Lompat ke isi

Aksara Jawa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 27 Desember 2019 09.49 oleh Alhadis (bicara | kontrib) (PNG -> SVG)


Aksara Jawa
ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ
Jenis aksara
BahasaJawa
Sunda
Madura
Sasak
dll
Periode
± abad 13 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Aksara kerabat
Bali
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Java, 361 Sunting ini di Wikidata, ​Jawa
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Javanese
U+A980U+A9DF
 Artikel ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Jawa ( (a)ꦏ꧀ꦱ (ksa) (ra) (ja) (wa)), Hanacaraka ( (ha) (na) (ca) (ra) (ka)), secara resmi dikenal sebagai Déntawyanjana (ꦢꦺ ()ꦤ꧀ꦠ (nta)ꦮꦾ (wya)ꦚ꧀ꦗ (nyja) (na)) dan Carakan ( (ca) (ra) (ka)ꦤ꧀ (n)), adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak[1]. Aksara tradisional ini berkerabat dekat dengan aksara Bali.

Dalam sehari-hari, penggunaan aksara Jawa umum digantikan dengan huruf latin yang pertama kali diperkenalkan Belanda pada abad ke-19.[2] Aksara Jawa resmi dimasukkan dalam Unicode versi 5.2 sejak 2009. Meskipun begitu, kompleksitas aksara Jawa hanya dapat ditampilkan dalam program dengan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox dan beberapa prosesor menurut penjelasan open source, sehingga penggunaannya tidak semudah huruf latin. Kesulitan penggunaan aksara Jawa dalam media digital merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang populernya aksara tersebut selain di kalangan preservasionis.

Ciri-ciri

Suku kata /ka/ ditulis dengan satu aksara. Tanda baca dapat mengubah, menambahkan, atau menghilangkan vokal suku kata tersebut. Aksara memiliki beberapa bentuk untuk menulis nama, pengejaan asing, dan konsonan bertumpuk

Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap aksara di dalamnya melambangkan suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat ditentukan dari posisi aksara di dalam kata tersebut. Penulisan aksara Jawa dilakukan tanpa spasi (scriptio continua)[3], dan karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap kata. Selain itu, dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa juga kekurangan tanda baca dasar, seperi titik dua, tanda kutip, tanda tanya, tanda seru, dan tanda hubung.

Aksara Jawa dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Aksara dasar terdiri dari 20 suku kata yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa modern, sementara jenis lain meliputi aksara swara, tanda baca[4], dan angka Jawa[1]. Setiap suku kata dalam aksara Jawa memiliki dua bentuk, yang disebut nglegéna (aksara dasar), dan pasangan (kebanyakan dalam bentuk subskrip, ditulis di bawah aksara nglegéna yang digunakan untuk menulis gugus konsonan).

Kebanyakan aksara selain aksara dasar merupakan konsonan teraspirasi atau retrofleks yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno karena dipengaruhi bahasa Sanskerta. Selama perkembangan bahasa dan aksara Jawa, huruf-huruf ini kehilangan representasi suara aslinya dan berubah fungsi.

Sejumlah tanda diakritik yang disebut sandhangan berfungsi untuk mengubah vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), menambahkan konsonan akhir, dan menandakan ejaan asing[3]. Beberapa tanda diakritik dapat digunakan bersama-sama, tetapi tidak semua kombinasi diperbolehkan.

Sejarah

Aksara Jawa sedang diajarkan pada sekolah periode kolonial.

Tulisan Jawa dan Bali adalah perkembangan modern aksara Kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut terutama digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sanskerta yang biasa ditulis dalam naskah daun lontar.[1] Selama periode Hindu-Buddha, bentuk aksara Kawi berangsur-angsur menjadi lebih Jawa, tetapi dengan ortografi yang tetap. Pada abad ke-17, tulisan tersebut telah berkembang menjadi bentuk modernnya dan dikenal sebagai Carakan[5] atau hanacaraka berdasarkan lima aksara pertamanya.

Carakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan kraton kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, di antaranya cerita-cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang.[6] Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.

Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan landasan awal standardisasi ortografi aksara Jawa.[7] Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi baku aksara Jawa yang dipublikasikan, di antaranya Patokan Panoelise Temboeng Djawa oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946,[7] dan sejumlah panduan yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006.[8][9] KBJ juga berperan dalam implementasi aksara Jawa di Unicode.

Namun dari itu, penggunaan aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan pada 1926,[2] dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulis bahasa Jawa. Hanya beberapa majalah dan koran yang masih mencetak dalam aksara Jawa, seperti Jaka Lodhang. Aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.

Aksara

Sebuah aksara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​), adalah satuan terkecil yang merepresentasikan suku kata terbuka (Konsonan-Vokal) dengan vokal /a/ atau /ɔ/ tergantung dari posisinya.[3] Namun vokal juga tergantung dari dialek pembicara; dialek Jawa Barat cenderung menggunakan /a/ sementara dialek Jawa Timur lebih cenderung menggunakan /ɔ/. Aturan baku penentuan vokal aksara dideskripsikan dalam Wewaton Sriwedari sebagai berikut:

  1. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila aksara sebelumnya mengandung sandhangan swara.
  2. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /a/ apabila aksara setelahnya mengandung sandhangan swara.
  3. Aksara pertama sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, kecuali dua aksara setelahnya merupakan aksara dasar. Jika begitu, aksara tersebut dibaca dengan vokal /a/.

