Temu Mesti
Temu Mesti adalah seorang tokoh kesenian gandrung yang berasal dari Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Dirinya identik dengan kesenian gandrung dan dianggap sebagai seorang maestro gandrung.[1] Kemampuannya dalam menari, nembang, dan menyampaikan wangsalan atau cangkriman (teka-teki), yang ditambah dengan ciri khas suaranya yang unik, yaitu melengking tinggi dengan gaya khas masyarakat suku Using, telah berhasil membuatnya menghiasi beberapa isi VCD maupun DVD. Pada masa awal perkembangan rekaman kaset, suara dari Temu Mesti termasuk dari bagian awal yang menghiasi pita rekaman. Temu mendedikasikan dirinya kepada seni gandrung dengan terus melaksanakan aktivitas yang terkait dengan kesenian tersebut, yaitu: membuat pagelaran dan melatih para calon gandrung. Bagi dirinya, gandrung merupakan ladang penghidupan sekaligus sarana untuk mengekspresikan dirinya.[2] Beberapa penghargaan di tingkat lokal maupun nasional pernah diraih oleh perempuan yang tidak tamat Sekolah Dasar tersebut. Dia berhasil menampilkan kesenian gandrung dari panggung hajatan warga hingga salah satu acara misi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki serta di acara bookfair yang diadakan di Frankfrut, Jerman pada tanggal 28-30 Agustus 2015.[3] Untuk melestarikan dan mewariskan kesenian ini, Temu mendirikan sebuah sanggar yang dinamakan dengan "Sopo Ngiro", yang berarti "siapa mengira" atau "siapa sangka".[4] Temu sendiri juga tidak menyangka bahwa ungkapan tersebut benar-benar terwujud dalam kehidupannya karena dia menjadi gandrung sepanjang hidupnya.[5]
Biografi
Temu Mesti lahir pada tanggal 20 April 1953[6] di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi yang berjarak sekitar + 15 menit dari pusat kota Banyuwangi.[7] Desa yang menjadi tempat tinggalnya merupakan sebuah desa yang kental dengan nuansa dan tradisi masyarakat suku Using.[8] Selain dirinya, ada tiga orang penari gandrung lain yang ada di Desa Kemiren, yaitu: Suidah, Temin, dan Mudaidah.[9] Ayah dari Temu Mesti bernama Mustari, sedangkan ibunya bernama Supiah.[1][5] Dia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dengan nama Misti. Kakak laki-lakinya bernama Slamet, sedangkan adik perempuannya bernama Musriah.[2] Keduanya meninggal ketika masih kecil. Dalam bahasa bahasa Using, nama misti disebut dengan kluwung gapit, yang berarti "diapit oleh kakak dan adik".[10] Di sisi lain, adiknya yang bernama Musriah lahir ketika Misti masih disusui. Hal tersebut dalam bahasa Using disebut dengan kedhidhilen (bahasa Jawa: kesundhulan).[2]
Informasi tentang silsilah nenek moyang Temu tidak banyak, itupun hanya berasal dari pihak ayah yang hanya sampai pada kakeknya yang bernama Samin. Kakeknya itu menikah dengan perempuan yang berasal dari Cungking, Glagah, Banyuwangi bernama Miasih. Pasangan Samin-Miasih dikaruniai enam orang anak, yaitu: Atidjah, Mustari, Yahwi, Yahyo, Raziz, dan Marwah. Garis keturunan dari pihak ibu tidak dikenal oleh Temu. Dia hanya mengenal seorang pamannya dari pihak ibunya, yang biasa dipanggil dengan sebutan Ahmad Jonggrang (tinggi). Hal ini disebabkan karena sejak masih bayi dia tidak tinggal dengan kedua orang tuanya. Di sisi lain, kedua orang tuanya juga bercerai ketika Temu masih kecil.[11] Keduanya kemudian memiliki rumah tangga masing-masing karena mereka lantas menikah lagi.
Darah seni Temu mengalir dari ayahnya yang merupakan pemain ludruk dan biasa membawakan lagu Jula-Juli (sering disebut kidungan ludruk).[12] Dalam satu lakon ludruk dikenal ada empat macam kidung, yaitu: kidungan tari ngrema, kidungan lawak, kidungan bedhayan, dan kidungan adegan.[13] Selain itu, darah seni juga dimiliki oleh kakeknya yang merupakan seorang ustad yang mengusai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu syariat (dalam pengertian ini adalah semacam ahli pengasihan dan mantra-mantra).[14] Kakek Temu adalah seorang yang ahli dalam seni tradisi mocoan lontar.[1][2] Seni yang dominan dalam mocoan lontar ini adalah seni suara dalam melafalkan lontar yang dibacanya.
