Lompat ke isi

Atambua

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 September 2015 04.01 oleh JollyFrankle (bicara | kontrib) (Membalikkan revisi 10062916 oleh Lufi Haryanti (bicara))


Atambua
Daerah tingkat II
Simpang Lima Kota Atambua
Simpang Lima Kota Atambua
Peta
Atambua di Kepulauan Sunda Kecil
Atambua
Atambua
Peta
Atambua di Indonesia
Atambua
Atambua
Atambua (Indonesia)
Koordinat: 9°6′17.8848″S 124°53′51.3168″E / 9.104968000°S 124.897588000°E / -9.104968000; 124.897588000
Negara Indonesia
ProvinsiNusa Tenggara Timur
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kecamatan: 3
  • Kelurahan: 12
Luas
 • Total2,240,05km2 km2 (Formatting error: invalid input when rounding sq mi)
Populasi
 ((2014)[1])
 • Total75,199
 • Kepadatan1,288/km2 (3,340/sq mi)
Demografi
 • AgamaKatolik 51.988, Protestan 6.421, Islam 3.690, Hindu 237, Budha 93
 • BahasaIndonesia
Zona waktuUTC+08:00 (WITA)
Kode area telepon0389
Situs webwww.atambua-ntt.go.id


Pelabuhan Atapupu dekat Atambua di masa Hindia Belanda
Gereja Katedral Atambua
Monumen Perbatasan RI-RDTL
Tugu Selamat Datang
Pelabuhan Atapupu dekat Atambua pada 1915

Atambua adalah ibukota Kabupaten Belu di propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Sebagian besar masyarakatnya berbahasa Tetun, dan sebagian kecil berbahasa Kemak, Bunak, Dawan, Portugis.

Kota yang terletak di daerah Timor Barat ini merupakan salah satu pusat penampungan pengungsi dari Timor Timur pada tahun 1999. Mayoritas penduduk Kota Atambua beragama Katolik, di mana Atambua juga merupakan sebuah Keuskupan. Keuskupan Atambua adalah salah satu keuskupan di Indonesia yang persentasi penganut Katoliknya sangat tinggi yakni 95% dari total jumlah penduduknya. Wilayah Keuskupan Atambua mencakup seluruh wilayah Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Total luas keuskupan ini mencapai 5200 km2[2] dan berpenduduk sekitar 650.000 ribu jiwa pada tahun 2008. Sementara itu Belu, dalam bahasa Tetun berarti sahabat atau teman, melandasi cita-cita masyarakat Belu untuk membangun Rai Belu dengan rasa kebersamaan dan rasa persaudaraan tanpa dibatasi sekat-sekat keanekaragaman yang ada, baik suku, agama maupun yang lainnya. Dengan persatuan dan persaudaraan, cita-cita untuk mewujudkan Belu Sejahtera akan tercapai.

Sejarah

Nama "Atambua" berasal dari kata Ata yang artinya hamba dan Buan yang artinya suanggi. Jadi Atambua artinya tempatnya hamba-hamba suanggi yang konon di daerah ini dipergunakan oleh para raja sebagai tempat pembuangan para suanggi yang mengganggu masyarakat. Kemudian dalam perkembangannya kata Atabuan mengalami penyisipan fonem “M” . Hal ini dapat saja terjadi dengan tidak sengaja karena fonem “B” dan “M” masih memiliki titik artikulasi yang sama sehingga mampu mempertahankan kelancaran ucapan.

Masa Pendudukan Belanda

Pada tahun 1866-1911, Atapupu pernah jadi pusat Pemerintahan Hindia Belanda untuk kawasan Kota Atambua dan Kabupaten Belu. Sebelumnya Belanda menjalankan pemerintahan dari Kupang (ibu kota propinsi NTT sekarang). Dan pada tahun 1911-1916 Beredao, yang terletak di tapal batas dengan Timor Portugis (Timor Leste), telah menjadi Benteng Pertahanan Belanda. Lalu pada tahun 1916-1942, berubahlah Pusat Pemerintahan Belanda dari Atapupu ke Kota Atambua.

Masa Perbudakan

Perbudakan adalah keadaan di mana orang menguasai atau memiliki orang lain. Sebagian ahli sejarah mengatakan perbudakan mulai timbul sesudah orang mulai hidup menetap dan pengembangan pertanian-peternakan, sekitar sepuluh-ribu tahun yang lalu. Awalnya, para budak terdiri dari penjahat atau orang-orang yang tidak bisa membayar hutang. Ketika terjadi peperangan, kaum yang kalah juga diperlakukan sebagai budak oleh kaum yang menang. Perbudakan adalah sebuah kondisi di saat terjadi pengontrolan terhadap seseorang (disebut budak) oleh orang lain. Perbudakan biasanya terjadi untuk memenuhi keperluan akan buruh atau tenaga kerja oleh orang lain dengan perlakuan yang sangat eksploitatif dan tidak mempertimbangkan hak asasi manusia. Para budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan, bekerja tanpa upah dan tidak mempunyai kebebasan pribadi. Jika dilihat dari status sosial, pada umumnya orang-orang budak berada pada lapisan paling bawah dari komunitas masyarakat. Tidak jarang mereka diperlakukan seperti binatang yang dapat diperjualbelikan, mereka harus taat dan menurut kepada kemauan pemiliknya atau majikannya dan nasib mereka tergantung kepada pemiliknya jika tidak disenangi suatu waktu dapat dijual lagi kepada pihak lain yang membutuhkannya. Menjadi budak berarti dipaksa untuk bekerja dan tidak mempunyai hak berpendapat untuk memilih bekerja dimana, dengan siapa dan bagaimana bahkan hak hidup dikuasai juga oleh tuannya (Nuryahman,2008). Kebanyakan orang kuno berpendapat bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Berbagai cara dapat ditempuh seperti menaklukan suku lain lalu menjadikan mereka sebagai budak, atau membeli dari para pedagang budak lokal.

