Syarif Hamid II dari Pontianak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sultan Hamid II
Syarif Hamid Alkadrie
Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat berseragam Mayor Jenderal KNIL
Berkuasa19451978
PendahuluSultan Syarif Thaha
PenerusSultan Syarif Abubakar
Kelahiran(1913-07-12)12 Juli 1913
Kesultanan Pontianak Pontianak, Kesultanan Pontianak, Hindia Belanda
Kematian30 Maret 1978(1978-03-30) (umur 64)
Indonesia Jakarta, Indonesia
WangsaWangsa Alkadrie
AyahSultan Syarif Muhammad
AgamaIslam

Sultan Hamid II, lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (12 Juli 1913 – 30 Maret 1978) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila.[1] Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda kelahiran Surabaya, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Negeri Belanda.

Kehidupan awal

Syarif Abdul Hamid al-Qadri, lahir pada tanggal 12 Juli 1913 di Pontianak dari pasangan Syarif Muhammad al-Qadri dan Syecha Jamilah Syarwani.[2] Ia merupakan anak sulung keenam mereka.[3] Sampai usia 12 tahun, Hamid dibesarkan oleh ibu angkat asal Skotlandia Salome Catherine Fox dan rekan ekspatriatnya asal Inggris Edith Maud Curteis.[4] Salome Fox adalah adik dari kepala sebuah firma perdagangan Inggris yang berbasis di Singapura . Di bawah asuhan mereka, Hamid menjadi fasih berbahasa Inggris. Pada tahun 1933, Salome Fox meninggal namun Hamid masih tetap berhubungan dengan rekannya Curteis.[4]

Syarif Abdul Hamid menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Setelah lulus pada tahun 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karier militernya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lain di Pulau Jawa.[2][5]

Masa Pendudukan Jepang

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Pangkat itu bisa dikatakan sebagai pangkat tertinggi yang saat itu diberikan kepada putera Indonesia. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Jelas pengangkatannya ini adalah kemauan sebagian besar rakyat Kalbar yang tak ingin adanya kekosongan jabatan dalam pemerintahan kesultanan.[2]

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.[6][7]

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Menteri Negara Zonder Portofolio

Sultan Hamid II (kanan) dan Ida Anak Agung Gde Agung, raja Gianyar (tahun 1949).

Pada tanggal 17 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat oleh Soekarno ke Kabinet RIS tetapi tanpa adanya portofolio.[8] Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan termasuk 11 anggota berhaluan Republik dan lima anggota berhaluan Federal. Pemerintahan federal ini berumur pendek karena perbedaan pendapat dan kepentingan yang bertentangan antara golongan Unitaris dan Federalis serta berkembangnya dukungan rakyat untuk adanya negara kesatuan.[9]

Perumusan Lambang Negara (Garuda Pancasila)

Saat Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dan selama jabatan menteri negara itu pula dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Berkas:Proposed Republik Indonesia Serikat (United States of Indonesia) COA 4.jpg
Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, berbentuk garuda tradisional yang bertubuh manusia.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.[10]

Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.[11]

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini[12]

Adalah lambang yang dia buat, pada tahun 2016 telah sah diakui sebagai Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional pada 26 Agustus 2016. Penetapan tersebut ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendi dengan Surat Keputusan (SK) Nomor 204 Tahun 2016.[13] Namun pada hari Senin, 24 September 2018, Ketum Yayasan Sultan Hamid II, yakni Anshari Dimyati —yang diutus Max Jusuf Alkadrie, Ketua Dewan Pembina Yayasan SH II—, yang menerima plakat/sertifikat Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional untuk Lambang Negara karya Sultan Hamid II ini.[14] Penyerahan ini dilakukan oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Triana Wulandari, mewakili Mendikbud Muhadjir Effendy.[14][13]


Peran Tiga Tokoh Dayak Rancang Lambang Negara

Ada tiga tokoh masyarakat Suku Dayak dari Provinsi Kalimantan Barat, yang terlibat aktif dalam merancang lambang Burung Garuda bersama Sultan Hamid II. Ketiga tokoh tersebut adalah Panglima Burung, Masuka Djanting Baroamas, dan Johanes Chrisostomus (JC) Oevaang Oeray. Tiga tokoh ini berperan aktif memberikan masukan selama merancang Lambang Negara, Garuda Pancasila.

