Invasi Asia Kecil oleh Abbasiyah (806)
| ||||||||||||||||||||||||||
Invasi Asia Kecil oleh Abbasiyah pada tahun 806 adalah operasi militer terbesar yang pernah diluncurkan oleh Kekhalifahan Abbasiyah terhadap Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur). Serangan ini dipimpin langsung oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid (berkuasa 786–809), dengan maksud membalas serangan-serangan Bizantium ke daerah tsugur (zona perbatasan kekhalifahan) dan menunjukkan kekuatan Ababasiyah terhadap Kaisar Bizantium, Nikeforos I (berkuasa 802–811).
Pasukan besar Abbasiyah, yang menurut sumber Muslim berjumlah lebih dari 135.000 orang (mungkin jumlah sebenarnya tidak sebesar ini), bertolak dari Ar-Raqqah pada 11 Juni 806, melintasi daerah Kilikia dan Pegunungan Taurus, lalu menyerbu daerah Kapadokia di Asia Kecil. Pasukan Abbasiyah tidak menghadapi perlawanan berarti dan bebas memorakmorandakan wilayah tersebut. Pasukan Abbasiyah merebut beberapa kota dan benteng, termasuk Herakleia. Alhasil, Nikeforos terpaksa meminta damai dan membayar upeti serta jizyah (pajak perseorangan untuk warga non-Muslim) yang secara simbolis dikenakan kepada diri Nikepheros dan putra mahkotanya Staurakios.
Namun, setelah kepergian Harun dari wilayah Bizantium, Nikeforos melanggar ketentuan perjanjian dan menduduki kembali benteng-benteng perbatasan yang seharusnya ia kosongkan. Kekhalifahan Abbasiyah tidak dapat mengambil tindakan akibat pemberontakan yang sedang pecah di Khurasan dan meninggalnya Harun pada 809. Selanjutnya, perang saudara yang pecah antara putra-putra Harun serta konflik Bizantium melawan bangsa Bulgar menyebabkan terhentinya peperangan antara Bangsa Arab dan Bizantium selama dua dasawarsa.
Latar belakang
Setelah Maharani Bizantium Irene dari Athena dilengserkan dari takhta pada bulan Oktober 802 dan digantikan oleh Nikeforos I, dimulailah periode baru yang lebih sengit dalam sejarah panjang Peperangan Arab-Bizantium. Sebelumnya, Maharani Irene berhasil meminta gencatan senjata dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid pada tahun 798 dengan membayar upeti, setelah pasukan Abbasiyah melakukan serangkaian serangan tahunan di Asia Kecil yang amat merugikan bagi Bizantium. Hal ini mengulangi gencatan senjata sepanjang tiga tahun yang terjadi setelah aksi militer besar-besaran yang pertama dilakukan Harun di Asia Kecil pada tahun 782.[1][2][3] Tak seperti Irene, Nikeforos dikenal sebagai penguasa yang lebih suka berperang. Sebuah sumber Suryani mencatat bahwa saat mendengar Nikeforos naik takhta, Elpidios (seorang pemberontak dari Bizantium yang membelot ke pihak Abbasiyah) memperingatkan wali negeri Abbasiyah di Al-Jazirah (Mesopotamia Hulu) agar "membuang sutranya dan mengenakan baju zirah". Selain itu, Nikeforos juga bertekad untuk mengisi kembali kas kekaisarannya, salah satunya dengan cara menghentikan pembayaran upeti kepada Abbasiyah.[4]
Untuk menindak penghentian upeti dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Nikopheros terhadap perjanjian damai, Harun melancarkan sebuah operasi militer pada musim semi tahun 803, yang dipimpin oleh putranya Al-Qasim.[5][6] Nikeforos tidak dapat menanggapinya karena ia tengah menghadapi pemberontakan besar-besaran oleh pasukan Bizantium di Asia Kecil di bawah panglimanya Vardanis Tourkos.[7] Setelah berhasil menyingkirkan Vardanis, Nikeforos mengumpulkan pasukannya dan bergerak untuk menghadang gelombang kedua invasi Abbasiyah, yang dipimpin sendiri oleh Khalifah Harun dan berjumlah lebih besar dari pasukan Al-Qasim. Harun awalnya melakukan serangan-serangan kecil di kawasan perbatasan, lalu kedua belah pihak akhirnya saling berhadapan selama dua bulan di Asia Kecil bagian tengah, tetapi tidak sampai terjadi pertempuran. Nikeforos dan Harun saling berkirim surat, hingga akhirnya penarikan pasukan dan gencatan senjata disetujui dengan syarat Nikopheros membayar upeti satu kali.[8]
