Lompat ke isi

Timor Timur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Timor Timur

Timor Lorosa'e (Tetun)
1976–1999
{{{coat_alt}}}
Lambang
SemboyanHouri Otas, Houri Wain, Oan Timor Asswa'in (Tetun)
(Indonesia: "Dari masa lalu, dari hari ini, kami pejuang Timor")
StatusProvinsi Indonesia[a]
Ibu kotaDili
Bahasa resmiIndonesia
Bahasa daerah
yang diakui
Tetun, Bali, Jawa, Sunda, Uab Meto, dll.
Agama
PemerintahanProvinsi di dalam sebuah republik kesatuan konstitusional presidensial[b]
Presiden 
• 1976–1998
Soeharto
• 1998–1999
B.J. Habibie
Gubernur 
• 1976–1978 (pertama)
Arnaldo dos Reis Araújo
• 1992–1999 (terakhir)
José Abílio Osório Soares
LegislatifDewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Provinsi Timor Timur
Sejarah 
17 Juli 1976
12 November 1991
30 Agustus 1999
• Pembentukan UNTAET
25 Oktober 1999
Luas
14.609 km2 (5.641 sq mi)
Mata uangRupiah
(IDR)
Zona waktuUTC+08:00 (WITA)
Didahului oleh
Digantikan oleh
Timor Portugis
United Nations Transitional Administration in East Timor
Sekarang bagian dari Timor Leste
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Timor Timur (sering disingkat menjadi Timtim) adalah sebuah wilayah bekas kolonial Portugis yang dianeksasi oleh militer Indonesia menjadi sebuah provinsi di Indonesia antara 17 Juli 1976 sampai resminya pada 19 Oktober 1999. Kala itu provinsi ini merupakan provinsi Indonesia yang ke-27. Timor Timur berintegrasi dengan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah dijajah selama 450 tahun oleh Portugal. Wilayah provinsi ini meliputi bagian timur pulau Timor, pulau Kambing atau Atauro, pulau Jaco dan sebuah eksklave di Timor Barat yang dikelilingi oleh provinsi Nusa Tenggara Timur.

Timor Timur secara resmi merdeka menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002.[c]

Sejarah

Latar belakang

Wanita Timor Timur dengan bendera Indonesia.

Secara historis, Timor Timur pernah menjadi bagian dari Kesultanan Ternate. Ini ditandai dengan penempatan wali kuasa Kesultanan Ternate di daerah ini. Dulunya, Kesultanan Ternate sangat luas pada masa Sultan Kaicil Mashur Malamo (1257-1277), membentang dari Mindanao (Filipina) hingga wilayah Manggarai, Flores. Ketika Portugal kalah perang di Kepulauan Maluku tahun 1522, Portugal mulai menduduki wilayah Timor Timur. Saat itu daerah ini merupakan "wilayah tak bertuan" (wilde occupantie). Pada saat yang sama, Kesultanan Ternate mulai mengabaikan Timor Timur serta wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain, ditambah invasi pasukan Belanda ke Kesultanan Ternate pada tahun 1609.[1]

Pada tahun 1702, sebuah wilayah koloni baru Portugal berdiri di pulau Timor. Dari 1702 hingga 1975, Timor Timur adalah wilayah luar negeri dari Portugal yang batas-batas wilayahnya ditentukan berdasarkan Perjanjian Lisboa pada tahun 1859 antara Belanda dan Portugal. Portugal menguasai wilayah Pulau Timor bagian timur dengan pulau kecil di sekitarnya dan sebuah wilayah eksklave di Timor Barat. Pada rentang waktu itu, wilayah koloni Portugal di pulau Timor dikenali sebagai "Timor Portugis".

Proses Integrasi

Pada tahun 1974, di Portugal terjadi Revolusi Bunga (atau disebut juga Revolusi Anyelir) yang mendorong Portugal mengeluarkan kebijakan dekolonisasi dan mulai meninggalkan wilayah jajahannya termasuk Timor Timur. Partai-partai politik mulai berdiri di Timor Timur: APODETI; FRETILIN; UDT; TRABALHISTA; dan KOTA. UDT (Uniao Democratica Timorense) menginginkan Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal. APODETI (Associacao Popular Democratica Timorense) menginginkan Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia. FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente) menginginkan Timor Timur merdeka sebagai sebuah negara berdaulat. Ketiganya merupakan tiga partai terbesar. Dua partai kecil lainnya, KOTA (Klibur Oan Timor Aswain) menginginkan pemerintahan tradisional yang fokus pada kepemimpinan lokal sedangkan TRABALHISTA yang didukung oleh komunitas Tionghoa dan Arab hanya menginginkan perubahan yang terkendali.