Ketika ditransliterasikan ke dalam alfabet Latin, sebuah aksara ditransliterasikan menjadi suku kata, bukan huruf.

Terdapat 34 aksara konsonan dan 11 aksara suara (vokal) dalam aksara Jawa (di luar aksara tambahan), tetapi tidak semuanya digunakan dalam penulisan modern. Tabel berikut menunjukkan aksara Jawa dengan bunyi aslinya yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta dalam sistem IAST

Aksara Jawa
Tempat pelafalan Pancawalimukha Semivokal Sibilan Celah Vokal Diftong
Nirsuara Bersuara Sengau Pendek Panjang
Velar (18px)
/ka/
ka
(18px)
/kʰa/
kha
(18px)
/ga/
ga
(18px)
/gʱa/
gha
(18px)
/ŋa/
ṅa/nga5
(18px)
/ha/
ha4
(18px)
/a/
a
ꦄꦴ(18px)
/aː/
ā
Palatal (18px)
/t͡ʃa~t͡ɕa/
ca
(18px)
/t͡ʃʰa~t͡ɕʰa/1
cha
(18px)
/d͡ʒa~d͡ʑa/
ja
(18px)
/d͡ʒʱa~d͡ʑʱa/
jha
(18px)
/ɲa/
ña/nya6
(18px)
/ja/
ya
(18px)
/ɕa/
śa
ꦅ/ꦆ(18px)
/i/
i
(18px)
/iː/
ī
Retroflex (18px)
/ʈa/
ṭa2
(18px)
/ʈʰa/
ṭha
(18px)
/ɖa/
ḍa2
(18px)
/ɖʱa/
ḍha
(18px)
/ɳa/
ṇa
(18px)
/ra~ɽa/
ra
(18px)
/ʂ/
ṣa
(18px)
/r̩~ɽ̍/
ṛ/re7
ꦉꦴ(18px)
/r̩ː~ɽ̍ː/
Dental (18px)
/ta/
ta
(18px)
/tʰa/
tha
(18px)
/da/
da
(18px)
/dʱa/
dha
(18px)
/na/
na
(18px)
/la/
la3
(18px)
/sa/
sa
(18px)
/l̩/
ḷ/le8
(18px)
/l̩ː/
Labial (18px)
/pa/
pa
(18px)
/pʰa/
pha
(18px)
/ba/
ba
(18px)
/bʱa/
bha
(18px)
/ma/
ma
(18px)
/wa/
wa
(18px)
/u/
u
ꦈꦴ(18px)
/uː/
ū
Velar-Palatal (18px)
/e/
e
(18px)
/ai̯/
ai
Velar-Labial (18px)
/o/
o
ꦎꦴ(18px)
/au̯/
au

^1 Hanya ditemukan dalam bentuk pasangan (lihat di bawah). Bentuk aslinya sudah tidak diketahui lagi[1]
^2 Ḍa dan ṭa lebih umum ditulis dha dan tha. Penulisan ini digunakan untuk membedakan dha /ɖa/ dan tha /ʈa/ retroflex dalam bahasa Jawa modern dengan dha /d̪ha/ dan /t̪ha/ teraspirasi dalam bahasa Jawa kuno.
^3 Sebenarnya konsonan alveolar, tetapi diklasifikasikan sebagai dental (gigi).
^4 Dapat dibaca tanpa bunyi /h/, misalnya (/ɔnɔ/, transliterasi: ana, arti: ada). Hanya berlaku dalam penulisan bahasa Jawa.
^5 Ṅa digunakan untuk menulis /ŋa/ dalam bahasa Sanskerta, sementara nga dalam bahasa Jawa.
^6 Ña digunakan untuk menulis /ɲa/ dalam bahasa Sanskerta, sementara nya dalam bahasa Jawa.
^7 Ṛ dan ṝ digunakan untuk menulis bahasa Sanskerta. Dalam bahasa Jawa, hanya re yang digunakan.
^8 Ḷ dan ḹ digunakan untuk menulis bahasa Sanskerta. Dalam bahasa Jawa, hanya le yang digunakan

Konsonan

Ortografi Jawa modern mengabaikan pelafalan asli sejumlah aksara konsonan yang kemudian dialihfungsikan. Dari 34 bunyi di atas, 20 bunyi menjadi aksara dasar (nglegéna) sementara aksara lainnya dikategorikan sebagai murda dan mahaprana dengan "bunyi" yang sama dengan aksara nglegenanya.

Beberapa istilah dalam aksara Jawa menurut aturan bahasa Jawa modern:

  • Aksara nglegéna(ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦺꦤ)(18px)Aksara ini adalah aksara dasar untuk menulis bahasa Jawa modern.
  • Aksara murda(ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ)(18px)Bisa disebut juga sebagai aksara gedé, aksara ini digunakan pada penulisan suatu nama, umumnya nama tempat atau orang yang dihormati. Seperti terlihat dalam tabel di atas, tidak semua aksara mempunyai bentuk murda, karena itu apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Misal, "Pakubuwana" ditulis dengan pa, ka, ba, dan na murda (ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ(18px)). Aksara murda tidak boleh diberi pangkon dan tidak perlu digunakan pada awal kalimat.
  • Aksara mahaprana(ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦲꦥꦿꦤ)(18px)Aksara ini adalah aksara yang secara harfiah berarti "dibaca dengan nafas berat". Mahaprana jarang muncul dalam penulisan aksara Jawa modern, oleh karena itu, seringkali tidak dibahas dalam buku mengenai aksara Jawa.[1]
Aksara Wyanjana (Konsonan)
Transkripsi ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Nglegéna (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px)
Murda (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px) (18px)1 (18px) (18px)
Mahaprana (18px) (18px) (18px) (18px)

^1 Awalnya jnya,ꦗ꧀ꦚ(14px)[1] namun pada perkembangannya menjadi huruf mandiri.