Pada tahun berikutnya, 804, pasukan Abbasiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin Jibril kembali menyerang Asia Kecil dengan menyeberangi Pegunungan Taurus. Nikeforos bergerak untuk menghadang pasukan ini, tetapi pasukan Abbasiyah melakukan serangan dadakan yang menghancurkan pasukan Bizantium dalam Pertempuran Krasos yang nyaris menewaskan sang kaisar.[1][3][9] Karena sibuk dengan masalah di Khurasan (penduduk di wilayah itu kisruh akibat pemerintahan wali negeri Ali bin Isa bin Mahan yang dianggap semena-mena), Harun sekali lagi menerima perdamaian dengan syarat pembayaran upeti dari Bizantium.[3][9][10] Pertukaran tahanan juga diatur dan berlangsung selama musim dingin di perbatasan dua imperium tersebut di sungai Lamos, Kilikia: sekitar 3.700 orang Muslim dibebaskan dan ditukar dengan dengan tawanan-tawanan Bizantium dari tahun-tahun sebelumnya.[9][11]
Harun kemudian berangkat ke Khurasan di daerah timur kekhalifahan dan meninggalkan al-Qasim untuk menjaga perbatasan dengan Bizantium.[9][12] Pada 805, Nikeforos menggunakan kesempatan ini untuk membangun kembali tembok-tembok yang hancur di kota Thebasa, Ankara, dan tempat yang disebut as-Safsaf ("Benteng Dedalu") dalam catatan Muslim. Pada musim panas tahun yang sama, ia melancarkan serangan (yang pertama dilakukan Bizantium dalam dua dasawarsa sebelumnya) ke zona perbatasan (tsugur) yang dikuasai Abbasiyah di Kilikia. Tentara Bizantium menyerang wilayah di sekitar Mopsuestia dan Anazarbus dan mengumpulkan tawanan dan harta rampasan. Pasukan garnisun Mopsuestia menyerang pasukan Bizantium dan membebaskan sebagian besar tawanan serta merebut kembali harta rampasan. Pasukan Bizantium kemudian bergerak ke Tarsus, yang pertahannya diperkuat dan diisi penduduk Muslim oleh Harun pada 786 untuk memperkuat posisi Muslim di Kilikia. Kota itu akhirnya jatuh dan seluruh tentaranya ditawan.[1][13][14] Pada saat yang sama, pasukan Bizantium lainnya menyerbu daerah perbatasan di Al-Jazirah, akan tetapi gagal merebut benteng Melitene. Selain itu, pihak Bizantium menggalakkan pemberontakan terhadap pasukan Abbasiyah di Siprus, yang telah dikuasai bersama-sama oleh Bizantium dan Kekhalifahan Muslim selama seabad lebih.[13][a]
Bangkitnya serangan-serangan Bizantium secara tiba-tiba ini sangat mengejutkan Harun. Ia juga menerima laporan bahwa Nikeforos merencanakan serangan serupa pada tahun berikutnya, yang bertujuan sepenuhnya merebut wilayah-wilayah perbatasan yang telah dikuasai Abbasiyah. Sejarawan Warren Treadgold menulis bahwa jika Bizantium berhasil dalam upaya ini, "penempatan pasukan di Tarsus dan Melitene akan memblokir sebagian rute utama serangan Arab melalui pegunungan Taurus ke jantung wilayah Bizantium, sehingga sangat menguntungkan Bizantium". Di sisi lain, Treadgold juga menyebut bahwa Nikeforos jelas menyadari keunggulan besar kubu kekhalifahan dari segi sumber daya dan jumlah pasukan, sehingga kemungkinan aksi militer ini hanya ditujukan sebagai unjuk kekuatan dan untuk menguji kesungguhan pihak lawan.[15]
Operasi militer
