Lompat ke isi

Pembatasan sosial

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 24 Mei 2020 05.50 oleh RianHS (bicara | kontrib) (Update terjemahan)
Orang-orang mempraktikkan pembatasan sosial ketika mengantre untuk memasuki supermarket di London selama pandemi COVID-19 tahun 2020. Untuk memastikan para pembeli dapat menjaga jarak setibanya di toko, hanya sejumlah orang yang dibatasi dan diizinkan masuk sekaligus.
Pembatasan sosial mengurangi tingkat penularan penyakit dan dapat menghentikan wabah.

Pembatasan sosial (bahasa Inggris: social distancing), juga disebut pembatasan fisik (physical distancing),[1][2][3] adalah adalah serangkaian tindakan intervensi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk mencegah penyebaran penyakit menular dengan menjaga jarak fisik antara satu orang dan orang lain serta mengurangi jumlah orang yang melakukan kontak dekat satu sama lain.[1][4] Tindakan ini biasanya dilakukan dengan menjaga jarak tertentu dari orang lain (jarak yang ditentukan mungkin berbeda dari waktu ke waktu dan satu negara ke negara lain) dan menghindari berkumpul bersama dalam kelompok besar.[5][6]

Pembatasan sosial akan mengurangi kemungkinan kontak antara orang yang tidak terinfeksi dengan orang terinfeksi, sehingga dapat meminimalkan penularan penyakit, dan terutama, kematian.[1] Tindakan ini dikombinasikan dengan menerapkan higiene pernapasan yang baik dan kebiasaan mencuci tangan dalam suatu populasi.[7][8] Selama pandemi koronavirus 2019–2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan penggunaan istilah "pembatasan fisik" dan bukan "pembatasan sosial", sesuai dengan fakta bahwa jarak fisik yang mencegah penularan; sementara orang-orang dapat tetap terhubung secara sosial melalui teknologi.[1][2][9][10] Untuk memperlambat penyebaran penyakit menular dan mencegah sistem layanan kesehatan terbebani, khususnya selama pandemi, beberapa tindakan pembatasan sosial diterapkan, termasuk penutupan sekolah dan tempat kerja, isolasi, karantina, pembatasan perjalanan orang, dan pembatalan pertemuan massal.[4][11]

Meskipun istilah ini baru diperkenalkan pada abad ke-21,[12] langkah-langkah pembatasan sosial setidaknya telah ada sejak abad kelima SM. Salah satu rujukan paling awal tentang pembatasan sosial ditemukan dalam Kitab Imamat, 13:46: "Dan penderita kusta yang terkena wabah itu … ia akan tinggal sendirian; [di luar] tempat tinggalnya".[13] Selama wabah Yustinianus dari tahun 541 hingga 542, kaisar Yustinianus I memberlakukan karantina yang tidak efektif pada Kekaisaran Romawi Timur, termasuk membuang mayat ke laut; ia menyalahkan luasnya penyebaran terutama pada "orang Yahudi, Samaria, pagan, Arianis, Montanis, dan homoseksual".[14] Pada zaman modern, langkah-langkah pembatasan sosial berhasil diterapkan dalam beberapa epidemi. Di Kota St. Louis, Missouri, tak lama setelah kasus influenza pertama terdeteksi di kota tersebut selama pandemi flu 1918, pihak berwenang menerapkan penutupan sekolah, melarang pertemuan publik, dan intervensi pembatasan sosial lainnya. Angka kematian kasus di St. Louis jauh lebih sedikit dibandingkan di Kota Philadelphia, Pennsylvania, yang meskipun memiliki kasus influenza, masih mengizinkan parade massal dan tidak melakukan pembatasan sosial sampai lebih dari dua minggu setelah temuan kasus pertama.[15] Pihak berwenang telah mendorong atau memberi mandat untuk melakukan pembatasan sosial selama pandemi COVID-19.

Pembatasan sosial lebih efektif dilakukan ketika infeksi menular melalui kontak percikan pernapasan atau droplet (seperti batuk atau bersin); kontak fisik langsung, termasuk kontak seksual; kontak fisik tidak langsung (misalnya dengan menyentuh permukaan yang terkontaminasi seperti fomit); atau penularan melalui udara (jika mikroorganisme dapat bertahan hidup di udara untuk waktu yang lama).[16] Pembatasan sosial kurang efektif dalam kasus ketika infeksi ditularkan terutama melalui air atau makanan yang terkontaminasi atau oleh vektor seperti nyamuk atau serangga lain[17]

Kerugian dari pembatasan sosial dapat berupa kesepian, berkurangnya produktivitas, dan hilangnya manfaat lain yang berkaitan dengan interaksi manusia.[18]

Contoh

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menggunakan salam tradisional menggantikan berjabat tangan untuk menjaga jarak sosial.