Masuka Djanting, adalah anggota Dewan Pemerintahan Peralihan Kalimantan Barat berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor 17 Tahun 1956, tanggal 28 Agustus 1956. Johanes Chrisostomus (JC) Oevaang Oeray, anggota Badan Pemerintahan Harian Daerah Istimewa Kalimantan Barat (BPH DIKB), 1946-1949, anggota Badan Konstituante, 1956-1959 dan Gubernur Kalimantan Barat, 1960-1966.

Panglima Burung, salah satu tokoh sentral Perang Majang Desa, antara orang Dayak dengan Jepang di Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, 1944-1945.

Hal itu terungkap di dalam surat Sultan Hamid II kepada Solichin Salam, Wartawan Harian Pagi Berita Buana, Jakarta, 15 April 1967, tentang: “Sejarah Lambang Negara Indonesia”, menjadi sangat membantu di dalam memperoleh pengakuan Republik Indonesia tahun 2012.

Surat disalin sesuai aslinya oleh Max Jusuf Alqadri, mantan asisten pribadi Sultan Hamid II, pada 1 Juni 1971. Max Jusuf Alqadri, salah satu cucu dari Sultan Hamid II.

Adapun surat Sultan Hamid II tersebut berbunyi demikian:


Djakarta, 15 April 1967

Kepada: Saudara Solichim Salam Di Djakarta

Bung Solichim Salam dan djuga kerabat saja !

Djangan pasang lambang negara dirumahmu sebelum diakui lambang itu oleh negara gambar rantjangan saja!

Bersama ini perlu didjelaskan di sini berkenaan pertanjaan tentang file lambang negara jang saja buat sebagaimana saudara adjukan kepada saja tg. 13 April 1967.

Sedjak awal saja selaku Menteri Negara RIS jang ditugaskan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk membuat gambar lambang negara sesuai perintah Konstitusi RIS 1949 pasal 3 Pemerintah menetapkan lambang negara, saja telah berupaja untuk mengangkat kembali lambang-lambang/ simbol-simbol dalam peradaban bangsa Indonesia, untuk itulah kemudian saja dipertjajakan Paduka Jang Mulia merentjanakan-mempersiapkan lambang negara dan menjiapkan rentjana gedung parlemen/lihat pledoi saja pada Sidang Mahkamah Agung 1953, setelah memperhatikan berbagai hasil sajembara lambang negara jang masuk ketika itu tidak ada satupun dari para pelukis jang memenuhi prinsip-prinsip hukum pembuatan lambang menurut semiologi untuk didjadikan sebagai lambang negara RIS demikian pendjelasan Menteri Priyono, oleh karena itu saja selaku pribadi mempersiapkan gambar lambang negara dengan berkonsultasi seorang ahli lambang/semiologi berkebangsaan Perantjis jang kebetulan sahabat dekat saja saudara D. Ruhl Jr, dan beliau djuga saja perkenalkan dengan Mr. M. Yamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara ketika RIS sekitar pertengahan Djanuari 1950 untuk memberikan masukan djuga.

Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno memerintahkan kepada saja agar melambangkan idee Pantja-Sila ke dalam gambar pada lambang negara dan berkali-kali utjapan beliau kepada saja, tetapi pesan beliau djuga gambar itu haruslah mengangkat simbol-simbol jang ada pada peradaban bangsa Indonesia agar setara dan gambarnja seharmonis mungkin, seperti lambang-lambang negara besar lain di dunia, karena Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno jakinkan kepada saja, menurutnja karena saja pernah bersama Paduka Jang Mulia ketika itu saja mengambil jurusan teknik sipil satu tahun diT.H.S Bandung, walaupun akhirnja saja tidak menjelesaikan kuliah itu berhubung saja diterima di

