?[pranala nonaktif permanen] livescience.
- ^ Therapeutic Effects Of Static Magnetic Fieldsfor Diabetic Wound Healing: A Review Of The Current Evidence Biosciences Biotechnology Research Asia.