Konsonan tambahan

Terdapat beberapa aksara yang dalam perkembangannya dianggap sebagai konsonan. Pa cerek, nga lelet, dan nga lelet raswadi awalnya adalah konsonan-vokalik /r̥/, /l̥/, dan /l̥:/ yang muncul pada perkembangan awal aksara Jawa karena pengaruh bahasa Sanskerta. Ortografi kontemporer mengelompokkan ketiganya sebagai aksara konsonan[1] yang bernama ganten atau "pengganti", dengan bunyi masing-masing /ɽə/, /ɭə/, dan /ɭɤ/. Aksara ini didefinisikan sebagai aksara dengan vokal tetap yang menggantikan setiap kombinasi ra+pepet (ꦫꦼ(18px) menjadi (18px)), la+pepet (ꦭꦼ(18px) menjadi (18px)), dan la+pepet+tarung (ꦭꦼꦴ(18px) menjadi (18px)).[10] Karena sudah memiliki vokal tetap, ketiga aksara tersebut tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal.

Konsonan tambahan lain meliputi ka sasak dan ra agung. Ka sasak merupakan penulisan tradisional bunyi /qa/ yang digunakan dalam bahasa Sasak, sedangkan ra agung pernah digunakan oleh sejumlah penulis untuk nama orang yang dihormati, terutama anggota kerajaan.[1]

Kebanyakan bunyi yang asing dalam bahasa Jawa ditulis dengan tanda baca cecak telu ((18px)) di atas aksara yang bunyinya mendekati.[1][4] Aksara semacam itu disebut sebagai aksara rekan atau "aksara rekaan", yang diklasifikan berdasarkan bahasa asalnya. Rekan paling umum berasal dari bahasa Arab dan bahasa Belanda. Terdapat pula dua jenis rekan lainnya yang digunakan untuk menulis bahasa Sunda dan kata serapan bahasa Tionghoa.

Aksara Tambahan
Ganten Ka sasak Ra agung
Nga lelet Nga lelet Raswadi Pa cerek
(18px) (18px) (18px) (18px) (18px)
Aksara Rekan
kha dza fa va za gha
ꦏ꦳(18px) ꦢ꦳(18px) ꦥ꦳(18px) ꦮ꦳(18px) ꦗ꦳(18px) ꦒ꦳(18px)

Vokal

Vokal murni umumnya ditulis dengan aksara ha sebagai konsonan kosong dengan tanda baca yang sesuai.

Aksara Suara
a i u é o
Pendek (18px) ꦲꦶ(18px)1 ꦲꦸ(18px) ꦲꦺ(18px) ꦲꦺꦴ(18px)

Selain cara tersebut, terdapat juga aksara-aksara yang merepresentasikan vokal murni bernama aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦱ꧀ꦮꦫ) atau "aksara suara" yang digunakan untuk menandakan sebuah nama, seperti halnya aksara murda. Sebagai contoh, kata sifat "ayu" (cantik) ditulis dengan huruf ha (ꦲꦪꦸ). Namun untuk menulis seseorang yang bernama Ayu, aksara suara digunakan untuk mencegah kerancuan (ꦄꦪꦸ). Aksara suara juga digunakan untuk mengeja istilah bahasa asing, misalnya elemen Argon (ꦄꦂꦒꦺꦴꦤ꧀).[7][10] Aksara suara tidak dapat dijadikan sebagai aksara pasangan sehingga aksara sigegan yang terdapat di depannya harus dimatikan dengan pangkon. Walaupun demikian aksara suara dapat diberi sandhangan wignyan, layar, dan cecak.

Aksara Suara
a i u é o
Pendek (18px) (18px)1 (18px) (18px) (18px)
Panjang ꦄꦴ(18px) (18px) ꦈꦴ(18px) (18px)2 ꦎꦴ(18px)2

^1 Dalam teks tua, aksara swara i (14px) digunakan untuk /i:/ panjang, sementara /i/ pendek menggunakan sebuah huruf yang sekarang dikenal sebagai i kawi (14px).
^2 Menjadi sebuah diftong.

Sandhangan

Sandhangan (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀) adalah sejenis aksara yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan tanda diakritik yang selalu digunakan bersama dengan aksara dasar. Ada tiga macam sandhangan, yaitu sandhangan suara yang berfungsi untuk mengubah vokal huruf dasar, layaknya harakat pada abjad Arab, sandhangan sesigeg (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱꦼꦱꦶꦒꦼꦒ꧀, sandhangan akhir suku kata), dan sandhangan wyanjana (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦤ꧀ꦗꦤ, sandhangan tengah suku kata).[7]

Swara

Sandhangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) atau sandhangan vokal merupakan sandhangan yang paling umum. Terdapat sembilan sandhangan swara, tetapi vokal tertentu perlu ditulis dengan lebih daripada satu sandhangan. Hal ini terjadi pada sandhangan tarung. Sandhangan swara dapat digunakan bersama sandhangan wyanjana.

