Lompat ke isi

Sejarah Buddhisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya sang Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Selama masa ini, agama ini sementara berkembang, unsure kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya ini, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan perkembangan banyak aliran dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya adalah aliran tradisi Theravada (Hinayana), Mahayana, dan Vajrayana (Bajrayana), yang sejarahnya ditandai dengan masa pasang dan surut.


Kehidupan sang Buddha

Berkas:Shakya.jpg
Koin perak kaum Sakya (600–500 SM)

Artikel utama: Gautama Buddha

Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari klan Sakya pada awal masa Magadha (546324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Beliau juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").

Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (madya marga ?). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.

Di bawah sebuah pohon beringin, sekarang dikenal sebagai pohon Bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Sang Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).

Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.

Keengganan sang Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha Nikaya, yang sekarang hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.

Tahap awal agama Buddha

Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama Buddha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam gerakan Buddha.

Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)

Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama setelah sang Buddha wafat di bawah perlindungan raja Ajatasatru dari Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang rahib bernama Mahakasyapa, di Rajagrha (sekarang disebut Rajgir). Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan sang Buddha (sutra (Buddha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (vinaya): Ananda, salah seorang murid utama Buddha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Buddha, dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum vinaya. Ini kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah menjadi teks rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Buddha.

Konsili Kedua Buddha (383 SM)

Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum Mahasanghika. Mazhab-mazhab tradisional menganggap sang Buddha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran Buddha demi mengatasi sengsara dan mencapai arhat. Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan faham Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniawan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan "besar" atau "mayoritas").

Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan Asia Tengah menurut prasasti-prasasti Kharoshti yang ditemukan dekat Oxus dan bertarikh abad pertama.

Lihat pula: mazhab awal Buddha

Dakwah Asoka (+/- 260 SM)

Berkas:AshokaColumn.jpg
Kapital (pucuk pilar) sebuah pilar yang didirikan oleh maharaja Asoka di Sarnath +/- 250 SM.

Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya (273232 SM) masuk agama Buddha setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang Orissa) di India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji, sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan ajaran Buddha dengan membangun stupa-stupa dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup dan mengajak orang-orang untuk mentaati Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri.

Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar India. Menurung prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk menyebarkan agama Buddha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.


Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)

Maharaja Asoka memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar tahun 250 SM di Pataliputra (sekarang Patna). Konsili ini dipimpin oleh rahib Moggaliputta. Tujuan konsili adalah rekonsiliasi mazhab-mazhab Buddha yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha, terutama dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan perlindungan kerajaan dan organisasi pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang dikenal.

Kanon Pali (Tipitaka, atau Tripitaka dalam bahasa Sansekerta, dan secara harafiah berarti "Tiga Keranjang"), yang memuat teks-teks rujukan tradisional Buddha dan dianggap diturunkan langsung dari sang Buddha, diresmikan penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra Pitaka), peraturan monastik (Vinaya Pitaka) dan ditambah dengan kumpulan filsafat (Abhidharma Pitaka).

Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan agama Buddha juga mengakibatkan pengucilan gerakan-gerakan lain yang muncul. Terutama, setelah tahun 250 SM, kaum Sarvastidin (yang telah ditolak konsili ketiga, menurut tradisi Theravada) dan kaum Dharmaguptaka menjadi berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah, sampai masa Kekaisaran Kushan pada abad-abad pertama Masehi. Para pengikut Dharmaguptaka memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang Buddha berada di atas dan terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya. Sedangkan kaum Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan terjadi pada saat yang sama.

Dunia Helenistik

Beberapa prasati Piagam Asoka menulis tentang usaha-usaha yang telah dilaksanakan oleh Asoka untuk mempromosikan agama Buddha di dunia Helenistik (Yunani), yang kala itu berkesinambungan tanpa putus dari India sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka menunjukkan pengertian yang mendalam mengenai sistem politik di wilayah-wilayah Helenistik: tempat dan lokasi raja-raja Yunani penting disebutkan, dan mereka disebut sebagai penerima dakwah agama Buddha: Antiochus II Theos dari Kerajaan Seleucid (261–246 SM), Ptolemeus II Philadelphos dari Mesir (285–247 SM), Antigonus Gonatas dari Makedonia (276–239 SM), Magas dari Kirene (288–258 SM), dan Alexander dari Epirus (272–255 SM).

