Lompat ke isi

Samuel

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 3 Februari 2020 05.21 oleh LabdajiwaBot (bicara | kontrib) (Bot: Mengganti kategori Tokoh yang disebutkan dalam Alquran dengan Tokoh yang disebutkan dalam Al-Qur'an)
Hakim Israel kuno

Kitab Yosua:
Yosua
Kitab Hakim-hakim yoi: OtnielEhudSamgarDeboraBarak† • GideonAbimelekh† • TolaYairYeftaEbzanElonAbdonSimson
Kitab 1 Samuel:
EliSamuel

Tidak resmi diangkat sebagai hakim


Fresco Nabi Samuel di sebuah gereja Ortodoks di Byzantine

Samuel atau Shmu'el (bahasa Ibrani: שְׁמוּאֵל, Modern Šəmuʼel Tiberias Šəmûʼēl ; "El" (Allah) mendengar"; bahasa Arab: صموئيل, Shamu`il) adalah seorang pemimpin penting dalam Sejarah Israel kuno. Kisahnya diceritakan dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, khususnya dalam Kitab 1 Samuel.

Menurut pandangan sastra rabinik, Samuel adalah hakim terakhir[1] dan nabi pertama[2] yang mulai bernubuat di Negeri Israel. Ia hidup di antara dua zaman, yaitu zaman hakim-hakim dan zaman kerajaan, seperti yang dapat dilihat bahwa riwayat dalam Kitab 1 dan 2 Samuel langsung mengikuti Kitab Hakim-hakim. Ia mengurapi dua raja pertama Kerajaan Israel, yaitu Raja Saul dan Raja Daud.

Nama

Arti nama Samuel (שְׁמוּאֵ֔ל) adalah 'nama-Nya adalah Allah' ('shemu', namanya; 'El', Allah) hal ini sesuai dengan janji Hana kepada Allah untuk menyerahkan anak yang akan dilahirkannya menjadi seorang nazir bagi Allah. Untuk mengingat janjinya itulah Hana menamai anaknya 'Shemuel'

Terjemahan harafiah lain dari Samuel ialah Allah mendengar ('Shama', mendengar; 'El', Allah), sesuai dengan Samuel 1:20; di situ dikatakan bahwa Hana menamai anaknya untuk mengenang permohonannya kepada Allah akan seorang anak, dan Allah mendengarnya.

Ada dua orang dalam Alkitab Perjanjian Lama yang memakai nama Samuel. Ada dua orang yang bernama Samuel dalam Perjanjian Lama, yaitu Samuel bin Amihud, tokoh ini sekali saja disebutkan dalam Alkitab.[3] Tokoh terkenal yang disebut sebagai Nabi Samuel disebutkan pertama kali dalam 1 Samuel 1:20.

Tradisi Yahudi dan Kristen

Kelahiran dan tahun-tahun pertama

Kelahirannya dicatat dalam 1 Samuel 1:20. Hana, ibu Samuel, adalah salah seorang dari dua istri Elkana, seorang Lewi. Ia pergi ke Silo untuk berdoa kepada Tuhan, dengan sungguh-sungguh memohon kepada Allah agar ia dapat mempunyai seorang anak lelaki. Doanya ternyata dikabulkan; dan setelah anak itu disapih ia membawanya ke Silo dan mempersembahkannya kepada Tuhan sebagai seorang "nazir" untuk seumur hidupnya.[4]

Di sini segala kebutuhan fisiknya serta pendidikannya diperhatikan oleh kaum perempuan yang melayani di Kemah Suci[butuh rujukan], sementara Eli mengawasi pendidikan keagamaannya. Demikianlah, barangkali sekitar dua belas tahun dari hidupnya. "Tetapi Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia."[5] Pada masa itu pula terjadi kemerosotan moral yang hebat di Israel.[6]

Filistin

Bangsa Filistin, yang akhir-akhir ini bertambah jumlah dan kekuatannya, praktis merupakan tuan atas negeri itu dan mereka memperhamba bangsa Israel.[7] Pada saat ini bentuk komunikasi baru dari Allah mulai terjadi atas diri anak kecil yang saleh ini. Sebuah suara yang misterius datang kepadanya pada malam hari, memanggil-manggil namanya, dan, sebagaimana yang diinstruksikan Eli, ia menjawab, "Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar."

Kemasyhuran dan pengaruh

Pesan yang datang dari Tuhan berisi berita kehancuran Eli dan anak-anaknya yang jahat. Samuel menyampaikan semuanya kepada Eli. Terhadap berita penghukuman yang mengerikan itu,[8] Eli hanya menjawab, ""Dia TUHAN, biarlah diperbuat-Nya apa yang dipandang-Nya baik".