Beberapa contoh pembatasan sosial yang digunakan untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular:[19][20]

  • penutupan sekolah (proaktif atau reaktif),[21]
  • penutupan tempat kerja,[22] termasuk penutupan bisnis dan layanan sosial yang "tidak esensial" (Istilah "tidak esensial" berarti fasilitas tersebut tidak berperan dalam fungsi utama masyarakat, dan merupakan lawan dari layanan esensial[23]),
  • isolasi,
  • karantina,
  • cordon sanitaire,
  • sekuestrasi protektif,
  • pembatalan pertemuan massal seperti acara olahraga, film, atau pertunjukan musik,[24]
  • menutup atau membatasi transportasi umum,
  • penutupan fasilitas rekreasi (kolam renang komunitas, klub pemuda, gimnasium),[25]
  • tindakan "melindungi diri" untuk individu termasuk membatasi kontak tatap muka, melakukan bisnis melalui telepon atau dalam jaringan (daring), menghindari tempat umum dan mengurangi perjalanan yang tidak perlu,[26][27] dan
  • tidak berjabat tangan saat menyapa orang lain.[28]

Keefektifan

Mencegah puncak infeksi yang tajam, yang dikenal sebagai meratakan kurva epidemi, membantu mencegah layanan kesehatan mengalami kewalahan, dan juga menyediakan lebih banyak waktu untuk pengembangan vaksin atau pengobatan. Menyebarkan infeksi dalam jangka waktu yang lebih lama memungkinkan layanan kesehatan untuk mengelola volume pasien dengan lebih baik.[29][30]
Model kurva yang menunjukkan pentingnya pembatasan sosial sejak awal.

Penelitian menunjukkan bahwa langkah-langkah pembatasan sosial harus diterapkan secara ketat dan segera agar menjadi efektif.[31] Selama pandemi flu 1918, pihak berwenang di AS menerapkan penutupan sekolah, larangan pertemuan publik, dan intervensi jarak sosial lainnya di Philadelphia dan di St. Louis, tetapi di Philadelphia penundaan lima hari dalam memulai langkah-langkah ini memungkinkan tingkat transmisi meningkat dua kali lipat tiga hingga lima kali lipat, sedangkan respons yang lebih cepat di St. Louis lebih signifikan dalam mengurangi penularan di sana.[32] Analisis terhadap intervensi jarak sosial di 16 kota AS selama epidemi 1918 menyimpulkan bahwa intervensi berbatas waktu mengurangi angka kematian total secara menengah (mungkin 10-30%), dan bahwa dampaknya sering sangat terbatas karena intervensi dimulai terlalu terlambat dan dihentikan terlalu dini. Berdasarkan pengamatan, beberapa kota mengalami puncak epidemi kedua setelah kontrol jarak sosial dicabut, karena individu yang rentan yang sebelumnya dilindungi menjadi terpapar.[33]

Kerugian

Kerugian dari pembatasan sosial mencakup kesepian, berkurangnya produktivitas, dan hilangnya manfaat lain yang berkaitan dengan interaksi manusia.[34] Di negara berkembang dengan teknologi jarak jauh dan alat pelindung diri tidak digunakan secara luas, sering kali lebih sulit bagi masyarakat untuk memantau kesehatan anggotanya.

