Lompat ke isi

Kelompok Empat (Indonesia)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 20 Februari 2021 08.03 oleh Dani1603 (bicara | kontrib)

Kelompok Empat, atau dikenal dengan nama Gang of Four, merupakan kongsi dagang antara 4 pengusaha: Sudono Salim (Liem Sioe Liong), Djuhar Sutanto (Liem Oen Kian), Ibrahim Risjad dan Sudwikatmono. Kelompok ini bisa dibilang merupakan partnership yang cukup sukses, dan telah menghasilkan perusahaan besar seperti Bogasari dan Indocement. Nama Kelompok Empat sendiri bukanlah ciptaan mereka, melainkan dari media massa.[1]

Sesungguhnya, Presiden Soeharto-lah yang berperan besar dalam menyatukan mereka berempat. Bermula ketika pada 1960-an, Liem meminta Soeharto agar membantu bisnisnya. Soeharto menyarankan agar Liem mempertahankan dan membangun bisnisnya bersama rekan lamanya, Djuhar. Lalu, pada 1967, Soeharto memperkenalkan sepupunya, Sudwikatmono (Dwi) kepada Liem, yang pada saat itu butuh partner pribumi karena ia belum menjadi WNI. Selain itu, bergabung pula Risjad, seorang pengusaha asal Aceh yang sudah mengenal Djuhar sebelumnya. Menurut Liem dalam wawancara pada 1994, kongsi mereka sangatlah baik, dan mereka menjadi seperti pilar pada kursi yang penting untuk kestabilan. Masing-masing anggota memiliki tugas sendiri - menurut Risjad pada 1997, Liem memiliki tugas di bidang pengelolaan keuangan, Djuhar di bidang manajemen, Dwi di kontak dengan pemerintah dan Risjad sendiri di bidang marketing. Seorang pejabat Salim Group pernah menyatakan bahwa Liem adalah Bumi, Djuhar adalah api yang tidak kunjung padam, Risjad adalah bulan yang pintar melakukan harmonisasi dan melobi serta Dwi adalah angin yang pintar mempenetrasi birokrasi. Dwi misalnya dikabarkan punya hubungan baik dengan militer, sedangkan Risjad punya koneksi dengan salah satu menteri penting, Sumitro Djojohadikusumo. Masing-masing mendapat jatah saham dimana Liem-Djuhar masing-masing 40% dan Dwi-Risjad masing-masing 10% (awalnya 45-45-5-5%). Kelompok bisnis ini, bisa dikatakan cukup solid dan tangguh menghadapi perkembangan zaman, terutama di awal berdirinya karena mampu saling bersinergi dengan tugas masing-masing. Sempat hampir pecah karena Djuhar mengeluh pada Liem di akhir 1970-an, namun kemudian rencana itu batal.[2][3]

Bisnis mereka pertama kali dimulai dari PT Waringin Kentjana. Awalnya, perusahaan ini berbentuk CV bernma CV Waringin dan bergerak di bidang perdagangan. Pada tahun 1968, Liem masuk dan menyuntikkan modal ke perusahaan yang sedang bermasalah ini. Kemudian, masuk juga anak Liem, Andree Halim, Dwi dan Risjad, serta tentu saja keluarga Djuhar. PT Waringin kemudian tetap melanjutkan operasionalnya sebelumnya, dengan memperluas bidangnya di ekspor kopi, lada, karet, tengkawang, dan kopra, serta mengimpor gula dan beras. Pada tahun 1970-1971, PT Waringin mendirikan pabrik karet di Jambi dan Palembang. Waringin mampu memperluas bisnisnya karena mendapat kuota dan berbagai fasilitas, serta kredit dari bank pemerintah. Namun, bisnis utama Kelompok Empat kemudian ada dua: PT Bogasari Flour Mills dan PT Distinct Indonesian Cement Enterprise (kemudian menjadi Indocement Group). PT Bogasari didirikan pada tahun 1971, dan memiliki pabrik di Jakarta dan Surabaya. Hingga akhir Orde Baru, perusahaan ini bisa dibilang memonopoli perdagangan tepung terigu dan pengolahan gandum di Indonesia. Lalu PT Indocement didirikan pada tahun 1975, dengan cepat menguasai bisnis semen di Tanah Air. Namun, sebagai bayaran dari fasilitas dan kredit-kredit pemerintah, misalnya ada kewajiban dari Soeharto agar 26% keuntungannya diberikan pada yayasan Soeharto.[4][5][6]