Kerusuhan dan pertumpahan darah merebak ke seluruh Timor Timur. Dari sisi kekuatan senjata, FRETILIN merupakan fraksi yang terkuat sebab mendapat dukungan dari pasukan pribumi militer Timor Portugis. Pasukan FRETILIN memberikan perlawanan yang hebat baik terhadap pasukan UDT maupun pasukan APODETI. UDT akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tujuan utamanya mempertahankan Timor Timur berada di bawah Portugal dan bersatu dengan APODETI untuk menghadapi FRETILIN. FRETILIN membantai puluhan ribu rakyat yang menginginkan Timor Timur bergabung dengan Indonesia termasuk beberapa tokoh APODETI. Gubernur Timor Portugis waktu itu (gubernur terakhir), Mario Lemos Pires mengevakuasi sebagian besar pasukan Portugis ke Pulau Atauro.

FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan memproklamirkan kemerdekaan Timor Timur secara sepihak pada tanggal 28 November 1975, menyebutnya sebagai República Democrática de Timor-Leste (bahasa Portugis untuk "Republik Demokratik Timor Leste"). Namun Portugal tidak mengakui kemerdekaan itu, dengan gubernur Timor Portugis yang mengelola provinsi dari Atauro, walaupun memiliki kewenangan de facto terbatas atas wilayah Timor Timur yang tersisa. Partai pro-integrasi, yakni APODETI; UDT; TRABALHISTA; dan KOTA segera mengadakan proklamasi tandingan di Balibo pada tanggal 30 November 1975 yang menyatakan bahwa Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia. Naskah proklamasi tersebut ditandatangani oleh Arnaldo dos Reis Araújo (APODETI) dan Francisco Xavier Lopes da Cruz (UDT). Pernyataan sikap politik keempat partai diiringi dengan persiapan pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Dari perbatasan NTT, pasukan yang terdiri dari para pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan FRETILIN secara bergerilya.

Pada 7 Desember 1975, ABRI melakukan invasi militer ke Timor Timur pada 7 Desember 1975. Selama masa invasi, massa penolak integrasi (FRETILIN) dibantai oleh pasukan ABRI, sedangkan anak-anaknya dibawa ke Indonesia untuk diasuh oleh keluarga militer Indonesia. Menyusul invasi tersebut, gubernur Timor Portugis dan stafnya meninggalkan pulau Atauro dengan dua kapal perang Portugal. Sebagai pernyataan kedaulatan, Portugal tetap mempertahankan kapal perang yang berpatroli di perairan sekitar Timor Timur hingga Mei 1976.

Setelah Timor Timur jatuh ke tangan Indonesia, gabungan partai yang pro-integrasi membentuk PSTT (Pemerintahan Sementara Timor Timur) dan mengangkat Arnaldo dos Reis Araujo sebagai gubernur pertama serta Francisco Xavier Lopes da Cruz sebagai wakil gubernur. Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur Ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat merasa ingin bersatu dengan Indonesia karena persamaan budaya dengan saudara serumpunnya, Timor Barat. Timor Timur menjadi provinsi yang paling unik, karena merupakan satu-satunya provinsi Indonesia bekas wilayah jajahan Portugal, dimana provinsi Indonesia lainnya merupakan bekas wilayah jajahan Belanda. Penggunaan bahasa Portugis kemudian dilarang di wilayah ini, karena dianggap sebagai peninggalan penjajahan. Pada saat Presiden Soeharto menghadiri peringatan 2 tahun Integrasi Timtim di Gedung DPRD Tingkat I Timor Timur, ia menyebut bersatunya Timor Timur sebagai "kembalinya anak yang hilang ke pangkuan ibu pertiwi".

Reaksi

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan beberapa negara di dunia tidak mengakui klaim Indonesia atas Timor Timur. PBB terus menganggap bahwa Portugal sebagai kekuatan administrasi yang sah bagi Timor Timur. Negara-negara yang tidak mengakui klaim Indonesia di antaranya adalah Amerika Serikat dan Australia.

Usulan otonomi khusus hingga kemerdekaan

Demonstrasi di kota Perth, Australia menuntut pemisahan Timor Timur dari Indonesia.

Pasca pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan oleh B.J. Habibie, ia turut memberikan perhatian pada masalah Timor Timur. Presiden Habibie membuat berbagai pernyataan publik di mana ia menyebutkan bahwa biaya mempertahankan subsidi moneter untuk mendukung provinsi tidak diimbangi oleh manfaat terukur bagi Indonesia. Karena analisis untung-rugi yang tidak menguntungkan ini, keputusan yang paling rasional adalah untuk provinsi yang bukan bagian dari batas asli sejak kemerdekaan 1945 di Indonesia, untuk diberikan pilihan demokratis apakah mereka ingin tetap berada di Indonesia atau tidak. Pilihan ini juga sejalan dengan program demokratisasi umum Habibie setelah era Presiden Soeharto.[2]

Sebagai langkah tindak lanjut atas permintaan Habibie, PBB menyelenggarakan pertemuan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Portugal (sebagai otoritas kolonial sebelumnya atas Timor Timur).[3] Pada tanggal 5 Mei 1999, pembicaraan ini menghasilkan “Persetujuan antara Republik Indonesia dan Republik Portugis tentang Masalah Timor Timur” yang menjabarkan rincian dari referendum yang diminta. Referendum harus diadakan untuk menentukan apakah Timor Timur akan tetap menjadi bagian dari Indonesia, sebagai Daerah Otonomi Khusus, atau terpisah dari Indonesia.[4] Referendum itu diorganisir dan dipantau oleh misi penjaga perdamaian yang dibentuk PBB bernama UNAMET dan 450.000 orang terdaftar untuk memilih termasuk 13.000 orang di luar Timor Timur.

Kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Portugal termasuk "Kerangka Konstitusi untuk otonomi khusus bagi Timor Timur" sebagai sebuah aneksasi. Kerangka ini akan membentuk "Daerah Otonomi Khusus Timor Timur" (DOK Timor Timur) dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

Lembaga-lembaga Daerah Otonomi Khusus Timor-Timur akan mencakup cabang eksekutif yang terdiri dari seorang gubernur (dipilih oleh dewan legislatif) dan dewan penasehat, cabang legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, peradilan independen termasuk Pengadilan negeri, Pengadilan banding, Pengadilan banding akhir dan Kantor jaksa penuntut umum, dan kepolisian daerah.

Pemerintah Indonesia tetap memegang kendali atas pertahanan, hukum ketenagakerjaan, kebijakan ekonomi dan fiskal serta hubungan luar negeri, sementara hukum Indonesia akan memiliki kesinambungan di wilayah itu. Pemerintah otonom akan memiliki kompetensi atas semua hal yang tidak disediakan untuk Pemerintah Indonesia, termasuk hak untuk mengadopsi lambang sebagai simbol identitas. Pemerintah otonom dapat menunjuk orang-orang sebagai "identitas Timor" dan dapat membatasi hak kepemilikan tanah bagi orang-orang tanpa identitas ini. Kode sipil tradisional juga bisa diadopsi. DOK Timor Timur dapat mengadakan perjanjian dengan pemerintah kota dan pemerintah daerah untuk tujuan ekonomi, budaya dan pendidikan. DOK Timor Timur akan berhak berpartisipasi dalam organisasi budaya dan olahraga di mana entitas non-negara lain berpartisipasi.

Hasil referendum Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999 menyatakan bahwa sebanyak 344.580 (78,5%) suara dari rakyat Timor Timur menolak usulan otonomi khusus dan 94.388 (21,5%) suara menerima usulan otonomi khusus. Pada tahun 1999, wilayah Timor Timur diserahkan pemerintah Indonesia kepada UNTAET sebagai badan pemerintahan sipil yang dibentuk oleh PBB dalam rangka memelihara misi perdamaian di Timor Timur hingga kemerdekaannya secara resmi pada tanggal 20 Mei 2002.

Pemerintahan

Kepala Daerah

Kepala daerah Provinsi Timor Timur saat itu adalah seorang Gubernur yang dibantu oleh seorang Wakil Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan di DPRD Provinsi. Jabatan gubernur Timor Timur pertama diemban oleh Arnaldo dos Reis Araújo (1976-1978) dan terakhir diemban oleh José Abílio Osório Soares (1992-1999).

Pembagian administratif

Hingga tahun 1999, secara administratif Timor Timur terdiri atas 13 kabupaten dan satu kota administratif (Kota Administratif Dili), 62 kecamatan, serta 442 desa.

Daftar kabupaten di Timor Timur (per 31 Agustus 1999):

No. Kabupaten Ibu kota
1 Kabupaten Aileu Aileu
2 Kabupaten Ainaro Ainaro
3 Kabupaten Ambeno Pante Makasar
4 Kabupaten Baucau Baucau
5 Kabupaten Bobonaro Maliana
6 Kabupaten Cova–Lima Suai
7 Kabupaten Dili Kota Dili
8 Kabupaten Ermera Ermera
9 Kabupaten Lautém Lospalos
10 Kabupaten Liquiça Liquiçá
11 Kabupaten Manatuto Manatuto
12 Kabupaten Manufahi Same
13 Kabupaten Viqueque Viqueque

Geografi

Timor Timur terletak di antara 123° 127° BT dan antara 8° - 10° LS, merupakan wilayah yang berbatasan di sebelah utara dengan Selat Wetar, di sebelah timur dengan Laut Maluku, di sebelah selatan dengan Laut Timor dan Australia, dan di sebelah barat dengan Nusa Tenggara Timur. Wilayah Timor Timur meliputi areal seluas 14.609 kilometer persegi, yang terdiri atas sebagian pulau Timor bagian timur dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Demografi

Suku-suku yang berada di Timor Timur di antaranya yaitu:

Galeri

Catatan

  1. ^ Timor Timur diklaim sebagai provinsi Indonesia ke-27, tidak diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Portugal
  2. ^ Timor Timur disahkan secara hukum Indonesia / de jure sebagai provinsi ke-27. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan beberapa negara termasuk Portugal tak mengakui klaim Indonesia dan melihatnya sebagai aksi pendudukan militer.
  3. ^ Timor Timur merdeka pada tahun 2002 (secara resmi) dari Portugal dan Indonesia setelah melalui Referendum

Lihat pula

Referensi

Pranala luar