Berkas:AshokaMap2.gif
Dakwah agama Buddha semasa pemerintahan maharaja Asoka (260218 SM).
"Penaklukkan Dharma telah dilaksanakan dengan berhasil, pada perbatasan dan bahkan enam ratus yojana (6.400 kilometer) jauhnya, di mana sang raja Yunani Antiochos memerintah, di sana di mana empat raja bernama Ptolemeus, Antigonos, Magas dan Alexander bertakhta, dan juga di sebelah selatan di antara kaum Chola, Pandya, dan sejauh Tamraparni." (Piagam Asoka, Piagam Batu ke-13, S. Dhammika)

Kemudian, menurut beberapa sumber dalam bahasa Pali, beberapa utusan Asoka adalah bhiksu-bhiksu Yunani, yang menunjukkan eratnya pertukaran agama antara kedua budaya ini:

"Ketika sang thera (sesepuh) Moggaliputta, sang pencerah agama sang Penakluk (Asoka) telah menyelesaikan Konsili (ke-3) […], beliau mengirimkan thera-thera, yang satu kemari yang lain ke sana: […] dan ke Aparantaka (negeri-negeri barat yang biasanya merujuk Gujarat dan Sindhu), beliau mengirimkan seorang Yunani (Yona) bernama Dhammarakkhita". (Mahavamsa XII).

Tidaklah jelas seberapa jauh interaksi ini berpengaruh, tetapi beberapa pakar mengatakan bahwa sampai tingkat tertentu ada sinkretisme antara falsafah Yunani dan ajaran Buddha di tanah-tanah Helenik kala itu. Mereka terutama menunjukkan keberadaan komunitas Buddha di Dunia Helenistik kala itu, terutama di Alexandria (disebut oleh Clement dari Alexandria), dan keberadaan sebuah ordo-monastik pra-Kristen bernama Therapeutae (kemungkinan diambil dari kata Pali "Theraputta"), yang kemungkinan "mengambil ilham dari ajaran-ajaran dan penerapan ilmu tapa-samadi Buddha" (Robert Lissen).

Berkas:AlexanderJannaeus.gif
Koin raja Yahudi, Raja Alexander Jannaeus (103-76 SM), dengan sebuah cakra berisikan delapan ruji.

Mulai dari tahun 100 SM, simbol "bintang di tengah mahkota", juga secara alternatif disebut "cakra berruji delapan" dan kemungkinan dipengaruhi desain Dharmacakra Buddha, mulai muncul di koin-koin raja Yahudi, Raja Alexander Jannaeus (103-76 SM). Alexander Jannaeus dihubungkan dengan sekte falsafi Yunani, kaum Saduki dan dengan ordo monastik Essenes, yang merupakan cikal-bakal agama Kristen. Penggambaran cakra atau roda berruji delapan ini dilanjutkan oleh jandanya, Ratu Alexandra, sampai orang Romawi menginvasi Yudea pada 63 SM.

Batu-batu nisan Buddha dari era Ptolemeus juga ditemukan di kota Alexandria, dengan hiasan Dharmacakra (Tarn, "The Greeks in Bactria and India"). Dalam mengkomentari keberadaan orang-orang Buddha di Alexandria, beberapa pakar menyatakan bahwa “Kelak pada tempat ini juga beberapa pusat agama Kristen yang paling aktif didirikan” (Robert Linssen "Zen living").

Ekspansi ke Asia

Di daerah-daerah sebelah timur anak benua Hindia (sekarang Myanmar), Budaya India banyak mempengaruhi sukubangsa Mon. Dikatakan suku Mon mulai masuk agama Buddha sekitar tahun 200 SM berkat dakwah maharaja Asoka dari India, sebelum perpecahan antara aliran Mahayana dan Hinayana. Candi-candi Buddha Mon awal, seperti Peikthano di Myanmar tengah, ditarikh berasal dari abad pertama sampai abad ke-5 Masehi.

Berkas:MonWheel.JPG
Penggambaran suku Mon mengenai (Dharmacakra), seni dari Dvaravati, +/-abad ke-8.

Seni Buddha suku Mon terutama dipengaruhi seni India kaum Gupta dan periode pasca Gupta. Gaya manneris mereka menyebar di Asia Tenggara mengikuti ekspansi kerajaan Mon antara abad ke-5 dan abad ke-8. Aliran Theravada meluas di bagian utara Asia Tenggara di bawah pengaruh Mon, sampai diganti secara bertahap dengan aliran Mahayana sejak abad ke-6.

Agama Buddha konon dibawa ke Sri Lanka oleh putra Asoka Mahinda dan enam kawannya semasa abad ke-2 SM. Mereka berhasil menarik Raja Devanampiva Tissa dan banyak anggota bangsawan masuk agama Buddha. Inilah waktunya kapan wihara Mahavihara, pusat aliran Ortodoks Singhala, dibangunt. Kanon Pali dimulai ditulis di Sri Lanka semasa kekuasaan Raja Vittagamani (memerintah 2917 SM), dan tradisi Theravada berkembang di sana. Beberapa komentator agama Buddha juga bermukim di sana seperti Buddhaghosa (abad ke-4 sampai ke-5). Meski aliran Mahayana kemudian mendapatkan pengaruh kala itu, akhirnya aliran Theravada yang berjaya dan Sri Lanka akhirnya menjadi benteng terakhir aliran Theravada, dari mana aliran ini akan disebarkan lagi ke Asia Tenggara mulai abad ke-11.

