Kelompok Empat (Indonesia)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kelompok Empat, atau dikenal dengan nama Gang of Four (ada juga yang menyebutnya Empat Serangkai/Sekawan atau Liem Investors),[1][2] merupakan kongsi dagang dan industri antara 4 pengusaha: Sudono Salim (Liem Sioe Liong), Djuhar Sutanto (Liem Oen Kian), Ibrahim Risjad dan Sudwikatmono yang berkembang sejak awal dan tumbuh di era Orde Baru. Kelompok ini bisa dibilang merupakan kemitraan yang cukup sukses, dan telah menghasilkan perusahaan besar seperti Bogasari dan Indocement. Nama Kelompok Empat sendiri bukanlah ciptaan mereka, melainkan dari media massa.[3]

Sesungguhnya, Presiden Soeharto-lah yang berperan besar dalam menyatukan mereka berempat. Bermula ketika pada 1960-an, Liem meminta Soeharto agar membantu bisnisnya. Soeharto menyarankan agar Liem mempertahankan dan membangun bisnisnya bersama rekan lamanya, Djuhar. Lalu, pada 1967, Soeharto memperkenalkan sepupunya, Sudwikatmono (Dwi) kepada Liem, yang pada saat itu butuh partner pribumi karena ia belum menjadi WNI. Selain itu, bergabung pula Risjad, seorang pengusaha asal Aceh yang sudah mengenal Djuhar dan Dwi sebelumnya.[4] Menurut Liem dalam wawancara pada 1994, kongsi mereka sangatlah baik, dan mereka menjadi seperti pilar pada kursi yang penting untuk kestabilan. Masing-masing anggota memiliki tugas sendiri - menurut Risjad pada 1997, Liem memiliki tugas di bidang pengelolaan keuangan, Djuhar di bidang manajemen, Dwi di kontak dengan pemerintah dan Risjad sendiri di bidang pemasaran. Secara formal, Dwi pada 1990 menyatakan bahwa di PT Waringin ia adalah Direktur Utama, Liem adalah Presiden Komisaris, sedangkan Djuhar dan Risjad menjadi managing director.[4] Seorang pejabat Salim Group pernah menyatakan bahwa Liem adalah "bumi", Djuhar adalah "api" yang tidak kunjung padam, Risjad adalah "bulan" yang pintar melakukan harmonisasi dan melobi serta Dwi adalah "angin" yang pintar mempenetrasi birokrasi. Dwi misalnya dikabarkan punya hubungan baik dengan militer, sedangkan Risjad punya koneksi dengan salah satu menteri penting, Sumitro Djojohadikusumo. Masing-masing mendapat jatah saham dimana Liem-Djuhar masing-masing 40% dan Dwi-Risjad masing-masing 10% (awalnya 45-45-5-5%) di banyak perusahaan kerjasama mereka.[5] Kelompok bisnis ini, bisa dikatakan cukup solid dan tangguh menghadapi perkembangan zaman, terutama di awal berdirinya karena mampu saling bersinergi dengan tugas masing-masing. Sempat hampir pecah karena Djuhar mengeluh pada Liem di akhir 1970-an, tetapi kemudian rencana itu batal.[3][6]

Bisnis mereka pertama kali dimulai dari PT Waringin Kentjana. Awalnya, perusahaan ini berbentuk CV bernama CV Waringin dan bergerak di bidang perdagangan, dimiliki oleh Djuhar. Pada tahun 1968, Liem masuk dan menyuntikkan modal ke perusahaan yang sedang bermasalah ini. Kemudian, masuk juga anak Liem, Andree Halim, Dwi dan Risjad, serta tentu saja keluarga Djuhar. PT Waringin kemudian tetap melanjutkan operasionalnya sebelumnya, dengan memperluas bidangnya di ekspor kopi, lada, karet, tengkawang, dan kopra, serta mengimpor gula dan beras. Pada tahun 1970-1971, PT Waringin mendirikan pabrik karet di Jambi dan Palembang. Waringin mampu memperluas bisnisnya karena mendapat kuota dan berbagai fasilitas, serta kredit dari bank pemerintah. Sempat isu fasilitas ini mendapat reaksi negatif dari masyarakat dan berusaha diusut, tetapi kemudian tidak berlanjut.[7] Namun, bisnis utama Kelompok Empat kemudian ada dua: PT Bogasari Flour Mills dan PT Distinct Indonesia Cement Enterprise (DICE, kemudian menjadi Indocement Group). PT Bogasari didirikan pada tahun 1971, dan memiliki pabrik di Jakarta dan Surabaya. Hingga akhir Orde Baru, perusahaan ini bisa dibilang memonopoli perdagangan tepung terigu dan pengolahan gandum di Indonesia. Lalu perusahaan pertama Indocement, PT DICE didirikan pada tahun Agustus 1975,[8] dengan cepat menguasai bisnis semen di Tanah Air. Selanjutnya, Indocement memperluas operasionalnya dengan 5 perusahaan lain: PT Perkasa Indonesia Cement Enterprise (PICE), PT Perkasa Indah Indonesia Cement Putih Enterprise (PIICPE), PT Perkasa Agung Utama Indonesia Cement Enterprise (PAUICE), PT Perkasa Inti Abadi Indonesia Cement Enterprise (PIAICE), dan PT Perkasa Abadi Mulia Indonesia Cement Enterprise.[9] Kelompok bisnis ini dibantu oleh Soeharto dalam pemberian modal, fasilitas, insentif dan berbagai hal lainnya. Namun, sebagai bayaran dari fasilitas tersebut, misalnya ada kewajiban dari Soeharto agar 26% keuntungan Bogasari diberikan pada yayasannya.[10][11][12][13]