Masa Kecil
Sejak berumur tujuh bulan, Misti (nama kecil Temu) sudah harus berhenti menyusui dan diasuh oleh bibinya yang tidak dikaruniai keturunan bernama Atidjah karena ibunya telah mengandung anak ketiganya (Musriah).[7] Masa kecil Misti dihabiskan bersama Atidjah dan Buang (pamannya/suami Atidjah) yang dianggap sebagai ayah dan ibu kandungnya sendiri. Ketika berada di bawah asuhan mereka, Misti sering sakit-sakitan, sedangkan pada tahun 1950-1960-an di Desa Kemiren dan sekitarnya belum terdapat tenaga medis, yang ada hanyalah dukun.[7] Dukun di Banyuwangi saat itu mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat karena mereka dianggap memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan orang lain,[15] bahkan sampai saat ini pengobatan ke dukun pun masih sering dilakukan oleh masyarakat Banyuwangi.[16]
Tatkala sakit dan tidak kunjung sembuh itulah Misti dibawa oleh Atidjah dan Buang ke dukun yang sering disebut dengan panggilan Mbah Kar. Di tempat itulah dia dipijat dan disuruh untuk meminum air putih yang telah dijampi oleh Mbah Kar. Setelah dari rumah Mbah Kar, Misti dibawa ke rumah juragan gandrung bernama Mbah Ti'ah yang berada di daerah Pancoran. Di situlah Misti makan dengan sangat lahap dan mendapatkan kesembuhan. Kesembuhan Misti itu menurut istilah dari Mbah Ti'ah adalah nemu nyawa (mendapatkan kehidupan lagi setelah sakit parah). Juragan gandrung itulah yang juga mengusulkan agar Misti kecil menjadi seorang penari gandrung dan namanya juga diubah karena telah sembuh dari sakit.[1][4] Pergantian nama tersebut merupakan suatu kebiasaan masyarakat desa apabila seorang anak memiliki perilaku aneh atau terkena sakit parah. Dari istilah nemu tersebut, namanya kemudian berubah menjadi "temu".[17] Hal itulah yang membuat dirinya sampai sekarang dikenal dengan nama Temu, dan karena keahlian Temu dalam seni gandrung dia juga dikenal dengan julukan "Gandrung Temu" (masyarakat suku Using menyebutnya dengan nama Gandrung Temuk atau Mak Muk).
Sang pemilik nama sendiri tidak mempermasalahkan namanya ditulis dengan nama Temu, Temuk, Temu Misti, atau Temu Mesti. Temu sendiri mengeja nama "Misti" dengan vokal "e" pada huruf "i" yang berada di depan (dengan penekanan atau intonasi), sehingga menjadi Temu Mesti. Nama tersebut menurut dirinya akan memiliki makna baru, yaitu: "selalu Temu".[5]
Orang tua angkat Temu merupakan seorang petani, sehingga sejak kecil dirinya diajak dan diajari mengerjakan pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian, seperti menanam dan menumbuk padi. Hari-harinya diisi dengan membantu orang tua angkatnya mencari nafkah. Temu sering membantu Atidjah menjadi buruh nutu (menumbuk padi milik tetangga), sedangkan di sela-sela pekerjaan membantu kedua orang tua angkatnya dia juga mendapatkan pendidikan agama dari sang kakek ataupun mengaji di Langgar Kedaleman.[18]
Pendidikan
Temu hanya menjalani masa sekolah selama lima tahun (sampai kelas lima) di Sekolah Rakyat (sekarang disebut dengan Sekolah Dasar Kemiren). Jarak dari tempat tinggal Temu ke sekolahnya + 1 kilometer. Bersama dengan teman-teman seusianya, Temu berjalan kaki ke sekolah. Dia tidak menamatkan sekolahnya karena pada waktu itu sedang terjadi Peristiwa Gestapu 1965 dan salah seorang gurunya dijemput oleh pasukan Gagak Hitam yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga sekolahnya terpaksa harus diliburkan. Setelah kondisi keamanan pulih, anak-anak kembali bersekolah, namun Temu tetap tidak mau kembali sekolah. Hal itu disebabkan karena dirinya jatuh sakit sampai rambutnya rontok. Ayah dan ibu angkatnya sudah membujuknya agar bersekolah lagi, tetapi Temu tetap tidak mau melanjutkan sekolahnya.[19]
Rumah Tangga
Selama masa hidupnya, Temu menikah sebanyak tiga kali. Pernikahan yang pertama dilakukannya pada tahun 1972 dengan seorang laki-laki yang berasal dari Oleh Sari bernama Sutjipto. Ayah Sutjipto merupakan seorang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah menikah, keduanya tidak langsung tinggal di Oleh Sari, melainkan harus melaksanakan ritual surup (ritual pernikahan dalam adat Using yang masih dipegang kuat oleh masyarakat Kemiren berupa arak-arakan keliling desa) terlebih dahulu. Ketika telah menjadi istri Sutjipto, Temu berhenti menjadi gandrung dan mereka hidup dengan bertani. Temu hanya menghabiskan kontrak yang telah disepakati. Sikap itu menunjukkan jiwa profesionalnya sebagai seorang pekerja seni yang memiliki dedikasi terhadap pekerjaannya.[2]