Ada pula sebuah legenda, yang tidak didukung langsung oleh bukti-bukti piagam, bahwa Asoka pernah mengirim seorang misionaris ke utara, melalui pegunungan Himalaya, menuju ke Khotan di dataran rendah Tarim, kala itu tanah sebuah bangsa Indo-Eropa, bangsa Tokharia.

Lihat pula: Piagam-piagam Asoka

Penindasan oleh dinasti Sungga (abad ke-2 sampai abad ke-1 SM)

Dinasti Sungga (18573 SM) didirikan pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya maharaja Asoka. Setelah membunuh Raja Brhadrata (raja terakhir dinasti Maurya), hulubalang tentara Pusyamitra Sunga naik takhta. Ia adalah seorang Brahmana ortodoks, dan Sunga dikenal karena kebencian dan penindasannya terhadap kaum-kaum Buddha. Dicatat ia telah "merusak wihara dan membunuh para bhiksu" (Divyavadana, pp. 429–434): 84.000 stupa Buddha yang telah dibangun Asoka dirusak (R. Thaper), dan 100 keping koin emas ditawarkan untuk setiap kepala bhiksu Buddha (Indian Historical Quarterly Vol. XXII, halaman 81 dst. dikutip di Hars.407). Sejumlah besar wihara Buddha dirubah menjadi kuil Hindu, seperti di Nalanda, Bodhgaya, Sarnath, dan Mathura.

Lihat pula: Kekaisaran Sungga

Interaksi Buddha-Yunani (abad ke-2 sampai abad pertama Masehi)

Drakhma perak Menander I (berkuasa +/- 160–135 SM).
Obv: huruf Yunani, BASILEOS SOTHROS MENANDROY secara harafiah "Raja Penyelamat Menander".

Di wilayah-wilayah barat Anak benua India, kerajaan-kerajaan Yunani yang bertetangga sudah ada di Baktria (sekarang di Afghanistan utara) semenjak penaklukkan oleh Alexander yang Agung pada sekitar 326 SM: pertama-tama kaum Seleucid dari kurang lebih tahun 323 SM, lalu Kerajaan Baktria-Yunani dari kurang lebih tahun 250 SM.

Arca Buddha-Yunani, salah satu penggambaran Buddha, abad pertama sampai abad ke-2 Masehi, Gandhara.

Raja Baktria-Yunani Demetrius I dari Baktria, menginvasi India pada tahun 180 SM dan sampai sejauh Pataliputra. Kemudian sebuah Kerajaan Yunani-India didirikan yang akan lestari di India bagian utara sampai akhir abad pertama SM.

Agama Buddha berkembang di bawah naungan raja-raja Yunani-India, dan pernah diutarakan bahwa maksud mereka menginvasi India adalah untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Kekaisaran Maurya dan melindungi para penganut Buddha dari penindasan kaum Sungga (18573 SM).

Salah seorang raja Yunani-India yang termasyhur adalah Raja Menander I (yang berkuasa dari +/- 160135 SM). Kelihatannya beliau masuk agama Buddha dan digambarkan dalam tradisi Mahayana sebagai salah satu sponsor agama ini, sama dengan maharaja Asoka atau seorang raja Kushan dari masa yang akan datang, raja Kaniska. Koin-koin Menander memuat tulisan "Raja Penyelamat" dalam bahasa Yunani, dan "Maharaja Dharma" dalam aksara Kharosti. Pertukaran budaya secara langsung ditunjukkan dalam dialog Milinda Panha antara raja Yunani Menander I dan sang bhiksu Nagasena pada sekitar tahun 160 SM. Setelah mangkatnya, maka demi menghormatinya, abu pembakarannya diklaim oleh kota-kota yang dikuasainya dan ditaruh di stupa-stupa tempat pemujaannya, mirip dengan sang Buddha Gautama (Plutarkhus, Praec. reip. ger. 28, 6).

Interaksi antara budaya Yunani dan Buddha kemungkinan memiliki pengaruh dalam perkembangan aliran Mahayana, sementara kepercayaan ini mengembangkan pendekatan falsafinya yang canggih dan perlakuan Buddha yang mirip dengan Dewa-Dewa Yunani. Kira-kira juga kala seperti ini pelukisan Buddha secara antropomorfis dilakukan, seringkali dalam bentuk gaya seni Buddha-Yunani: "One might regard the classical influence as including the general idea of representing a man-god in this purely human form, which was of course well familiar in the West, and it is very likely that the example of westerner's treatment of their gods was indeed an important factor in the innovation" (Boardman, "The Diffusion of Classical Art in Antiquity").

