Lompat ke isi

Sukadarma, Sukatani, Bekasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 24 Juni 2019 07.38 oleh Mochded (bicara | kontrib) (Bekasi Kabupaten Zaman Doeloe dan Sekarang)
Sukadarma
Peta lokasi Desa Sukadarma
Peta lokasi Desa Sukadarma
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Barat
KabupatenBekasi
KecamatanSukatani
Kode Kemendagri32.16.15.2007 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Sukadarma adalah desa di kecamatan Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, Indonesia.


Desa Sukadarma adalah desa yang berbasis pendidikan, baik permil dan non permil, swasta dan negeri, umum dan agama dan pesantren di sinilah tempatnya.

Terlebih lagi sekarang ini seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah berdiri pula pakultas tinggi di desa ini. Seperti pesantren yayasan mutiara qolbu, yayasan al jihadiyah, pesantren daruttakwien, yayasan bina bangsa dll.

Sekolah negeri juga sejak lama telah ada di desa ini seperti sekolabel dasar dan menengah.

Disamping itu di desa sukadarma juga tersedia pasilitas umum seperti pasar regional, terminal Sukatani. Sektor keamanan seperti polsek juga telah ada sejak lama.

Hingga perumahan juga telah tersedia di wilayah Sukadarma ini yang sekalipun tidak luas seperti wilayah desa lain namun sarana dan prasarana amat sangat lengkap disini.

Demikian sekilas tentang wilayah desa ini mengenai sarana dan prasarana nya.


Sukadarma telah menjadi bagian dari diantara desa yang sangat besar adilnya dalam memajukan dan memberdayakan manusia dalam segi pendidikan dan peradabannya.

Ini adalah merupakan salah satu prestasi kontribusi sebuah desa kepada anak bangsa dan negerinya yang patut di apresiasi dan dapat menjadi percontohan bagi wilayah lain di bekasi.

Demikian yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita bersama.

By; Sang pengembara sejati hidup menapaki jejak para pewaris nabi.

Sejarah asal muasal Kabupaten Bekasi

. Sejarah Penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno). Kata “Bekasi” secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berfaedah bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berfaedah bagian. Aci Candrabhaga berfaedah bagian dari bulan. Pelafalannya kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun KA Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.

Candrabhaga merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri semenjak masa waktu 100 tahun ke 5 Masehi. Telah tersedia 7 (tujuh) prasasti yang menyebutkan keadaan kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni : Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi (ke enam prasasti ini telah tersedia di Kawasan Bogor), dan satu prasasti di kawasan Bandung Selatan (Prasasti Cidangiang).

Diduga bahwa Bekasi merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, berbunyi : ..dahulu kali yang bernama Kali Candrabhaga digali oleh Maharaja Yang Mulia Purnawarman, yang mengalir sampai ke laut, bahkan kali ini mengalir disekeliling istana kerajaan. Kemudian, semasa 22 tahun dari tahta raja yang mulia dan bijaksana beserta seluruh panji-panjinya menggali kali yang indah dan berair jernih, “Gomati” namanya. Sesudah sungai itu mengalir disekitar tanah kediaman Yang Mulia Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang patut, yaitu pada tanggal 8 paro petang bulan phalguna dan diakhiri pada tanggal 13 paro terang bulan Caitra. Jadi, habis hanya 21 hari saja. Panjang hasil galian kali itu sampai 6.122 tumbak. Sbg itu, disediakan selamatan yang dipimpin oleh para Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor sapi…). Tulisan dalam prasasti ini menggambarkan perintah Raja Purnawarman sbg menggali kali Candrabhaga, yang mempunyai tujuan sbg mengairi sawah dan menghindar dari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan Tarumanagara.

Sesudah kerajaan Tarumanagara runtuh (abad 7), kerajaan yang mempunyai pengaruh cukup mulia terhadap Bekasi adalah Kerajaan Padjadjaran, terlihat dari situs sejarah Batu Tulis (di kawasan Bogor), Sutarga semakin jauh menjelaskan, bahwa Bekasi merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Padjadjaran dan merupakan salah satu pelabuhan sungai yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Bekasi menjadi kota yang sangat penting untuk Padjadjaran, kemudian menjelaskan bahwa: “..Pakuan adalah Ibukota Kerajaan Padjadjaran yang baru. Ronde perpindahan ini didasarkan atas pertimbangan geopolitik dan strategi militer. Sebab, jalur sepanjang Pakuan banyak dilintasi arus sungai mulia yakni sungai Ciliwung dan Cisadane. Oleh karena itu, kota-kota pelabuhan yang ramai ketika itu akan mudah terkontrol dengan patut seperti Bekasi, Karawang, Kelapa, Tanggerang dan Mahaten atau Banten Sorasoan…”