Partnership keempat pengusaha ini tetap berjalan dan makin meluas, misalnya dengan semuanya menjadi pemegang saham di beberapa bisnis secara bersama. Pada akhir 1970-an, kongsi ini bersama dengan Ciputra membangun properti di bawah PT Metropolitan Development di Pondok Indah.[7] Lalu, ketika Indofood didirikan pada 1994, 4 pengusaha ini juga punya saham di sana.[8] Pada tahun 1980an dan 1990an, kongsi keempatnya dianggap sebagai kongsi bisnis terkuat di Indonesia.[9] Liem tampaknya berusaha mengikutsertakan mereka dalam banyak perusahaannya: misalnya, bisnis Liem di Hong Kong bernama First Pacific kemudian juga mengikutsertakan Dwi, Djuhar dan Risjad sebagai pimpinannya dan pemegang saham.[10][11]

Memasuki tahun 1980an, masing-masing dari mereka juga membangun bisnis sendiri. Liem misalnya berusaha mengembangkan banknya, Bank Central Asia bersama Mochtar Riady dan membeli perusahaan mobil milik Atang Latif, Indomobil.[12] Djuhar merintis bisnis di Singapura dan Tiongkok, dan sementara itu, Dwi memiliki Grup Subentra yang bergerak terutama di perfilman dan Dwi Golden Graha yang bergerak di ritel. Tak ketinggalan Risjad, ia pada 1980-an juga merintis kelompok bisnis yang dikenal dengan nama Risjadson, bergerak di bidang industri, keuangan dan lainnya. Mulai tahun 1990, menurut Liem sudah seharusnya kerjasama mereka dikurangi agar mereka bisa fokus dalam bisnis masing-masing. Menurut Liem, bisnis mereka sudah terlalu besar sehingga harus berpisah. Namun, mereka masih akan tetap bekerjasama sebagai misalnya manajemen di perusahaan mereka atau memiliki kantor yang berdekatan agar mudah berdiskusi.[13] Seiring bisnis tersebut, maka kemudian Bogasari dan Indocement menjadi lebih identik dengan Liem sebagai pemegang saham utamanya, yang dikelompokkan dalam kelompok usaha Salim Group.

Pasca krisis ekonomi 1997-1998, bisnis keempatnya menjadi goyang dan hampir semuanya (kecuali Djuhar yang lebih banyak di luar negeri) menderita hutang yang amat besar. Masing-masing konglomerasi mengalami restrukturisasi dan perubahan radikal. Keempatnya tidak lagi kemudian memegang manajemen perusahaan Kelompok Empat, perusahaan Salim Group atau bahkan perusahaan sendiri, dan lebih memilih menyerahkan ke anaknya. Misalnya, kini anak Liem Anthony Salim dan anak Dwi, Agus Lasmono Sudwikatmono. Perusahaan-perusahaan mereka banyak dijual dan diserahkan ke BPPN, termasuk Indocement yang dijual ke perusahaan Jerman HeidelbergCement. Bahkan, Liem dan Djuhar mengalami pecah kongsi pada sejumlah perusahaan mereka di luar negeri dan saling menggugat pada 2002,[14] dan kemudian posisi Djuhar digantikan anaknya, Tedy Djuhar.[15] Walaupun demikian, pihak Salim sempat membantah isu perpecahan ini.[16][17] Pada tahun 2004, akhirnya BPPN menyatakan Dwi, Risjad dan Salim sudah lepas dari hutang mereka, terutama di BLBI dan hutang lainnya.[18] Krisis 1997-1998 bisa dikatakan telah mengakhiri kerjasama mereka. Walaupun mereka diantaranya masih ada yang memegang saham bersama, misalnya di Indocement namun saat ini semuanya sudah lebih fokus dengan bisnis masing-masing.[19] Dengan kematian Djuhar pada 2018, maka saat ini tidak ada lagi dari mereka yang bisa berbisnis. Sebelumnya Dwi meninggal pada 2011, sedangkan Risjad dan Liem wafat pada Februari dan Juli 2012.[20]

  1. ^ Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's Indonesia
  2. ^ Sudwikatmono: sebuah perjalanan di antara sahabat
  3. ^ Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's Indonesia
  4. ^ Om Liem dan Gurita Bisnisnya
  5. ^ Gang of four, legenda konglomerasi orde baru
  6. ^ The Rhythm of Strategy: A Corporate Biography of the Salim Group of Indonesia
  7. ^ Sudono Salim Pengusaha
  8. ^ Liem Sioe Liong's Salim Group
  9. ^ Megawati harus tetap jadi presiden: 62 alasan kenapa kita harus tetap memilih Megawati
  10. ^ Asiaweek, Volume 14
  11. ^ Indonesia's Interregnum: A Tortuous Transition to Democratic Development
  12. ^ Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's Indonesia
  13. ^ Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's Indonesia
  14. ^ Bila Tali Persahabatan Tidak Lagi Kencang
  15. ^ Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's Indonesia
  16. ^ BPPN: the end
  17. ^ Eksekutif, Masalah 281-286
  18. ^ Dunia EKUIN dan PERBANKAN, Volume 17,Masalah 7-8
  19. ^ Eksekutif, Masalah 305-310
  20. ^ Om Liem Susul 2 Anggota The Gank of Four