Aktivitas Perdagangan Budak di Kota Atambua

Awalnya, perbudakan di Belu hanya terjadi antar golongan yang berkuasa atas individu dan individu yang dikuasai. Penguasaan atas individu bisa terjadi secara sederhana. Misalnya, tidak mampu membayar utang sampai waktu yang ditentukan, atau satu suku merampok suku lain yang lebih lemah dan memperbudak masyarakat yang dirampok. Hal ini dikatakan juga oleh Parera (1994) bahwa pada mulanya budak itu adalah tawanan perang atau yang diculik berdasarkan keadaan permusuhan antar suku. Namun dengan adanya dorongan perdagangan budak dari pihak Belanda dan Portugis pada waktu itu, maka sebagai wilayah taklukan sehingga para golongan bangsawan atau raja-raja di Belu ikut melaksanakan aktivitas perdagangan budak tersebut bahkan melakukan kesepakatan perjanjian (Korte Verklaring). Hal ini dijelaskan oleh Anwar (2004) bahwa Belanda dan Portugis dikenal aktif melaksanakan perdagangan budak yang ramai dari Timor sampai abad 19. Setelah didirikan kota Batavia (1619) oleh kompeni Belanda, karena keadaan genting dan membutuhkan tenaga kerja maka pada abad 17 dalam jumlah kecil di inpor juga budak-budak dari pulau Timor (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008). Hal ini dibuktikan dengan catatan dari sumber VOC tahun 1765 menjelaskan bahwa terdapat aktivitas perdagangan budak-budak belian dan perdagangan terbuka yang menjual beli budak diTimor dan menurut Tung Hsi Kau, seorang pedagang Cina tahun 1618 sudah mulai ramai dilakukan komoditas perdagangan di Timor yaitu: Cendana, Lilin, Madu dan Budak. Perdagangan budak oleh Belanda meningkat lagi pada tahun 1621 yang dipicu dengan berdirinya perusahaan perdagangan Belanda di India Barat yaitu West Indische Compagnie (WIC). Pada tahun 1667 setelah Belanda menguasai Makasar, maka aktivitas perdagangan budak ditingkatkan lagi karena kebutuhan tenaga kerja.

Zaman Portugis dan Belanda pulau Timor cukup dikenal sebagai gudang budak-budak. Hal mana oleh Prof P.J.Veth dalam tulisannya “Het Eiland Timor” menyatakan bahwa residen Van Este di Kupang tahun 1789 memiliki ribuan budak - hamba sahaya. Di Pulau Timor, yang pada abad ke-18 telah dikuasai Portugis, terdapat sejumlah pelabuhan dengan komoditas budak. Salah satunya Atapupu. Tidak ada data akurat mengenai jumlah budak dari Atapupu dan destinasi mereka, namun almarhum Rosihan Anwar pernah menemukan keluarga keturunan Nusa Tenggara di Afrika Selatan. Jumlah mereka cukup banyak dan turun-temurun menyatu dengan masyarakat Makassar yang datang bersama Syech Yusuf (Harian Republika, 2003).

Sementara di Belanda, tenaga kerja budak dan usaha perbudakan baru dilarang pada tanggal 1 Juli 1863. Belanda tercatat sebagai salah satu negara Eropa terakhir yang membebaskan para budaknya. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi sampai pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu-Atapupu) dan pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkan Pax Nederlandica sehingga perdagangan budak dihapus dan diawasi secara ketat.

Lahirnya Nama Kota Atambua dan Atapupu

Perdagangan budak secara historiagrafi di Pulau Timor dan sekitarnya memiliki hubungan yang erat dengan nama kota Atambua dan Atapupu sekarang di Kabupaten Belu. Orang Belu kebanyakan sudah mengenal “budak” dengan sebutan “Ata” atau “klason” (bahasa Tetun) yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan dasi/dato atau Na’I (sebutan golongan bangsawan di Belu) bahkan renu (rakyat jelata) lainnya. Hal ini diceritakan dari mulut ke mulut (folklor) bahwa, raja-raja di Belu saat itu setiap melakukan suatu kunjungan maka di dalam rombongan raja selalu disertakan juga hamba sahayanya–budak (Ata) sebagai pembantu atau pelayan. Bahkan para dasi/dato maupun renu ada juga yang membeli para budak untuk dipekerjakan di kebun/ladang dan sebagai gembala ternak. Oleh karena itu, maka di kalangan masyarakat Belu dikenal hamba sahaya/budak belian/perdagangan budak (atan sosa = bahasa Tetun).