Lihat pula: Agama Buddha-Yunani

Berkembangnya aliran Mahayana (Abad Pertama SM-Abad ke-2)

Koin emas Kekaisaran Kushan memperlihatkan maharaja Kanishka I (~100–126 Masehi) dengan sebuah lukisan Helenistik Buddha, dan kata "Boddo" dalam huruf Yunani.

Berkembangnya agama Buddha Mahayana dari abad ke-1 SM diiringi dengan perubahan kompleks politik di India barat laut. Kerajaan-kerajaan Yunani-India ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum nomad Indo-Eropa yang berasal dari Asia Tengah, yaitu kaum Schytia India, dan lalu kaum Yuezhi, yang mendirikan Kekaisaran Kushan dari kira-kira tahun 12 SM.

Kaum Kushan menunjang agama Buddha dan konsili keempat Buddha kemudian dibuka oleh maharaja Kanishka, pada kira-kira tahun 100 Masehi di Jalandhar atau di Kashmir. Peristiwa ini seringkali diasosiasikan dengan munculnya aliran Mahayana secara resmi dan pecahnya aliran ini dengan aliran Theravada. Mazhab Theravada tidak mengakui keabsahan konsili ini dan seringkali menyebutnya "konsili rahib bidaah".

Konon Kanishka mengumpulkan 500 bhiksu di Kashmir, yang dikepalai oleh Vasumitra, untuk menyunting Tripitaka dan memberikan komentar. Maka konon pada konsili ini telah dihasilkan 300.000 bait dan lebih dari 9 juta dalil-dalil. Karya ini memerlukan waktu 12 tahun untuk diselesaikan.

Konsili ini tidak berdasarkan kanon Pali yang asli (Tipitaka). Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa Gandhari dan aksara Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam bahasa Sansekerta yang sudah menjadi bahasa klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam penyebaran pemikiran Buddha.

Wujud baru Buddhisme ini ditandai dengan pelakuan Buddha yang mirip dilakukan bagaikan Dewa atau bahkan Tuhan. Gagasan yang berada di belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup memiliki alam dasar Buddha dan seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan". Ada pula sinkretisme keagamaan terjadi karena pengaruh banyak kebudayaan yang berada di India bagian barat laut dan Kekaisaran Kushan.

Penyebaran Mahayana (Abad pertama sampai abad ke-10 Masehi)

Penyebaran aliran Mahayana antara abad pertama - abad ke-10 Masehi.

Dari saat itu dan dalam kurun waktu beberapa abad, Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur. Dari India ke Asia Tenggara, lalu juga ke utara ke Asia Tengah, Tiongkok, Korea, dan akhirnya Jepang pada tahun 538.

India

Setelah berakhirnya masa kaum Kushan, agama Buddha berkemabng di India selama dinasti Gupta (abad ke-4 sampai ke-6). Pusat-pusat studi Mahayana didirikan, terutama di Nalanda bagian timur laut India, yang akan menjadi 'universitas' Buddha yang paling besar dan paling berpengaruh untuk abad-abad yang akan datang. Beberapa pengajarnya yang terkenal adalah Nagarjuna. Gaya seni Buddha ala Gupta menjadi sangat berpengaruh di Asia Tenggara sampai Tiongkok Kuna sementara agama ini menyebar ke sana.

Buddha dan Bodhisattwa, abad ke-11, Kekaisaran Pala.

Agama Buddha India menjadi lemah pada abad ke-7 mengikuti invasi Hun Putih dan Islam. Namun, di bawah Kekaisaran Pala, mazhab Mahayana berkembang kembali antara abad ke-8 dan ke-12. Kaum Pala banyak mendirikan kuil-kuil dan sebuah aliran seni Buddha yang khas.

Sebuah tonggak bersejarah penting dalam runtuhnya agama Buddha di India terjadi pada tahun 1193 ketika para penakluk Islam Turki di bawah Muhammad Khilji menghancurkan Nalanda. Pada akhir abad ke-12, setelah penaklukkan oleh kaum Islam atas benteng-benteng Buddha di Bihar, keberadaan kaum Buddha di India menjadi langka. Selain itu pengaruh agama Buddha juga pudar akibat gerakan renaisans Hindu seperti Advaita dan munculnya gerakan bhakti.

Meskipun lahir di India, pada awal abad ke-20, agama Buddha hanya dipeluk oleh beberapa orang di daerah-daerah terpencil di India.

