Tulude
Asal | |
---|---|
Sangihe | |
Digelar Setiap 31 Januari | |
Tulude merupakan upacara adat tahunan yang di wariskan dari para leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro). Nusa Utara terletak di ujung utara provinsi Sulawesi Utara. Tulude dilaksanakan bertahun-tahun lamanya dan merupakan upacara adat sakral serta religi yang dilakukan oleh masyarakat etnis Sangihe dan Talaud.[1]
Upacara adat ini digelar setahun sekali, tepatnya di akhir bulan Januari pada tanggal 31. Masyarakat suku Sangihe mengadakan upacara adat Tulude karena bisa mengungkapkan rasa syukur. Dulunya upacara Tulude ini dipenuhi dengan hal-hal mistis namun dengan masuknya agama ditengah masyarakat, hal mistis tersebut perlahan mulai menghilang. Meskipun demikian sebagian besar dari masyarakat tersebut masih mempercayai apa yang disebut dengan kekuatan jahat atau hal-hal yang berbau mistis.[2]
Arti Lainnya Dari Tulude
Pengertian Tulude secara harfiah adalah meluncurkan atau melepaskan sesuatu hingga meluncur ke bawah dari ketinggian. Kemudian kata ini mengalami perluasan makna menjadi melepaskan, meluncurkan, menolak atau mendorong. Dalam hal ini Tulude berartikan melepaskan tahun yang lama dan siap menerima tahun yang baru.[1]
Tulude dalam bahasa Sangihe berasal dari kata "Suhude" yang berati Tolak, hal ini menolak tahun yang lama dan siap menerima tahun yang baru. Sedangkan Mandullu'u Tonna dalam arti sempit kalau bahasa masyarakat Talaud Mandulu’u yaitu "Lanttu" menolak atau meninggalkan. Sedangkan "Tonna" adalah "Tahun". Tulude atau Mandullu’u Tonna ini mirip dengan perayaan budaya pengucapan syukur bagi masyarakat di Minahasa. Selain itu, juga sebagai media komunikasi antar budaya masyarakat Sangihe dan Talaud, yang berisi ucapan syukur. Banyak nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur, seperti nilai etika, moral, patriotik.[3]
Sejarah singkat Tulude
Pada masa awal beberapa abad-abad lalu, pelaksanaan upacara adat Tulude dilaksanakan oleh para leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro). pada setiap tanggal 31 Desember, di mana tanggal ini merupakan penghujung dari tahun yang akan berakhir. Pada saat Kristen dan Islam masuk ke wilayah Sangihe dan Talaud di abad ke-19, upacara adat Tulude ini kemudiaan diisi dengan muatan-muatan penginjilan dan tradisi kekafiran perlahan-lahan mulai hilang. Pada hari pelaksanaannya tanggal 31 Desember, biasanya ada kesepakatan adat. Upacara adat ini kemudian dialihkan ke tanggal 31 Januari di tahun berikutnya. Hal ini dikarenakan tanggal 31 Desember merupakan waktu yang paling tidak tepat karena sebagian besar masyarakat memeluk agama Kristen. Dimana, seminggu sebelumnya merupakan acara ibadah malam Natal, lalu tanggal 31 Desember disibukkan dengan ibadah akhir tahun dan persiapan menyambut tahun baru. Akibatnya kepadatan dan kesibukan ibadah ini maka dialihkankan tanggal pelaksanaannya menjadi tanggal 31 Januari. Pada tahun 1995, pemerintah kabupaten kepulauan Sangihe-Talaud melalui DPRD tanggal 31 Januari akhirnya ditetapkan sebagai Perda dan merupakan hari jadi Sangihe Talaud dengan inti acara upacara Tulude.[1]
Tahapan Upacara
Upacara adat ini dihelat melewati beberapa tahapan. Dua minggu sebelum digelar, seorang tetua adat menyelam ke dalam lorong bawah laut yang berada di Gunung Banua Wuhu. Tetua adat ini membawa sepiring nasi putih dan emas yang dipersembahkan kepada Banua Wuhu yang bersemayam di lorong tersebut. Usai menggelar ritual penyelaman tersebut, dimulailah rangkaian perhelatan upacara Tulude yang diawali dengan pembuatan kue adat Tamo di rumah salah seorang tetua adat, sehari sebelum pelaksanaan. Upacara Tulude dilaksanakan pada malam hari, dengan persiapan yang dimulai sejak sore hari.[2]
Kemudian, diisi dengan persiapan pasukan pengiring, penari tari Gunde, tari salo, tari kakalumpang, tari empat wayer, kelompok nyanyian masamper, penetapan tokoh adat pemotong kue adat tamo, penyiapan tokoh adat pembawa ucapan Tatahulending Banua, tokoh adat pembawa ucapan doa keselamatan, seorang tokoh pemimpin upacara yang disebut Mayore Labo, dan penyiapan kehadiran Tembonang u Banua (pemimpin negeri sesuai tingkatan pemerintahan pelaksanaan upacara seperti kepala desa, camat, bupati/walikota atau gubernur) bersama Wawu Boki (isteri pemimpin negeri)serta penyebaran undangan kepada seluruh anggota masyarakat untuk hadir dengan membawa makanan untuk acara Saliwangu Banua (pesta rakyat makan bersama). [1]
Upacara diawali dengan Sasake Pato yaitu melambangkan beberapa petinggi (pejabat pemerintah, tokoh adat) menaiki perahu, memimpin perahu yang meluncur dengan berani. Meluncur ditengah lautan yang terombang-ambing gelombang, dan harus mengemudikannya dengan baik, lurus tak berbelok, menuju pantai bahagia. Kemudian petinggi tersebut turun dari perahu yang disertai sorak sorai, berjalan diiringi bunyi-bunyian tambur dan tagonggong. Pada puncak upacara Tulude akan dipersembahkan kue Tamo yang terbuat dari dodol berhiaskan cabe, udang, serta aneka hiasan lainnya dan berbentuk kerucut. Dengan diiringi tarian dari tetua adat, serta ucapan-ucapan syukur perlahan-lahan Tamo dihantarkan ke hadapan para petinggi Sangihe. Lalu dibacakanlah doa-doa untuk kebaikan dalam bahasa Sangihe. Dan perlahan Tamo tersebut di potong. [2]
Referensi
- ^ a b c d "Upacara Adat Tulude » Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-11-26.
- ^ a b c admin (2016-06-12). "Upacara Tulude". Thank God I Surf (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-26.
- ^ Liputan6.com (2018-11-14). "Upacara Tulude, Kearifan Makan Bersama dari Sangihe". liputan6.com. Diakses tanggal 2019-11-26.