Sandhangan swara
a i u e é o eu
Pendek (18px)
◌ꦶ(18px)
wulu
◌ꦸ(18px)
suku1
◌ꦼ(18px)
pepet2
◌ꦺ(18px)
taling
◌ꦺꦴ(18px)
taling tarung
◌ꦵ(18px)
tolong3
Panjang ◌ꦴ(18px)
tarung
◌ꦷ(18px)
wulu melik
◌ꦹ(18px)
suku mendhut1
◌ꦼꦴ(18px)
pepet-tarung3
◌ꦻ(18px)
dirga mure4
◌ꦻꦴ(18px)
dirga mure tarung4
ꦼꦴ(18px)
dirga mutak

^1 Pasangan ka, ta, dan la, yang menempel dengan suku dan suku mendhut berubah bentuknya menjadi aksara dasar.
^2 Aksara 'ra' dan 'la' tidak dapat dipasangkan dengan pepet (lihat bagian konsonan tambahan).
^3 Hanya digunakan pada penulisan Sunda.[10]
^4 Menjadi sebuah diftong.

Sesigeg

Sandhangan sesigeg terdiri dari panyangga, cecak, wignyan, dan layar. Mereka memiliki fungsi yang sama seperti halnya karakter Devanagari candrabindu, anuswara, dan wisarga.[1] Sandhangan sesigeg boleh digunakan bersama dengan sandhangan suara.

Sandhangan Sesigeg
-m -ng -h -r
(18px)
panyangga 1
(18px)
cecak2/
umatyaka
(18px)
wignyan
(18px)
layar

^1 Panyangga umumnya hanya digunakan untuk simbol suci Hindu ꦎꦴꦀ(14px)Om[10].
^2 Posisi sedikit berubah apabila digunakan bersama dengan wulu dan pepet. Cecak berada di sebelah kanan wulu dan ditulis di dalam pepet

Wyanjana

Sandhangan wyanjana cakra, cakra keret, dan pengkal berfungsi untuk membentuk gugus konsonan -ra, -re, dan -ya (misalnya "kra", "kre", dan "kya"). Ketiga sandhangan ini awalnya adalah pasangan dari aksara ra, pa cerek, dan ya sebelum dikhususkan menjadi sandhangan tersendiri dalam ortografi Jawa modern.

Sebagai sebuah pasangan, sandhangan wyanjana bersamaan dengan pasangan wa memiliki sifat panjingan (ꦥꦚ꧀ꦗꦶꦁꦔꦤ꧀(18px)), yaitu pasangan yang dapat menempel pada pasangan lain membentuk tiga tumpuk aksara.

Sandhangan Wyanjana
-ra- -re- -ya-
ꦿ(18px)
cakra 1
(18px)
keret
(18px)
pengkal

^1 Cakra aslinya terpisah dari aksara, tetapi lebih umum ditulis menyambung dengan bagian akhir aksara seperti pada contoh di atas.

Pangkon dan pasangan

Pangkon
(18px)

Pangkon (ꦥꦁꦏꦺꦴꦤ꧀(18px)) memiliki fungsi yang sama seperti halnya virama dalam aksara Brahmi lain, yakni membentuk konsonan akhir dengan menghilangkan vokal inheren suatu huruf dasar. Namun pangkon tidak boleh digunakan untuk konsonan akhir -r, -h, dan -ng karena ketiganya dapat ditulis dengan tanda baca tersendiri. Misal, konsonan akhir -r ditulis dengan layar, tidak boleh dengan ra dan pangkon.

Pangkon juga hanya boleh dipakai di akhir kalimat, dan apabila aksara mati terjadi di tengah kalimat, aksara tersebut perlu ditempeli dengan pasangan. Misal, aksara na yang dipasangkan dengan pasangan da, akan dibaca nda (ꦤ꧀ꦢ(18px)).[1] Pasangan dianggap sebagai varian dari glif aksara dasar, karena itu suatu aksara dan pasangan-nya memiliki kode unicode yang sama. Pasangan akan terbentuk apabila aksara didahului oleh pangkon, misalnya pasangan da yang diketik dengan pangkon lalu da, menghasilkan ꦤ꧀ꦢ.

Pasangan dapat diberi sandhangan, seperti halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada penempatan. Sandhangan yang berada di atas diletakkan di atas aksara dasar, sementara sandhangan yang berada di bawah diletakkan di bawah pasangan. Sandhangan yang berada sebelum dan/atau sesudah aksara dipasang segaris dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh ditempel dengan satu pasangan, atau satu pasangan dengan satu panjingan.

Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi (''Scriptio continua''), sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.