Lihat pula: Agama Buddha di India, Hancurnya agama Buddha di India

Asia Tengah dan Utara

Asia Tengah

Asia Tengah telah dipengaruhi dengan agama Buddha semenjak kurang lebih masa hidup sang Siddhartha Gautama. Menurut sebuah cerita legenda dalam bahasa Pali, bahasa aliran Theravada, dua saudagar bersaudara dari Baktria, bernama Tapassu dan Bhallika, mengunjungi sang Buddha dan menjadi muridnya. Mereka kembali ke Baktria dan membangun kuil-kuil untuk memuja Buddha (Foltz).

Asia Tengah telah lama memainkan peran yang penting sebagai titik temu antara Tiongkok, India dan Persia. Semasa abad ke-2 SM, ekspansi Dinasti Han ke arah barat menjadikan mereka mendapatkan kontak dengan kebudayaan-kebudayaan Helenistik Asia, terutama Kerajaan Baktria-Yunani. Setelah itu, ekspansi agama Buddha ke utara membawa pembentukan komunitas-komunitas Buddha dan bahkan kerajaan Buddha di sekitar oase-oase Asia Tengah. Beberapa kota di sepanjang Jalur Sutra terdiri dari sebagian besar stupa-stupa Buddha dan vihara, dan kelihatannya bahkan tujuan mereka ialah untuk mengurusi para musafir yang melawat dari barat dan timur.

Beberapa aliran Nikaya tetap bertahan di Asia Tengah dan Tiongkok sampai kurang lebih abad ke-7 Masehi. Mazhab Mahayana mulai menjadi penting dalam masa ini, tetapi karena kepercayaan ini mulai mengembangkan pendekatan Nikaya, Sarvastivadin dan Dharmaguptaka tetap menjadi Vinaya pilihan di vihara-vihara Asia Tengah.

Agama Buddha di Asia Tengah mulai menghilang dengan munculnya ekspansi agama Islam. Kaum Muslim tidak memperlihatkan toleransi terhadap kaum Buddha yang mereka berikan kepada "ahli al-Kitab" lainnya seperti kaum Kristen dan Yahudi. Mereka berpendapat bahwa orang Buddha adalah penyembah berhala dan cenderung menindas mereka.

Lihat pula: Jalur Sutra, Penyebaran agama Buddha melalui Jalur Sutra

Dataran Rendah Tarim

Berkas:CentralAsianBuddhistMonks.JPG
Para rahib bermata biru dari Asia Tengah dan rahib Asia Timur, Bezaklik, Dataran Rendah Tarim Timur, abad ke-9 sampai ke-10.

Wilayah timur Asia Tengah, (yaitu Turkestan China, Dataran Rendah Tarim dan Xinjiang) telah membeberkan banyak sekali karya seni Buddha (lukisan-lukisan dinding dan relief-relief di banyak gua-gua, lukisan di kanvas yang bisa dibawa, patung, dan obyek-obyek ritus), menunjukkan banyak pengaruh dari budaya India dan Helenistik. Seni Serindia menurapakan peninggalan kuat gaya Gandhara dan banyak naskah dalam aksara Gandhari yaitu aksara Kharosthi ditemukan.

Penduduk Asia Tengah kelihatannya memegang peranan yang menentukan dalam menyebarkan agama Buddha ke Timur. Para penterjemah pertama kitab-kitab suci Buddha ke bahasa Mandarin adalah orang Parthia (Ch: Anxi) seperti An Shigao (148) atau An Hsuan, orang Yuezhi seperti Zhiqian dan Zhilou Jiachen, orang Sogdian (Ch: Kangju) seperti Kang Sengkai, atau orang Kusha seperti Lokaksema (c. 178). Tigapuluh tujuh penterjemah teks-teks Buddha diketahui dan mayoritas dari mereka bisa diidentifikasikan sebagai orang Asia Tengah.

Bhikus-bhiksu Asia Tengah dan Asia Timur kelihatannya berhubungan dengan erat sampai kira-kira bad ke-10, seperti terlihat pada fresko dari dataran rendah Tarim.

Namun pengaruh ini secara capat diambil oleh kebudayaan Tionghoa dengan giat, dan mulai pada titik tersebut sebuah ciri khas Tionghoa muncul.

Lihat pula: Dunhuang, Kerajaan Khotan

Berkas:TangBuddha.jpg
Arca Buddha duduk (dinasti Tang +/- 650 China)

Agama Buddha kemungkinan besar muncul di Tiongkok sekitar abad pertama Masehi dari Asia Tengah (meski menurut tradisi agama ini dibawa oleh seorang bhikus pada masa pemerintahan raja Asoka), sampai abad ke-8 ketika negara ini menjadi pusat agama Buddha yang penting.