Setelah mengurusi masalah di Khurasan dan mengukuhkan status Ali bin Isa sebagai wali negeri,[16] Harun kembali ke kawasan barat pada bulan November 805 dan menyiapkan aksi militer balasan untuk tahun berikutnya. Ia mengumpulkan pasukan besar dari Syam, Palestina, Persia, dan Mesir. Menurut sejarawan Ath-Thabari (838–923), pasukan Abbasiyah berjumlah 135.000 pasukan biasa, beserta tambahan sejumlah relawan dan pasukan tidak resmi.[17][18] Ini adalah angka pasukan terbesar yang tercatat dalam sejarah Abbasiyah,[18] dan diperkirakan menyamai setengah jumlah pasukan Bizantium di seluruh kekaisaran.[19] Kini angka ini dianggap jelas berlebihan (sejarawan Bizantium masa itu, Teofanis, bahkan menyebut angka yang lebih fantastis yaitu 300.000) dan jumlah pasukan sesungguhnya lebih kecil dari itu, tetapi besarnya angka yang tercatat menunjukkan besarnya pasukan yang dikumpulkan kekhalifahan.[18][20] Pada saat yang sama, pasukan laut yang dipimpin laksamana Humaid bin Ma'yuf Al-Hajuri telah bersiap untuk menyerang Siprus.[17][19]
Pasukan tersebut bergerak dari Ar-Raqqah (tempat kediaman Harun) di Syam Utara pada tanggal 11 Juni 806 di bawah pimpinan sang khalifah. Ath-Thabari menyebutkan bahwa Harun mengenakan tutup kepala bertuliskan "غاز حاج" ("ghazi/penyerang dan haji"). Pasukan Abbasiyah melintasi Kilikia dan Harun memerintahkan untuk membangun kembali kota Tarsus. Mereka lalu memasuki wilayah Kapadokia yang dikuasai Bizantium melalui Gerbang Kilikia. Harun kemudian bergerak ke Tyana, yang pada saat itu tampaknya telah dikosongkan. Di sana, ia mulai mendirikan markas operasinya dan memerintahkan 'Uqbah bin Ja'far Al-Khuza'i untuk membangun kembali pertahanan kota dan mendirikan sebuah masjid.[21][22][23]
Salah seorang panglima bawahan Harun, Abdullah bin Malik al-Khuza'i merebut kota Sideropalos. Separuh pasukan Abbasiyah (sekitar 70.000 menurut Ath-Thabari) ditempatkan di bawah komando Dawud bin Isa bin Musa, dan bergerak memorakmorandakan wilayah Kapadokia. Panglima Abbasiyah yang lain, Syarahil bin Ma'n bin Za'idah menaklukkan benteng yang disebut Hisn as-Saqalibah ("Benteng Kaum Slavia") dan kota Thebasa yang sebelumnya baru dibangun kembali. Panglima lain bernama Yazid bin Makhlad menaklukkan benteng as-Safsaf dan Malakopea. Kota Andrasos juga berhasil ditaklukkan dan kota Kyzistra berada dalam kepungan, sementara itu Ankara diserang tetapi tidak berhasil direbut. Harun sendiri dengan separuh pasukan yang tersisa bergerak ke barat, mengepung Herakleia selama sebulan hingga kota tersebut jatuh pada bulan Agustus atau September. Kota itu dijarah dan dihancurkan, dan penduduknya dijadikan budak dan dipindahkan ke wilayah Kekhalifahan.[17][24] Direbutnya Herakleia (Hiraqlah dalam bahasa Arab) diangap oleh sumber-sumber Muslim sebagai pencapaian Harun ar-Rasyid yang terbesar dalam perangnya melawan Bizantium.[25] Sejarawan Marius Canard menyebut, "bagi bangsa Arab kemenangan di Herakleia memiliki dampak sedahsyat Penjarahan Amorium pada 838" walaupun sebenarnya kota tersebut tidak terlalu penting. Oleh sumber-sumber Bizantium, jatuhnya kota ini tidak diberi catatan istimewa dibandingkan kota dan benteng lain yang direbut Abbasiyah pada tahun yang sama.[26] Pada saat yang sama, Humaid menyerang Siprus dan menawan sekitar 16.000 penduduknya termasuk uskup agung pulau tersebut, dan membawa mereka ke Syam untuk dijual sebagai budak.[17][27][28]
