Protokol Boxer
Protokol Boxer | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Hanzi tradisional: | 1. 辛丑條約 2. 辛丑各國和約 3. 北京議定書 | ||||||||||
Hanzi sederhana: | 1. 辛丑条约 2. 辛丑各国和约 3. 北京议定书 | ||||||||||
Makna harfiah: | 1. Perjanjian Xinchou (tahun 1901) 2. Perjanjian keamanan semua negara Xinchou (tahun 1901) 3. Protokol Beijing | ||||||||||
|
Protokol Boxer adalah protokol yang ditandatangani pada 7 September 1901 antara Kekaisaran Qing dari China dengan Aliansi Delapan Negara - Austria-Hongaria, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat - ditambah Belgia, Spanyol, dan Belanda, setelah intervensi Tim Ekspedisi Kekuatan Delapan untuk menumpas pemberontakan Boxer.[1] Perjanjian ini sering kali disebut sebagai Perjanjian Tidak Adil.[1] Dengan adanya protokol ini, pemberontakan dapat dihentikan sebagai akibatnya Dinasti Qing dikenakan sanksi yang sangat besar, yaitu ganti rugi sebesar 450 juta tael perak.[2] Hal inilah yang kemudian menyebabkan kejatuhan Dinasti Qing.[2]
Pemberontakan Boxer sendiri adalah pemberontakan di Cina terhadap kekuasaan asing di sektor perdagangan, politik, agama, dan teknologi.[2] Pemberontakan dengan slogan "扶清灭洋" ("Dukung Qing, hancurkan Barat") ini memulai aksinya pada bulan November 1901.[2] Kegiatan ini diprakarsai oleh para petani di Cina Utara yang pada mulanya adalah gerakan anti-negara asing dan anti-imperialis.[2] Pada Juni 1990, gerakan pemberontak ini melakukan aksi besar dengan menyerang kota Beijing dan membunuh 230 orang non-Tionghoa.[2] Lebih jauh lagi, kelompok ini juga menyerang banyak orang Kristen dan Katolik di provinsi Shandong dan Shanxi atas tuduhan mendominasinya pihak asing di Cina.[2]
Adanya protokol ini sangat mempengaruhi kondisi politik, ekonomi, dan sosial pemerintah dan penduduk Cina.[1] Di bidang politik, proses desentralisasi dari pemerintah pusat ke provinsi semakin berkembang pesat.[1] Di bidang ekonomi, denda yang dibebankan sangatlah besar sehingga memaksa pemerintah Cina untuk menaikkan pajak secara besar-besaran mengingat pendapatan Dinasti Qing saat itu hanyalah 250 juta tael.[1] Di bidang sosial, adanya protol ini membuktikan buruknya sistem pemerintahan pada masa tersebut sehingga kepercayaan masyarakat menjadi hilang.[1] Hal tersebut kemudian memicu terjadinya revolusi untuk mengembalikan kondisi damai dan memperbaiki perekonomian negara Cina.[1]