Lompat ke isi

Hosti

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hosti (bahasa Latin: hostia, bahasa Belanda: hostie), yang juga disebut Roti Sakramen, Roti Altar, Roti Komuni, atau Anak Domba (bahasa Yunani: άμνος, amnos), adalah roti atau wafer yang digunakan dalam ritual Ekaristi agama Kristen. Baik tradisi Gereja Timur maupun tradisi Gereja Barat mewajibkan agar hosti diolah dari gandum.

Menurut teologi Katolik Roma, roti ini berubah menjadi Tubuh Kristus pada saat pendarasan kisah institusi (lihat transubstansiasi), sementara menurut teologi Kristen Timur, perubahan tersebut terjadi pada saat epiklesis. Sejumlah kalangan Protestan percaya bahwa transignifikasi berlangsung pada saat pendarasan kisah institusi.

Etimologi

Kata "hosti" dalam bahasa Indonesia[1] yang diserap dari bahasa Belanda, "hostie", berasal dari kata "hostia" dalam bahasa Latin yang berarti "kurban". Kata ini dijadikan sebutan bagi roti yang digunakan dalam perayaan Ekaristi, baik yang belum maupun yang sudah dikonsekrasi, namun sebenarnya lebih tepat bagi roti yang sudah dikonsekrasi. Sebelum dikonsekrasi, roti ini lebih tepat disebut "roti altar". Menurut teologi Kristen, kurban Yesus Kristus mengakhiri kebutuhan akan kurban hewan yang lazim dipersembahkan di Kenisah Yerusalem, dan segala macam kurban darah, sekali untuk selama-lamanya. Meskipun demikian, kata "hosti" tetap dipertahankan sebagai sebutan bagi roti Ekaristi selaku representasi liturgis dari kurban Kristus.

Tradisi Gereja Timur

Anak Domba dan potongan-potongannya diletakkan di diskos sewaktu pelaksanaan Liturgi Persiapan untuk perayaan Liturgi Ilahi

Kecuali Gereja-Gereja Ritus Armenia, Gereja-Gereja Ortodoks dan [[Ritus Timur|Gereja-Gereja Katolik Timur menggunakan roti beragi dalam perayaan Ekaristi. Roti sakramen yang beragi melambangkan Kristus yang telah bangkit. Hosti atau roti sakramen dalam Gereja-Gereja Timur dikenal dengan sebutan prosforon [[{{lang-el|πρόσφορον]], yang berarti "persembahan". Prosforon diolah dari empat bahan saja: tepung gandum putih, air bersih, ragi, dan garam. Kadang-kadang air suci dipercikkan ke atas adonan yang sudah atau sedang diuleni.

Ritus Armenia

Karena ragi adalah lambang dosa, Gereja Katolik Armenia dan Gereja Apostolik Armenia secara tradisional menggunakan roti tak beragi (wujudnya berbeda dari roti tak beragi yang digunakan Gereja Katolik Roma) sebagai lambang Kristus yang tak berdosa.

Gereja-Gereja Ortodoks Timur

Pemanggangan roti Ekaristi hanya boleh dilakukan oleh seorang pemeluk agama Kristen Ortodoks yang berkelakuan baik, sesudah melakukan pengakuan dosa, dan sambil berdoa dan berpuasa. Sebelum dipanggang, dua bungkah adonan ditumpuk, satu di atas yang lain, kemudian ditera dengan tera liturgi khusus. Prosforon harus masih baru, belum kering atau berjamur, pada saat disajikan di atas altar dalam perayaan Liturgi Ilahi. Seringkali ada beberapa ketul prosforon yang dipanggang dan dipersembahkan oleh umat. Imam memilih prosforon terbaik untuk dikonsekrasi menjadi anak domba (hosti). Prosforon selebihnya akan diberkati dan dibagi-bagikan kepada umat seusai perayaan Liturgi Ilahi (Ekaristi). Roti yang diberkati dan dibagi-bagikan ini disebut antidoron (bahasa Yunani: αντίδωρον, antídōron), yakni "persembahan kembalian" atau "sulih persembahan".