K.M.A Breda Negeri Belanda, terus menerus beliau mejakinkan saja, bahwa pasti saja paham dalam hal menggambar struktur lambang, untuk itu kemudian saja mengadjukan kepada Paduka Jang Mulia pada agenda sidang kedua kabinet RIS tanggal 10 Djanuari 1950 untuk membentuk kepanitiaan teknis lambang negara RIS jang diketuai oleh Mr. M. Yamin, dan jang lain Ki Hadjardewantara/anggota, M.A. Pellaupessy/anggota, Moh.Natsir/anggota, dan R.M.Ng. Purbatjaraka/anggota. Kepanitiaan ini dibawah koordinator saja jang bertugas menjeleksi/memilih usulan-usulan rantjangan lambang negara untuk dipilih dan diadjukan kepada Pemerintah untuk ditetapkan oleh Parlemen RIS setjepatnja, karena memang selama 5 tahun sedjak negara R.I merdeka 17-8-45 sampai dengan terbentuknja negara RIS 1949 belum ada memiliki lambang negara.

Untuk memberikan pemikiran teknis saja selaku Menteri Negara Zonder Porto Folio RIS 1949-1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara meminta Ki Hadjar Dewantara untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang hasil-hasil penelitian lambang-lambang di peradaban bangsa Indonesia, karena menurut Mr M. Yamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara beliau lebih mengetahui dan pernah mendjadi ketua Panitia Indonesia Raya tahun 1945 bersama Mr. M. Yamin jang kedudukannja sekretaris umum, untuk itulah

saja mengirim telegram kawat kepada Ki Hadjar Dewantara di Djogjakarta dan telah dibalas kepada saja 26 Djanuari 1950 jang intinja saja agar berkonsultasi kembali dengan Mr. M. Yamin mengenai hasil penjelidikan lambang-lambang dimaksud, kemudian berdasarkan hasil kesepakatan rapat Panitia Lambang Negara RIS ada dua rentjana gambar rantjangan lambang negara jang dipersiapkan Panitia Lambang Negara ketika itu jang pertama dari saja sendiri dan kedua dari Mr. M. Yamin.

Saja membuat sketsa berdasarkan masukan Ki Hadjar Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi jang dikumpulkan oleh beliau dari beberapa tjandi di Pulau Djawa dikirim beliau dari Djogjakarta, dan tidak lupa saja djuga membandingkan salah satu simbol Garuda jang dipakai sebagai Lambang keradjaan Sintang Kalimantan Barat, tetapi hanja merupakan salah satu bahan perbandingan antara bentuk burung Garuda jang berada di candi-candi di Djawa dengan luar Djawa, karena setjara historis keradjaan Sintang masih ada hubunganja dengan keradjaan Madjapahit, seperti dalam “Legenda Daradjuanti dengan Patih Lohgender”, demikian keterangan Panglima Burung menjelaskan kepada saja di Hotel Des Indes awal Februari 1950.

Di samping itu saja djuga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnja burung elang/jang mendekati burung Garuda dan saja tertarik dengan gambar-gambar lambang negara dan militer negara Polandia, karena latar belakang pendidikan saja ketika di K.M.A Breda djuga mempeladjari makna lambang-lambang militer berbagai negara dan lambang-lambang negara di Eropa dan negara-negara Arab serta Amerika djuga di kawasan Asia jang memakai figur burung. Disamping itu Mr. M. Yamin djuga mempersiapkan tersendiri lambang negara, walaupun demikian djuga beberapa hal beliau memberikan masukan kepada saja tentang makna bunga teratai, jang kemudian saja buat gambar untuk dasar dudukan burung garuda pada sketsa awal saja, karena menurut beliau itu djuga mitologi bangsa Indonesia dari peradaban agama Budha.

