Lompat ke isi

Kesultanan Langkat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Negeri Kesultanan Langkat

كسولتانن لڠکت
1568–Sekarang
Bendera Kesultanan Langkat
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Wilayah Kesultanan Langkat dan beberapa kerajaan Melayu di Sumatra Timur pada 1930
Wilayah Kesultanan Langkat dan beberapa kerajaan Melayu di Sumatra Timur pada 1930
Ibu kotaTanjung Pura
Bahasa yang umum digunakanMelayu, Karo
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1568–1580
Panglima Dewa Shahdan
• 1927–1948
Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah
• 2003–Sekarang
Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah
Sejarah 
• Pendirian
1568
1946 Sekarang
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Aceh
Negara Sumatra Timur
Provinsi Sumatera Utara
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Langkat merupakan kerajaan yang dulu memerintah di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara sekarang. Kesultanan Langkat menjadi makmur karena dibukanya perkebunan karet dan ditemukannya cadangan minyak di Pangkalan Brandan.

Pendirian

[sunting | sunting sumber]

Kesultanan Langkat merupakan monarki yang berusia paling tua di antara monarki-monarki Melayu di Sumatra Timur.

Pada tahun 1568, di wilayah yang kini disebut Hamparan Perak, salah seorang petinggi Kerajaan Aru yang bernama Dewa Shahdan berhasil menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan Aceh dan mendirikan sebuah kerajaan. Kerajaan inilah yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Langkat modern.

Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura. Hanya saja, pohon itu kini sudah punah.

Pengganti Dewa Shahdan, Dewa Sakti, tewas dalam penyerangan yang kembali dilakukan oleh Kesultanan Aceh pada tahun 1612. Pada masa kepemimpinan Raja Kejuruan Hitam (1750-1818), serangan terhadap Langkat berasal dari Kerajaan Belanda. Langkat sebelumnya merupakan bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19.[butuh rujukan] Pada saat itu raja-raja Langkat meminta perlindungan Kesultanan Siak. Tahun 1850 Aceh mendekati Raja Langkat agar kembali ke bawah pengaruhnya, namun pada 1869 Langkat menandatangani perjanjian dengan Belanda, dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877.

Masa Kolonial

[sunting | sunting sumber]
Istana Darul Aman di Tanjung Pura, sekitar tahun 1920.
Tarian adat Karo yang dipersembahkan ketika pesta pernikahan Sultan Ahmad Sulaimanuddin dari Kesultanan Bulungan dengan putri Sultan Abdul Aziz, Tengku Lailan Syafinah, pada tahun 1926.

Pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger dari Deli Maatschappij menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Konsesi pertama eksploitasi minyak bumi diberikan oleh Sultan pada tahun 1883. Dua tahun kemudian, dilakukan pengeboran pertama minyak bumi dari perut bumi. Pada tahun 1892 kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksploitasi mulai melakukan produksi massal.

Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi kaya raya akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar. Secara umum bila di bandingkan dengan kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatra Timur saat itu, Langkat jauh lebih makmur melebihi harapan. Bersama Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu. Salah satu sisa kejayaan Langkat yang dapat disaksikan sekarang adalah Masjid Azizi di Tanjung Pura.

Pada tahun 1907 Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah menandatangani kontrak politik dengan Belanda yang diwakili oleh Jacob Ballot selaku Residen van Sumatra Oostkust. Dalam perjanjian ini batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan. Daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Sultan terdiri dari Pulau Kumpei, Pulau Sembilan, Tapak Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.

Wilayah Langkat secara administratif dibagi menjadi tiga bagian:

  • Langkat Hulu
  • Langkat Hilir
  • Teluk Haru

Terjadi perhelatan besar pada bulan November 1926, di mana Sultan Ahmad Sulaimanuddin dari Kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara meminang putri Sultan Abdul Aziz yaitu Putri Lailan Syafinah. Oleh rakyat Langkat, Sultan Bulungan dikenal dengan nama Sultan Maulana Ahmad. Jarak antara Bulungan dan Langkat jika ditarik garis lurus mencapai sekitar 2.200 kilometer. Arsip Belanda juga mencatat sejumlah foto pernikahan keduanya di Tanjung Pura, yang juga dirayakan dengan tarian Suku Karo.

