Lompat ke isi

Suku Bali

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Bali
(Anak Bali)
Gadis-gadis Bali, ca tahun 1920-an.
Daerah dengan populasi signifikan
Provinsi Bali: 3.336.065

Nusa Tenggara Barat:119.407
Sulawesi Tengah:115.812
Lampung:104.810
Sulawesi Tenggara:49.411
Sumatera Selatan:38.552
Sulawesi Selatan:27.330

Malaysia:5.700
Bahasa
bahasa Bali dan Indonesia
Agama
mayoritas beragama Hindu;
sisanya beragama Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha
Kelompok etnik terkait
suku Jawa (termasuk orang Tengger dan Osing) dan suku Sasak

Suku Bali (bahasa Bali: Anak Bali, Wong Bali, atau Krama Bali) adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali, yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Sebagian besar suku Bali beragama Hindu, kurang lebih 90%, sedangkan sisanya beragama Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.[1] Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali. Orang Bali juga banyak terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Bengkulu dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya. Sebagian kecil orang Bali juga ada yang tinggal di Malaysia.[2]

Asal-usul

Asal-usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi: gelombang pertama terjadi sebagai akibat dari persebaran penduduk yang terjadi di Nusantara selama zaman prasejarah; gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa perkembangan agama Hindu di Nusantara; gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari Jawa, ketika Majapahit runtuh pada abad ke-15—seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk sinkretisme antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.

Kebudayaan

Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukirnya. Covarrubias mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—lepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan andal, dan bahkan aktor berbakat.[3] Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun kelapa dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.[4] Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin amatir, yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.[5] Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi relief kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.[6]

Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya.[7] Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.[8]

Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, namun dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.

Kepercayaan

Sebanyak 3,2 juta umat Hindu tinggal di Bali,[1] dan mayoritas suku Bali menganut kepercayaan Hindu Siwa-Buddha, salah satu denominasi agama Hindu. Para pendeta dari India yang berkelana di Nusantara memperkenalkan sastra Hindu-Buddha kepada suku Bali berabad-abad yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya dengan mitologi pra-Hindu yang diyakini mereka.[9] Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi ketiga, dikenal sebagai Bali Aga, sebagian besar menganut agama berbeda dari suku Bali pada umumnya. Mereka mempertahankan tradisi animisme.

Tata Cara Penamaan

Urutan Kelahiran

Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir".

Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir abad 20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya. Tata cara penamaan ini antara lain :

  • Untuk membedakan jenis kelamin, masyarakat Bali menggunakan awalan “I” untuk anak laki-laki dan awalan “Ni” untuk anak perempuan
  • Untuk anak pertama, biasanya diberi awalan “Wayan”, yang diambil dari kata "wayahan" yang artinya "tertua / lebih tua / yang paling matang". Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga sering digunakan adalah "Putu" dan "Gede". Kata “Putu” artinya "cucu", sedangkan “Gede” artinya "besar / lebih besar". Dua awalan nama ini biasanya digunakan oleh masyarakat Bali bagian utara dan barat, sedangkan di Bali bagian timur dan selatan cenderung memakai nama Wayan. Untuk anak perempuan kadang juga diberi tambahan kata “Luh”.
  • Untuk anak kedua, biasanya diberi awalan "Made", diambil dari kata "madya (tengah)". Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga dapat diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata "tengah". Ada juga yang menggunakan awalan “Kadek” yang merupakan serapan dari kata “adi” yang bermakna "utama atau adik".
  • Untuk anak ketiga, biasanya diberi nama depan "Nyoman" atau "Komang". Nyoman konon diambil dari kata "nyeman (lebih tawar)" yang asalnya dari lapisan terakhir pohon pisang, sebelum kulit terluar, yang rasanya cukup tawar. Nyoman. Komang, secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa / akhir”.
  • Untuk anak keempat, biasanya diawali dengan “Ketut”, yang merupakan serapan dari kata “ke + tuut” yang bermakna "mengikuti / mengekor". Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang berawalan Ketut.
  • Untuk keluarga yang memiliki lebih dari empat anak, dapat digunakan kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya untuk anak kelima dan seterusnya. Ada juga yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat.

System Kasta

Masyarakat Bali mengenal system Kasta yang diturunkan dari leluhur mereka. Sysrem kasta ini konon bermula pasda abad XIV saat Bali ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit. Pada mulanya Kasta ini dibuat untuk membedakan antara kelas penguasa asal Majapahit yang diberi kuasa memerintah di Bali dengan masyarakat lokal taklukan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Para bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, bala tentara, abdi Keraton beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.

  • Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan kasta tertinggi yakni Brahmana.
  • Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan kasta Ksatria.
  • Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal dari Jawa diberikan Kasta Weisya.
  • Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan kedudukan atau tidak berkasta. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah yang biasa disebut kaum Sudra (Kasta Sudra) atau di Bali dikenal dengan istilah Jaba.

System kasta ini ini juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan kasta mereka. Selain itu juga sebagai alur profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya. Namun dalam prakteknya diberikan batasan tidak boleh saling mengawini antar kasta secara bebas. Anak laki-laki dari kalangan berkasta boleh mengawini anak perempuan dari kasta di bawahnya ataupun anak dari kalangan Sudra. Kepada istri mereka ini diberikan hak naik Kasta, kepada mereka diberikan sebutan Jero, dan seluruh keturunan mereka menyandang kasta sesuai ayahnya sesuai aturan Paternalistik.

Aturan tersebut tidak berlaku kepada anak perempuan. Untuk anak perempuan dari kalangan berkasta secara adat tidak boleh mengawini laki-laki dari kalangan di bawahnya apalagi dari kaum Sudra (Jaba). Bila hal ini terjadi, maka anak perempuan itu harus meninggalkan kastanya dan jatuh selamanya ke dalam kasta suaminya.

System Kasta ini masih dipertahankan dalam penamaan masyarakat Bali. Mereka memverikan ciri awalan nama yang menunjukkan Kasta keluarga mereka.

  • Untuk keturunan dari kasta Brahmana, biasanya digunakan awalan "Ida Bagus" untuk laki-laki dan "Ida Ayu" untuk perempuan. Kasta Brahmana adalah kasta dari profesi pemuka agama, misalnya pendeta, pedanda, ratu pedanda. Namun saat ini tidak semua keturunan Brahmana memilih profesi sebagai pemuka agama.
  • Untuk keturunan dari kasta Ksatria, biasanya digunakan awalan "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" / "I Gusti Ayu"(perempuan), dan "I Gusti Ngurah". Meski pada mulanya Kasta Ksatria merupakan kasta dengan profesi pelaksana pemerintahan, namun saat ini tidak lagi menjadi suatu keharusan. Untuk menjadi pelaksana pemerintahan (PNS) dan pembela negara (TNI/POLRI) sesuai aturan Hukum RI tidak mengenal aturan kasta.
  • Untuk keturunan dari kasta Weisya, biasanya digunakan awalan "Ngakan", "Kompyang", "Sang", "Si", dsb. Namun sebagian tidak lagi menggunakan awalan nama depan terkait telah banyaknya terjadi asimilasi kelompok ini dengan kaum Sudra di masa lalu.
  • Untuk keturunan dari kasta Sudra, dicirikan dengan nama tanpa awalan kebangsawanannya. Melainkan lagsung pada urutan nama sesuai pattern tradisi Bali. Untuk kaum pria menggunakan I Wayan (I Putu, I Gede), I Made ( I Kadek, I Nengah), I Nyoman ( I Komang), dan I Ketut. Ada pula yang tak mencantumkan awalan I melainkan langsung pada nama urutan seperti Wayan, Putu, Made, Nyoman, Ketut, dsb.

Untuk wanitanya umumnya menggunakan Ni Wayan (Ni Putu, Ni Luh), Ni Made (Ni Kadek, Ni Nengah), Ni Nyoman (Ni Komang), dan Ni Ketut. Namun ada pula sebagian kecil wanita yang tak menggunakan awalan Ni pada namanya melainkan langsung pada urutan tersebut, misalnya, Wayan , Kadek, Nyoman, dsb.

 | last = Pasupati
 | first = Budi
 | title = Nama Orang Bali
 | url= http://cakepane.blogspot.com/2012/07/nama-orang-bali.html?m=1
 | accessdate = 2015-08-08}}</ref>

Galeri

Catatan kaki

Daftar pustaka

  • Vickers, Adrian (2012), Bali Tempo Doeloe, Jakarta: Komunitas Bambu, ISBN 978-602-9402-07-0 
  • de Zoete, Beryl; Spies, Walter (1938), Dance and Drama in Bali, London: Faber and Faber Ltd.