Perlu saja djelaskan, bahwa jang paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol jang tepat untuk melambangkan idee Pantja Sila, saja awali dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai jang menempel pada figur burung garuda, karena lambang- lambang pada negara lain jang mempergunakan figur burung selalu ada tameng/perisai di tengahnja, pertama saja membuat sketsa awal perisai jang saja bagi mendjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai jang membedakan dari Perisai jang dibuat Mr. M. Yamin, kemudian saja buat dua buah perisai di dalam dan di luar dengan garis agak tebal jang membelah perisai untuk melambangkan garis equator/khatulistiwa di perisai itu, walaupun demikian saja djuga meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk menjumbangkan pemikiran jang berhubungan dengan simbol-simbol idee Pantja-Sila, seperti pesan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ada jang menjarankan simbol keris, banteng, padi kapas, kemudian saja menambahkan Nur Cahaya berbentuk bintang bersegi lima atas masukan M. Natsir sebagai simbol sila ke-satu Pantja-Sila, djuga masukan dari R.M Ng Purbatjaraka, jakni Pohon Astana jang menurut keterangannja pohon besar sejenis pohon beringin jang hidup di depan istana sebagai lambang pengajoman dan perlindungan untuk melambangkan sila ke-tiga, karena menurut beliau Pohon Astana memaknai simbol menjatunja rakjat dengan istana itulah djuga hakekat negara RIS jang sebagian besar ketika itu didirikan di luar negara proklamasi RI 17-8-45 oleh keradjaan-keradjaan dan simbol selanjutnja tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung berdjumlah 17 sebagai simbol regenerasi jang terus menerus, mengenai simbol ini inspirasinja saja ambil dari tanah Kalimantan, jakni kalung dari suku Dajak demikian djuga bentuk perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para panglima suku Dajak di Hotel Des Indes Jakarta awal Februari 1950 yang saja ajak ke Jakarta ketika itu, salah satunya panglima Burung dan Ma Suka Djanting bersama J.C Oevaang Oeray sahabat saja di Dewan Daerah DIKB.

Lambang lain kepala banteng sebagai sila ke-empat ini sumbangan dari Mr. M Yamin sebagai lambang dasar kerakjatan/tenaga rakjat dan padi-kapas lambang sila-kelima sumbangan dari Ki Hajar Dewantara sebagai perlambang ketersedian sandang dan papan/simbol tudjuan kemakmuran, semua itu saja bitjarakan di hotel Des Indes yang merupakan tempat saja membuat gambar lambang negara sekaligus tempat saja tinggal sementara di Djakarta sebagai Menteri Negara RIS sampai dengan 5 April 1950 saja ditangkap atas perintah Jaksa Agung jang akhirnja saja “terseok” dalam perdjalanan sedjarah sebagai anak bangsa. Itu mungkin tjiptaan saja terpendam mudah-mudahan pendjelasan kepada saudara Salam   mendjadi terang adanja.  

Saja putuskan tjiptaan pertama berbentuk figur burung Garuda jang memegang perisai Pantja-Sila, seperti masukan Ki Hadjar Dewantara jang diambil dari mitologi garuda pada peradaban bangsa Indonesia, tetapi ketika gambar lambang negara ini saja bawa ke dalam Rapat Panitia Lambang Negara 8 Februari 1950, ternjata ditolak oleh anggota Panitia lambang Negara RIS lain, karena ada keberatan dari M. Natsir ada tangan manusia jang memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal, djuga keberatan anggota lain R.M Ng Purbatjaraka terhadap djumlah bulu ekor tudjuh helai, terus terang jang mengusulkan tudjuh helai ini adalah Mr. M.Yamin, untuk itu saja mintakan dalam  rapat Mr. M. Yamin ketika itu mendjelaskan makna tudjuh helai bulu ekor selaku Ketua Panitia Lambang Negara, dan ada kesepakatan untuk dirubah mendjadi 8 helai bulu ekor, sebagai tjandra sengkala / identitas negara proklamasi 17-8-45 atas usulan M.A Pellaupessy jang menurut beliau tak boleh dilupakan.

Akhirnja setelah penolakan itu saja mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang negara luar, khususnja negara negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir ternjata menggunakan figur burung Elang Radjawali, djuga seperti negara Polandia jang sudah lama ratusan tahun djuga menggunakan burung Elang Radjawali seperti jang saja djelaskan di atas dalam kemiliterannja, setelah saja selidiki ternjata bendera perang Sadjina Ali r.a ternjata memakai pandji-pandji simbol burung Elang Radjawali, untuk itulah saja putuskan mengubah figur burung dari mitologi garuda ke figur burung Elang Radjawali, karena sosoknja lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi lambang tenaga pembangun/creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat/RIS mendjadi negara jang besar dan setara dengan negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjaran dan demikian seharusnja.