Masa Pendudukan Jepang

[sunting | sunting sumber]

Pada masa Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, tepatnya saat tentara Kekaisaran Jepang masuk dan membuat Belanda mundur, sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat Langkat saat itu. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang. Disini tak ditemukan bagaimana relasi, kontestasi, dan peta politik Langkat dengan kerajaan-kerajaan tetangga.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan

[sunting | sunting sumber]
Lihat: Revolusi Sosial Sumatra Timur
Tengku Amir Hamzah, sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru dan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno dan Hatta, kabar mengenai proklamasi bahkan belum sampai ke Kesultanan Langkat. Tapi tak lama kemudian, suasana mulai memanas. Laskar-laskar terbentuk. Dan pada 5 Oktober 1945, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah kemudian menyatakan bergabungnya kesultanan dengan negara Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Oktober, Tengku Amir Hamzah diangkat menjadi Asisten Residen (Bupati) Langkat dan berkedudukan di Binjai oleh Gubernur Sumatra, Teuku Muhammad Hasan.

Kekuasaan Kesultanan Langkat atas politik dan pemerintahan runtuh bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial yang didukung pihak komunis pada tahun 1946. Pada saat itu banyak keluarga Kesultanan Langkat yang terbunuh, termasuk Tengku Amir Hamzah, penyair Angkatan Pujangga Baru dan pangeran Kesultanan Langkat.

Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh laskar-laskar yang tergabung dalam Volksfront. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah. Berita yang paling ironis adalah pemerkosaan dua orang putri Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah pada malam jatuhnya Istana Darul Aman, 9 Maret 1946.

Setelah menangkap Tengku Amir Hamzah, Peradilan Rimba, demikian istilah bagi laskar-laskar itu, menjatuhkan hukuman pancung bagi Amir Hamzah. Jasadnya kemudian ditumpuk dengan jenazah ke 26 Tengku lainnya. Keesokan harinya jasad Amir Hamzah dikebumikan di Masjid Azizi, Tanjung Pura. Istana Darul Aman memang diserbu dan dibakar, akan tetapi Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah tak turut dibunuh. Ia ditangkap dan diasingkan ke Batang Serangan hingga kemudian Belanda membebaskannya pada bulan Juli 1947.

Setelah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah wafat pada tahun 1948, para Sultan Langkat praktis kehilangan kekuasaan politiknya dan hanya bertakhta sebagai Pemangku Adat dan Kepala Keluarga Kerajaan.

Daftar Penguasa

[sunting | sunting sumber]
Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah (memerintah 1927-1948).

Berikut adalah raja-raja Kesultanan Langkat:[1][2][3][4]

  • 1568-1580: Panglima Dewa Shahdan
  • 1580-1612: Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya
  • 1612-1673: Raja Kahar bin Panglima Dewa Sakdi, anak raja sebelumnya
  • 1673-1750: Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak raja sebelumnya
  • 1750-1818: Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara Raja Badiuzzaman, anak raja sebelumnya
  • 1818-1840: Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja sebelumnya
  • 1840-1893: Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya
  • 1893-1927: Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah bin Sultan Haji Musa, anak raja sebelumnya
  • 1927-1948: Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah bin Sultan Abdul Aziz, anak raja sebelumnya
  • 1948-1990: Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, anak raja sebelumnya, sebagai pemimpin keluarga kerajaan
  • 1990-1999: Tengku Mustafa Kamal Pasha bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, saudara raja sebelumnya
  • 1999-2001: Tengku Dr. Herman Shah bin Tengku Kamil, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah
  • 2001-2003: Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin Tengku Murad Aziz, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah, gelar Sultan dipakai kembali
  • 2003-Sekarang: Tuanku Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin Tengku Maimun, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah

Lihat Pula

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]