Agama Buddha tumbuh dengan subur selama awal dinasti Tang(618907). Dinasti ini memiliki ciri keterbukaan kuat terhadap pengaruh asing, dan pertukaran unsur kebudayaan dengan India karena banyaknya perjalanan bhiksu Buddha ke India dari abad ke-4 sampai abad ke-11.

Namun pengaruh asing kembali dianggap negatif pada masa akhir dinasti Tang. Pada tahun 845, Kaisar Tang Wu-Tsung melarang semua agama "asing" (termasuk agama Kristen mazhab Nestorian, Zoroastrianisme, dan Buddha) untuk lebih mendukung Taoisme yang merupakan ajaran pribumi.

Di seluruh wilayahnya, dia menyita harta milik Buddha, biara dan kuil dirusak, dan rahib Buddha ditindas, Maka dengan ini berakhirlah kejayaan kebudayaan dan kekuasaan intelektual Buddha.

Namun aliran Buddha Tanah Murni dan Chan terus berkembang selama beberapa abad, dan perkembangan ini akhirnya akan menimbulkan aliran Buddha Jepang Zen.

Di Tiongkok, Chan tumbuh dengan subur teristimewa di bawah dinasti Song (11271279), ketika biara-biarannya menjadi pusat kebudayaan dan tempat belajar yang agung.

Lihat pula: Agama Buddha di Tiongkok

Agama Buddha diperkenalkan di Korea sekitar tahun 372, ketika para duta dari Tiongkok yang berkunjung ke kerajaan Goguryeo, membawa kitab-kitab dan gambar-gambar. Lalu agama Buddha berkembang dengan pesat di Korea, dan terutama aliran Seon (Zen) mulai abad ke-7. Namun, mulai dengan Dinasti Yi yang menganut ajaran Konfusianisme pada masa Joseon pada tahun 1392, agama Buddha mulai didiskriminasi sampai hampir hilang sama sekali, kecuali gerakan Seon yang masih ada.

Lihat pula: Agama Buddha di Korea

Sang Mahabuddha di Kamakura (1252)

Jepang, sekarang merupakan negara Buddha yang terbesar, menemukan agama Buddha pada abad ke-6 ketika para bhiksu melakukan perjalan ke kepulauan mereka sembari membawa banyak kitab-kitab suci dan karya seni. Agama Buddha lalu dipeluk menjadi agama negara pada abad selanjutnya.

Karena secara geografis terletak pada ujung Jalur Sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha ketika agama ini mulai hilang dari India dan ditindak di Asia Tengah serta Tiongkok.

Dari kurang lebih tahun 710 banyak sekali kuil dan vihara dibangun di ibu kota Nara, seperti pagoda lima tingkat dan Ruang Emas Horyuji, atau kuil Kofukuji. Banyak sekali lukisan dan patung dibuat sampai tak terhitung dan seringkali dengan sponsor pemerintah. Pembuatan seni Buddha Jepang terutama sangat padat antara abad ke-8 dan abad ke-13 semasa pemerintahan di Nara, Heian, dan Kamakura.

Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan aliran ini oleh Dogen dan Eisai setelah mereka pulang dari China. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas lukisan asli (seperti sumi-E dan Enso) dan puisi (khususnya haiku). Seni ini berusaha keras untuk mengungkapkan intisari sejati dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik". Pencarian untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan penting lain sastra derivatif seperti Chanoyu (upacara minum teh) atau Ikebana; seni merangkai bunga. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap kegiatan manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual dan estetika, pertama-tama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik pertempuran (seni beladiri).

Agama Buddha sampai sekarang tetap masih aktif di Jepang. Sekitar 80.000 kuil-kuil Buddha masih dipelihara secara teratur.

Lihat pula: Agama Buddha di Jepang, Seni Jepang, Zen

Tantrisme Buddha dimulai sebagai gerakan di India Timur sekitar abad ke-5 atau abad ke-6. Banyak praktek-praktek Tantrik berasal dari Brahmanisme (penggunaan mantra-mantra, yoga, atau pembakaran persembahan korban), dan pada hakekatnya sudah dipengaruhi oleh pemikiran Mahayana. Tantrisme, juga disebut sebagai ajaran Vajrayana, dan menjadi bentuk dominan Buddhisme di Tibet dari abad ke-8.

Lihat pula: Agama Buddha di Tibet, Seni Tibet

Asia Tenggara

Berkas:4ArmedAvalokiteshvara.jpg
Boddhisattva Avalokiteshvara bertangan empat (abad ke-8, masa Sri Wijaya, Thailand)

Selama abad pertama Masehi, perdagangan di Jalur Sutra yang melalui darat cenderung dibatasi oleh kenaikan kekaisaran Parthia di Timur Tengah, sebuah bebuyutan Kekaisaran Romawi yang belum hancur. Sementara itu kala itu bersamaan dengan waktu di mana orang Roma sedang menjadi sangat kaya dan permintaan mereka untuk kemewahan Asia naik.