Pasangan Wyanjana
Transkripsi ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Nglegéna ◌꧀ꦲ(18px) ◌꧀ꦤ(18px) ◌꧀ꦕ(18px) ◌꧀ꦫ(18px) ◌꧀ꦏ(18px) ◌꧀ꦢ(18px) ◌꧀ꦠ(18px) ◌꧀ꦱ(18px) ◌꧀ꦮ(18px) ◌꧀ꦭ(18px) ◌꧀ꦥ(18px) ◌꧀ꦝ(18px) ◌꧀ꦗ(18px) ◌꧀ꦪ(18px) ◌꧀ꦚ(18px) ◌꧀ꦩ(18px) ◌꧀ꦒ(18px) ◌꧀ꦧ(18px) ◌꧀ꦛ(18px) ◌꧀ꦔ(18px)
Murda ◌꧀ꦟ(18px) ◌꧀ꦖ(18px) ◌꧀ꦑ(18px) ◌꧀ꦣ(18px) ◌꧀ꦡ(18px) ◌꧀ꦯ(18px) ◌꧀ꦦ(18px) ◌꧀ꦘ(18px) ◌꧀ꦓ(18px) ◌꧀ꦨ(18px)
Mahaprana ◌꧀ꦰ(18px) ◌꧀ꦞ(18px) ◌꧀ꦙ(18px) ◌꧀ꦜ(18px)
Tambahan Ganten Ka sasak Ra agung
Nga lelet Nga lelet Raswadi Pa cerek
◌꧀ꦊ(18px)1 ◌꧀ꦋ(18px) ◌꧀ꦉ(18px) ◌꧀ꦐ(18px) ◌꧀ꦬ(18px)

^1 Ada dua pendapat mengenai pasangan nga-lelet. Pendapat pertama: pasangan nga lelet adalah nga lelet yang diletakkan di bawah aksara nglegena, sehingga menyerupai aksara yang bertumpuk tiga (nga dan pasangan na). Pendapat kedua: pasangan nga lelet adalah pasanga la yang diberi pepet ( ꧀ꦭꦼ(18px))

Aksara numeral

Sistem angka Jawa mempunyai numeralnya sendiri, yang hanya terdiri dari angka 0–9 sebagai berikut:

Angka
Angka Arab 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0
Angka Jawa || || || || || || || || ||
Nama (jawa) ꦱꦶꦗꦶ || ꦭꦺꦴꦫꦺꦴ || ꦠꦼꦭꦸ ||ꦥꦥꦠ꧀ || ꦭꦶꦩ || ꦤꦼꦩ꧀ || ꦥꦶꦠꦸ || ꦮꦺꦴꦭꦸ || ꦱꦔ || ꦤꦺꦴꦭ꧀
Nama (latin) siji loro telu papat lima nem pitu wolu sanga nol

Lebih dari separuh karakter angka Jawa memiliki bentuk yang serupa dengan karakter huruf Jawa, yaitu 1 dengan ga , 2 dengan nga lelet , 6 dengan Aksara E , 7 dengan la , 8 dengan pa murda , dan 9 dengan ya . Untuk menghindari kerancuan, angka yang muncul dalam teks diapit dengan penanda angka yang disebut pada pangkat (). Misal, "Selasa 19 Maret 2013" ditulis dengan: ꦱꦼꦭꦱ꧇꧑꧙꧇ꦩꦉꦠ꧀꧇꧒꧐꧑꧓꧇supaya tidak dibaca "Selasa gaya Maret 2013"

Untuk menulis angka yang lebih besar daripada 9, gabungkan dua angka atau lebih di atas seperti halnya angka Arab. Misalnya, 21 ditulis dengan menggabungkan 2 dan 1 menjadi; ꧇꧒꧑꧇. Dengan cara kerja yang sama, 90 ditulis dengan ꧇꧙꧐꧇.[3]

Terkadang, pada lungsi digunakan sebagai penanda angka.[10] Untuk alasan kepraktisan, angka Jawa biasa digantikan dengan angka Arab untuk menghindari kemiripan dan mempermudah penghitungan matematika.

Tanda baca

Dalam aksara Jawa, tanda baca yang tersedia hanya koma, titik, dan pengapit (berfungsi sebagai tanda kurung atau tanda petik, dengan perbedaan aturan penulisan). Dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa tidak memiliki tanda seru, tanda tanya, tanda hubung, garis miring, titik dua, titik koma, petik tunggal maupun simbol-simbol matematika umum, seperti tambah, kurang, sama dengan. Namun, aksara Jawa memiliki tanda baca-tanda baca khusus yang tidak terdapat dalam sistem penulisan lainnya.

Secara sederhana, tanda baca dapat dibedakan menjadi dua: umum dan khusus. Tanda baca umum digunakan di penulisan biasa, sementara tanda baca khusus digunakan dalam penulisan karya sastra (puisi, dll.)

Tanda baca umum
Simbol Nama Fungsi
Pada adeg Tanda kurung atau petik
Pada adeg-adeg Mengawali suatu paragraf
Pada piseleh Berfungsi seperti halnya pada adeg
Pada piseleh terbalik Berfungsi seperti halnya pada adeg
Pada lingsa Koma1 atau tanda singkatan
Pada lungsi Titik
Pada pangkat Tanda angka2 atau titik dua
Pada rangkep Tanda penggandaan kata3
Tanda baca khusus4 (tunggal)
Simbol Nama Fungsi
Rerengan kiwa lan tengen Mengapit judul
Pada luhur Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih tua atau berderajat lebih tinggi
Pada madya Mengawali sebuah surat untuk orang yang sebaya atau berderajat sama
Pada andhap Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih muda atau berderajat lebih rendah
Tanda baca khusus (kombinasi)
꧋​꧆꧋ Pada guru Mengawali sebuah surat tanpa membedakan umur atau derajat
​꧉꧆꧉ Pada pancak Mengakhiri suatu surat
​꧅ꦧ꧀ꦕ꧅
atau
​꧅ꦧ꧀ꦖ꧅
Purwapada Mengawali sebuah tembang atau puisi
​꧄ꦟ꧀ꦢꦿ꧄ Madyapada Menandakan bait baru
​꧃ꦆ꧃ Wasanapada Mengakhiri tembang atau puisi.[3][4]

^1 Terdapat dua peraturan khusus mengenai penggunaan koma.[3]

a. Koma tidak ditulis setelah kata yang berujung pangkon.
b. Koma menjadi titik apabila tetap ditulis setelah pangkon.