Nikeforos yang kalah jumlah dan terancam oleh bangsa Bulgar di belakangnya, tak dapat membendung serangan Abbasiyah. Ia sempat memimpin pasukannya dan memenangkan beberapa pertempuran kecil melawan rombongan-rombongan kecil dari Abbasiyah, tetapi menghindari posisi utama musuh. Pada akhirnya, untuk menghindari kemungkinan pasukan Abbasiyah menempati tanah Bizantium selama musim dingin, Nikeforos mengirim tiga rohaniwan sebagai utusan: Mikael (uskup Synnada), Petros (hegoumenos Biara Goulaion), dan Gregorios (oikonomos kota metropolis Amastris). Harun menyetujui perdamaian dengan berbagai syarat, di antaranya pembayaran upeti tahunan kepada Abbasiyah (30.000 keping nomisma emas, menurut Teofanis, atau 50.000 menurut Ath-Thabari), serta pembayaran pajak jizyah dari sang Kaisar dan putra mahkotanya Stavrakos (menurut Teofanis masing-masing membayar tiga keping koin emas, sedangkan Ath-Thabari menyebut jizyah empat keping untuk sang Kaisar dan dua koin untuk Stavrakos). Jizyah adalah pajak perseorangan yang dikenakan untuk warga non-Muslim di bawah kekuasaan Muslim, sehingga dengan ini kaisar dan putra mahkota mengakui secara simbolis status mereka sebagai kawula sang khalifah. Selain itu, Nikeforos berjanji untuk tidak membangun kembali benteng yang telah dihancurkan. Setelah disetujuinya perjanjian ini, Harun menarik pasukannya dari berbagai kota Bizantium yang tengah dikepung dan meninggalkan wilayah kekaisaran tersebut.[23][29][30][31]
Kelanjutan
"Nikeforos telah melanggar perdamaian yang engkau berikan kepadanya,
tetapi roda keberuntungan akan berbalik.
[...] Nikeforos, jika engkau mengkhianati saat [khalifah] sedang pergi,
itu karena kebodohan dan kebutaanmu.
[...] [Nikeforos] telah membayar jizyah dan menunduk,
khawatir terhadap pedang dan takut akan kematian."
Puisi karya seorang penyair istana (namanya tidak diketahui) yang memuji aksi Harun terhadap Nikeforos.[32][33]
Setelah tercapainya perjanjian damai, sang khalifah dan kaisar membina hubungan baik. Ath-Thabari mencatat Nikeforos meminta Harun mengembalikan seorang gadis Bizantium yang ditawan dan dijadikan budak saat kota Herakleia direbut pasukan Abbasiyah, karena gadis tersebut adalah salah satu pilihan untuk dijadikan calon istri putranya Staurakios. Ia juga meminta dikirimi parfum. Menurut Ath-Thabari, Khalifah Harun "memerintahkan gadis tersebut dicari; gadis tersebut didatangkan, diberi pakaian yang indah dan diberi tempat duduk di tenda milik khalifah. Gadis itu beserta tenda dan seluruh isinya diserahkan kepada utusan Nikeforos. Ia juga mengirimkan parfum yang diminta Nikeforos, beserta kurma, manisan, kismis, dan obat-obatan."[34]
Nikeforos membalas budi dengan mengirimkan kuda yang membawa 50.000 keping koin perak, 100 pakaian satin, 200 pakaian sutra, 12 elang untuk berburu, 4 anjing berburu, dan 3 kuda tambahan.[34][35] Namun, setelah pasukan Abbasiyah meninggalkan wilayah Bizantium, sang kaisar segera melanggar perjanjian yaitu dengan membangun kembali benteng-benteng perbatasan dan menghentikan pembayaran upeti. Menurut catatan Teofanis, Harun tiba-tiba kembali ke Bizantium dan merebut Thebasa sebagai tindakan balasan, tetapi peristiwa ini tidak disebutkan di sumber-sumber lain.[1][31][35]
Tentara Abbasiyah melancarkan berbagai serangan pada tahun 807 sebagai balasan terhadap pelanggaran ini, tetapi serangan yang dipimpin Yazid bin Makhlad al-Hubairi al-Fazari pada musim semi berakhir naas, dan Yazid sendiri tewas dalam pertempuran. Pada musim panas, pasukan yang lebih besar di bawah pimpinan Hartsamah bin A'yan memasuki wilayah Bizantium dan dihadang oleh pasukan yang dipimpin Nikeforos sendiri; pertempuran terjadi tanpa pemenang yang jelas dan kedua pasukan mundur setelahnya. Sebagai balasan, tentara Bizantium menyerang wilayah Marasy, sementara pada akhir musim panas armada Humaid melancarkan serangan laut besar, yang termasuk penjarahan terhadap Pulau Rodos dan mencapai hingga Semenanjung Peloponnesos. Di Peloponnesos armada ini membangkitkan pemberontakan penduduk kaum Slavia setempat terhadap kekuasaan Bizantium, tetapi pemberontakan ini dipatahkan setelah gagalnya serangan terhadap kota Patras.