Pada masa pemerintahan kerajaan adat Fehalaran, wilayah Atapupu dan Atambua termasuk dalam struktur pemerintahan adat yang dikenal dengan sebutan Dasi Sanuluk, Aluk Sanulu. Peranan Kota Atapupu (Jenilu) sebagai pasar hamba sahaya pada saat itu. Sedangkan Kota Atambua berperanan sebagai tempat penampungan sementara para budak selanjutnya dibawa ke Atapupu. Secara etimologis arti nama Kota Atambua berasal dari kata Ata (hamba sahaya/budak) dan Buan (Suanggi), maka diartikan berasal dari nama sebuah tempat berkumpul orang-orang untuk melakukan aktifitas perdagangan budak atau penampungan para budak. Kemungkinan yang dijadikan budak saat itu adalah orang-orang yang dianggap memiliki ilmu sihir (suanggi), sehingga ditangkap dan dijadikan budak oleh para bangsawan. Selanjutnya menjadi nama “Atambua”, yang berarti “Tempat budak atau hamba dan suanggi”. Masih menurut cerita rakyat bahwa budak-budak yang telah dibeli dibawa ke pantai utara, saat ini dikenal dengan nama pelabuhan Atapupu yang berjarak 34 kilometer dari Kota Atambua. Nama “Atapupu” berasal dari kata “ata” untuk budak dan “pupu” (berkumpul) atau juga berasal dari kata “futu” (diikat), sehingga berarti “tempat budak berkumpul atau budak diikat”, sambil menunggu kapal untuk di bawa keluar Pulau Timor.

Pohon Beringin yang ditanam oleh Ir. Soekarno

Masa Setelah Merdeka

Setelah rakyat Kota Atambua telah menderita, pada tahun 1945 Atambua sudah merdeka dan bebas dari penjajahan bangsa lain, yaitu bangsa Portugis. Pada tahun tersebut juga, Presiden pertama Indonesia,Ir. Soekarno menanam beberapa pohon di Kota Atambua, tepatnya di Lapangan Umum Kota Atambua (nama tempat tersebut sekarang), dengan harapan supaya dijaga dan dilestarikan hingga sekarang. Namun seiring perkembangan waktu, beberapa pohon tersebut telah layu atau mati karena usia yang sudah tua. Meskipun begitu, pihak pemerintah tetap berupaya untuk melestarikannya. Tidak lama lagi pohon-pohon tersebut layu, dan oleh karena itu, tempat penanaman tersebut diberi nama 'Alung-Alung Kota Atambua'.

Masa Awal Konflik Timor Leste [3]

State Crime Pasca Jajak Pendapat

Konflik Timor Leste pada 1999, sekitar 2 juta gabungan ABRI datang dari seluruh penjuru Indonesia
Banyak TNI dan/atau POLRI meninggal dunia karena perjuangan mendamaikan RI-TL

Pasca jajak pendapat pada tahun 1999, terjadi berbagai peristiwa pelanggaran HAM, kekerasan, penganiayaan dan kerusuhan di Timor Timur. Hal ini merupakan gambaran dari adanya viktimisasi yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat Timor Timur.

Berdasarkan laporan dari Komisi Akhir Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR), ditunjukkan beberapa bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran hak asasi manusia tersebut adalah pemindahan paksa, kelaparan, pembunuhan tidak sah, penahanan sewenang-wenang, kekerasan seksual, pelanggaran hak anak, pelanggaran hukum perang, serangan terhadap orang dan barang sipil, perlakuan buruk terhadap orang tempur musuh, perusakan dan pencurian bangunan dan barang lain, penggunaan senjata ilegal, serta perekrutan paksa.

Metode militer dan pemerintahan yang digunakan pemerintah Indonesia untuk kekerasan dan penganiayaan di Timor Timur ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan terhadap pemberantasan PKI. Selain itu, penganiayaan yang dilakukan oleh militer atau pihak pemerintah Indonesia bertujuan untuk menjaga kestabilitasan negara.

Penyiksaan yang dilakukan oleh militer dan pemerintahan Indonesia ini merupakan salah satu hal yang digunakan untuk menjaga stabilitas negara. hal ini merupakan salah satu cara pemerintah Indonesia untuk menjaga supaya Timor Timur tidak lepas dari NKRI. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam instrumental theory bahwa negara akan melakukan tindakan apa saja untuk menjaga supaya kapitalis tidak terkendala. Salah satu kepentingan yang dijaga adalah mengenai kepentingan politik dari negara Indonesia.

Bentuk-bentuk viktimisasi yang paling terlihat dalam kasus kerusuhan Timor Timur ini terlihat pada aksi penganiayaan dan kekerasan yang terjadi terhadap warga sipil. Bentuk-bentuk penganiayaan tersebut misalnya penangkapan paksa, pemerkosaan, hingga pembunuhan tanpa sebab.

CAVR memperkirakan bahwa jumlah terbesar pembunuhan tidak sah dan penghilangan terjadi pada tahun 1999 ketika diyakini sedikitnya 1.400 dan kemungkinan sebanyak 2.600 orang dibunuh secara tidak sah atau hilang. Tahun 1975, tahun perang saudara dan invasi Indonesia, dan tahun 1979, akhir dari serangan besar-besaran yang mengakhiri tahap pertama perlawanan terhadap invasi, pembunuhan juga luar biasa tinggi.

Pada tahun 1999 pasukan keamanan Indonesia dan pasukan pembantunya melakukan satu kekerasan terkoordinasi dan berkepanjangan yang dirancang untuk menakut-nakuti gerakan pro-kemerdekaan dan menjamin hasil kemenangan pro-Indonesia dalam Konsultasi Rakyat yang diselenggarakan PBB. Ribuan orang sipil ditahan, ratusan ribu dipindahkan secara paksa, dan sedikitnya 1.400 orang dibunuh atau dihilangkan sepanjang tahun tersebut. Mayoritas pelanggaran mematikan terjadi dalam bulan April, sebelum penandatanganan Kesepakatan 5 Mei, dan dalam bulan September-Oktober, setelah pengumuman hasil pemungutan suara (CAVR, 2007).