^2 Lihat aksara numeral di atas.
^3 Fungsinya mirip seperti simbol 2 atau 2 dalam ortografi bahasa Indonesia lama yang menandakan kata berulang[10], misal pada kata "orang2" (orang-orang). Karakter ini pada dasarnya adalah angka Arab dua (٢), tetapi tidak memiliki fungsi angka dalam aksara Jawa. Karakter tersebut diproposalkan sebagai karakter independen karena sifat dwi-arah angka Arab.[1]
^4 Tanda baca khusus memiliki banyak varian karena sifatnya yang ornamental, dihias berdasarkan selera dan kemampuan penulis.[1]

Tanda baca arkais

Tirta tumétés Tanda koreksi yang digunakan di Keraton Yogyakarta
Isèn-isèn Tanda koreksi yang digunakan di Keraton Surakarta

Tirta tumétés dan Isèn-isèn adalah semacam tanda koreksi yang berguna untuk menandakan salah tulis.[10] Namun dalam penulisan digital, kedua karakter ini sudah tidak dipergunakan lagi. Dalam penulisan manuskrip, apabila terjadi kesalahan penulisan, maka penyalin mengoreksi bagian yang salah dengan menulis tanda tersebut sebanyak tiga kali. Tirta tumétés digunakan oleh penulis Yogyakarta, sementara Isèn-isèn digunakan oleh penulis Surakarta. Sebagai contoh, seorang penyalin naskan ingin menulis pada luhur namun salah tulis menjadi pada wu..., maka penyalin akan melanjutkan dengan menulis pada wu---luhur. Penyalin dari Yogyakarta menulis: ꦥꦢꦮꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ, sementara penyalin dari Surakarta akan menulis:ꦥꦢꦮꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ[1]

Urutan aksara

Hanacaraka

Aksara Jawa umum diurutkan dengan urutan Hanacaraka, yaitu mengacu pada lima aksara pertama[11]. Urutan tersebut membentuk sebuah puisi atau pangram 4 bait yang menceritakan tentang tokoh dongeng bernama Aji Saka dalam dongeng yang menceritakan tentang terciptanya aksara Jawa[12]. Puisi tersebut diceritakan sebagai berikut:

Namun dari itu, pengurutan ini tidak menjelaskan posisi aksara lainnya, terutama murda dan mahaprana. Selain itu, pengurutan ini berbeda jauh dengan urutan asli aksara Jawa yang mengikuti kaidah bahasa Sanskerta.

Kaganga

Aksara Jawa juga dapat disusun dengan urutan Kaganga yang mengikuti kaidah Sanskerta Panini[1], sehingga memiliki paralel dengan urutan aksara-aksara India lainnya. Urutan ini dipakai dengan mengacu pada aksara-aksara Jawa Kuno pada periode Hindu-Buddha, dan sekarang dipakai sebagai urutan aksara Jawa dalam Unicode. Dengan urutan ini, setiap aksara dapat mewakili bunyi unik yang digunakan dalam bahasa Jawa kuno. Urutannya sebagai berikut:

ꦏꦐꦑꦒꦓꦔ(18px)
ꦕꦖꦗꦘꦙꦚ(18px)
ꦛꦜꦝꦞꦟ(18px)
ꦠꦡꦢꦣꦤ(18px)
ꦥꦦꦧꦨꦩ(18px)
ꦪꦫꦬꦭ(18px)
ꦮꦯꦰꦱꦲ(18px)

Hanacaraka yang diperluas

Kalangan neo-konservatif Jawa juga mengemukakan urutan alternatif yang dengan ciri kedua urutan di atas. Aksara disusun berdasarkan urutan hanacaraka, tetapi aksara murda dan mahaprana diikutsertakan beserta bunyi aslinya sebagaimana dalam urutan kaganga. Hal ini dianggap memudahkan pelafalan dan berguna untuk menulis bahasa asing bahkan bahasa Sanskerta yang masih banyak digunakan terutama untuk motto kesatuan, organisasi bahkan motto NKRI. Berikut urutan ke-36 aksara Jawa sesuai bunyi abjad fonetis internasional (IPA):

ɦa na ɳa tʃa tʃʰa ɾa ɾɾa ka qa kʰa
(18px)|| (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px)
d̪a d̪ʱa t̪a t̪ʰa sa ʃa ʂa ʋa la
(18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) ||
pa pʰa ɖa ɖʱa dʒa dʒɲa dʒʱa ya ɲa
(18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) ||
ma ɡa ɡʱa ba bʱa ʈa ʈʰa ŋa
(18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || (18px) || ||


Penggunaan

Aksara Jawa yang dipakai pada papan nama jalan di Surakarta.