Selandjutnja gambar lambang negara saja bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara, demikian djuga lambang negara rantjangan Mr. M. Yamin jang kemudian kami serahkan bersama kepada Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih, alhamdulillah gambar rantjangan saja jang diterima 10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali diperkenalkan kepada halajat ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan oleh Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS pada tanggal 11 Februari 1950, walaupun demikian ada masukan beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut jang tergantung dibelakang pondium di gedung parlemen Istana Merdeka Pedjambon, karena kepala burung Radjawalinja tidak “berjambul” dan terlihat “gundul”.

Paduka Jang Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah bagian kepala menjadi berdjambul, kemudian oleh Kementerian Penerangan RIS atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah untuk melukis kembali lambang negara tersebut, kemudian lukisan itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang mentjekram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja, tetapi menurut Paduka Jang Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai.

Selandjutnja meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjekram pita/mendjadi ke arah depan pita agar tidak “terbalik” dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip “djatidiri” bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan “federalis” dan pandangan “kesatuan” dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika “bhinneka” jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika “keikaan” jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang negara RIS jang di dalamnja merupakan perpaduan antara pandangan “federalis” dan pandangan “kesatuan” haruslah dipegang teguh sebagai “djati diri” dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, “e pluribus unum”.

Walapun saja harus susah pajah membuat sketsa kembali untuk pembentulan bagian tjakar kaki itu, tetapi saja mengerti ini hal bagian jang sangat penting dalam lambang negara RIS, karena mengandung tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung Garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Pantja-Sila ber”thawaf”/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih.

Untuk itu saja meminta bantuan R. Ruhl untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannja semula tjengkraman kakinja menghadap ke belakang telah diserahkan kepada Kementerian Penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip/outwerp jang dilukis D. Ruhl Jr. saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai wapen negara, waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah sang pelukis Istana/pelukis kesayangan Bung Karno untuk melukis kembali  berdasarkan sketsa perbaikan R. Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagi untuk membajar pelukis Dullah.

Hasil lukisan Dullah itulah jang kemudian oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno diperintahkan kepada Kementerian Penerangan untuk disebarkan luaskan ke seluruh pelosok negara RIS jang ketika itu saja lihat banjak warga bangsa memasang di rumah- rumah, sedangkan saja selaku pembuat gambar rantjangan lambang negara jang saja namakan Radjawali Garuda Pantja-Sila diperintahkan Paduka Jang Mulia untuk memperbaiki seperlunja, jakni membuat skala ukuran, bentuk dan tata warna serta keterangan gambar jang ada pada simbol-simbol itu, karena mendjadi tanggungdjawab saja selaku Koordinator Panitia Lambang Negara dan Menteri Negara dalam perentjanaan lambang negara RIS.

Patut saja sedikit djelaskan, mengapa burung itu menoleh ke arah kanan hal ini sebenarnja perlambang pandangan negara kearah kebaikan ke depan, karena kanan dalam tradisi masjarakat selalu diartikan dengan arah kebaikan, demikian salam menoleh ke kanan ketika sholat orang Islam hukumnja wajib/fardhua’in, untuk itu dengan terbentuknja RIS diharapkan bangsa ini bisa madju kearah kemadjuan sebagai bangsa jang lebih baik, sedangkan mengapa diberi nama Burung Elang Radjawali Garuda Pantja- Sila, karena saja menghargai latar belakang gambar jang saja tjiptakan pertama mengambil figur burung Garuda memegang perisai Pantja-Sila berubah mendjadi figur Burung Elang Radjawali yang dikalungkan perisai Pantja-Sila agar proses bangsa ini djangan  melupakan  peradaban  bangsanja dari mana dia  berasal/djangan  sampai melupakan sedjarah puntjak-puntjak peradabannja, seperti pesan Paduka Jang Mulia.