Demikianlah, waktu berlalu, kerajaan-demi kerajaan tumbuh, mengembang, merasakan masa kejayaan, runtuh, timbul kerajaan baru. Posisi Bekasi tetap menduduki posisi strategis dan tercatat dalam sejarah masing-masing kerajaan (terakhir tercatat dalam sejarah, kerajaan yang menguasai Bekasi adalah Kerajaan Sumedanglarang, yang menjadi bagian dari Kerajaan Mataram). Bahkan bukti-bukti mengenai keberadaan kerajaan ini sampai sekarang masih telah tersedia, misalnya : ditemukannya makam Wangsawidjaja dan Ratu Mayangsari (batu nisan), makam Wijayakusumah serta sumur mandinya yang terdapat di kampung Ciketing, Desa Mustika Jaya, Bantargebang. Dimana patut batu nisan maupun kondisi sumur serta bebatuan sekitarnya, menunjukkan bahwa usianya parallel dengan masa Kerajaan Sumedanglarang. Demikian pula penemuan rantai di Kobak Rante, Desa Sukamakmur, Disktrik Sukakarya (konon katanya, kawasan Kobak Rante adalah kawasan pinggir sungai yang cukup mulia, sampai bisa dilayari kapal. Jalur ini sering dipakai patroli kapal dari Sumedanglarang. Suatu waktu, kapal bernama Terongpeot terdampar disana, sungai merasakan pendangkalan, Terongpeot tak bisa berlayar, kayunya menjadi lapuk dan tinggallah rantainya saja…)

Bekasi, masa pendudukan Belanda pada masa ini masuk ke dalam Regentschap Meester Cornelis, yang terbagi atas empat district, yaitu Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi dan Cikarang. District Bekasi, pada masa penjajahan Belanda dikenal sbg wilayah pertanian yang subur, yang terdiri atas tanah-tanah partikelir, system kepemilikan tanahnya dikuasai oleh tuan-tuan tanah (kaum partikelir), yang terdiri dari pengusaha Eropa dan para saudagar Cina. Diatas tanah partikelir ini diletakkan Kepala Desa atau Demang, yang diangkat oleh Residen dan digaji oleh tuan tanah. Demang ini ditolong oleh seorang Juru Tulis, para Kepala Kampung, seorang amil, seorang pencalang (pegawai politik desa), seorang kebayan (pesuruh desa), dan seorang ulu-ulu (pengatur pengairan).

Sbg mengawasi tanah, para tuan tanah mengangkat pegawai atau pembantu dekatnya, disebut potia atau lands opziener. Potia biasanya keturunan Cina, yang diangkat oleh tuan tanah. Tugas potia adalah mengawasi para pekerja, serta mewakili tuan tanah apabila tak telah tersedia ditempat. Disamping itu telah tersedia juga Mandor yang menguasai suatu wilayah, disebut wilayah kemandoran. Dalam praktek sehari-hari, mandor sangatlah berkuasa, seringkali tindakannya terhadap para penggarap melampaui batas-batas kemanusiaan. Para penggarap adalah pemilik tanah sebelumnya, yang tanahnya dijual pada tuan tanah. Orang yang diangkat mandor biasanya dari para jagoan atau jawara yang ditakuti oleh para penduduk.

Distrik Bekasi terkenal subur yang produktif, hasilnya semakin patut bila dibandingkan dengan distrik-distrik lain di Batavia, distrik Bekasi rata-rata sampai 30-40 pikul padi setiap bau, sedangkan distrik lain hanya bisa menghasilkan padi 15-30 pikul setiap bau’nya. Namun demikian yang menikmati hasil kesuburan tanah Bekasi adalah Sang tuan tanah, bukanlah rakyat Bekasi. Rakyat Bekasi tetap kekurangan, dalam kondisi yang serba sulit, seringkali muncul tokoh pembela rakyat kecil, semisal Entong Tolo, seorang kepala perambok yang selalu menggasak harta orang-orang kaya, kemudian hasilnya dibagikan untuk rakyat kecil, karenanya rakyat sangat menghormati dan melindungi keluarga Entong Tolo, Sang Maling Budiman, Robin Hood’nya rakyat Bekasi. Di hampir semua wilayah Bekasi mempunyai kisah sejenis, dengan versi dan nama tokoh yang berlainan. Hal ini juga, yang mempengaruhi sikap dan kegiatan pandang masyarakat Bekasi, terhadap sesuatu yang berkomunikasi dengan ke’jawara’an.