Aksara Jawa sampai sekarang masih diajarkan di sekolah-sekolah wilayah berbahasa Jawa[13] seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, sebagai bagian dari muatan lokal kelas I SD hingga kelas XII SMA.[14][15] Walaupun demikian, penggunaan sehari-hari, seperti dalam media cetak atau televisi, masih sangat terbatas dan terdesak oleh penggunaan aksara Latin yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa. Namun selain itu, usaha-usaha revivalisasi hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya pengembangan ortografi dan tipografi aksara[14], serta digitalisasi komputer yang sulit dilakukan karena kompleksitas aksara Jawa.

Penggunaan di luar bahasa Jawa

Bahasa Sunda

Aksara Jawa juga dapat digunakan untuk menulis bahasa Sunda. Namun aksara dimodofikasi dan dikenal dengan nama Cacarakan. Perbedaannya terlihat dari tidak digunakannya huruf dha dan tha, sehingga konsonan dasarnya hanya terdiri dari 18 huruf. Perbedaan juga terlihat dari penyederhanaan vokal /o/ menjadi tanda baca tolong ((18px)),[10] dan bentuk huruf nya yang berbeda (ꦤ꧀ꦚ). Huruf ini dibangun dari huruf na yang diberi pasangan nya.[10]

Cacarakan Sunda ini dipakai selama kurang lebih 300 tahun setelah keluarnya ultimatum dari VOC pada tanggal 3 November 1705 yang mewajibkan penggunaan aksara Jawa, abjad Pegon, dan alfabet Latin untuk menuliskan bahasa Jawa dan Sunda. Sebagai akibatnya, aksara Sunda kuno dan Rikasara Cirebon punah karena sudah tidak lagi digunakan untuk menulis dalam bahasa Sunda. Saat ini, bahasa Sunda sudah menggunakan aksara baru yang diberi nama aksara Sunda baku, menggantikan Cacarakan. Hanya sebagian kecil daerah di Jawa Barat masih mempertahankan Cacarakan untuk menulis bahasa Sunda.[16][17]

Bahasa Bali

Aksara Bali pada dasarnya hanyalah varian tipografik. Seperti Sunda, Bali juga tidak menggunakan huruf dha dan tha. Karakter-karakter yang tidak digunakan lagi di Jawa masih digunakan untuk menulis kata serapan Sanskerta dan Jawa Kuno.[18]

Hanacaraka gaya Jawa
Hanacaraka gaya Jawa
Hanacaraka gaya Bali
Hanacaraka gaya Bali
Hanacaraka gaya Jawa Hanacaraka gaya Bali

Bahasa Sasak


Bahasa Madura

Aksara Jawa juga digunakan di Madura sejak zaman Kerajaan Daha/Panjalu/Kediri hingga Majapahit. Meskipun begitu, aksara Pegon (huruf Arab versi Jawa) menggantikan penggunaan aksara Jawa di Madura sejak awal kesultanan Demak.


Bahasa Indonesia dan bahasa asing

Sebuah mall di Surakarta, Jawa Tengah.

Karena sifatnya yang fonetis, aksara Jawa dapat dipakai untuk menulis bahasa Indonesia dan kata serapan bahasa asing. Hal ini dapat dilihat pada tempat-tempat umum di wilayah berbahasa Jawa, terutama di Surakarta, Yogyakarta dan sekitarnya. Kata dari bahasa asing ditulis sebagaimana kata tersebut diucap, bukan berdasarkan pengejaannya. Sebagai contoh, "Solo Grand Mall" ditransliterasikan menjadi ꦱꦺꦴꦭꦺꦴꦒꦿꦺꦤ꧀ꦩꦭ꧀sesuai dengan reka pengucapan dalam bahasa Jawa "Solo Grèn Mal".

Font

Perbandingan tampilan beberapa font Jawa
JG Aksara Jawa, oleh Jason Glavy
Tuladha Jejeg, oleh R.S. Wihananto
Aturra, oleh Aditya Bayu
Adjisaka, oleh Sudarto HS/Ki Demang Sokowanten

Pada tahun 2013, terdapat sejumlah font pendukung aksara Jawa yang beredar luas: Hanacaraka/Pallawa oleh Teguh Budi Sayoga,[19] Adjisaka oleh Sudarto HS/Ki Demang Sokowanten,[20] JG Aksara Jawa oleh Jason Glavy,[21] Carakan Anyar oleh Pavkar Dukunov,[22] dan Tuladha Jejeg oleh R.S. Wihananto,[23] yang berbasiskan teknologi Graphite (SIL). Font lain yang edaran terbatas termasuk Surakarta yang dibuat oleh Matthew Arciniega pada 1992 untuk screen font Mac,[24] dan Tjarakan yang dikembangkan AGFA Monotype sekitar tahun 2000.[25] Terdapat juga font berbasis symbol bernama Aturra yang dikembangkan Aditya Bayu sejak 2012-2013.[26]

Karena kompleksitas aksara Jawa, banyak font aksara Jawa menggunakan metode input non-konvensional dibanding aksara Brahmi lain, dan memiliki sejumlah masalah. Semisal, penggunaan JG Aksara Jawa dapat menimbulkan konflik dengan tulisan lain karena font tersebut menggunakan kode berbagai tulisan selain Jawa.[27]