Permintaan ini menghidupkan lagi hubungan laut di antara Laut Tengah dan Tiongkok, dengan India sebagai perantara terpilih. Dari waktu itu, lewat hubungan perdagangan, koloni-koloni dagang, dan bahkan intervensi politik, India memulai dengan kuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Rute dagang menghubungkan India dengan selatan Burma, pusat dan selatan Siam, Kamboja dan selatan Vietnam, dan banyak pemukiman pesisir didirikan di sana.

Lebih dari seribu tahun, pengaruh India merupakan faktor utama yang membawa persatuan budaya di antara banyak negara yang berbeda-beda di kawasan ini. Bahasa Pali dan bahasa Sansekerta serta aksara India bersama dengan Theravada, Mahayana, Brahmanisme, dan agama Hindu, disebarkan secara langsung melalui teks-teks kesusastraan India seperti Ramayana dan Mahabharata.

Dari abad ke-5 sampai abad ke-13, Asia Tenggara memiliki kerajaan-kerajaan dan bahkan kekaisaran yang kuat dan berkuasa dan menjadi aktif dalam pengembangan arsitektur dan seni Buddha. Pengaruh utama Buddha berasal dari anakbenua India, sehingga negara-negara di sini menganut aliran Mahayana. Sri Wijaya di selatan dan kerajaan Khmer di utara saling berusaha menjadi yang paling berkuasa dan kesenian mereka mencermikan pantheon Bodhisattva Mahayana yang sangat kaya.

Kerajaan Sri Wijaya (abad ke-5–abad ke-15)

Sri Wijaya, sebuah negara maritim yang berpusat di Sumatra, memeluk aliran Mahayana dan Yajrayana. Sri Wijaya menyebarkan kedua alirannya ini ketika mereka berkuasa ke seantero Asia Tenggara. Banyak sekali patung-patung Bodhisattva Mahayana dari masa ini memiliki ciri khas kehalusan yang sangat kuat dan kecanggihan tekhnik yang unggul dan ditemukan di seantero Asia Tenggara.

Lalu di Jawa pada masa yang sama ditemukan peninggalan candi Borobudur (bangunan Buddha terbesar di seluruh dunia dan dibangun sekitar tahun 780 oleh dinasti Sailendra), yang memiliki 505 citra Buddha yang bersila. Kerajaan Buddha Sri Wijaya akhirnya binasa karena konflik dengan kaum Chola dari India selatan, Majapahit pada abad ke-14 sebelum hancur sama sekali karena pengaruh penyebaran Islam setelah masa ini.

Kerajaan Khmer (abad ke-9th–abad ke-13)

Berkas:AvalokiteshvaraSeated.jpg
Avalokiteshvara, masa Angkor (8021431), abad ke-10–abad ke-11

Kelak, dari abad ke-9 sampai abad ke-13, aliran Mahayana dan Kerajaan Khmer Hindu menguasai bagian terbesar semenanjung Asia Tenggara. Di bawah Khmer, lebih dari 900 candi dibangun di Kamboja dan di negara tetangga Thailand. Angkor di pusat perkembangan ini, dengan kompleks candi dan pengaturan perkotaan dapat menyangga sekitar satu juta orang penduduk perkotaan.

Seorang di antara raja Khmer yang istimewa, Jayavarman VII (11811219), membangun bangunan terbesar Buddha di Bayon dan Angkor Thom. Mengikuti hancurnya Buddhisme di India daratan selama abad ke-11, Mahayana ditolak di Asia Tenggara, diganti dengan Theravada dari Sri Langka.

Kelahiran kembali Theravada (abad ke-11 sampai sekarang)

Penyebaran aliran Buddha Theravada dari abad ke-11.

Mulai abad ke-11, hancurnya agama Buddha di anak benua India oleh serbuan Islam menyebabkan kemunduran aliran Mahayana di Asia Tenggara. Rute daratan lewat anak benua India menjadi bahaya, maka arah perjalanan laut langsung di antara Timur Tengah lewat Sri Lanka dan ke China terjadi, menyebabkan dipeluknya aliran Theravada Pali kanon, lalu diperkenalkan ke daerah sekitarnya sekitar abad ke-11 dari Sri Lanka.

Raja Anawrahta (10441077), pendiri sejarah kekaisaran Birma, mempersatukan negara dan memeluk aliran Theravada. Ini memulai membangun ribuan candi Budha Pagan, ibu kota, di antara abad ke-11 dan abad ke-13. Sekitar 2.000 di antaranya masih berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang Thai, dan dengan ditaklukannya ibu kota Pagan oleh orang Mongolia pada 1287, tetapi aliran Buddha Theravada masih merupakan kepercayaan utama rakyat Myanmar sampai hari ini.

