Lompat ke isi

Wali Negara Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Wali Negara

Istilah Wali Negara dalam konteks sejarah Aceh lebih jelas jika dipahamkan kedalam bahasa Inggris yaitu Head of state untuk 'Wali Negara' dan Guardian untuk 'Wali Nanggroe'. Contoh lainnya, kata “Wali Negara” dan “Wali Nanggroe” hampir sama kata namun berbeda maknanya, seperti kata Country dan County dalam bahasa Inggris.[1]

Kata “Wali Nanggroe” dengan kata “Wali Negara” adalah berbeda maknanya. Sebutan “Wali Nanggroe” tidak lepas dari konteks sejarah Aceh, sehingga kata “Nanggroe” bukan bahasa Aceh terjemahan yang tepat untuk “Negara”, karena kata “Negara” bahasa Acehnya adalah “Neugara”, sedangkan kata “Negeri” dalam bahasa Aceh adalah “Nanggroe[2]

Sejarah Wali Negara

Dalam Undang-undang Kerajaan Aceh (Qanun Meukuta Alam Al-Asyi) disebutkan kekuasaan Sultan sederajat dengan Malikkul Adil dan Ketua Reusam. Kekuasaan tertinggi ada pada Majelis Parlemen. Majelis inilah yang memberikan hak dan kewajiban serta berkuasa penuh atas adat dan undang-undang. Oleh karena itu, tatkala pada 25 Januari 1874 mangkat Sultan Mahmud Syah, maka yang tinggal adalah Malikul Adil Teungku Imum Lueng Bata dan Ketua adat Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.

Saat perang sedang berkecamuk di Bandar Aceh, maka seluruh anggota parlemen, ketua adat, Sultan sementara (karena ketika itu Sultan Muhammad Daud Syah baru berumur 11 tahun), Malikul Adil hijrah ke negeri Pedir (Pidie), sebagai bagian dari strategi perang. Setelah tiga hari perjalanan, pada 28 Januari 1874 sampailah di Keumala, negeri Pedir dan parlemen langsung menarik semua kekuasaan adat, undang-undang ke hadapan parlemen. Anggota parlemen pada saat itu adalah Tuanku Raja Keumala, Tuanku Banta Hasyem, dan Teuku Panglima Polem, serta Teungku Tjhik di Tanoh Abee Syeh Abdulwahab. Pada saat itu Tuanku Raja Keumala di hadapan Majelis bertitah memberikan kekuasaan Kerajaan Aceh kepada Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman pada 28 Januari 1874.

Sejak saat itulah secara legitimasi sahlah Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman selaku penanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai Mudabbirul Muluk atau Wali Negara Aceh Pertama. Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman memimpin negara Aceh selama 17 tahun dan beliau syahid pada 21 Januari 1891. Kemudian kekuasaan dan perjuangan negara Aceh dilanjutkan oleh anak lelakinya yang tua, Teungku Muhammad Amin Bin Muhammad Saman yang syahid pada 1896, disusul Teungku Abdussalam Bin Muhammad Saman Tiro (syahid 1898), Teungku Sulaiman Bin Muhammad Saman Tiro (syahid 1902), Teungku Ubaidillah Bin Muhammad Saman Tiro (syahid 1905), Teungku Mahyiddin Bin Muhammad Saman Tiro (syahid 1910), dan Teungku Mu’az Bin Muhammad Amin Tiro (syahid 3 Desember 1911).