Secara teknis, dapat dikatakan bahwa font Tuladha Jejeg adalah yang paling lengkap. Font tersebut mampu menampilkan bentuk kompleks dan mendukung semua karakter Jawa dengan basis Unicode. Hal ini dicapai dengan penggunaan teknologi teknologi Graphite SIL. Namun karena tidak banyak tulisan yang butuh dukungan sekompleks Jawa, penggunaan terbatas pada program yang mendukung Graphite, seperti browser Firefox, dan Thunderbird email client. Font ini juga digunakan untuk tampilan aksara Jawa di situs-situs Wikimedia Foundation, seperti situs Wikipedia.[10]

Aksara rekaan Arab

Aksara Rekaan Arab adalah aksara jawa yang diubah untuk menuliskan Bahasa Arab. Abjad ini digunakan sebagai transliterasi Bahasa Arab terutama untuk keperluan religius.

Beberapa bukti penggunaan Aksara Rekaan Arab terutama pada terjemahan Kitab Suci Al-Quran yang berjudul Kuran Jawi yang dibuat oleh R.M. Bagus Ngarpah (R.M. Bagus 'Arfah) pada tahun 1905 Masehi terutama digunakan pada kata-kata Bahasa Arab yang tidak terdapat pada Bahasa Jawa walaupun sebelum itu Aksara Rekaan Arab sudah digunakan dalam upaya pada awal penyebaran Agama Islam secara intens terutama sejak masa Kekhalifahan Demak dan kerajaan-kerajaan islam di tanah jawa setelah periodenya.

Unicode

Aksara Jawa resmi dimasukkan ke dalam Unicode sejak Oktober, 2009, dengan dirilisnya Unicode versi 5.2. Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF. Terdapat 91 kode yang mencakup 53 huruf, 19 tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.

Javanese[1][2]
Bagan kode resmi Unicode Consortium (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+A98x
U+A99x
U+A9Ax
U+A9Bx ꦿ
U+A9Cx
U+A9Dx
Catatan
1.^Per Unicode versi 14.0
2.^Abu-abu berarti titik kode kosong


Galeri

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Proposal pengkodean aksara Jawa dalam UCS
  2. ^ a b AGFA Monotype: Javanese. Info aksara Jawa
  3. ^ a b c d e f Soemarmo, Marmo. "Javanese Script." Ohio Working Papers in Linguistics and Language Teaching 14.Winter (1995): 69-103.
  4. ^ a b c Daniels, Peter T and William Bright. The World's Writing Systems. Ed. Peter T Daniels and William Bright. New York: Oxford University Press, 1996.
  5. ^ Campbell, George L. Compendium of the World's Languages. Vol. 1. New York: Routledge, 2000.
  6. ^ Gallop, Annabel T. Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia. Jakarta: Lontar Foundation, 2012. (baca online di sini)
  7. ^ a b c d Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Tingkat I Jawa Tengah, dan Daerah Tingkat I Jawa Tengah. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta:Yayasan Pustaka Nusantara, 2003. (baca online di sini)
  8. ^ Makalah dari KBJ I
  9. ^ Makalah dari KBJ III
  10. ^ a b c d e f g h i j Wihananto, R.S. Panduan Fonta Unicode Aksara Jawa (download PDF di sini)
  11. ^ Bandingkan kata "alfabet" yang mengacu pada dua huruf pertama Yunani (alfa dan beta), dan "kaganga" yang mengacu pada tiga aksara pertama)
  12. ^ "Javanese Characters and Aji Saka". Joglosemar. Diakses tanggal 29 March 2012. 
  13. ^ Bahasa Jawa? Ih, "Boring" Banget. Kompas daring 25-09-2006. Diakses 6-5-2009.
  14. ^ a b Abdul Wahab. Masa depan bahasa, sastra, dan aksara daerah. Nawala.
  15. ^ Sy, Zulfikar (2016-11-09). "Bahasa Jawa Jadi Muatan Lokal Wajib". MerahPutih. Diakses tanggal 2019-09-24. 
  16. ^ Rosyadi (1997). Pelestarian dan usaha pengembangan aksara daerah Sunda. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Jawa Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia. 
  17. ^ Sisi senyap politik bising. Budi Susanto, A., 1952-. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2007. ISBN 9789792116588. OCLC 262737609. 
  18. ^ Ida Bagus Adi Sudewa (14 May 2003). "The Balinese Alphabet, v0.6". Yayasan Bali Galang. Diakses tanggal 9 November 2013. 
  19. ^ Teguh Budi Sayoga (September 2004). "Hanacaraka". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  20. ^ Ki Demang Sokowanten (1 November 2009). "Adjisaka". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  21. ^ Jason Glavy (16 December 2006). "JG Aksara Jawa". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  22. ^ Pavkar Dukunov (Nov 25, 2011). "Carakan Anyar". Hanang Hundarko. Diakses tanggal 9 November 2013. 
  23. ^ R.S. Wihananto. "Tuladha Jejeg, Javanese Unicode font". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  24. ^ Matthew Arciniega's page
  25. ^ AGFA Monotype: Javanese. Glyph repertoire
  26. ^ Aditya Bayu Perdana (1 September 2013). "Aturra, font for Javanese". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  27. ^ Pitulung: Aksara Jawa