[36][37][38] Sementara itu armada Humaid mengalami badai saat kembali ke pangkalan dan kehilangan beberapa kapal. Selain kegagalan berbagai operasi militer ini, juga pecah pemberontakan di Khurasan oleh Rafi bin al-Laits sehingga Harun harus berangkat ke timur untuk menghadapinya. Sang khalifah menyetujui perdamaian dengan Bizantium, dan pertukaran tawanan terjadi pada tahun 808. Dengan perdamaian ini, Nikeforos berhasil memperbaiki posisinya dibandingkan perjanjian sebelumnya, karena ia dapat mempertahankan benteng-benteng perbatasan yang ia bangun kembali serta tidak lagi harus membayar upeti kepada Harun.[39]
Dampak
Dari segi pencapaian nyata, aksi militer Harun yang sangat besar ini tidak mencapai banyak hasil. Walaupun kota Herakleia sempat direbut dan dijarah (peristiwa ini cukup dibanggakan dalam sumber-sumber sejarah Arab), dalam jangka panjang tidak banyak yang dihasilkan karena Nikeforos melanggar hasil perjanjian Abbasiyah-Bizantium dalam waktu singkat.[35][40] Menurut Treadgold, jika Harun mengikuti saran panglima-panglimanya untuk melanjutkan serangan ke barat untuk menghancurkan kota-kota besar Bizantium, ia dapat saja menimbulkan kerugian jangka panjang terhadap kekaisaran seterunya tersebut. Nyatanya, sang khalifah cukup puas dengan unjuk kekuatan untuk mengancam Nikeforos dan mencegahnya mengulangi serangan terhadap kekhalifahan sebagaimana yang terjadi pada 805.[41][40] Hal ini sejalan dengan kebijakan Dinasti Abbasiyah, yang umumnya berperang dengan tujuan menjaga perbatasan, membalas dan mencegah serangan musuh, atau menunjukkan kepada penduduknya bahwa mereka masih melanjutkan tradisi jihad, alih-alih bertujuan memperluas wilayah seperti pada masa Umayyah.[42] Untuk tujuan ini, aksi militer Abbasiyah ini dapat dinilai sukses, karena setelah operasi ini Nikeforos tidak lagi berencana memperluas wilayahnya di timur dan memilih memusatkan perhatiannya untuk melakukan reformasi keuangan negara, mengembalikan kekuasaan kekaisaran di Balkan, dan memerangi bangsa Bulgar di kawasan tersebut.[41] Upaya ini berakhir naas dengan tewasnya sang kaisar dalam Pertempuran Pliska pada tahun 811.[43]
Di sisi lain, sejarawan M.A. Shaban menyebut bahwa aksi Harun ini hanyalah "keberhasilan terbatas" dan mengkritik fokus sang khalifah terhadap Kekaisaran Bizantium sebagai "upaya yang benar-benar salah arah". Menurut Shaban, selain Bizantium tidak mampu (dan tidak ingin) menimbulkan masalah serius di kekhalifahan, dalam aksi ini bala tentara dari kawasan timur kekhalifahan ikut direkrut ke barat sehingga menimbulkan keresehan di golongan elit militer Irak dan Syam. Hal ini menimbulkan perpecahan internal yang menjadi salah satu faktor pecahnya "fitnah" atau perang saudara setelah Harun meninggal pada Maret 809.[44] Perang yang terjadi antara dua putra Harun (Al-Amin dan Al-Ma'mun) ini mencegah Kekhalifahan Abbasiyah untuk memanfaatkan kelemahan posisi Bizantium setelah kegagalan Nikeforos di Balkan. Operasi besar Abbasiyah yang dilancarkan pemerintah, seperti yang terjadi pada tahun 806 dan 807, tidak terulang lagi dalam dua puluh tahun ke depan.