Bentuk bentuk kekerasan seksual juga terjadi dalam rentan waktu ini. bentuk-bentuk yang dilakukan adalah seperti pemaksaan perempuan untuk melakukan stripping, pelecehan seksual dan melakukan kekerasan seksual terhadap tahanan.

This misrecognition was combined with popular techniques (such as stripping, sexually abusing, and raphing detainees) that were employed to shame and humiliate victims. Thus, Maria, who had engaged in clandestineactivity, was detained on several occasions. She suffered a variety of tortures including being beaten and burnt and she experienced the miscarriage of her child. Over the course of three months she was placed (along with two other women ) in a toilet-less ‘iron cell’, which was a small, completely dark space surrounded with iron. The three women were stripped naked and continually photographed. These photographs were to be passed and swopped around the Indonesia n military; and much like ‘cigarette cards’, they became tokens of service with in perpetrating units (Stanley, 2009).

Kekerasan seksual ini merupakan salah satu bentuk viktimisasi yang terjadi saat konflik di Timor Timur. Perempuan merupakan korban yang mengalami pelecehan seksual. Dalam gambaran diatas, mereka mengalami pelecehan seksual oleh pihak militer Indonesia. Hal ini merupakan gambaran yang mennujukkan bahwa dalam konflik Timor Timur ini terdapat pelanggaran HAM.

Paparan diatas menunjukkan bahwa setidaknya kita bisa belajar pada konflik yang sudah terjadi sebelumnya. Banyak hal yang dapat kita maknai dari terjadinya konflik ini. Salah satunya adalah bahwa penanganan pelanggarana HAM yang hampir terjadi pada setiap kasus konflik belum ditangani sepenuhnya oleh pemerintah. Adanya pembiaran oleh pemerintah terhadap kasus-kasus konflik yang berujung pelanggaran HAM menunjukkan bahwa pemerintah belum sensitif terhadap korban-korban konflik ini.

Sejak itulah Atambua lebih dikenal Masyarakat di penjuru dunia. Karena Konflik tersebut, banyak warga dari Timor Leste berdatangan ke Atambua untuk menetap sementara waktu. Ada pula yang menuju ke kota yang lebih aman, misalnya Kota Kupang, untuk menghidupi hidup mereka.

Penentuan Hari Ulang Tahun Kota Atambua

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Belu menggelar rapat bersama dengan Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat serta Dinas Teknis Pariwisata Belu, tentang penentuan bulan dan tanggal Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Atambua, Sabtu, 8 November 2014, di ruang aula Bupati Belu.[4] Pasalnya, sejak awal terbentuknya Kota Atambua, hingga saat ini belum pernah dilakukan perayaan ulang tahun bagi kota Atambua sendiri. Hadir dalam rapat perdana itu, Penjabat Bupati Belu, Willem Foni, Loro Lamaknen Ignatius Kali, Loro Wesey Wehali Pit Muti Parera, Tokoh Adat Paulinus Asa, Ose Luan, Yos Diaz, Kadis Domi Mali, Kaban BPMD Egi Nurak serta Kabag Umum Roni Mau Luma. Dalam rapat tersebut disepekati bersama, jadwal untuk hut Kota Atambua jatuh pada bulan Agustus dalam setiap tahunnya. Sementara untuk tanggalnya belum bisa ditentukan.[4]

Geografi

Atambua terletak pada ketinggian 350 m dpl, dengan suhu berkisar antar 27-37 derajat Celsius membuat daerah ini cukup hangat. Sekeliling kota Atambua dipagari oleh perbukitan sehingga kota Atambua cukup terlindungi dari terjangan angin yang keras, namun ini juga menyebabkan tidak banyak dataran yang rata di seputar kota Atambua. Atambua adalah kota yang tidak rawan akan bencana Alam misalnya banjir, tsunami, tanah longsor yang bisa menimbulkan kerusakan yang cukup parah, karena kota ini terletak di antara pegunungan dan memiliki banyak lahan yang masih belum tersentuh (hijau)

Kota Atambua saat ini membentang sejauh kurang lebih 8,5 km dari Utara (Haliwen) ke Selatan (Motabuik) dan sekitar 5 km dari Timur (Fatubenao) ke Barat (Wekatimun). atau kurang lebih seluas 42 Km persegi, namun daerah yang dihuni baru sekitar 2/3 bagiannya atau kurang lebih 30 km persegi karena sebagian lainnya merupakan daerah berbukit atau karena kurangnya akses jalan raya.

Luas Kota Atambua adalah 56.18 km², atau 56.180 Ha, terbagi habis menjadi 3 kecamatan, dan 4 kelurahan. Sedangkan untuk letak astronomis, Kota Atambua terletak pada Koordinat 09° 10’ LS 125° 00’ BT.

Batas Wilayah

Penduduk

Kota Atambua adalah kota yang multi etnis dari suku Timor, Rote, Sabu, Flores, sebagian kecil suku Tionghoa dan pendatang dari Ambon dan beberapa suku bangsa lainnya. Tetapi terlepas dari keragaman suku bangsa yang ada, penduduk Kota Atambua akan menyebut diri mereka sebagai "Be' orang tardampar" atau "Anak-anak tapaleuk".

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu tahun 2014, penduduk Kota Atambua berjumlah 75.199 jiwa yang terdiri dari 37.244 laki-laki dan 37.955 perempuan.[1]

No. Kecamatan Jumlah Penduduk
2013
Jumlah Penduduk
2014
Pertambahan
Penduduk
Persentase
Perubahan
1 Kota Atambua 28.857 28.726 -131 -0.45
2 Atambua Selatan 23.201 23.357 156 0.67
3 Atambua Barat 22.845 23.116 271 1.19
Jumlah 74.903 75.199 296 1.41

Pemerintahan

Sampai saat ini, belum ada Walikota karena belum diresmikan sebagai pemekaran dari Kab. Belu.