Partnership keempat pengusaha ini tetap berjalan dan makin meluas, misalnya dengan semuanya menjadi pemegang saham di beberapa bisnis secara bersama. Pada akhir 1970-an, kongsi ini bersama dengan Ciputra membangun properti di bawah PT Metropolitan Development dengan nama Pondok Indah.[14] Lalu, ketika Indofood didirikan pada 1994, 4 pengusaha ini juga punya saham di sana.[15] Pada tahun 1980an dan 1990an, kongsi keempatnya dianggap sebagai kongsi bisnis terkuat di Indonesia.[16] Liem tampaknya berusaha mengikutsertakan mereka dalam banyak perusahaannya: misalnya, bisnis Liem di Hong Kong bernama First Pacific kemudian juga mengikutsertakan Dwi, Djuhar dan Risjad sebagai pimpinannya dan pemegang saham.[17][18]

Memasuki tahun 1980an, masing-masing dari mereka juga membangun bisnis sendiri. Liem misalnya berusaha mengembangkan banknya, Bank Central Asia bersama Mochtar Riady dan membeli perusahaan mobil milik Atang Latif, Indomobil.[3] Djuhar merintis bisnis di Singapura dan Tiongkok, dan sementara itu, Dwi memiliki Grup Subentra yang bergerak terutama di perfilman dan Dwi Golden Graha yang bergerak di ritel. Tak ketinggalan Risjad, ia pada 1980-an juga merintis kelompok bisnis yang dikenal dengan nama Risjadson, bergerak di bidang industri, keuangan dan lainnya. Mulai tahun 1990, menurut Liem sudah seharusnya kerjasama mereka dikurangi agar mereka bisa fokus dalam bisnis masing-masing. Menurut Liem, bisnis mereka sudah terlalu besar alangkah lebih baiknya jika mereka mulai berusaha bergerak secara independen. Namun, mereka masih akan tetap bekerjasama sebagai misalnya manajemen di perusahaan mereka atau memiliki kantor yang berdekatan agar mudah berdiskusi. Lalu, jika ada kesulitan, mereka juga saling membantu. Hal ini karena mereka sudah berkomitmen, jika sudah bekerjasama maka diharapkan akan abadi.[3][19] Seiring bisnis tersebut, maka kemudian Bogasari dan Indocement menjadi lebih identik dengan Liem sebagai pemegang saham utamanya, yang dikelompokkan dalam kelompok usaha Salim Group, yang diperkirakan pada 1990-an memiliki 500 anak perusahaan. Namun, walaupun demikian, nama Dwi, Risjad dan Djuhar (atau anak-anaknya) tetap menjadi eksekutif dan petinggi-petinggi di perusahaan mereka atau Salim Grup.[20]

Pasca krisis ekonomi 1997-1998, bisnis keempatnya menjadi goyang dan hampir semuanya (kecuali Djuhar yang lebih banyak di luar negeri) menderita hutang yang amat besar.[21] Masing-masing konglomerasi mengalami restrukturisasi dan perubahan radikal. Keempatnya tidak lagi kemudian memegang manajemen perusahaan Kelompok Empat, perusahaan Salim Group atau bahkan perusahaan sendiri, dan lebih memilih menyerahkan ke anaknya. Misalnya, kini anak Liem Anthony Salim dan anak Dwi, Agus Lasmono Sudwikatmono memegang konglomerasi masing-masing. Perusahaan-perusahaan mereka banyak dijual, ditutup dan diserahkan ke BPPN, seperti Indocement yang dijual ke perusahaan Jerman HeidelbergCement. Bahkan, Liem dan Djuhar mengalami pecah kongsi pada sejumlah perusahaan mereka di luar negeri serta saling menggugat pada 2002,[22] dan kemudian posisi Djuhar digantikan anaknya, Tedy Djuhar.[3] Walaupun demikian, menantu Liem, Franciscus Welirang sempat membantah isu perpecahan ini.[23][24] Pada tahun 2004, akhirnya BPPN menyatakan Dwi, Risjad dan Salim sudah lepas dari hutang mereka, terutama di BLBI dan hutang lainnya.[25] Krisis 1997-1998 bisa dikatakan telah mengakhiri kerjasama mereka. Walaupun mereka diantaranya masih ada yang memegang saham bersama, misalnya di Indocement namun saat ini semuanya sudah lebih fokus dengan bisnis masing-masing.[26] Dengan kematian Djuhar pada 2018, maka saat ini tidak ada lagi dari mereka yang hidup. Sebelumnya Dwi meninggal pada 2011, sedangkan Risjad dan Liem wafat pada Februari dan Juli 2012.[27]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]