Suku Dayak Banyadu
Dayak Banyadu | |
---|---|
Seorang Imam Dayak sedang memimpin ritual agama Kaharingan | |
Wilayah Penyebaran |
Kabupaten Landak Kabupaten Bengkayang Kabupaten Sanggau Republik Indonesia Dan Republik Taiwan |
Dialek | Banyadu |
Agama | Katolik 60 %, Protestan30 % & Sisanya Agama Adat Kaharingan |
Kelompok Dialek Terdekat | Dialek Suku Dayak Bakati, Dialek Suku Dayak Kanayatn & Dialek Suku Dayak Bidayuh |
Suku Dayak Banyadu atau Dayak Banyuke adalah salahsatu sub-suku Dayak yang mendiami kawasan Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Istilah "Suku Dayak Banyadu" diambil dari istilah dalam bahasa mereka sendiri yaitu asal kata " Nyadu" yang artinya " Tidak" kata ini digunakan sebagai istilah pembeda dialek dengan dialek Dayak lainnya, sementara istilah "Dayak Banyuke" diambil dari nama Bandong (Pusat pemerintahan) orang Banyadu Jaman dulu yang pada saat ini hanya berupa sebuah kampung yang terletak di desa Semade kecamatan Banyuke hulu.
Dayak Banyadu sendiri merupakan subsuku Dayak yang terbentuk dari percampuran antara Dayak Bidayuh yang telah berbahasa Bakati dengan Dayak Kanayatn. Hal ini dapat ditelusuri dari kosakata dalam bahasa mereka. Sebagian kosakata bahasa Banyadu merupakan kosakata Dayak Bakati dan sebagian lagi adalah kosakata Dayak Kanayatn.
Nenek moyang Dayak Banyadu yang berasal dari Dayak Bidayuh sungkung adalah Salutok Salunukng. Dahulu keturunan Salutok Salunukng berasimilasi dengan keturunan adiknya, yaitu keturunan Buta' Sabangam yang merupakan nenek moyang Dayak Bakati. Namun kemudian anak cucu mereka ini berasimilasi lagi dengan warga Dayak Kanayatn yaitu dari anak cucu Kakek Lubiz. Campuran masyarakat Dayak Bidayuh yang telah berbahasa Dayak Bakati dan warga Dayak Kanayatn itulah yang akhirnya membentuk masyarakat Dayak Banyadu Modern.
Masyarakat Dayak Banyadu banyak bermukim di daerah kecamatan Banyuke hulu, Banyuke Darit, Meranti, dan di kecamatan Ngabang, di Kota Ngabang Kabupaten Landak serta di kecamatan Teriak,di kota Bengkayang, di beberapa desa di kecamatan Samalantan dan di desa-desa transmigrasi di seluruh Kabupaten Bengkayang serta di Kecamatan Tayan Hulu, kota Sosok, dan Kecamatan Kembayan Kabupaten Sanggau Kapuas dan juga terdapat di Taiwan (China Taipei). Keturunan Dayak Banyadu yang terdapat di Taiwan Juga berasal dari Kalimantan Barat, nenek moyang orang Banyadu yang pergi ke Taiwan tersebut membawaserta anak dan istrinya, mereka berangkat bersama sejumlah orang Tionghoa Kalimantan barat yang diangkut dengan sejumlah kapal laut oleh tentara VOC Belanda kuranglebih telah 400 tahun yang lalu, dan di pekerjakan di perkebunan milik VOC di Taiwan.
Sebelum orang banyadu menyebar mendiami pedalaman daerah Landak, Bengkayang dan Sanggau kapuas, orang Banyadu mendiami daerah asalnya di daerah Banyuke hulu di Kecamatan Banyuke Hulu kabupaten Landak Kalimantan barat sekarang. Dimasa dahulu seluruh orang banyadu ini mendiami sebuah kampung besar (Bandong) atau semacam kota dijaman Banyadu purba.kampung besar atau kota atau dalam istilah Dayak Banyadunya disebut BANNOKNG (Baca: Bandong,untuk anda yang tidak bisa logat Dayak) Bandong orang Banyadu ini, bernama BANYUKE, Bandong (kampung besar) banyuke ini merupakan pusat ke-temenggungan Dayak Banyadu. daerah Ketemenggungan Dayak Banyadu ini disebut BANUA SATONA yang beribukota pada Bandong Banyuke, Seringkali Banyuke yang merupakan Bandong dari banua Satona ini hanya di sebut dengan nama Bandong satona saja, tentu saja yang dimaksud adalah Bandong (ibukota/kampung besar) dari banua Satona.