Daftar Kecamatan

  1. Kota Atambua Barat (4 Kelurahan)
  2. Kota Atambua Tengah (4 Kelurahan)
  3. Kota Atambua Selatan (4 Kelurahan)

Transportasi

Darat

Dalam Kota

Rangkuman:
Transportasi Dalam Kota adalah sbb.:

  • Mikrolet (bemo)
  • Ojek
  • Bus Angkutan Kota
  • Bus DAMRI / Dinas Pariwisata (untuk kebutuhan khusus)

Dalam kota transportasi dilayani oleh angkutan umum berupa bemo (mikrolet) dengan kapasitas penumpang 10 orang yang melayani empat rute/trayek melalui 2 terminal. Selain itu tersedia transportasi alternatif berupa jasa ojek sepeda motor. Ojek tidak memiliki rute tertentu, sehingga dapat langsung menuju tujuan, dibandingkan bemo. Tetapi, transportasi darat menggunakan bemo lebih murah dibandingkan ojek.

Sejak beberapa minggu yang lalu, bis DAMRI dan bis Angkutan Kota telah melayani kota ini. Meskipun jalur bis-bis tersebut hanyalah melewati jalan raya besar, namun masyarakat tetap menggunakan sarana transportasi tersebut untuk menuju ke tempat tujuan mereka.

Luar Kota

Rangkuman:
Transportasi luar kota adalah sbb.:

  • Bus Propinsi
  • Mikrolet (untuk menuju perdesaan)'
  • Mobil Charter

Untuk transportasi ke luar kota, dari kota Atambua tersedia bus yang biasa disebut bis kupang yang melayani rute ke kota-kota kecamatan dan kota kabupaten lainnya di Pulau Timor Bagian Barat (Kupang, Soe dan Kefamenanu). Bus ini adalah bus Sinar Gemilang, Gemilang, dan Paris Indah. Jam berangkat bus ini sudah ditentukan oleh pemiliknya. Terdapat 3 waktu yang digunakan, yaitu bis Pagi, bis Siang, dan bis Malam. Untuk bis Pagi, bus akan berangkat dari pangkalannya pukul 07:00 WITA dan tiba di Kupang pada pukul 15:00 WITA. Untuk bis Siang, bus akan berangkat dari pangkalannya pukul 13:00 WITA dan tiba di Kupang pada pukul 20:00 WITA. Sedangkan untuk bis Malam, bus akan berangkat dari pangkalannya pukul 19:00 WITA dan akan tiba di Kupang pada pukul 03:00 WITA (Keesokan Harinya). Jika tidak mau menaiki bus, terdapat jalur lain untuk menuju ke Kupang, yaitu dengan Mobil Charter.

Atambua juga merupakan pintu gerbang utama menuju Timor Leste melalui perbatasan Motaain (sekitar 30 KM atau setengah jam berkendara dari Atambua lewat rute utama, atau sekitar 20 menit berkendara dari rute kedua).
Untuk transportasi ke Timor Leste, terdapat beberapa bus, pada umumnya bus yang melayani rute Atambua - Timor Leste adalah bus Timor Hotel. Diperlukan sekitar 4-5 jam dari Pangkalan (terminal) Umanen (atau disebut juga Terminal Kota ke-2) menuju Kota Dilli, Timor Leste melalui jalur darat.

Udara

Kota ini dilayani oleh sebuah bandar udara, yaitu Bandar Udara A. A. Bere Talo (dulunya Bandar Udara Haliwen, yang terletak di Haliwen, Kota Atambua. Status bandar udara ini adalah Bandar Udara Domestik dengan penerbangan menuju Timor Leste, melalui Kupang Landas pacu bandar udara tersebut adalah 1600 meter dan bisa didarati oleh pesawat-pesawat cukup besar, diantaranya terdapat lima maskapai yang melayani rute penerbangan Kupang-Atambua pulang pergi, masing-masing Susi Air, Lion Air, TransNusa, Wings Air, Batik Air.

Laut

Kota ini juga dilayani oleh 2 pelabuhan laut, yaitu pelabuhan Atapupu dan pelabuhan Tegur (Teluk Gurita).
Pelabuhan Atapupu merupakan pelabuhan kargo, dan minyak, sedangkan Pelabuhan Tegur merupakan pelabuhan ferry yang melayani rute Atambua Alor dan Atambua - Kupang, dan sejumlah tempat lainnya.

Pendidikan

Kota Atambua memiliki sarana pendidikan milik pemerintah dan yang dikelola oleh swasta untuk pendidikan formal dan informal dari tingkat TK, SD, SLTP dan SLTA serta Perguruan Tinggi.

Taman Kanak-Kanak

Di Kota Atambua, Terdapat 2 TKK Utama, yaitu:

  • TKK Kristen Atambua
  • TKK Kuntum Bahagia

Dan TK lain.