Perjuangan bangsa Aceh berlanjut sampai dengan Hindia Belanda terusir dari bumi Aceh tanpa berhasil menaklukan Aceh. Kemudian setelah 65 tahun (terhitung dari syahid Teungku Mu’az 3 Desember 1911) perjuangan mengalami kevakuman, maka tepat pada 4 Desember 1976, Tengku Hasan di Tiro mengumumkan kembali kemerdekaan Aceh sebagai perjuangan lanjutan Successor of State kerajaan Aceh dulu. Dari fakta sejarah, bahwa Wali Negara dimulai dari penunjukan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman sebagai penanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai Mudabbirul Muluk atau Wali Negara Aceh yang sah pada 28 Januari 1874.[3]

Sebutan Wali Negara juga pernah dialami oleh Teungku Daud Beureueh saat mendirikan gerakan Darul Islam Aceh, yang berlanjut pada pendirian Republik Islam Aceh (RIA), namun suksesi Wali Negara setelah beliau almarhum tidak berlanjut. Hampir sama kejadiannya, sejak Tengku Hasan di Tiro wafat, belum ada seorang pun, baik yang berasal dari keturunan keluarga di Tiro maupun bukan, yang mengklaim dirinya sebagai pengganti Wali Negara. Dalam buku 'Acheh - New Birth of Feedom' karya Tengku Hasan di Tiro yang diterbitkan oleh [[parlemen Inggris] House of Lords, 1 Mei, 1992, dalam appendix II, nama Tengku Hasan di Tiro termaktub sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke-41 yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada Tengku Hasan di Tiro (1976-2010).[4]

Gelar Wali Negara sifatnya sementara, sampai Aceh bebas (bibeueh) dari cengkeraman jajahan bangsa lain. Bila kelak sudah merdeka dan berdaulat, maka yang bersangkutan akan menyerahkan urusan kenegaraan Aceh kepada rakyatnya sendiri.[5]

Tanggapan Masyarakat

Dalam dinamika politik, informasi yang diulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari meskipun keliru akan menjadi sebuah kebenaran, meskipun ditoreh sebagai bagian dalam sejarah. [6] Sejauh ini ada upaya penyimpangan sejarah yang dilakukan oleh beberapa pihak atas dasar kepentingan politik. Hendak menyamakan Wali Negara yang dulu dengan Wali Nanggroe sekarang, para pihak harus meminta izin kepada keluarga sultan yang dulu memberi mandat kepada wali-wali sebelumnya dalam istilah mewakili sebuah entitas bangsa. Dengan tidak adanya pertautan sejarah dengan masa lampau, maka jabatan Wali Nanggroe yang sekarang seharusnya disebut Wali Nanggroe ke-1 (satu). Bukan Wali Nanggroe ke-9 (sembilan). Sebab ini bukan Wali untuk kedaulatan bangsa Aceh. Jadi tidak ada hubungan antara Wali Negara dengan Wali Nanggroe pasca MoU Helsinki lahir yang kedudukan Aceh masih di bawah Indonesia.[7]


Daftar Wali Negara

Daftar Wali Negara sebagai berikut:

  1. Muhammad Saman Tiro
  2. Muhammad Amin Saman Tiro
  3. Abdussalam Saman Tiro
  4. Sulaiman Saman Tiro
  5. Ubaidillah Saman Tiro
  6. Mahjuddin Saman Tiro
  7. Muaz Amin Tiro
  8. Hasan Muhammad di Tiro

Referensi

  1. ^ "Wali Negara atau Wali Nanggroe?". Asnawi Ali. Serambi Indonesia. Diakses tanggal 04/12/2012. 
  2. ^ (Kamus Indonesia-Aceh, oleh M Hasan Basri, hlm 626, Yayasan Cakra Daru 1994).
  3. ^ "Meluruskan Sejarah Wali Nanggroe Aceh". Munawar A. Djalil. Serambi Indonesia. Diakses tanggal 19/11/2012. 
  4. ^ "Wali Negara atau Wali Nanggroe?". Asnawi Ali. Serambi Indonesia. Diakses tanggal 04/12/2012. 
  5. ^ "Wali Nanggroe Bukan Wali Neugara". Fauzi Cut Syam. AceHTrend. Diakses tanggal 27/03/2016. 
  6. ^ "Wali Negara atau Wali Nanggroe?". Asnawi Ali. Serambi Indonesia. Diakses tanggal 04/12/2012. 
  7. ^ "Wali Nanggroe Bukan Wali Neugara". Fauzi Cut Syam. AceHTrend. Diakses tanggal 27/03/2016.