Sesudah Entong Tolo ditangkap dan dibuang ke Menado, tahun 1913 di Bekasi muncul organisasi Sarekat Islam (SI) yang banyak diminati masyarakat yang beberapa mulia petani. Berlainan dengan di kawasan lain, kepengurusan SI Bekasi didominasi oleh kalangan pedagang, petani, guru ngaji, bekas tuan tanah dan pejabat yang dipecat oleh Pemerintah Hindia Belanda, serta para jagoan yang dikenal sbg rampok budiman. Karena jumlah yang cukup banyak, SI Bekasi kemudian menjadi kekuatan yang dominan ketika berhadapan dengan para tuan tanah. Antara 1913-1922, SI Bekasi menjadi penggerak bermacam protes sbg upaya penentangan terhadap bermacam penindasan terhadap petani, misalnya pemogokkan kerja paksa (rodi), protes petani di Setu (1913) sampai pemogokkan pembayaran “cuka” (1918).

Bekasi, masa pendudukan Jepang

Kedatangan Jepang di Indonesia untuk beberapa mulia kalangan rakyat, memperkuat anggap eksatologis ramalan Jayabaya (buku “Jangka Jayabaya”, mengungkapkan :”…suatu ketika akan datang bangsa kulit kuning dari utara yang akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, dia hanya akan memerintah sebentar yakni selama ‘seumur jagung’, sbg Ratu Sepatutnya yang kelak akan melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan…”

Pada awal mulanya, penaklukan Jepang terhadap Belanda disambut dengan suka cita, yang diasumsikan sbg pembebas dari penderitaan. Rakyat Bekasi menyambut dengan kegembiraan, dan makin meluap ketika Jepang mengijinkan pengibaran Sang Merah Putih dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya. Namun kegembiraan rakyat Bekasi hanya sekejap, antara seminggu pemerintah Jepang mengeluarkan larangan pengibaran Sang Merah Putih dan lagu Indonesia Raya. Sbg gantinya Jepang memerintahkan seluruh rakyat Bekasi mengibarkan bendera “Matahari Terbit” dan lagu “Kimigayo”. Melewati pemaksaan ini, Jepang memulai bagian baru penindasan, yang semula dibanggakan sbg “saudara tua”.

Kekejaman tentara Jepang makin kentara, ketika mengintruksikan supaya seluruh rakyat Bekasi bersama-sama menjadi satu himpunan di depan kantor tangsi polisi, sbg menyaksikan hukuman pancung terhadap penduduk Telukbuyung bernama Mahbub, yang ditangkap karena disuga sbg mata-mata Belanda dan menjual surat tugas perawatan kuda-kuda militer Jepang. Hukum pancung ini sbg shock theraphy supaya menimbulkan efek jera dan ketakutan untuk rakyat Bekasi. Bala tentara Jepang juga memberlakukan ekonomi perang, padi dan ternak yang telah tersedia di Bekasi Gun dicatat, dihimpun dan wajib diserahkan untuk penguasa militer Jepang. Bukan saja sbg kebutuhan sehari-hari tapi juga sbg kebutuhan jangka panjang, dalam rangka menunjang Perang Asia Timur Raya.

Akibatnya, rakyat Bekasi merasakan kekurangan pangan, kondisi ini makin diperparah dengan keadaan “Romusha” (kerja rodi). Pemerintah militer Jepang juga menerapkan penetrasi aturan sejak dahulu kala istiadat dengan memaksa para pemuda Bekasi sbg berusaha bisa semangat bushido (spirit of samurai), pendewaan Tenno Haika (kaisar Jepang). Para pemuda dididik melewati kursus atau dengan melewati pembentukan Seinendan, Keibodan, Heiho dan tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang kemudian langsung diletakkan kedalam organisasi militer Jepang.