Sekolah Dasar

Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang ada di Kota Atambua sebanyak 14 buah.
SD/MI yang utama adalah:

  1. SDK 1 Atambua
  2. SDK 2 Atambua
  3. SDG 3 Atambua
  4. MI Hidayatullah
  5. MI Al-Islamiah

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/MTs yang tersebar di Kota Atambua sebanyak 7 buah.
SMP/MTs yang utam adalah:

  1. SMP Negeri 1 Atambua
  2. SMP Negeri 2 Atambua
  3. SMP Negeri 1 Atambua Barat

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang ada di Kota Atambua sebanyak 11 buah, yang terdiri dari 10 SLTA dan 1 Sekolah Kejuruan, sedangkan belum terdapat MA di kota ini.
SMA/SMK yang utama adalah:

  1. SMA Negeri 1 Atambua
  2. SMA Negeri 2 Atambua
  3. SMA Negeri 3 Atambua
  4. SMA Negeri 4 Atambua
  5. SMK Negeri 1 Atambua

Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi yang ada di Kota Atambua terdiri dari 3 Perguruan Tinggi Negeri yaitu:

  • Universitas Terbuka
  • Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Fajar Timur Atambua[5]
  • Akademi Keperawatan (Akper), Kabupaten Belu[6]

Dan 1 Perguruan Tinggi Swasta, yaitu:

  • Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Atambua

Kesehatan

Kota Atambua memiliki sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun yang dikelola oleh swasta.

Rumah Sakit Pemerintah

  • RSUD Atambua
  • RS Tentara Atambua

Rumah Sakit/Klinik Swasta

  • RS Sito Husada

Daftar Puskesmas

  • Puskesmas Kota Atambua (Puskesmas Lama) (Tidak Beroperasi)
  • Puskesmas Kota Atambua (Puskesmas Baru)


Pers dan Media

Surat Kabar

Beberapa surat kabar yang diimpor dari Kupang melalui bus seperti Harian Umum Pos Kupang, Timor Express dan victorynewsmedia.

Radio

Radio milik Pemerintah

Stasiun Radio milik pemerintah yang beroperasi di Kota Atambua adalah Radio Republik Indonesia (RRI) melalui:

  • RRI Programa 1 FM 91.5 MHz
  • RRI Programa 2 FM 99.8 MHz
  • RRI Programa 3 FM 99.0 MHz dan
  • RRI Programa 4 FM 93.1 MHz

Namun, terkadang-kadang siaran RRI Kupang sampai di kota ini, yaitu:

  • RRI Programa 1 Kupang cabang Soe (FM 88.8 MHz (mono) dan AM 1107 KHz (jika AM dihidupkan))
Jarak jangkauan RRI Atambua

Wilayah Barat Daya
Jangkauan RRI Atambua untuk Pro1 - Pro3 di wilayah Barat daya, semuanya mencapai perbatasan Kabupaten Belu - Kabupaten TTU dengan sebuah relayer di Halilulik.
Sedangkan untuk Pro4, tidak dapat mencapai perbatasan Kabupaten Belu - Kabupaten TTU, karena relayer di Halilulik belum di-setting.

Wilayah Barat Laut
Jangkauan Pro1 - Pro3 RRI Atambua untuk wilayah Barat Laut cukup luas, bahkan sampai di Ponu, Kabupaten TTU. Semuanyan berkat Relayer di Atapupu.
Sedangkan untuk Pro4 belum dapat mencapai mana-mana karena belum di-installnya relayer di Atapupu.

Wilayah Timur Laut
Jangkauan siaran RRI Atambua seluruhnya belum dapat mencapai desa Silawan, arah Timur Laut dari Atambua, karena belum di-installnya relayer di wilayah tersebut. Sedangkan, warga perbatasan tersebut hanya mendengarkan radio-radio dari Timor Leste, dan tidak dapat mendapatkan informasi teraktual dari Negara mereka sendiri Diperiksa tanggal 21 Januari 2015 oleh Jolly98

Wilayah Timur dan Tenggara
Di wilayah Timur dan Tenggara, Pro1 - Pro3 RRI Atambua dapat mencapai Weluli, beserta AM Pro1 RRI Kupang (karena tempat tersebut berada di ketinggian), meskipun siaran RRI Atambua di tempat tersebut tidaklah terlalu bagus (Kadang-kadang sinyal bisa terputus).

Beragam acara RRI Atambua

Dalam Pro 1 RRI Atambua dan Kupang, terdapat siaran khusus dari RTTL, sebagai kerjasama RRI Atambua, RRI Kupang, dengan RTTL. Siaran ini dilaksanakan pada hari Senin - Jumat pukul 12:00 - 14:00 WITA. (penjelasan di bawah)
Dalam Pro1 dan Pro2, terdapat siaran Nasional setiap hari minggu. Sedangkan dalam Pro 1 RRI Atambua setiap hari minggu pukul 8:00 - 9:30 WITA dan 17:00 - 18:30 WITA, terdapat siaran langsung dari Gereja-Gereja di Kota Atambua.

Siaran bersama

Radio Republik Indonesia (RRI) Kupang dan Atambua selaku penyelenggara akan melaunching Siaran RRI dan RTTL dengan paket siaran "Ita Moris Hamutuk" atau "Kita Hidup Bersama" (dalam Bahasa Tetun) dalam rangka uji coba siaran bersama.[7] Siaran RRI dan Radio Televisi Timor Leste tersebut secara faktual telah dilakukan uji coba melalui siaran Pro 1 RRI Atambua, Pro 1 RRI Kupang dan Radio Televisi Timor Leste oleh Kepala LPP RRI Kupang Enderiman Butar Butar, dan Kepala LPP RRI Atambua Lahar Rudiarso, serta Produser Radio Televisi Timor Leste Nunuk yang dipandu oleh Kepala Seksi Siaran RRI Kupang Aser Rihi Tugu, Kamis (8/01/2015).[7] Uji coba siaran bersama RRI dan Radio Televisi Timor Leste tersebut terpantau berjalan maksimal. Usai melakukan uji coba siaran dimaksud, Kepala LPP RRI Kupang Enderiman Butar Butar mengatakan, siaran bersama tersebut merupakan upaya mendekatkan komunikasi antara warga dua Negara Indonesia dan Timor Leste.[7]