Sejak di mulainya masa Pengayauan di kalangan Bangsa Dayak, nenek moyang Dayak Banyadu mulai menyebar keluar dari Bandong Banua-nya, orang Banyadu yang menyebar pada masa itu di rintis oleh para prajurit Kayau yang melakukan pengayauan serta penaklukan terhadap subsuku Dayak lain, akibatnya orang Banyadu ( orang yang berasal dari Bandong Banyuke) dimasa lalu menjadi sangat terkenal dan disegani serta di takuti oleh subsuku Dayak lain. Meskipun terkenal dengan kegagahan dan keberaniannya, adakalanya para prajurit Kayau Dayak Banyadu tidak berhasil menaklukkan subsuku Dayak lain, para prajurit kayau Dayak Banyadu yang tidak berhasil membawa Kepala manusia ini, memilih tidak pulang dan menetap di daerah taklukannya serta membangun pemukiman baru di situ dan mengawini gadis-gadis didaerah taklukannya tersebut. umumnya kepergian prajurit Kayau Dayak Banyadu zaman dulu di lakukan melalui jalur sungai, dengan menyusuri hilir sungai yang diberi nama sama seperti nama Bandong-nya yaitu sungai Banyuke. Selain karena aktivitas Pengayauan, penyebaran orang Banyadu juga terjadi karena alasan perladangan, masyarakat pada masa itu mulai mencari daerah baru yang jauh dari Bandong-nya untuk berladang, Sebagai akibatnya banyuke yang sebelumnya berupa sebuah kampung besar / kota (Bandong) lama-kelamaan mengecil hingga hanya menjadi sebuah kampung kecil, karena di tinggal menyebar oleh penduduknya. Ketika berada di luar Bandongnya itulah yang menyebabkan orang Dayak banyadu zaman dulu di kenal dengan sebutan orang Banyuke oleh masyarakat Dayak yang menjadi tetangga negerinya, hal ini terjadi, karena mengingat mereka berasal dari Bandong (kampung besar) Banyuke.
Cukup sering terjadi kekeliruan akan masyarakat Dayak yang disebut Banyuke ini, terutama generasi muda sekarang di mana dalam anggapan mereka yang disebut orang Banyuke adalah Suku Dayak kanayatn yang berdialek Banane / Bangape alias orang Darit dan cenderung teguh meyakininya, padahal yang benar adalah untuk sebutan masyarakat Dayak Kanayatn yang berdialek Banyadu, hal ini tentu didasari oleh alasan bahwa semua desa atau semua penduduk yang tinggal di hilir dekat muara dan di hulu dari sungai yang mengalir di daerah tersebut adalah orang Banyadu, dan terlebih di karenakan asal kata banyuke itu adalah dari nama sebuah Bandong (kampung besar) orang Banyadu yang terletak di hulu sungai Banyuke tersebut.
Nenek moyang orang Banyadu yang telah menyebar ini membangun pemukiman-pemukiman awal di luar bandong mereka, pemukiman awal ini dikenal dengan sebutan Tammakng (baca:Tambang). Penduduk desa awal atau desa asal alias Tamakng orang banyadu di sepanjang sungai Banyuke dan anak-anak sungai banyuke ini seperti masyarakat Dayak lainnya juga melakukan kegiatan perladangan. Semakin lama semakin jauh ladang yang dibuka, akhirnya karena alasan sudah terlalu jauh dari kampung asal, maka para orang tua dimasa itu berkeinginan mendirikan kampung-kampung baru disekitar ladang mereka. Kampung baru itu disebut dengan istilah Varokng ( baca: Varong) yang bermakna sebagai kampung ladang. Seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan jumlah penduduk akhirnya varokng-varokng tersebut makin lama makin ramai. Desa-desa asal alias Tamakng orang Banyadu antara lain Tamakng Bale, Temia ojol, Padang pio, Loeng, untang, Banyuke, Balantian dan lain-lain. Sementara desa-desa ladang atau Varokng seperti Tititareng, sabah, magon, Teriak,Sentibak, Peranuk, Temia seo, padang manyun, berinang manyun, sinto, kampet, sentibak dan lain-lain.