Pernikahannya dengan Sutjipto tidak bertahan lama karena pada tahun 1975 keduanya memutuskan bercerai. Setelah berpisah dari Sutjipto, Temu kembali ke Kedaleman, Kemiren dan kiprahnya sebagai gandrung kembali berkibar. Berbagai tanggapan sebagai gandrung banyak diterimanya, sehingga dalam sebulan dia bisa mendapatkan 20-25 kali jadwal pentas dari jam sembilan malam hingga jam empat pagi.[7] Uang hasil pentas tersebut dipakainya untuk membeli perhiasan, membangun rumah, dan membeli peralatan rumah tangga.
Dua tahun menjanda, Temu kembali mendapatkan tambatan hati. Kali ini dia menikah dengan seorang laki-laki bernama Ridwan. Ridwan sendiri merupakan seorang duda yang berasal dari Jelun, Glagah dan memiliki dua orang anak (laki-laki dan perempuan). Pernikahan kedua itu juga tidak harmonis karena suaminya berselingkuh dengan tetangga mereka. Temu berusaha mempertahankan pernikahan itu untuk menjaga image gandrung agar tidak dicap bahwa perempuan yang menjadi gandrung itu tidak memiliki moral, namun dia tetap gagal mempertahankan pernikahannya.[2] Mantan suaminya itu saat ini bekerja di Arab Saudi.
Setelah perceraiannya yang kedua, Temu sempat memutuskan untuk sendiri, namun setelah cukup lama menjanda dia memutuskan menikah lagi untuk ketiga kalinya pada tahun 2014. Dari ketiga kali pernikahannya itu, Temu tidak dianugerahi anak. Dia hanya mengangkat keponakannya sebagai anak sejak masih kecil. Anak tersebut dinamakan Ryan Wibowo.[2]
Proses Seni Temu Mesti
Pada awalnya, orang tua angkat Temu maupun orang tua kandungnya keberatan kalau temu menjadi gandrung, namun mereka akhirnya mengizinkan Temu menjadi gandrung. Atidjah sendiri bahkan bertindak sebagai periasnya, sedangkan Mustari (ayah kandungnya) membuatkannya omprok (mahkota) yang berasal dari kertas bekas pembungkus semen. Temu pertama kali naik pentas sebagai seorang gandrung pada tahun 1968. Pentas tersebut dilakukan di daerah Gadok, tidak jauh dari Kemiren.[20]
Dalam tata cara menjadi gandrung, ada sebuah ritual yang dilakukan oleh gandrung ketika telah tiba waktunya untuk pentas di depan umum. Ritual tersebut dikenal dengan nama meras (wisuda) menjadi gandrung. Orang yang meras Temu adalah juragan Aluwi. Temu sendiri bergabung dalam rombongan gandrung juragan Aluwi di Jambesari. Sejak saat itulah gandrung akhirnya menjadi profesi yang dijalani oleh Temu sampai saat ini. Apabila ada seseorang yang menyebut gandrung, maka nama Temu akan selalu dihubungkan pada kesenian tersebut.[2]
Temu dianugerahi suara “emas” yang melengking tinggi dan tidak dimiliki oleh para gandrung lain. Selain menari, dia biasa menjadi sinden gandrung dalam setiap pagelaran. Dia juga satu-satunya orang yang mampu mengkolaborasikan suara gending gandrung dengan lagu Banyuwangi modern. Para peneliti menyebutkan bahwa suara gandrung Temu adalah sebuah eksotisme Timur.[3] Suara emas gandrung Temu Misti pada tahun 1980-an pernah direkam oleh Smithsonian Folkways yang berasal dari Amerika Serikat dan album Song Before Dawn yang berisi suara gandrung Temu pada tahun 1991.[4]
Temu Mesti dan Sanggar Sopo Ngiro
Temu mendedikasikan gandrung tidak hanya melalui panggung ke panggung saja. Sejak tahun 2008, Temu mendirikan sanggar seni gandrung yang menyatu dengan rumah tempat tinggalnya di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Sanggar tersebut menjadi ajang pewarisan ilmu dan kemampuan untuk menjadi gandrung yang dinamakan dengan “Sopo Ngiro” (bahasa Indonesia: siapa mengira atau siapa sangka).[3] Nama itu menurut Temu memiliki makna tersendiri. Dia berharap sanggar tersebut membuat masyarakat terbelalak atau terkejut karena di tempat itulah ada seseorang yang mumpuni dalam dunia kesenian gandrung.