Radio Swasta

Selain itu ada beberapa stasiun radio swasta yang beroperasi di Kota Atambua antara lain:

  • Favorit FM = 98.2 MHz. Dipancarkan dari Jalan Adam Malik no. 24, Pasar Baru.
  • Radio Dian Mandiri = 100.6 MHz Dipancarkan dari Jalan Proklamasi, Mangga Dua.
  • Miskal FM = 106.5 MHz Dipancarkan dari Jalan Mercusuar no. 3, Gereja Miskal Atambua.
  • RSPD Belu = FM 107.3 KHz dan AM 1034 KHz Dipancarkan dari Jalan Basuki Rahmat no. 3, Kota Atambua.

Radio dari Timor Leste

Dalam kota ini pula terdapat 1 radio yang di-relay dari Timor Leste, melewati perbatasan, dan sampai di Kota Atambua. Radio tersebut belum diketahui namanya secara pasti. Tetapi, frekuensi radio tersebut adalah di FM 99.5 MHz, yang hanya dapat menjangkau wilayah utara Kota Atambua. Sinyal radio tersebut bisa saja mengganggu jarak penyiaran Programa 2 RRI Atambua, yang berada di frekuensi FM 99.8 MHz.

Televisi

Di kota ini, TVRI mengudara pada VHF 10 dan UHF 20 setiap hari 24 jam.
VHF 10 adalah TVRI Nasional, sedangkan UHF 20 adalah TVRI Kupang.

Di kota ini, Belu TV mengudara pada UHF 37 setiap hari dari pukul 04:30 - 01:00 WITA, yang mencapai seluruh daerah Kabupaten Belu, dan sebagian Kabupaten Malaka
Jika Belu TV tidak mengudara, maka akan digantikan oleh beberapa siaran TV nasional, misalnya SCTV, MNCTV, Global TV, Trans TV, Trans7, ANTV, Indosiar, Metro TV, Kompas TV, TvOne, RCTI, CNN Indonesia dan BeritaSatu.

Pariwisata

Penginapan

Perhatian: Nomor telepon memiliki awalan (0389).

No. Nama Hotel
(Diurutkan dari yang paling tua)
Alamat Hotel No. Telp Nama Pimpinan Jenis Bintang
1 Hotel King Star Jalan R. Soeprapto - Yuliana Laka Melati[8]
2 Hotel Nusantara I Jalan Soekarno-Hatta no. 24 21377 Maria Pareira Melati[8]
3 Hotel Nusantara II Jalan I. J. Kasimo 21337 Hendrik Oematan Melati[8]
4 Hotel Permata Jalan El Tari no. 87 21740 A. C. Corputy Melati[8]
5 Hotel Timor Jalan G. A. Siwabesi 23032 Michael Tanjung Melati[8]
6 Hotel Intan Jalan Merdeka no. 12 21343 Y. V. Gunawan Melati[8]
7 Hotel Klaben Jalan Dubesi Nanaet no. 29 21079 Ny. Klau Banusu Melati[8]
8 Hotel Liurai Jalan Gatot Soebroto no. 42 21351 Robert Didoek Melati[8]
9 Hotel Paradiso Jalan Cendana - Ir. Agustinus B. Seran Melati[8]
10 Hotel Merdeka Jalan Merdeka no. 37 21197 Johanes Tan Melati[8]
11 Hotel Minang Jalan Soekarno no. 2 21379 Ny. Animan Melati[8]
12 Hotel Wisata Jalan Merdeka - Joseph Pareira Melati[8]
13 Hotel Matahari Jalan Ade Irma Suryani 2325000 Kristian Japola Melati[8]

Obyek Wisata

Kabupaten Belu merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste. Letaknya yang strategis ini memberikan peluang dan potensi yang sangat besar untuk pengembangan objek dan daya tarik wisata di Kabupaten Belu berupa Obyek wisata alam dan bahari (Kolam Susuk, pantai Oefuik, pantai Pasir Putih), budaya (tempat upacara, makam, benteng, gua alam, tari tradisional dan lain-lain),alam (Fukan Fehan, dll.), Religius (Gua Maria Lourdes, Gereja tua Nualain, dll), dan wisata Belanja (aneka kerajinan). Pengembangan ini selain untuk wisatawan lokal, diharapkan dapat juga menarik minat wisatawan asing, khususnya pengunjung yang berasal dari negara Timor Leste.[9]

Potensi – potensi pariwisata yang ada di Kabupaten Belu ini perlu mendapat perhatian yang serius dan terus digali serta dikembangkan agar kedepan sektor pariwisata dapat menunjukkan kontribusi yang nyata pada kontribusi PAD dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pengelola obyek-obyek wisata Ini disebabkan karena selain pengembangannya yang belum tertata dengan baik, animo masyarakat dalam menjaga, memperkenalkan dan melestarikannyapun belum optimal, selain itu masih banyak potensi wisata lainnya yang belum termanfaat dan terdata dengan akurat sehingga pengelolaannya belum optimal. Untuk itu Pemerintah Daerah bersama-sama masyarakat perlu untuk memfokuskan perhatian pada aspek pariwisata untuk menyikapi tantangan kedepan.[9]