[36][45] Serangan-serangan kecil tetap dilakukan oleh unsur-unsur di kedua belah pihak di darat maupun di laut. Selain itu, Kekaisaran Bizantium juga menghadapi kekuatan-kekuatan lain di Dunia Islam. Tanpa campur tangan Abbasiyah, pada tahun 820-an Pulau Kreta milik Bizantium jatuh ke tangan Muslim dan penaklukan Muslim juga dimulai di Pulau Sisilia.[46][47] Perang darat skala besar baru mulai terjadi lagi antara Abbasiyah dan Bizantium setelah naiknya Kaisar Teofilos, yang berperang melawan Khalifah Al-Ma'mun serta penerusnya Al-Mu'tashim. Puncak perang ini ditandai dengan serangan besar Al-Ma'mun ke Bizantium pada 830–833, dan serangan Al-Mu'tashim pada 838 yang berujung dihancurkannya kota Amorion.[48][49]
Aksi Harun ini juga mendapat perhatian para sastrawan. Sejarawan Al-Mas'udi dan buku Kitab al-Aghani mencatat berbagai legenda yang beredar di kalangan Arab berkaitan peristiwa ini. Di antaranya adalah legenda perkelahian satu lawan satu antara jawara pasukan Muslim dan Bizantium, atau ketakutan di antara pasukan Bizantium saat pasukan Abbasiyah menembakkan ketapel besar yang dilengkapi zat mirip api Yunani.[50] Bangsa Turki Utsmani juga menganggap penting serangan ini. Dalam catatan perjalanannya, penjelajah Evliya Çelebi menggabungkan peristiwa ini dengan aksi militer Harun pada tahun 782 yang mencapai Selat Bosporus, serta menambah unsur-unsur fiksi seperti kematian Nikeforos. Menurut tulisan Evliya, Harun menyerang Konstantinopel (ibu kota Bizantium, kini Istanbul) dua kali, dan pada kali kedua ia disebut memerintahkan Nikeforos dihukum gantung di Hagia Sophia sebagai pembalasan terhadap pembantaian umat Muslim di kota tersebut.[51]
Harun mendirikan sebuah monumen untuk memperingati keberhasilannya, yang terletak di sekitar 8 kilometer di sebelah barat kediamannya di Ar-Raqqah. Monumen ini disebut Hiraqlah oleh warga setempat (dari nama kota Herakleia) dan terdiri dari sebuah bangunan berbentuk persegi dengan sisi sepanjang 100 meter yang dikelilingi tembok berbentuk lingkaran berdiameter 500 meter, dengan empat gerbang di keempat arah mata angin. Bangunan utamanya dibangun dengan batu-batu yang diambil dari gereja yang diruntuhkan atas perintah Harun selama tahun 806 dan 807. Lantai dasarnya memiliki empat ruangan berlangit-langit pelengkung dan jalan-jalan yang melandai menuju lantai atas. Lantai atasnya belum selesai ketika Harun berangkat ke Khurasan sebelum ia meninggal. Hingga kini peninggalan monumen tersebut masih ada dalam kondisi belum terselesaikan.[52]
Lihat pula
Catatan penjelas
- ^ Status Siprus pada masa ini cukup unik karena kekuasaan dan penerimaan pajak pulau tersebut dibagi antara pihak Bizantium dan Kekhalifahan, dan kadang disebut "kondominium" oleh sejarawan modern. Untuk penjelasan lebih rinci, lihat: Lynch, Ryan J. (2016). "Cyprus and Its Legal and Historiographical Significance in Early Islamic History". Journal of the American Oriental Society. 136 (3): 535–550. doi:10.7817/jameroriesoci.136.3.0535.
Referensi
- ^ a b c d Brooks 1923, hlm. 126.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 113.
- ^ a b c Kiapidou 2002, § 1. Historical background.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 127, 130.
- ^ Bosworth 1989, hlm. 238–239.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 131.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 131–133.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 133.
- ^ a b c d Treadgold 1988, hlm. 135.
- ^ Bosworth 1989, hlm. 250–251.
- ^ Bosworth 1989, hlm. 257 (note 887).
- ^ Bosworth 1989, hlm. 248, 250–253.
