Wot Batu
Tentang Wot Batu
Wot Batu[1] adalah sebuah konfigurasi energi yang hadir dari perjalanan spiritualitas dan transendental Sunaryo. Dalam ruang terbuka seluas ±2000 m2 dengan rangkaian 135 +1, batu-batu ditanam dan ditata secara konseptual dan harmoni. Sunaryo menarik garis dari pegunungan di sekitar Bandung, dan dari garis itu dibawanya batu-batu vulkanik sebagai medium mahakarya yang tak lekang oleh waktu. Setiap pahatan, tatahan, dan pecahan bukanlah hasil dari usaha untuk mengubah batu, namun untuk menorehkan catatan untuk sebuah peradaban – warisan dari abad ke-21 untuk masa yang akan datang.
Sunaryo menciptakan Wot Batu sebagai ‘jembatan spiritual’: penyeimbang antara jiwa manusia dengan wujud ragawi kehidupan, sebagai penghubung di antara empat elemen alam. Dalam Wot Batu, tanah, api, air dan angin berbicara satu sama lain dalam harmoni. Wot Batu menyampaikan gagasan tentang ruang dan waktu – sebuah penyadaran tentang eksistensi manusia dalam dimensi alam yang tak berbatas.
Sejarah
Wot Batu adalah sebuah karya instalasi yang dibuat oleh seniman Sunaryo. Diresmikan pada 2015, dibuka bagi publik pada 2016. Terletak di Jl. Bukit Pakar Timur No.98[2], Ciburial, Cimenyan, Bandung, Jawa Barat 40198
Sunaryo
Sunaryo lahir di Banyumas, 15 Mei 1943. Setelah lulus dari Studio Seni Patung, Departemen Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB, Bandung. Setelah itu Sunaryo mengajar di almameternya hingga 2008. Ia memulai karirnya sebagai seniman pada akhir dasawarsa 60an. Pada 1975 Sunaryo meneruskan studinya di Carrara, Italia, untuk mendalami teknik pahat marmer.
Pengakuan terhadap kapasitas artistik Sunaryo terlihat ketika ia beberapa kali ditunjuk sebagai direktur artistik untuk kegiatan-kegiatan besar, misalnya untuk paviliun Indonesia di forum World Expo1985 di Tsukuba, Jepang dan 1986 di Vancouver, Kanada. Karya-karya Sunaryo juga berwujud monumen urban yang berdiri di beberapa kota di Indonesia, antara lain Monumen Bandung Lautan Api (Bandung), Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Bandung), Patung Soekarno-Hatta di Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Jakarta) dan Patung Jenderal Sudirman (Jakarta).
Secara umum, karya-karya Sunaryo mengungkapkan perenungan mendalam tentang hubungan manusia dengan alam. Karya-karyanya yang berangkat dari pengamatan atas fenomena kerusakan lingkungan seringkali mengandung komentar maupun kritik atas ambisi antroposentris sekaligus ketakberdayaan manusia dalam menghadapi derasnya perubahan-perubahan akibat modernitas. Sunaryo sangat menghargai kearifan tradisi dan banyak mengambil pelajaran dari sifat-sifat alam, yang seringkali tercermin pada pemilihan maupun penggunaan material-material, terutama, batu, kayu, bambu hingga air, dalam wujud yang beragam.
Sepanjang karirnya ia telah memperoleh berbagai penghargaan dalam berbagai kompetisi seni di dalam maupun luar negeri, di antaranya “Lukisan Terbaik” dalam Lomba lukis “The Philip Morris Group of Companies Indonesian Art Awards (1994)” dan “Honourable Mention” dalam The Philip Morris Group of Companies Asean Art Awards (1995). Atas dedikasinya dalam dunia kesenian Sunaryo memperoleh beberapa penghargaan antara lain “Life Achievement Awards” dari Art Stage Jakarta (2017); “Chevalier dans l’ordre des arts et lettres” dari Republik Perancis (2017), “Lifetime Achievement Award” dari Yayasan Biennale Jogja (2017) dan Penghargaan dari Akademi Jakarta (2017).
Kesetiaan dan pengabdian Sunaryo untuk dunia seni rupa di Indonesia terlihat sangat nyata pada eksistensi Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), sebuah ruang untuk kegiatan-kegiatan seni budaya yang ia telah dirikan dan kelola sejak 1998. Menampung berbagai kegiatan seni budaya (seni rupa, musik, teater, film, sastra, arsitektur, dan lain-lain), SSAS adalah institusi non-profit yang mengemban misi menjalankan edukasi untuk publik secara luas. Sejak awal pendiriannya SSAS berkonsentrasi pada seni rupa kontemporer yang menonjolkan spirit eksperimentasi dan kebaruan yang relevan dengan perkembangan global.
Pada 2015 Sunaryo menyelesaikan proyek artistik terbesar, dan mungkin terpenting, sepanjang hidupnya yang disebut Wot Batu. Proyek ini dapat dilihat secara parsial sebagai instalasi besar yang terdiri dari sejumlah ‘patung’ dan elemen spasial lain yang mengandung narasi dan simbol-simbol. Dalam Wot Batu, puluhan batu vulkanik berukuran besar ditata, ditatah, dipotong, digerinda, dipahat, dikawinkan dengan lempeng dan bilah-bilah besi, aliran air, kobaran api, angin, pohon, rumput, perdu dan dinding-dinding beton – tak ketinggalan, proyeksi gambar bergerak dan bunyi-bunyian digital—semuanya membentuk konstelasi simbol dan makna spiritual dan transendental. Sunaryo membuka Wot baru untuk publik yang ingin menikmati instalasi seni sebagai ‘situs’ untuk perenungan dan kontemplasi.[3]
Kunjungan
Wot Batu memfasilitasi kunjungan dengan ketentuan harga tiket masuk sebagai berikut:
Regular IDR 50.000 / Orang
Kunjungan Grup (>15 Orang) Rp 30,000,- / Orang
Pelajar dan Mahasiswa Rp 30,000,- / Orang*
Seniman dan Akademisi Rp 30,000,- / Orang*
Anak di bawah 12 Tahun Rp 30,000,- / Orang*
Penduduk Lanjut Usia di atas 70 Tahun Gratis*
*Dengan menyertai kartu identitas[4]
Jadwal Buka
Setiap Selasa - Minggu
Pukul 10.00 – 18.00 WIB
Tutup setiap Senin dan Hari Libur Nasional.
Referensi
- ^ "WOT BATU | Sunaryo's Stone Bridge: a Passage through Wood, Water, Wind ans Stone". wotbatu.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-12-02.
- ^ "Wot Batu". Wot Batu. Diakses tanggal 2018-12-02.
- ^ "Selasar Sunaryo Art Space – Contemporary Art Space". www.selasarsunaryo.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-12-02.
- ^ "Wot Batu (@wotbatu) • Foto dan video Instagram". www.instagram.com. Diakses tanggal 2018-12-02.