Tuhan kini menyatakan dirinya dalam cara yang berbeda-beda kepada Samuel. Kemasyhuran dan pengaruhnya meningkat di seluruh negeri sebagai satu-satunya orang yang dipanggil ke dalam jabatan sebagai nabi oleh Tuhan. Beban orang Filistin terlalu berat, dan rakyat yang mengeluh di bawah penindasan yang meluas itu, tiba-tiba bangkit memberontak, dan "orang Israel maju berperang melawan orang Filistin." Pertempuran hebat terjadi di Afek, dekat Eben-Haezer.[9] Bangsa Israel dikalahkan, dengan 4.000 orang tewas "di medan pertempuran".

Tabut perjanjian dibawa ke medan perang

Para tua-tua bangsa Israel berpendapat bahwa untuk mengatasi kehancuran ini mereka harus membawa bersama mereka Tabut Perjanjian sebagai lambang kehadiran Yahweh. Karena itu, tanpa berkonsultasi dengan Tuhan, mereka mengambil tabut itu dari Silo ke perkemahan dekat Afek. Ketika melihat tabut itu berada di antara rakyat mereka, rakyat pun "bersoraklah seluruh orang Israel dengan nyaring, sehingga bumi bergetar."

Pertempuran kedua

Pertempuran kedua berlangsung, dan kembali tentara Filistin mengalahkan tentara Israel, menyerbu ke perkemahan mereka, membantai 30.000 orang, dan merebut Tabut Perjanjian. Berita tentang pertempuran fatal ini segera sampai di Silo. Segera setelah Eli yang lanjut usia mendengar bahwa Tabut Allah direbut, ia terjatuh dari kursinya di pintu gerbang, lalu patah lehernya dan meninggal.

Mungkin atas nasihat Samuel yang saat itu berusia sekitar 20 tahun, Kemah Suci bersama perlengkapannya dipindahkan dari Silo ke sebuah tempat yang dianggap aman, dan akhirnya ke Nob. Tabut itu diletakkan di sana selama bertahun-tahun.[10] Tentara Filistin masuk ke Silo dan merampas serta menghancurkannya.[11]

Beberapa pakar modern menganggap bahwa Kitab Ulangan pasal 32 mungkin ditulis oleh Samuel sendiri sebagai tanggapan terhadap implikasi teologis dari kekalahan yang sangat parah ini, meskipun tidak ada bukti konkrit bahwa hal ini benar terjadi.

Dua puluh tahun kemudian

Ini adalah masa yang penting dalam sejarah Israel. Selama 20 tahun setelah pertempuran fatal di Afek, seluruh negeri berada di bawah penindasan bangsa Filistin. Selama tahun-tahun ini Samuel menjadi kekuatan spiritual di negeri itu. Dari kota Ramataim-Zofim atau Rama, tempat kelahiran[12] dan tempat tinggalnya,[13] pengaruhnya meluas ke seluruh negeri. Dengan semangat yang tak kenal lelah ia berkeliling ke mana-mana untuk menegur, mengecam rakyat, berusaha membangkitkan rasa berdosa mereka, dan mengajak mereka bertobat.

Usahanya berhasil sehingga seluruh bangsa Israel menyesal kepada Tuhan. Samuel mengumpulkan bangsanya di Mizpa, salah satu bukit tertinggi di Israel. Di sana mereka berpuasa dan berdoa, dan di bawah bimbingan Samuel, mempersiapkan diri untuk perang besar melawan bangsa Filistin yang kini datang dengan kekuatan penuh ke Mizpa untuk menghancurkan bangsa Israel. Samuel berdoa kepada Tuhan dan Tuhan menolong bangsa itu. Samuel, pemimpin mereka, juga bertindak sebagai pemimpin dalam peperangan. Bangsa Filistin dipukul mundur. Mereka melarikan diri dalam ketakutan dan banyak dari mereka yang tewas.

Akhir penindasan Filistin

Pertempuran ini, yang mungkin terjadi sekitar 1095 SM, mengakhiri 40 tahun penindasan oleh Filistin. Untuk mengenang pembebasan besar itu, dan sebagai tanda syukur atas pertolongan yang diberikan oleh Tuhan, Samuel membangun sebuah batu besar di medan peperangan, dan menyebutnya Eben-Haezer, dan berkata, "Sampai di sini TUHAN menolong kita".[14] Di tempat yang sama ini, 20 tahun sebelumnya, bangsa Israel mengalami kekalahan besar, ketika Tabut Allah direbut.

Kemenangan atas Filistin ini menyebabkan periode damai yang panjang di Israel.[15] Selama itu Samuel melakukan tugas sebagai Hakim, berjalan keliling bertahun-tahun dari rumahnya di Rama ke Betel, ke Gilgal (tidak jelas apakah ini yang di lembah sungai Yordan, ataukah di sebelah barat gunung Ebal dan Gerizim. Sejumlah pakar meyakini yang kedua), kemudian pulang melalui Mizpa kembali ke Rama.