Jang unik dan penting untuk saja djelaskan, karena banjak jang menanjakan kepada saja, mengapa harus ada dua perisai pada perisai Pantja-Sila, sebenarnja saja hanja mendjabarkan idee Pantja-Sila dari Bung Karno 1 Djuni 1945 dalam rapat Panitia Sembilan, karena saja teringat pada pesan utjapan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja berkali-kali, jakni Lambang Negara haruslah bisa melambangkan idee Pantja- Sila, mengenai idee Pantja-Sila itu terus terang saja banjak masukan dari pendjelasan Mr. Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS ketika saja konsultasi terus menerus pada waktu itu.

Adanja dua lambang perisai besar di luar dan perisai jang ketjil di tengah, karena menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam panitia sembilan perumusan Pantja- Sila 1945 ketika pertukaran fikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab.

Setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa.

Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil di tengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima, patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang “berthawaf”/berlawanan arah djarum djam/”gilirbalik” kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau ke mana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan “djatidiri”-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia di setiap kesempatan.

Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar- gerak “thawaf”/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.

Perisai ide Pantja-Sila itu dibawa terbang tinggi oleh Sang Radjawali Garuda Pantja-Sila jang dikalungkan dengan rantai dilehernja dengan tetap mentjekram kuat prinsip jang dipegang teguh para pemimpin bangsa dalam Negara RIS, namanja “Bhinneka Tunggal Ika” sebagaimana dikehendaki bersama itulah simbol kedaulatan RIS seperti telah diperdjuangkan bersama di KMB 1949 dan telah dituangkan dalam Piagam Penjerahan Kedaulatan oleh Ratu Wilhelmina pada 27 Desember 1949 dan diperintahkan dalam Konstitusi RIS itu, jakni Pemerintah untuk menetapkan Lambang Negara RIS.

Pertanjaan lain jang sering ditanjakan kepada saja, bahkan oleh sekretaris pribadi saja sendiri Max, setelah keluarnya saja dari pendjara, djuga pertanjaan jang sama oleh saudara Salam, jakni mengapa ada garis tebal di tengah perisai Pantja-Sila apakah sebagai tanda jang membuatnja dari anak bangsa jang berasal ibukota Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB/Pontianak, saja jawab hal ini sebenarnja ingin melambangkan/menjimbolkan letak negara RIS dilewati garis equator/khatulistiwa jang kebetulan tugunja ada di kota kelahiran saja sendiri Pontianak jang dirikan tahun 1928 djauh sebelum negara proklamasi R.I merdeka dan negara RIS terbentuk sampai dengan tahun 1938 disempurnakan oleh opsiter Silaban sahabat saja seperti bentuk tugunja sekarang ini, garis  itu  melewati  Daerah  Istimewa  Kalimantan Barat/DIKB jang merupakan bagian kesatuan kenegaraan, seperti dinjatakan dalam konstitusi RIS 1949, sebagaimana peta situasi sedjarah kedaulatan sebelum RIS 17 Agustus 1945 sampai dengan 26 Desember 1949, agar kelak generasi mengetahui, gambar lambang negara RIS ini adalah tjiptaan saja untuk membedakan dengan apa jang dibuat oleh Mr. M. Yamin jang djuga berbentuk perisai hanja gambarnja ada sinar-sinar matahari.

Falsafah “thawaf” mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber”thawaf” atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun / vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan “djatidiri” bangsa/ danja pembangunan “nation character building” demikian pendjelasan Paduka      Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.

Saja sedjudjurnja hanja berupaja mengangkat kembali lambang-lambang/simbol-simbol jang ada diperadaban klasik bangsa ini bersama anggota Panitia Lambang Negara itulah sebenarnja semangat gotong rojong lewat perentjanaan gambar lambang negara RIS sebagaimana ditugaskan kepada saja selaku Menteri Negara Zonder Porto Folio, karena memang tidak ada tugas lain untuk saja sebagai Menteri Negara selain merentjanakan lambang negara dan menjiapkan gedung parlemen RIS, saja berharap agar kelak bangsa ini ditjintai oleh kita semua bertekad untuk memadjukan-membangun bersama.