Gereja-Gereja Katolik Timur

Sama seperti Gereja Ortodoks Timur, Gereja-Gereja Katolik Timur Ritus Bizantin menggunakan roti beragi sebagai prosforon.

Gereja Suriah Malabar dan Gereja Maronit telah mengadopsi penggunaan roti tak beragi sebagai akibat dari latinisasi liturgi.

Tradisi Gereja Barat

Gereja Katolik Roma

cetakan-cetakan untuk memanggang hosti
detail cetakan untuk memanggang hosti
alat-alat pembuatan hosti

Dalam Gereja Katolik Roma, pembuatan hosti biasanya dikerjakan oleh para biarawati sebagai salah satu sumber penghasilan mereka. Hosti diharuskan diolah dari tepung gandum dan air saja (Kitab Hukum Kanonik, Kanon 924). Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa pada saat kalimat konsekrasi diucapkan, roti tersebut berubah menjadi Tubuh Kristus melalui transubstansiasi.

Petunjuk Umum Misa Romawi, 321 merekomendasikan "agar roti ekaristi ... dibuat sedemikian rupa sehingga imam, dalam misa yang dihadiri oleh umat, dapat dengan mudah memecah-mecahkannya menjadi potongan-potongan untuk didistribusikan sekurang-kurangnya kepada beberapa umat beriman. ... Tindakan pemecahan roti, yang menjadi nama perayaan Ekaristi pada zaman apostolik, akan memperlihatkan dengan lebih jelas kekuatan dan makna mendalam dari tanda kesatuan semua orang dalam satu roti, dan dari tanda amal-kasih oleh karena roti yang satu itu dibagi-bagikan antar saudara-saudari."

Gereja Roma, pada puncak kejayaannya, sungguh-sungguh cermat dalam segala hal yang berhubungan dengan roti sakramental. Menurut Steevens, dalam bukunya Monasticon, pertama-tama orang mimilih gandum, biji demi biji, lalu mencucinya dengan sangat berhati-hati. Kemudian biji-bijian tersebut, dibawa dalam sebuah kantong ke tempat penggilingan oleh seorang pelayan, yang dikenal sebagai orang baik-baik dan yang khusus ditunjuk untuk mengerjakan hal tersebut. Pelayan itu menggiling biji-biji gandum tadi dengan batu penggilingan, setelah menutupi baik bagian atas maupun bawahnya dengan tabir-tabir; dan dia sendiri telah mengenakan selembar alba serta menutupi seluruh wajahnya kecuali di bagian mata dengan selembar kerudung. Pengolahan rotinya juga dilakukan dengan cermat. Adonan tidak dipanggang sebelum dibasuh terlebih dahulu; pejabat gereja, jika dia seorang imam atau diakon, merampungkan pekerjaan itu dengan bantuan dua rohaniwan, yang berasal dari ordo yang sama, serta seorang bruder, yang khusus ditunjuk untuk melakukan tugas tersebut. Seusai matin (sembahyang subuh), keempat rahib tersebut membasuh wajah dan tangan mereka. Tiga di antaranya mengenakan alba; salah satu dari mereka membasuh adonan dengan air bersih yang murni, lalu yang lain memanggangnya dalam panggangan dari besi. Begitu besar pengabdian dan hormat, kata sejarawan tersebut, yang diberikan para rahib Cluni kepada Ekaristi! Bahkan sekarang ini pun, di daerah itu, tukang roti yang mempersiapkan wafer sakramental tersebut, harus mendapatkan penunjukan dan izin pembuatan dari uskup Katolik setempat.

Lihat pula

Keterangan

Kepustakaan

  • Tony Begonja, Eucharistic Bread-Baking As Ministry, San Jose: Resource Publications, 1991, ISBN 0-89390-200-4.

Pranala luar