Kepercayaan Theravada juga dipeluk oleh kerajaan etnik Thai Sukhothai sekitar 1260. Theravada lebih jauh menjadi kuat selama masa Ayutthaya (abad ke-14 sampai abad ke-18), menjadi bagian integral masyarakat Thai. Di daratan Asia Tenggara, Theravada terus menyebar ke Laos dan Kamboja pada abad ke-13.

Tetapi, mulai abad ke-14, di daerah-daerah ujung pesisir dan kepulauan Asia Tenggara, pengaruh Islam ternyata lebih kuat, mengembang ke dalam Malaysia, Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke selatan Filipina.

Lahirnya kembali agama Buddha di Indonesia pasca Orde Lama

Namun, sejak 1966 dengan naiknya Presiden Soeharto setelah peristiwa berdarah G-30-S PKI yang konon katanya didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada renaisans luar biasa agama Buddha di Indonesia. Ini sebagian disebabkan oleh syarat Pemerintahan Orde Baru Soeharto bahwa warga Indonesia harus mengambil satu di antara lima agama resmi: Islam, Protestan, Katholik, Hindu atau Buddha. Sekarang diperkaran ada 10 jutaan umat Buddha di Indonesia. Sebagian besar mereka adalah orang keturunan Tionghoa.

Penyebaran Agama Buddha di Dunia Barat

Setelah pertemuan Klasik antara agama Buddha dan Kebudayaan Barat menghasilkan Seni Buddha-Yunani, pertemuan pertama antara orang Eropa dan agama Buddha terjadi pada Abad Pertengahan ketika bruder Fransiskan Willem van Ruysbroeck dikirim sebagai duta ke istana Mongolia milik Monke oleh Raja Perancis Santo Louis pada tahun 1253. Kontak ini terjadi di Cailac (sekarang Qayaliq di Kazakhstan), dan Willem pertama-tama mengira bahwa mereka adalah orang Kristen yang sudah mutakhir dan canggih (Foltz, "Religions of the Silk Road").

Namun ketertarikan utama bagi agama Buddha muncul selama jaman kolonial, ketika kekuasaan Barat berada di posisi untuk menyaksikan kepercayaan dan manifestasi artistiknya secara terperinci. Filsafat Eropa dengan kuat dipengaruhi oleh penelitian agama Timur saat itu.

Dibukanya Jepang untuk orang asing pada tahun 1853 juga membuat minat untuk meneliti sastra dan kebudayaan Jepang berkembang, dan merupakan akses yang sangat baik kepada salah satu kebudayaan Buddha yang terbesar di dunia.

Agama Buddha mulai menikmati minat kuat dari penduduk umum di belahan barat dunia selama abad ke-20, mengikuti kegagalan utopia sosial yang terlihat, dari Fasisme ke Marxisme. Sesudah Perang Dunia II, fokus kemajuan cenderung bergeser ke perkembangan pribadi, baik pada sisi rohani maupun jasmani.

Dalam konteks ini, agama Buddha sudah menunjukkan daya tarik kuat, karena toleransinya, ketiadaan konsep autoritas Ketuhanan dan determinisme, dan fokusnya terhadap perkembangan jalan-jalan pribadi menuju penerangan (dan keselamatan).

Lihat pula: Buddhisme di Dunia Barat, Agama Buddha di Amerika

Referensi

  • (Inggris) "Dictionary of Buddhism" by Damien Keown (Oxford University Press, 2003) ISBN 0198605609
  • (Inggris) "The Diffusion of Classical Art in Antiquity" by John Boardman (Princeton University Press, 1994) ISBN 0691036802
  • (Inggris) "Living Zen" by Robert Linssen (Grove Press, New York, 1958) ISBN 0802131360
  • (Inggris) "National Museum Arts asiatiques- Guimet" (Editions de la Reunion des Musées Nationaux, Paris, 2001) ISBN 2711838978.
  • (Inggris) "Religions of the Silk Road" by Richard Foltz (St. Martin’s Griffin, New York, 1999) ISBN 0312233388
  • (Inggris) "The Shape of Ancient Thought. Comparative studies in Greek and Indian Philosophies" by Thomas McEvilley (Allworth Press, New York, 2002) ISBN 1581152035
  • (Inggris) "The Times Atlas of Archeology" (Times Books Limited, London, 1991) ISBN 0723003068
  • (Inggris) "Japanese Buddhism" by Sir Charles Eliot, ISBN 0710309678
  • (Inggris) "Hinduism and Buddhism: An Historical Sketch" by Sir Charles Eliot, ISBN 8121510937