Itulah jang dapat saja sumbangkan kepada bangsa ini jang ditjintai oleh kita, hanja sadja saja “kecewa” dengan kabar diluar jang menerka-menerka Mr. M.Yamin jang membuat  lambang negara RIS, sedangkan file-file serta transkrip lambang negara Mr.M.Yamin jang pernah ditolak oleh pemerintah dan parlemen RIS ada ditangan Panitia Lambang Negara jang kemudian file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir 1966 saja selamatkan ke Istana Kadriah Pontianak, kemudian saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal 1967, saja titipkan kepada Nona K. Irawati anak Syamsuddin Sutan Makmmur/pernah Menteri Penerangan periode 30 Djuni-12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di djalan Radio Dalam Djakarta Selatan tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file saja bersama file Mr. M Yamin diserahkan kepada sekretaris pribadi jang kebetulan tjutju saja Max Yusuf Al-Kadrie, hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini.

Saja pun ragu saat ini apakah idee Pantja-Sila itu hasil rumusan dari Mr. M.Yamin dalam Panitia Sembilan seperti jang berkembang di masjarakat seperti saudara tanjakan kepada saja, karena terus terang saja tidak mengikuti perkembangan di luar, masih dalam pendjara, ada baiknja untuk itu saja meminta saudara sebagai wartawan djuga menanjakan langsung kepada Mr. Mohammad Hatta sebagai saksi sedjarah dalam ke Panitiaan Sembilan 1945, sebelum sedjarah ide Pantja-Sila itu dibelokan atau  “dipalsukan” orang jang tidak bertanggung djawab, dan saja berharap transkrip hasil wawantjara itu bisa dikirim kepada saja, sungguh berterima kasih kepada saudara djika saudara mau menanjakan hal ini kepada Mr Mohammad Hatta.

Pendjelasan lain atas file transkrip pembuatan gambar lambang negara jang saja buat ini sudah pernah saja djelaskan setjara djelas kepada sekretaris pribadi saja Max, dan pendjelasan ini hanja untuk melengkapi apa jang sudah didjelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 jang tidak memuat setjara djelas dan rintji pokok-pokok pikiran tentang lambang negara Radjawali Garuda Pantja-Sila dalam transkrip saja.

Demikianlah djawaban saja atas pertanjaan saudara Solichin Salam dan semoga mendjadi pendjelasan jang objektif mendjawab surat saudara, djikalau kurang djelas harap saudara berkundjung kediaman saja kembali setiap saat, terima kasih atas hal jang sudah dipertanjakan kepada saja mendjadikan sesuatu jang bermanfaat bagi bangsa jang ditjintai oleh kita.

Djakarta, 15 April 1967

Ttd Hamid Demikian isi surat lengkap Sultan Hamid II kepada Solichin. JAKARTA (Independensi.com)

Masa akhir

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelJAKARTA (Independensi.com)esaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Istana Kadriyah, Pontianak.[15]

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (tahun 1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.[16]

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.[17]

Pencalonan sebagai pahlawan nasional

Pada Juli 2016, Pembina Yayasan Sultan Hamid II Max Jusuf Alkadrie dan istri mengajukan berkas Sultan Hamid II untuk dicalonkan sebagai pahlawan nasional ke Kemensos.

Silsilah

 
 
 
 
 
 
 
Daeng Rilakka
(Rilèkké-ريلاك)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Habib Ahmad Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
PANEMBAHAN MEMPAWAH I 1740–1761
Opu Daeng Menambon Pangeran Mas Surya Negara
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Habib Husin Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SRI PADUKA RATU SULTAN
Utin Chandra Midi
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK I (1771-1808)
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Nyai Kusuma Sari
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
PANEMBAHAN MEMPAWAH (27 Agustus 1787)
SULTAN PONTIANAK II 1808-1819
Sultan Syarif Kasim Alkadrie
 
PANEMBAHAN MEMPAWAH
Syarif Hussein Alkadrie
 
Syarif Muhammad Alkadrie (anak Putri Syahranum)
 