Ibadah orang Israel

Samuel menyelenggarakan ibadah secara teratur di Silo, di mana ia mendirikan altar; dan di Rama di mana ia mengumpulkan orang-orang muda dan mendirikan sekolah untuk para nabi. Sekolah-sekolah nabi kemudian juga didirikan di Gibea, Betel, Gilgal, dan Yerikho, memberikan pengaruh penting bagi karakter dan sejarah bangsa dalam memelihara agama murni di tengah pertumbuhan kesesatan. Mereka terus ada sampai Israel masuk ke dalam masa kerajaan.

Setelah lewat beberapa tahun menjadi hakim, Samuel dikenal sebagai sahabat dan penasehat bagi banyak orang Israel untuk urusan pribadi dan umum. Ia merupakan negarawan besar dan juga seorang reformer, dan semua menghargainya dengan gelar "pelihat", nabi Tuhan.

Akhir masa tugas

Ketika Samuel sudah tua dan mendekati akhir masa tugasnya, para penatua Israel datang kepadanya di Rama (1 Samuel 8:4, 5, 19–22). Samuel mengangkat putra-putranya menjadi hakim di Bersyeba, tetapi mereka ternyata tidak jujur dan korupsi. Para tua-tua Israel, mengantisipasi penyalahgunaan kekuasaan Samuel serta ancaman dari bani Amon, menuntut agar seorang raja dipilih untuk memerintah bangsa Israel. Hal ini mengesalkan hati Samuel. Ia berdebat dengan mereka dan memberi peringatan konsekuensi kehadiran seorang raja (lihat 1 Samuel pasal 8). Akhirnya, setelah diberi petunjuk oleh Allah, Samuel menerima tuntutan mereka dan mengurapi Saul menjadi raja Israel.[16]. Sebelum meminta diri dari bangsa itu untuk pensiun, Samuel mengumpulkan bangsa itu di Gilgal dan dengan khidmad menjabarkan kembali hubungannya dengan bangsa itu sebagai hakim dan nabi (1 Samuel pasal 12).

Sisa hidupnya dihabiskan di kota Rama dan hanya dalam peristiwa khusus muncul kembali di depan umum (1 Samuel 13, 15) membawa firman Allah untuk Saul. Ketika bersedih atas berbagai kejahatan yang jatuh ke bangsa itu, tiba-tiba ia disuruh Allah pergi ke Betlehem untuk mengurapi Daud bin Isai menjadi raja Israel kedua, yang kelak menggantikan raja Saul (1 Samuel 16).

Kematian

Samuel mati di kota tinggalnya, Rama. Menurut tradisi Yahudi, tanggal kematiannya adalah 28 Iyar, kemungkinan pada usia sekitar 80 tahun. Seluruh orang Israel berkumpul meratapi dia dan menguburkan dia di rumahnya di Rama,[17] bukan di dalam rumah itu sendiri, melainkan di halaman rumahnya (bandingkan 2 Raja–raja 21:18; 2 Tawarikh 33:20; 1 Raja–raja 2:34; Yohanes 19:41) Ketaatan Samuel kepada Allah dan berkat khusus dari Allah untuknya disebutkan di bagian Alkitab yang lain, yaitu Yeremia 15:1 dan Mazmur 99:6.

Menurut sejarawan Yahudi-Romawi abad ke-1 M, Flavius Yosefus (37-100 M), Samuel memimpin dan menjadi hakim atas orang Israel sendirian, setelah kematian Imam Besar Eli, selama 12 tahun; kemudian 18 tahun lamanya bersama-sama dengan raja Saul.[18]

Makam

Benjamin dari Tudela mengunjungi daerah sekitar kota Rama pada tahun 1173, mencatat bahwa para tentara Perang Salib menemukan tulang-tulang Samuel di pekuburan orang Yahudi di Ramla pada dataran pantai dan menguburkannya kembali di kota Rama, menghadap ke Kota Suci (Yerusalem). Kuburannya sendiri secara tradisi ada di kota yang dikenal dengan nama Neby Samwil (“nabi Samuel”) yang terletak di Mizpa daerah Benyamin, di mana Samuel diangkat menjadi pemimpin Israel.[19] Sampai sekarang ada Mesjid Nabi Samwil di kota Rama, yang dibangun di atas bekas benteng zaman Perang Salib, di mana diyakini makam nabi Samuel ada di dalam bangunan Mameluke.

Tradisi Islam

Samuel dalam Islam dianggap sebagai salah satu nabi Bani Israel dan dikatakan bahwa Samuel adalah keturunan dari Yusuf. Ia pernah diminta oleh kaumnya untuk memilih seorang pemimpin dari kalangannya. Pada akhirnya terpilihlah Thalut yang memiliki profesi seorang petani. Namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, tetapi referensi telah dibuat oleh Allah dalam surah Al Baqarah, tanpa menyebutkan namanya.

Referensi

Lihat pula


Didahului oleh:
Eli
Hakim terakhir Israel Diteruskan oleh:
Raja Saul