Selain organisasi bentukan Jepang, pemuda Bekasi mengorganisasikan diri dalam organisasi non resmi yaitu Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB), yang didirikan pada tahun 1943 atas inisiatif para pemuda Islam Bekasi yang setiap malam Jum’at mengadakan pengajian di Mesjid Al –Muwahiddin, Bekasi, para bagiannya terdiri atas pemuda santri, pemuda pendidikan umum dan pemuda “pasar” yang buta huruf. Awal mulanya GPIB dipimpin oleh Nurdin, sesudah dia meninggal 1944, digantikan oleh Marzuki Urmaini. Sampai awal kemerdekaan BPIB beranggota yang banyak, markasnya di rumah Hasan Sjahroni, di kawasan pasar Bekasi, banyak bagiannya kemudian bergabung ke-BKR dan badan perjuangan yang dipimpin oleh KH Noer Alie. GPIB banyak mempunyai Cabang diantaranya, GPIB Pusat Kawasan Bekasi (Marzuki Urmaini dan Muhayar), GPIB Kawasan Ujung Malang (KH Noer Alie), GPIB Kawasan Tambun (Angkut Abu Gozali, GPIB Kranji (M. Husein Kamaly) dan GPIB Cakung (Gusir) berdirinya kabupaten Bekasi Berdasarkan aturan hukum pada ketika itu dan melihat kegigihan rakyat memperjuangkan aspirasinya sbg membentuk suatu pemerintahan tersendiri, setingkat Kabupaten, mulailah para tokoh dan rakyat Bekasi berjuang supaya pembentukan tersebut bisa terealisasikan. Awal tahun 1950, para pimpinan rakyat diantaranya R. Soepardi, KH Noer Alie, Namin, Aminudin dan Marzuki Urmaini membentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi”, dan mengadakan rapat raksasa di Alun-alun Bekasi (17 Januari1950), yang dihadiri oleh ribuan rakyat yang datang dari pelbagai pelosok Bekasi, dihasilkan beberapa tuntutan yang terhimpun dalam “Resolusi 17 Januari”, yang diantaranya menuntut supaya nama Kabupaten Jatinegara dirubah menjadi Kabupaten Bekasi, tuntutan itu ditandatangani oleh Wedana Bekasi (A. Sirad) dan Asisten Wedana Bekasi (R. Harun).

Usulan tersebut kesudahannya mendapat tanggapan dari Mohammad Hatta, dan menyetujui penggantian nama “Kabupaten Jatinegara” menjadi “Kabupaten Bekasi”, persetujuan ini makin kuat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1950 yang ditentukan tanggal 8 Agustus 1950 tentang : Pembentukan Kabupaten-kabupaten di sekitar yang terkait Propinsi Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1950 tentang berjalannya undang-undang tersebut, maka Kabupaten Bekasi secara resmi terbentuk pada tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Pemerintah Kawasan pada ketika itu, yaitu UU No.22 Tahun 1948. Selanjutnya, ditentukan oleh Pemerintah Kawasan Tingkat II Kabupaten Bekasi, bahwa tanggal 15 Agustus 1950 sbg HARI JADI KABUPATEN.

Status tersebut dikukuhkan dengan UU Nomor 14 Tahun 1950 mengenai pembentukan Kabupaten Bekasi, dengan wilayah yang terdiri dari empat kewedanaan, 13 disktrik dan 95 desa. Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke kota Bekasi (Jl. Ir. H Juanda), yang kemudian pada tahun 1982 gedung perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. Ahmad Yani, Bekasi. Mulai tahun 2004,TERJADI PEMEKARAN Pemerintahan Kabupaten Bekasi dipindahkan ke Cikarang Pusat, Kota Deltamas dengan tujuan sbg memeratakan pembangunan di kawasan timur Bekasi.

Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Bekasi pada tahun 2004 sampai 1.950.209 jiwa. Bila diamati dari rasio penduduk berdasarkan kelamin adalah 1,04 banding 1,00, dimana jumlah penduduk laki-laki sebanyak 996.150 jiwa dan perempuan 954.054 jiwa. Adapun laju pertumbuhan penduduk hasil agak sensus tahun 2000 sebesar 4,23 % terdiri dari migrasi 2,33 % dan alamiah 1,90 %. Pada tahun 2005 jumlah penduduk Kabupaten Bekasi bertambah menjadi 2.027.902 jiwa atau merasakan pertumbuhan sebesar 3,98 % dari tahun sebelumnya.Penduduk bekasi mayoritas merupakan pendatang sehingga tak ajab bila banyak budaya nya pn sudah banyak berakulturasi.