Referensi

  1. ^ a b c d Harris, Margaret; Adhanom Ghebreyesus, Tedros; Liu, Tu; Ryan, Michael "Mike" J.; Vadia; Van Kerkhove, Maria D.; Diego; Foulkes, Imogen; Ondelam, Charles; Gretler, Corinne; Costas (20 March 2020). "COVID-19" (PDF). World Health Organization. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  2. ^ a b Hensley, Laura (23 March 2020). "Social distancing is out, physical distancing is in – here's how to do it". Global News. Corus Entertainment Inc. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  3. ^ Venske, Regula (26 March 2020). Schwyzer, Andrea, ed. "Die Wirkung von Sprache in Krisenzeiten" [The effect of language in times of crisis] (Interview). NDR Kultur (dalam bahasa Jerman). Norddeutscher Rundfunk. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 27 March 2020.  (NB. Regula Venske is president of the PEN Centre Germany.)
  4. ^ a b Johnson, Carolyn Y.; Sun, Lena; Freedman, Andrew (10 March 2020). "Social distancing could buy U.S. valuable time against coronavirus". The Washington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 11 March 2020. 
  5. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Pearce2020
  6. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama CDC22March2020
  7. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama WHO2May2009
  8. ^ "Guidance on social distancing for everyone in the UK". GOV.UK (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  9. ^ Tangermann, Victor (24 March 2020) [2020-03-20]. "It's Officially Time to Stop Using The Phrase 'Social Distancing'". science alert (Futurism / The Byte). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020.  [1]
  10. ^ Kumar, Satyendra (28 March 2020). "Corona Virus Outbreak: Keep Physical Distancing, Not Social Distancing" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. SSRN 3568435alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |ssrn= (bantuan). 
  11. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama cdc2007
  12. ^ "social distancing". Merriam-Webster. Diakses tanggal 7 May 2020. 
  13. ^ "Bible Gateway passage: Leviticus 13 - Authorized (King James) Version". Bible Gateway. 
  14. ^ Drews, Kelly (1 May 2013). "A Brief History of Quarantine". The Virginia Tech Undergraduate Historical Review (dalam bahasa Inggris). 2. doi:10.21061/vtuhr.v2i0.16. ISSN 2165-9915. 
  15. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ryan2008
  16. ^ "Information About Social Distancing" (PDF). www.cidrap.umn.edu. Public Health Department: Santa Clara Valley Health & Hospital System. 2017. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 17 March 2020. 
  17. ^ "Interim Pre-Pandemic Planning Guidance: Community Strategy for Pandemic Influenza Mitigation in the United States – Early, Targeted, Layered Use of Nonpharmaceutical Interventions" (PDF). Centers for Disease Control and Prevention. February 2007. CS10848. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 19 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  18. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Brooks26Feb2020
  19. ^ Kathy Kinlaw, Robert Levine, "Ethical Guidelines on Pandemic Influenza," CDC, December 2006
  20. ^ Pueyo, Tomas (2020-03-12). "Coronavirus: Why You Must Act Now". Medium (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-03-12. 
  21. ^ Cauchemez S, Ferguson NM, Wachtel C, Tegnell A, Saour G, Duncan B, Nicoll A (2009). "Closure of schools during an influenza pandemic". The Lancet Infectious Diseases. 9 (8): 473–481. doi:10.1016/s1473-3099(09)70176-8. PMID 19628172. 
  22. ^ Kumar S, Crouse Quinn S, Kim KH, Daniel LH, Freimuth VS (2012). "The Impact of Workplace Policies and Other Social Factors on Self-Reported Influenza-Like Illness Incidence During the 2009 H1N1 Pandemic". American Journal of Public Health. 102 (1): 134–140. doi:10.2105/AJPH.2011.300307. PMC 3490553alt=Dapat diakses gratis. PMID 22095353. 
  23. ^ "Social Distancing Support Guidelines," Colorado Dept. of Public Health and Environment, March 2008.
  24. ^ R. Booy and J. Ward, "Evidence compendium and advice on social distancing and other related measures for response to an influenza pandemic," National Centre for Immunisation Research and Surveillance.
  25. ^ "Flu Pandemic Mitigation – Social Distancing"
  26. ^ Glass RJ, Glass LM, Beyeler WE, Min HJ. "Targeted Social Distancing Designs for Pandemic Influenza." Emerg Infect Dis. 2006;12(11):1671-1681. https://dx.doi.org/10.3201/eid1211.060255
  27. ^ "Social Distancing Guidelines (for workplace communicable disease outbreaks)"
  28. ^ "Guidance on Preparing Workplaces for an Influenza Pandemic," OSHA 3327-02N 2007
  29. ^ Wiles, Siouxsie (9 March 2020). "The three phases of Covid-19 – and how we can make it manageable". The Spinoff. Diakses tanggal 9 March 2020. 
  30. ^ Anderson, Roy M; Heesterbeek, Hans; Klinkenberg, Don; Hollingsworth, T Déirdre (March 2020). "How will country-based mitigation measures influence the course of the COVID-19 epidemic?". The Lancet. doi:10.1016/S0140-6736(20)30567-5. A key issue for epidemiologists is helping policy makers decide the main objectives of mitigation—e.g., minimising morbidity and associated mortality, avoiding an epidemic peak that overwhelms health-care services, keeping the effects on the economy within manageable levels, and flattening the epidemic curve to wait for vaccine development and manufacture on scale and antiviral drug therapies. 
  31. ^ Maharaj S, Kleczkowski A (2012). "Controlling epidemic spread by social distancing: Do it well or not at all". BMC Public Health. 12 (1): 679. doi:10.1186/1471-2458-12-679. PMC 3563464alt=Dapat diakses gratis. PMID 22905965. 
  32. ^ Hatchett RJ, Mecher CE, Lipsitch M (2007). "Public health interventions and epidemic intensity during the 1918 influenza pandemic". Proc Natl Acad Sci U S A. 104 (18): 7582–7587. doi:10.1073/pnas.0610941104. PMC 1849867alt=Dapat diakses gratis. PMID 17416679. 
  33. ^ Bootsma MC, Ferguson NM (2007). "The effect of public health measures on the 1918 influenza pandemic in U.S. cities". Proc Natl Acad Sci U S A. 104 (18): 7588–7593. doi:10.1073/pnas.0611071104. PMC 1849868alt=Dapat diakses gratis. PMID 17416677. 
  34. ^ Brooks, Samantha K.; Webster, Rebecca K.; Smith, Louise E.; Woodland, Lisa; Wessely, Simon; Greenberg, Neil; Rubin, Gideon James (26 February 2020). "The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence". The Lancet (dalam bahasa English). 0 (0). doi:10.1016/S0140-6736(20)30460-8. ISSN 0140-6736. Diakses tanggal 12 March 2020.