Syarifah Salmah Alkadrie
 
SULTAN PONTIANAK III (1819-1855)
Sultan Syarif Osman Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Syarif Abu Bakar Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Syarifah Fatimah Alkadrie
 
SULTAN PONTIANAK IV(1855-1872)
Sultan Syarif Abdul Hamid I Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK V (1872-1895)
Sultan Syarif Yusuf Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Syarifah Thaha Alkadrie
↓(bersuami)
Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie SULTAN PONTIANAK V 1872-1895
 
Syarif Mahmud Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK VI (1895-1944)
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Syarif Usman Alkadrie
 
Ratu Anom Negara Syarifah Fatimah Alkadrie binti Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
 
Ratu Perbu Wijaya Syarifah Khadijah Alkadrie
 
 
 
SULTAN PONTIANAK
Sultan Syarif Abdul Hamid II Alkadrie
 
♂ Pangeran Agung Syarif Mahmud Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK VII (1944-1945)
Sultan Syarif Thaha Alkadrie
 
 
 
♂ Syarif Slamet Alkadrie
 
 
 
♂ Syarif Yusuf Max Nico Alkadrie
 
SULTAN PONTIANAK IX (2004-2017)
Sultan Syarif Abu Bakar Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
H. Syarif Toto Thaha Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK X (2017-sekarang)
Sultan Syarif Machmud Melvin Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Referensi

  1. ^ Affan, Heyder (10 Juni 2015). "Sultan Hamid II, perancang lambang Garuda Pancasila". BBC Indonesia. Diakses tanggal 22 Juni 2015. 
  2. ^ a b c Andi, dan Rahman (2010), hlm. 21 – 22.
  3. ^ Kahin 1952, hlm. 454-56.
  4. ^ a b McDonald 1998, hlm. 150.
  5. ^ Persatuan Djaksa-djaksa Seluruh Indonesia 1955, hlm. 5-6.
  6. ^ Kahin 1952, hlm. 430-31.
  7. ^ Schiller, A. Arthur (1955). The Formation of Federal Indonesia 1945-1949. Den Haag: van Hoeve. hlm. 177. 
  8. ^ Anwar, Rosihan (2010). Napak tilas ke Belanda: 60 tahun perjalanan wartawan KMB 1949. Penerbit Buku Kompas. hlm. 149–151. ISBN 9789797094904. 
  9. ^ Kahin 1952, hlm. 448-49.
  10. ^ "Lambang Garuda Pancasila Dirancang Seorang Sultan". Tempo Interaktif. 27 Januari 2010. Diakses tanggal 5 Februari 2010. 
  11. ^ Kepustakaan Presiden Republik Indonesia, Hamid II
  12. ^ "State Emblem". Indonesia.go.id. Diakses tanggal 23 Maret 2012. 
  13. ^ a b Maulidi, Murni (25 September 2018). Hairiadi, Arman, ed. "Tinggal Menunggu Penetapan Sultan Hamid II Sebagai Pahlawan Nasional". Equator. Diakses tanggal 26 September 2018. 
  14. ^ a b Ody (25 September 2018). "Sah Jadi Cagar Budaya Nasional: Lambang Negara Karya Sultan Hamid II". Pontianak Post. Pontianak: PT Akcaya Utama Press. Hlm.1 & 7.
  15. ^ "Sejarah Garuda Pancasila Menapak dari Kesultanan Pontianak". seruji.co.id. 26 Mei 2017. Diakses tanggal 28 Mei 2017. 
  16. ^ "Sultan Hamid Al-Qadri, Perancang Simbol Negara Burung Garuda". Go Muslim. 16 Agustus 2016. Diakses tanggal 22 Agustus 2016. 
  17. ^ "Perjuangkan Sultan Hamid II Sebagai Pahlawan Nasional". Pontianak Post. 22 April 2016. Diakses tanggal 25 April 2016. 

Daftar pustaka

Pranala luar

Didahului oleh:
Syarif Thaha Alkadrie
Sultan Pontianak
1945—1978
Diteruskan oleh:
Syarif Abubakar Alkadrie