Lompat ke isi

Kerajaan Siguntur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 26 September 2021 13.05 oleh 114.125.234.102 (bicara) (Memperbaiki gelar)
Siguntur
کراجاءن سيڬونتور
1250–1347
Bendera Siguntur
Bendera
Ibu kotaKerajaan Siguntur, sitiung, Dharmasraya
Bahasa yang umum digunakanMinang
Agama
Dari Buddha berubah menjadi Islam
PemerintahanMonarki
Sutan 
Sejarah 
• Runtuhnya Dharmasraya
1250
• Bergabung dengan Pagaruyung
1347
Didahului oleh
Digantikan oleh
Dharmasraya
krjKerajaan
Siguntur
krjKerajaan
Pagaruyung
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Siguntur adalah sebuah kerajaan yang dinamakan Kerajaan Siguntur berdiri semenjak tahun 1250 Masehi pasca runtuhnya Kerajaan Dharmasraya, berasimilasi sebagai putra-putra raja empat utusan Pagarung mendirikan kerajaan Islam di Lampung pada abad ke-13 tahun 1289 Masehi. Kerajaan Siguntur ini bertahan selama beberapa masa hingga kemudian dikuasai oleh Kerajaan Pagaruyung ibu kota Nagari Kerajaan Jambu Lipo, tetapi sampai sekarang ahli waris istana kerajaan masih ada dan tetap bergelar Sutan. Ahli waris yang memegang jabatan raja Siguntur hingga saat ini adalah Sutan. Kalau diperhatikan dari raja-raja yang pernah memerintah, kerajaan ini juga bernaung di bawah kerajaan Pagaruyung di bawah pemerintahan Adityawarman. Bahasa yang dipergunakan di kerajaan Siguntur adalah bahasa Minang dialek Siguntur yang mirip dengan dialek Payakumbuh.[1][2] Ketika didirikan oleh Adityawarman pada sekitar tahun 1347 Masehi Kerajaan Pagaruyung ini masih becorak Hindu-Buddha, Pada abad ke-16 Fortugis masuk ke Nusantara di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque dari tahun 1453 masehi hingga 1515 Masehi ia merupakan arsitek utama dari ekspansi Fortugis ke Asia serta suku Eropa yang memulai kolonisasi Eropa dan Nusantara pada Jaman Fortugis ini lah Kerajaan Pagaruyung kemudian resmi berubah menjadi Kesultanan Islam pada abad ke-10 Masehi pada masa pemerintahan Raja Alif[3].

Sejarah

Sejarah kerajaan Siguntur belum banyak diketahui, namun menurut sumber lokal menyebutkan bahwa daerah Siguntur merupakan sebuah kerajaan Dharmasyraya di Swarnabhumi (Sumatra) yang berkedudukan di hulu sungai Batanghari, sungai ini melintasi Provinsi Jambi dan kemudian bermuara di laut Cina Selatan. Sebelum agama Islam masuk ke wilayah Minangkabau atau Jambi, kerajaan Siguntur merupakan kerajaan kecil yang bernaung di bawah kerajaan Malayu, namun pernah bernaung pula pada kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Singasari, dan Minangkabau.[4]

Pada tahun 1197 (1275 M), Siguntur merupakan pusat Kerajaan Malayu dengan rajanya Mauliwarmadewa yang bergelar Sri Buana Raya Mauliawarmadewa sebagai raja Dharmasraya. Sedangkan dalam prasasti Amonghapasa menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Sri Maharaja Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa bersemayam di Dharmasraya, daerah pedalaman Riau daratan. Dengan kata lain kerajaan Swarnabhumi pada waktu itu telah dipindahkan dari Jambi ke Dharmasraya. Melihat kedua pendapat tersebut, ada kemungkinan pada abad 12 kerajaan Siguntur ini berasal dari kerajaan Swarnabhumi Malayupuri Jambi.[5]

Pada abad ke-14, agama Islam masuk ke Kerajaan Siguntur. Pada waktu itu yang berkuasa adalah raja Pramesora yang berganti nama menjadi Sultan Muhamad Syah bin Sora Iskandarsyah. Selanjutnya kerajaan Siguntur bernaung di bawah Kerajaan Alam Minangkabau. Salah satu bukti Kerajaan Siguntur menganut agama Islam terlihat pada masyarakat yang memegang prinsip syarak bersandi Kitabullah. Selain itu, ditemukan pula dua buah stempel kerajaan Siguntur berbahasa Arab yang menyebutkan bahwa "Cap ini dari Sultan Muhammad Syah bin Sora Iskandar atau Muhammad Sultan Syah Fi Siguntur Lillahi" dan "Cap ini bertuliskan bahwa Al-Watsiqubi 'inayatillahi' 'azhiim Sutan Sri Maharaja Diraja Ibnu Sutan Abdul Jalil 'inaya Syah Almarhum." Dan diperkirakan pada masa inilah Masjid Siguntur didirikan.[6]