Topografi Beberapa mulia wilayah Bekasi adalah dataran rendah dengan bagian selatan yang berbukit-bukit. Ketinggian lokasi antara 0 – 115 meter dan kemiringan 0 – 250 meter. Kabupaten Bekasi yang terletak di sebelah Utara Propinsi Jawa Barat dengam mayoritas kawasan merupakan dataran rendah, 72% wilayah Kabupaten Bekasi telah tersedia pada ketinggian 0-25 meter di atas permukaan air laut. Berdasarkan karakteristik topografinya, beberapa mulia Kabupaten Bekasi masih memungkinkan sbg dikembangkan sbg kegiatan budidaya,Terutama sbg budidaya ikan di tambak ataupun sbg budidaya binatang domestik seperti ayam dan kambing. Jenis tanah di Kabupaten Bekasi diklasifikasikan dalam tujuh himpunan. Himpunan yang sangat layak sbg pengembangan pembangunan mempunyai luas sekitar 16.682,25 Ha (81,25%), yang terdiri dari jenis asosiasi podsolik kuning dan hidromorf kelabu; komplek latosol merah kekuningan, latosol coklat, dan podsolik merah; aluvial kelabu tua; asosiasi glei humus dan alluvial kelabu; dan asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit. Klasifikasi cukup layak seluas 3.745,04 Ha (18,24%), terdiri dari jenis tanah asosiasi alluvial kelabu dan alluvial coklat kekelabuan. Sisanya sekitar 104,71 Ha (0,51%) dari jenis podsolik kuning merupakan areal yang kurang layak sbg pembangunan.

Ditinjau dari tekstur tanahnya, beberapa mulia wilayah ini mempunyai tekstur tanah halus sekitar 15.555,04 Ha (75,76%) dan bertekstur sedang sekitar 4.755,21 Ha (23,16%) telah tersedia di sebelah utara dan sebelah selatan yakni, sedangkan sisanya sekitar 221,75 Ha atau 1,08% bertekstur kasar telah tersedia di sebelah barat. Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi cukup baik/stabil. Tingkat kepekaan ini diklasifikasikan tiga bagian yakni stabil (tidak peka), peka, dan sangat peka. Sekitar 17.220,19 Ha (83,87%) dari luas area merupakan area stabil yang layak sbg dikembangkan sbg bermacam jenis kegiatan perkotaan. Seluas 3.127,02 Ha (15,23%) dari lahanya mempunyai kondisi peka dan masih cukup layak sbg didirikan. Sedangkan di bagian selatan, lahnnya sangat peka terhadap erosi yakni sekitar 184,79 Ha (0,9%), kurang layak sbg dikembangkan. Keadaan beberapa sungai yang melewati wilayah Kabupaten Bekasi merupakan potensi sbg sumber air sbg memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Kabupaten Bekasi terdapat enam belas arus sungai mulia dengan lebar berkisar antara 3 sampai 80 meter, yaitu sbg berikut Sungai Citarum, Sungai Bekasi, Sungai Cikarang, Sungai Ciherang, Sungai Belencong, Sungai jambe, Sungai Sadang, Sungai Cikedokan, Sungai Ulu, Sungai Cilemahabang, Sungai Cibeet, Sungai Cipamingkis, Sungai Siluman, Sungai Serengseng, Sungai Sepak dan Sungai Jaeran.

Selain itu, terdapat 13 situ yang tersebar di beberapa disktrik dengan luas total 3 Ha sampai 40 Ha, yaitu Situ Tegal Abidin, Bojongmangu, Bungur, Ceper, Cipagadungan, Cipalahar, Ciantra, Taman, Burangkeng, Liang Maung, Cibeureum, Cilengsir, dan Binong. Ketika ini kebutuhan air di Kabupaten Bekasi dipenuhi dari 2 (dua) sumber, yaitu air tanah dan air permukaan. Air tanah dimanfaatkan sbg pemukiman dan beberapa industri. Kondisi air tanah yang telah tersedia di wilayah Kabupaten Bekasi beberapa mulia merupakan air tanah dangkal yang telah tersedia pada kedalaman 5 – 25 meter dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam pada umumnya diperoleh pada kedalaman antara 90 – 200 meter. Air permukaan, seperti sungai, dimanfaatkan oleh PDAM sbg disalurkan untuk konsumennya, patut permukiman maupun industri.