- ^ a b Treadgold 1988, hlm. 135, 138–139.
- ^ Bosworth 1989, hlm. 261–262.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 139.
- ^ Bosworth 1989, hlm. 253–254.
- ^ a b c d Bosworth 1989, hlm. 262.
- ^ a b c Kennedy 2001, hlm. 99, 106.
- ^ a b Treadgold 1988, hlm. 144.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 661, 662 (catatan 5).
- ^ Treadgold 1988, hlm. 144–145.
- ^ Bosworth 1989, hlm. 262–263.
- ^ a b Kiapidou 2002, § 2. Beginning and outcome of the campaign.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 661.
- ^ Canard 1962, hlm. 356.
- ^ Canard 1962, hlm. 378.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 661–662.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 145.
- ^ Bosworth 1989, hlm. 263.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 145, 408 (note 190).
- ^ a b Mango & Scott 1997, hlm. 662.
- ^ El-Cheikh 2004, hlm. 96–97.
- ^ Bosworth 1989, hlm. 240–241.
- ^ a b Bosworth 1989, hlm. 264.
- ^ a b c Treadgold 1988, hlm. 146.
- ^ a b Brooks 1923, hlm. 127.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 147–148.
- ^ Bosworth 1989, hlm. 267–268.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 155.
- ^ a b Kiapidou 2002, § 3. Consequences.
- ^ a b Treadgold 1988, hlm. 146, 157–174.
- ^ El-Hibri 2010, hlm. 302.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 168–174.
- ^ Shaban 1976, hlm. 32, 38–39.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 157.
- ^ Brooks 1923, hlm. 127–128.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 183, 219–220, 248–257.
- ^ Brooks 1923, hlm. 128–131.
- ^ Treadgold 1988, hlm. 272–275, 278–281, 292–305.
- ^ Canard 1962, hlm. 363–372.
- ^ Canard 1926, hlm. 103–104.
- ^ Meinecke 1995, hlm. 412.
Sumber
- Bosworth, C.E., ed. (1989). The History of al-Ṭabarī, Volume XXX: The ʿAbbāsid Caliphate in Equilibrium: The Caliphates of Mūsā al-Hādī and Hārūn al-Rashīd, A.D. 785–809/A.H. 169–192. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-88706-564-4.
- Brooks, E. W. (1923). "Chapter V. (A) The Struggle with the Saracens (717–867)". The Cambridge Medieval History, Vol. IV: The Eastern Roman Empire (717–1453). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 119–138. OCLC 241580719.
- Canard, Marius (1926). "Les expéditions des Arabes contre Constantinople dans l'histoire et dans la légende". Journal Asiatique (208): 61–121. ISSN 0021-762X.
- El-Cheikh, Nadia Maria (2004). Byzantium Viewed by the Arabs. Cambridge, Massachusetts: Harvard Center of Middle Eastern Studies. ISBN 978-0-932885-30-2.
- El-Hibri, Tayeb (2010). "The empire in Iraq, 763–861". Dalam Robinson, Chase F. The New Cambridge History of Islam, Volume 1: The Formation of the Islamic World, Sixth to Eleventh Centuries. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 269–304. ISBN 978-0-521-83823-8.
- Kennedy, Hugh N. (2001). The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State. London: Routledge. ISBN 978-0-203-45853-2.
- Kiapidou, Irini-Sofia (2002). "Campaign of the Arabs in Asia Minor, 806". Encyclopedia of the Hellenic World, Asia Minor. Athens: Foundation of the Hellenic World. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 October 2013. Diakses tanggal 22 March 2012.
- Mango, Cyril; Scott, Roger (1997). The Chronicle of Theophanes Confessor. Byzantine and Near Eastern History, AD 284–813. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-822568-7.
- Meinecke, Michael (1995). "al-Raḳḳa". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Lecomte, G. Encyclopaedia of Islam. Volume VIII: Ned–Sam (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 410–414. ISBN 978-90-04-09834-3.
- Treadgold, Warren T. (1988). The Byzantine Revival, 780–842. Stanford, California: Stanford University Press. ISBN 0-8047-1462-2.
Pranala luar
- Catatan peristiwa ini disebutkan dalam karya abad ke-10 Tarikh Ath-Thabari Volume VIII, bagian tahun 190 H, yang tersedia di Wikisource Bahasa Arab.