Budaya
Adat budaya masyarakat Banyadu umumnya sama dengan adat Dayak rumpun Klemantan lainnya, yang membedakannya hanya pada istilah penyebutannya saja. Salah satu Adat budayanya yakni baliatn umumnya dijalankan dengan menggunakan bahasa Dayak Kanayatn yang berdialek Bananna meskipun dukun baliannya asli orang Banyadu. Inilah salah satu alasan disamping bahasanya yang menyebabkan Dayak Banyadu di kelompokan ke dalam keluarga Dayak Kanayatn. Sebagaimana masyarakat Dayak lainnya pada masa lampau Orang banyadu juga tinggal di rumah-rumah panjang (rumah Betang atau rumah Bantang) namun sekarang ini tidak ada satupun desa mereka yang masih menyisakannya. Ketika orang Banyadu mendirikan rumah tinggal tunggal (Lamin atau Ramin). Mereka membuat rumah mereka masih mirip rumah panjang, hal ini dilihat dari bentuknya yang juga memanjang hanya saja panjangnya tidak sepanjang rumah panjang komunal. Sampai saat ini rumah-rumah panjang tunggal ini masih terdapat di beberapa desa saja seperti di desa berinang manyun ada dua buah jika masih ada alias belum dibongkar.
Agama
Sistem religi orang Banyadu adalah agama adat atau dalam istilah masyarakat Dayak Kalimantan tengah disebut Kaharingan. Sistem kepercayaan ini sudah monoteis yang mana berpusat pada satu Tuhan yang disebut Jubata. Dalam mengontrol dunia Jubata di bantu oleh sangiakng-sangiakng atau semacam malaikat pada agama samawi. Ketika imam Banyadu melakukan ritual agama adat sering nama Jubata disebut-sebut sebagai jubata yang digunung ini, atau gunung itu di daerah ini atau daerah itu, hal ini tidaklah bearti bahwa Jubata tersebut banyak jumlahnya namun lebih bermakna bahwa sang kuasa ( Tuhan ) ada di mana-mana atau berkuasa atas segala sesuatu. Jubata pada masyarakat Dayak Banyadu seperti pada masyarakat Dayak kanayatn lainnya disebut-sebut berdiam atau tinggal di surga atas (saruga samo) atau di lapisan langit ketujuh atau secara khusus disebut dengan istilah Sabayatn. Dimasa sekarang orang Banyadu adalah penganut Kristen Katholik, Kristen Protestan dan sisanya pengikut agama adat (Kaharingan).
Tokoh-Tokoh Dayak Banyadu
- Tapanus Tapat, SH. MH. politisi
- Fabianus Oel, Spd. Birokrat dan kepala Adat
- Marcellus Uthan Ssos. Tokoh LSM
- Florentius Darrem SH. politisi
- Mion, politisi
- Pastor Dr. Samuel Oton Sidin, OFM cap. rohaniawan, LSM dan tokoh sosial
- Niron,SH
- Drs Ayub, Tetua Masyarakat Banyadu
- Suprianto,SH. politisi
- Cahya Tanus, SH
- Asuardi Daris, S.Pd. Birokrat
- Anjiu, S.Th. Politisi & Pengusaha
- P.A. Simu, tokoh masyarakat dan politisi
- Irjen Pol. Dinar (Kelahiran Kampung Kampet Dan Besar Dikampung Anik), mantan Kapolda Kalteng