Cara pewarisan budaya dan kesenian gandrung yang dilakukan oleh Temu adalah secara horizontal kepada generasi di luar kerabatnya.[21] Temu melatih sendiri para murid yang datang kepada dirinya di Sanggar Sopo Ngiro. Dia melatih para muridnya dengan sebuah tape recorder yang dipakai sebagai pengiring musik. Perempuan yang memiliki kemampuan komplit dalam seni gandrung ini selalu siap menerima murid selagi mereka juga berminat untuk berlatih tarian gandrung. Dia selalu berharap agar generasi penerusnya lahir dari hasil kerja keras tangannya dan Sanggar Sopo Ngiro. Begitulah Temu menjalani kehidupannya dengan sanggar yang didirikannya. Untuk mendapatkan murid yang mau belajar gandrung, dirinya rela mengeluarkan uang untuk membayar ojek yang mengantar dan menjemput sang murid.
Model pembelajaran Temu dalam mengajarkan tari-tarian dan lagu-lagu pakem gandrung di Sanggar Sopo Ngiro adalah dengan cara meniru. Temu menari di depan para murid-muridnya dari awal sampai dengan akhir tarian, yang kemudian dilanjutkan oleh para murid-muridnya. Mereka meniru gerakan dari Temu dengan cara ngintil (mengikuti). Satu tarian diulang terus-menerus sampai mereka hafal dari tahap jejer (sejajar) hingga paju (laku/berjalan). Selanjutnya, para murid menari dengan iringan musik tape recorder.[2]
Proses pewarisan ilmu yang dilakukan Temu kepada para muridnya masih menggunakan cara yang konvensional, tidak ada buku maupun catatan yang dipakainya. Daya ingat dan interaksi kesehariannya dengan dunia gandrung diwariskan Temu melalui perjumpaan dengan para murid-muridnya. Dokumen yang dimiliki oleh Temu hanyalah catatan mengenai wangsalan, yang berasal dari komunitas gandrung maupun yang terlahir melalui imajinasinya.[2]
Temu bertekad tidak akan mundur menjadi penari gandrung sebelum memiliki pengganti. Totalitas Temu kepada para muridnya tampak dari kerelaannya membagi ilmu tanpa memungut uang sepeserpun, bahkan tak jarang dirinya yang harus mengeluarkan uang untuk keperluan para muridnya. Dia pernah menyewakan tanah sawah miliknya agar kesenian yang mirip dengan Jaipongan di Jawa Barat serta Tayub di Jawa Tengah[22] tersebut terus berkembang di Banyuwangi.