Masjid dan rumah adat siguntur

Dalam kompleks Masjid Siguntur terdapat makam Raja-raja Siguntur yang terdapat di sebelah utara bangunan masjid.[7] Kompleks makam berdenah segi lima dengan ukuran panjang yang berbeda. Makam dibuat sangat sederhana, hanya ditandai dengan nisan dan jirat dari bata dan batu. Dari sekian banyak makam hanya enam makam yang diketahui, yaitu makam Sri Maharaja Diraja Ibnu bergelar Sultan Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil bin Sultan Muhammad Syah Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadire Tuangku Bagindo Ratu III, Sultan Amirudin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali Akbar Tuangku Bagindo V, dan Sultan Abu Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.[7]

Pada tahun 1957 telah dilakukan rehabilitasi lantai masjid dari papan menjadi plesteran semen oleh ahli waris dan masyarakat setempat. Kegiatan studi kelayakan terhadap Rumah Adat dan Masjid Siguntur dilaksanakan pada tahun 1991/1992 oleh Bagian Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatra Barat, Kanwil Depdikbud Provinsi Sumatra Barat. Masjid Siguntur dipugar dengan kegiatan antara lain: pembongkaran atap beserta rangkanya, tiang, pondasi, dinding, dan lantai. Kemudian pemasangan kembali yang baru. Pekerjaan lainnya yaitu pembongkaran pintu dan jendela, pembuatan selasar, pagar beton, pagar kawat berduri, serta pintu besi. Terakhir pengecatan rangka atap dinding, pintu, jendela, dan pagar tembok.[1][8]

Dharmasraya dan kerajaan-kerajaan penerus

Kerajaan Siguntur yang mengklaim masih turunan dari Kerajaaan Dharmasraya, mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat duplikat Arca Bhairawa dan Arca Amoghapasa dan memindahkan semua penemuan di Dharmasraya yang kini tersimpan di Museum Adityawarman Padang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Batusangkar, ke Siguntur, Dharmasraya. Salah seorang pewaris kerajaan Siguntur ini ialah Tuan Putri Marhasnida. Pihak pewaris kerajaan Siguntur tersebut pernah meminta kepada pemerintah setempat untuk mendirikan museum kecil di pinggiran Sungai Batanghari di Siguntur yang dipergunakan untuk menyimpan benda-benda sisa-sisa dari Kerajaan Dharmasraya agar dapat tersimpan dan terjaga dengan baik serta peninggalan-peninggalan tersebut tidak hilang. Selain itu, museum ini juga difungsikan sebagai pusat informasi peninggalan-peninggalan dari Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Siguntur. Pada saat ini, meseum tersebut disebut dengan nama Museum Keluarga Kerajaan Siguntur. Lokasi dari Museum tersebut yakninya berada di Jorong Sigunur, Kabupaten Dharmasraya.[9][10]

Selain Kerajaan Siguntur, juga ada kerajaan kecil setelah Islam yang juga mengaku berhubungan dengan Kerajaan Dharmasraya pra-Islam. Kerajaan-kerajaan itu adalah Kerajaan Koto Besar, Kerajaan Pulau Punjung, Kerajaan Padang Laweh, dan Kerajaan Sungai Kambut yang masing-masing juga memiliki sejumlah peninggalan kuno. Setiap kerajaan-kerajaan tersebut memiliki peninggalan masing-masing. Peninggalan tersebut dapat berupa benda serta hutan adat. Salah satunya kerajaan Padang Laweh yang mempunyai peninggalan berupa Rumah Adat Kerjaan Padang Laweh yang masih ada dan terjaga sampai saat sekarang ini.[11][10][12]

Peninggalan

Kerajaan Siguntur ini menyisakan sebuah jenis tarian yang disebut tari toga (tari larangan), sebuah tarian yang mirip dengan tarian Melayu dan tarian Minang. Tari toga menjadi tari resmi kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan raja (batagak gala), pesta perkawinan keluarga raja, upacara turun mandi anak raja, perayaan kemenangan pertempuran, dan gelanggang mencari jodoh putri raja. Pada saat Belanda berhasil masuk ke Siguntur pada tahun 1908, raja-raja di Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui kedaulatan Hindia Belanda yang menyebabkan raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda kerajaan yang diambil oleh orang Belanda, termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan aktivitas kesenian kerajaan, termasuk tari toga.[1][9]