Dari sekian banyak tempat wisata yang ada di Kabupaten Belu ada beberapa tempat-tempat wisata tertentu yang menjadi prioritas unggulan diantaranya:

Wisata Pantai dan Bahari

Pantai Pasir Putih[9]

Suasana ramai pantai Pasir Putih, saat liburan
Suasana Pantai Pasir Putih, dengan pohon-pohon Bakau di latar belakang

Jarak dari Kota Atambua ± 24 km kearah utara, di pantai ini pengunjung dapat berekreasi, mandi, berenang sambil menikmati suasana alam pantai yang tenang dan indah dengan pasirnya yang berwarna putih. Di tempat ini juga telah disediakan rumah payung (lopo), MCK, Fasilitas permainan anak-anak dan pondok-pondok yang dapat digunakan untuk beristirahat bersama keluarga. Selain itu, anda dapat pula menyewa sampan tradisional untuk berkeliling menikmati indahnya pantai pasir putih dan juga bisa menyusuri pantai Sukaerlaran dan Motaain sebagai tapal batas dengan Timor Leste yang merupakan pintu gerbang lintas darat.

Kolam Susuk[9]

Lopo-lopo yang berada di Kolam Susuk
Danau Kolam Susuk

Objek wisata kolam susuk berada di Desa Dualaus, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu atau sekitar 17 KM arah utara dari Kota Atambua, ibukota Kabupaten Belu. Tidak diketahui secara pasti kapan Kolam Susuk ditemukan tetapi keberadaan objek wisata ini sudah ada sejak dahulu kala dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan hidupnya dengan menangkap ikan, udang, kepiting, dan lain-lain.

Kolam ini terbentuk secara alami dan memiliki tanah yang berwarna putih. Sehingga kalau terkena sinar matahari airnya memantulkan cahaya yang berwarna putih seperti susu. Ini menjadi alasan mengapa sekarang nama objek wisata ini lebih sering disebut dengan nama kolam susu. Tetapi sebenarnya karena objek wisata ini dikelilingi oleh hutan bakau yang lebat menyebabkan banyak sekali terdapat nyamuk disekitar tempat ini, akhirnya masyarakat setempat kemudian menamai kolam tersebut dengan sebutan Kolam Susuk atau dalam bahasa Indonesia disebut kolam nyamuk. Selain itu hutan bakau ini juga merupakan tempat tinggal bagi ribuan kelelawar, kera jenis lokal , kepiting bakau, dan lain sebagainya.

Pada tahun 1971 group band legendaris Indonesia “koes plus” pernah berkunjung ke obyek wisata ini ketika melakukan perjalanan darat dari Kupang menuju Dili. Karena keindahan yang alami dan keunikan kolam ini, membuat Yon Koeswoyo salah satu personil utama Group Band Koes Plus ini terkesima. Dia kemudian mengabadikan kolam itu dengan menciptakan sebuah lagu yang sangat legendaris dengan judul “ kolam susu ”. Selain itu sebagai tanda mata bagi masyarakat Kabupaten Belu, grup ini menyumbangkan sebuah sekolah dasar (SD) dan dibangun di tepian kolam tersebut. Sampai sekarang sekolah dasar tersebut masih ada. Pada tahun 2009 kolam susuk juga pernah menjadi lokasi shooting film berjudul Tanah Air Beta yang disutradarai oleh Ari Sihasale dan pada tahun 2012 film berjudul Atambua 39°C yang disutradarai oleh Mira Lesmana.[9]

Melihat potensi yang besar dari objek wisata kolam susuk, maka melalui SK Bupati no. 12 Tahun 2000, Pemerintah Daerah Kabupaten Belu mengukuhkan objek wisata ini sebagai salah satu objek dan daya tarik wisata alam dan bahari di Kabupaten Belu.

Beberapa fasilitas-fasilitas pendukung sebagai berikut :

  • Sarana: Sarana pendukung yang terdapat di obyek wisata ini adalah, Transportasi Umum Swasta, Travel Biro, Transportasi Motor Ojek, Telkomsel, Puskesmas, Perusahaan Listrik Negara (PLN) serta sistim pelayanan perbankan yang baik, yaitu Bank NTT Cabang Pembantu Atapupu.
  • Prasarana: Agar pengunjung manjadi nyaman, pihak pengelola telah memperbaiki dan membangun beberapa prasarana pendukung, yaitu fasilitas air bersih, mck / toilet, prasarana jalan yang bagus, pondok-pondok istirahat, rumah-rumah payung , pos penjagaan serta dibangunnya sebuah papan reklame yang sangat besar bertuliskan Kolam Susuk di puncak bukit, dengan posisi menghadap ke arah kolam. Selain itu terdapat juga warung-warung dan kios-kios milik masyarakat setempat disekitar objek wisata ini.[9]

Wisata Kuliner

Kota ini menyimpan berbagai makanan tradisional, khususnya bagi peminat jagung. Di kota ini anda dapat temui puluhan pedagang berjualan Jagung bose atau Jagung bakar di pinggir lapangan umum kota Atambua (Alung-Alung Kota Atambua). Harganya bervariasi, tergantung dengan kualitas yang diminta. Ada yang mau paling lezat, cukup lezat, atau biasa-biasa. Harga penjualan Jagung bose atau Jagung bakar berkisar antara Rp. 2,500,- sampai Rp. 5,000,-.

Referensi

Pranala luar

  1. (Inggris) Atambua 39 Degrees Celsius: Tokyo Review - Hollywood reporter
  2. (Indonesia) Atambua News
  3. (Indonesia) Kota Atambua - Info Kota Kita