Sampai saat ini, sudah banyak gandrung yang muncul dari pelatihan yang diberikan, namun menurut Temu para gandrung tersebut masih harus banyak belajar, khususnya mengenai tembang-tembang klasik serta memiliki moral yang kuat. Dahulu, tarian gandrung jauh dari minuman keras dan tawuran. Selain itu, antara penari, penonton, dan penabuh alat musik sama-sama saling menghargai dan menjaga.[6] Temu sendiri tetap bertahan dengan pakem gandrung di tengah bermunculannya penari gandrung lain yang identik sebagai hiburan para pemabuk. Perempuan yang tak lulus Sekolah Rakyat ini ingin menunjukkan kalau gandrung bukanlah kesenian murahan.[3]
Penghargaan
Temu pernah mendapatkan penghargaan dari Telkom Indonesia melalui "Indi Women Award 2013". Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak waktu itu, Linda Amalia Sari Gumelar, menyerahkan langsung penghargaan tadi kepada Temu.[7] Sayangnya, belum ada satupun penari yang dapat mewarisi kemampuan menyanyi, menari, dan ngopak (melakukan kritik sosial melalui pantun). Kiprah Temu berlanjut pada bulan Agustus 2015, dia bersama dengan rombongan kesenian gandrung dan Barong Using dari Banyuwangi berangkat ke Jerman[6] untuk melaksanakan pentas selama tiga hari di Frankfurt pada tanggal 28-30 Agustus 2015.[5] Temu bersama dengan para pelaku seni tersebut menjadi salah satu pengisi perhelatan budaya Indonesia dan menjadi guest of honour (tamu kehormatan) dalam acara Frankfurt Book Fair 2015. Dia bersama dengan tokoh gandrung lainnya dari Banyuwangi tampil dengan beberapa musisi kenamaan tanah air, seperti: Djaduk Ferianto dan Kua Etnika serta Dwiki Dharmawan dan J-Flow.[3]
Lihat Pula
Referensi
- ^ a b c d Nurjanah, Rina. "Mengenal Mak Temu, Sang Maestro Gandrung Banyuwangi". kumparan.com. Diakses tanggal 12 Maret 2019.
- ^ a b c d e f g h i j Nurhajarini, Dwi Ratna (Desember 2015). "Temu: Maestro Gandrung dari Desa Kemiren Banyuwangi". Patra Widya. Vol. 16, No. 4 (Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya).
- ^ a b c d e Qohhar, Muhammad Abdul. "Istimewa, Bertemu Gandrung Temu Misti yang dari Jerman". bloktuban.com. Diakses tanggal 12 Maret 2019.
- ^ a b c Andhika, Bayu. "Mbok Temu Misti, Sang Maestro Tari Gandrung Banyuwangi yang Tetap Melestarikan Gandrung". Media Tawang Alun. Diakses tanggal 12 Maret 2019.
- ^ a b c d Idrus. "Mengenal Mak Temu, Sang Maestro Gandrung Banyuwangi". Baca Plus. Diakses tanggal 12 Maret 2019.
- ^ a b c Rachmawati, Ira. "Mbok Temu Misti, Maestro Tari Gandrung, Sekarang Pelihara Ayam". kompas.com. Diakses tanggal 12 Maret 2019.
- ^ a b c d e Christanty, Linda. "Dewi Daya: Sosok Temu Misti Sang Pelestari Tari Gandrung Banyuwangi". dewimagazine.com. Diakses tanggal 12 Maret 2019.
- ^ Munawaroh, Siti (Juni 2009). "Macam-Macam Bentuk Rumah Komunitas Using Desa Kemiren Banyuwangi". Jantra. Vol. 4, No. 7 (Jurnal Sejarah dan Budaya).
- ^ Isni Herawati, dkk (2004). Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Using, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. hlm. 7–20.
- ^ Munawaroh, Siti (Desember 2004). "Masyarakat Using di Banyuwangi". Patra Widya. Vol. 5, No. 4 (Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya).
- ^ Sri Retna Astuti dan Dwi Ratna Nurhajarini (2013). Biografi Tokoh Seni. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. hlm. 36–37.
- ^ Ibid. hlm. 37.
- ^ Supriyanto (1992). Lakon Ludruk Jawa Timur. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. hlm. 24.
- ^ Wiwin Indiarti dan Abdul Munir (April 2016). "Peran dan Relasi Gender Masyarakat Using dalam Lakon Barong Kemiren-Banyuwangi". Patra Widya. Vol. 17, No. 1 (Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya).
- ^ Munawaroh, Siti (Desember 2004). "Masyarakat Using di Banyuwangi: Studi Tentang Kehidupan Sosial-Budaya". Patra Widya. Vol. 5, No. 4 (Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya).
- ^ Salamun, dkk (2015). Komunitas Adat Using Desa Aliyan Regojampi Banyuwangi Jawa Timur. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. hlm. 38–39.
- ^ Masunah, J. (2000). Sawitri Penari Topeng Losari. Yogyakarta: Tarawang. hlm. 44.
- ^ Sri Retna Astuti dan Dwi Ratna Nurhajarini. op.cit. hlm. 42.
- ^ Ibid. hlm. 40–41.
- ^ Ibid. hlm. 43–45.
- ^ Noor Sulistyobudi, dkk (2013). Upacara Adat. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. hlm. vii.
- ^ Saputra, Heru S.P. (2007). Memuja Mantra. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. hlm. xxii.