Semenjak keberadaan Belanda tersebut, tari toga sudah tidak dipertunjukkan lagi. Para penari dan pedendang yang pandai dari tari tersebut banyak yang meninggal sehingga tidak ada generasi penerusnya sehingga membuat tari ini hanya diingat dan diketahui dari cerita turun-temurun. Pada tahun 1980, pewaris Kerajaan Siguntur, Tuan Putri Marhasnida, menemukan seorang kakek yang kala itu sudah berusia 80 tahun. Sang kakek tersbut masih hafal semua dendang yang terdapat dalam tari toga sebab beliau selalu melantunkan dendang ketika melakukan kegiatan Batobo. Batobo adalah membersihkan kebun atau menyabit di sawah bersama-sama yang melibatkan 30 sampai 60 orang. Si pendendang selalu Batobo agar orang-orang tak bosan bekerja seharian, ia disuruh berdendang sambil bekerja. Pada tahun 1989, dengan terkumpulnya semua infomasi yang berkaitan dengan tari toga maka tari toga pada tahun tersebut hidup kembali dan dapat dipertunjukkan kembali dengan adanya sedikit modifikasi. Tari toga modifikasi Marhasnida ini kemudian ditampilkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Padang pada 1990 dan dimainkan dalam berbagai acara Kerajaan Siguntur, termasuk menyambut peserta "Arung Sejarah Bahari Ekspedisi Pamalayu" yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.[9][13]

Raja-raja siguntur

Berikut raja-raja Siguntur:[1]

Periode Hindu-Buddha

  1. Sri Tribuwana Mauliwarmadewa (1250-1290)
  2. Sora (Lembu Sora) (1290-1300)
  3. Pramesora (Pramesywara) (1300-1343)
  4. Adityawarman (kanakamedinindra) (1343-1347) - bersamaan dalam memerintah Dharmasraya dan Pagaruyung.
  5. Adikerma (putra Paramesora) (1347-1397)
  6. Guci Rajo Angek Garang (1397-1425)
  7. Tiang Panjang (1425-1560)

Periode Islam

  1. Abdul Jalil Sutan Syah (1575-1650)
  2. Sultan Abdul Qadir (1650-1727)
  3. Sultan Amiruddin (1727-1864)
  4. Sultan Ali Akbar (1864-1914)
  5. Sultan Abu Bakar (1914-1968)
  6. Sultan Hendri (1968-sekarang) — hanya sebagai penjabat saja, tanpa kekuasaan karena kerajaan Siguntur tinggal nama saja.[14]

Referensi

  1. ^ a b c d "Sekilas Sejarah Kerajaan Siguntur di Dharmasraya Dalam Jejak Digital". Metropolis.co.id. 14 Agustus 2018. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  2. ^ Rahmayani, Omy (2016-08-29). "IDENTIFIKASI PENINGGALAN-PENINGGALAN BERSEJARAH DI KABUPATEN DHARMASRAYA". UNIMED. 
  3. ^ https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/09/130000079/kerajaan-pagaruyung--sejarah-letak-pendiri-dan-peninggalan?page=all
  4. ^ "Kerajaan Siguntur Minta Peninggalan Kerajaan Dipindahkan ke Dharmasraya". Tempo (dalam bahasa Inggris). 2008-01-30. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  5. ^ "Perancangan media informasi tentang kerajaan siguntur". repository.isi-padangpanjang.ac.id. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  6. ^ "Cagar Budaya Kabupaten Dharmasraya". kebudayaan.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  7. ^ a b bpcbsumbar (2017-04-06). "Pesona Makam Raja-Raja Siguntur, Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat". Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-22. 
  8. ^ "PENETAPAN RUMAH GADANG KERAJAAN SIGUNTUR SEBAGAI BANGUNAN CAGAR BUDAYA". kebudayaan.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  9. ^ a b c "Potret Budaya Nagari Siguntur Dharmasraya". Berita Sumatra Barat Terkini. 2017-02-06. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  10. ^ a b "Jejak Peninggalan Kerajaan Dharmasraya". Republika Online. 2017-05-16. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  11. ^ Agency, ANTARA News. "Merawat aset sejarah, Dharmasraya menuju destinasi unggulan". Antara News Sumbar. Diakses tanggal 2020-08-23. 
  12. ^ Zed, Mestika (2009-12-09). "Dharmasraya di Antara Kerajaan-kerajaan Melayu Kuno di Sumatera Barat". repository.unp.ac.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-22. 
  13. ^ KlikPositif. "Festival Pamalayu, Ajang Pariwisata Kenalkan Destinasi Dharmasraya Melalui Sejarah | KlikPositif.com - Media Generasi Positif". Festival Pamalayu, Ajang Pariwisata Kenalkan Destinasi Dharmasraya Melalui Sejarah | KlikPositif.com - Media Generasi Positif. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  14. ^ Sejarah Siguntur

Pranala luar